Kredit ilustrasi:lampost.co
PASCA mundurnya Suharto gerbong kereja reformasi segera berlari kencang. Transisi dari rezim Orde Baru (Orba) menuju reformasi turut mengubah motif perpolitikan, salah satunya ialah perubahan dalam pemilihan umum, khususnya pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).
Pada awal era reformasi hingga kini telah dilaksanakan empat kali pileg yakni pada tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014. Secara historis, setelah Republik Indonesia berdiri tercatat sebanyak sebelas kali pileg telah diselenggarakan. Terdapat tiga klasifikasi berdasarkan waktu pelaksanaan, yaitu pemilu pada era pra-Orba yang diselenggarakan pada tahun 1955, kemudian era Orde Baru tercatat sebanyak enam kali pemilu yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Selanjutnya pileg yang diselenggarakan di era reformasi yang telah dilselenggarakan sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014. Sementara untuk pemilihan presiden (pilpres) praktis baru terlaksana empat kali, yakni di tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019 ini.
Berdasarkan pelaksanaan pemilu selama ini, baik untuk memilih seorang pemimpin maupun anggota dewan menurut beberapa kelompok masyarakat belum sesuai harapan. Kondisi ini tampak melalui kajian yang dilakukan oleh Walhi pada kontes pemilu 2014 silam. Hasil kajian itu memperlihatkan kurang lebih dari 7% calon anggota legislatif tidak memiliki komitmen terhadap isu lingkungan hidup. Anggota legislatif harus peduli dan mengerti persoalan lingkungan, karena kebijakan yang diambil dalam konteks sumber daya alam sangat bergantung pada produk perundangan yang mereka hasilkan (Aji. W, 21 Maret 2014, “Hanya 7 % Calon Anggota Legislatif DPR-RI Paham Isu Lingkungan”, Mongabay.co.id).
Masalah pertambangan, alih fungsi hutan dan lahan produktif, erat kaitannya dengan undang-undang dan peraturan yang dibuat dan disahkan oleh legislatif dengan sokongan eksekutif. Strategisnya posisi dan peran legislatif dan eksekutif menyebabkan kedua lembaga negara ini rawan untuk disalahgunakan. Hal ini bisa dilihat dari maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan legislatif dan eksekutif, misalnya saja politik transaksional sebelum pemilu, seperti ijon tambang yang menjerat beberapa kalangan baik di pusat maupun di daerah.
Politik, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan
Absennya suatu kebijakan dalam upaya penegakkan keadilan sosial dan lingkungan, tampak dari persoalan korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya seperti trading in influence, political capture dan regulatory capture. Pada konteks trading in influence atau memperdagangkan pengaruh umum. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam “Kajian Implementasi Aturan Trading in Influence dalam Hukum Nasional” (2014), konteks memperdagangkan pengaruh di Indonesia cukup banyak ditemui. Salah satunya melihat kasus korupsi yang terjadi memiliki motif yang relasional dengan substansi trading in influence.
Persoalan yang berkaitan dengan trading in influence dapat dilihat dari beberapa contoh kasus, seperti papa minta saham, suap terkait impor sapi, suap dalam penggiringan anggaran 16 perguruan tinggi, suap pembangunan sarana olahraga, suap alih fungsi hutan, Ijon tambang batubara, suap pengadaan Al Quran, dan kasus-kasus suap lainnya.
Selain pada konteks trading in influence terdapat aspek political capture, yang menjadi salah satu penyebab maraknya kebijakan eksekutif dan legislatif yang rawan dikorupsi dan merugikan masyarakat. Political capture ini bermakna sebagai suatu kondisi di mana oligarki politik (termasuk eksekutif dan legislatif) mengubah kebijakan serta regulasi agar menguntungkan mereka, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Menurut Oxfam dalam laporannya yang berjudul Working for the Few: Political Capture and Economic Inequality (2014), ketimpangan ekonomi yang terjadi, dalam hal ini Indonesia, mengakibatkan meningkatnya ketimpangan politik. Kondisi ini diakibatkan oleh para oligarki politik yang menggunakan pengaruh politik mereka untuk mempertahankan dan meningkatkan keuntungan yang mereka dapatkan, pada situasi yang sama golongan ini menghalangi kebijakan yang memperkuat hak-hak masyarakat secara luas.
Salah satu contoh political capture adalah beberapa kebijakan yang dihasilkan legislatif sangat relasional dengan keuntungan segelintir elite. Misalnya deregulasi hutan lindung menjadi hutan produksi untuk sawit dan pertambangan, hingga persoalan penguasan lahan. Seperti keberadaan mereka yang berada di sektor swasta, beberapa kasus membangun kolusi dengan pejabat politik untuk mendapatkan akses anggaran dan proyek, salah satunya berkaitan dengan akses penguasaan sektor penting seperti lahan. Hal ini mengakibatkan beberapa titik yang seharusnya menjadi hak masyarakat hanya dikuasai segelintir pemodal, seperti ketimpangan kekayaan, penguasaan lahan dan sumber daya alam. Contoh kasus penguasaan lahan oleh Sinar Mas, Grup salim dan lain-lain, yang lahannya sangat luas sekitar hampir separuh pulau jawa. Kondisi tersebut sangat kontras dengan penguasaan lahan oleh masyarakat yang sangat kecil, begitu juga masyarakat adat yang semakin tercerabut dan teralienasi dari hutannya akibat dirampas oleh Industri Perkebunan Sawit. Sementara untuk kasus di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, kebanyakan lahan dimiliki oleh korporasi properti, seperti Ciputra dan Pakuwon.
Aspek lainnya yang patut disoroti dalam konteks kebijakan legislatif yang belum berpihak pada konstituen yaitu regulatory capture. Dalam aspek ini disahkannya kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada masyarakat, masih sarat dengan kepentingan pemodal. Misalnya dalam kasus di pesisir selatan Jawa Timur, dimana kebijakan penetapan kawasan pesisir selatan sebagai area pertambangan mengakibatkan terancamnya ruang hidup masyarakat di sana.
Sebagai contoh, kebijakan Kementerian Kehutanan pada tahun 2013, terkait perubahan kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi di Banyuwangi, telah menyebabkan kawasan Tumpang Pitu terancam keberlangsungannya. Terancamnya Tumpang Pitu diakibatkan oleh tambang emas yang mengeksploitasi kawasan tersebut, selain kebijakan penetapan kawasan pertambangan mineral, pengalihan kawasan hutan, juga diperkuat dengan keputusan Bupati terkait izin eksploitasi dan peran legislatif yang mendukung kebijakan tersebut. Selain itu penetapan kawasan pariwisata di area Malang dan Batu, melalui Perda RTRW yang disahkan oleh legislatif dan eksekuif di daerah semakin mengakibatkan masifnya pembangunan yang mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat, salah satunya rusaknya kawasan hutan dan terancamnya sumber mata air.
Kesadaran Politik untuk Perubahan
Minimnya kepedulian seorang calon pemimpin dan anggota dewan baik aktor lama maupun baru, sangat berpengaruh pada arah kebijakan di sektor sumber daya alam. Menjelang pemilihan umum 2019 ini, politik transaksional yang erat kaitannya dengan ijon politik baik sektor sumber daya alam, maupun kebijakan lainnya sangat rawan terjadi.
Rakyat Indonesia sebagai konstituen pemilihan elektoral, harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang para kandidat serta kepentingan-kepentingan para pendukung mereka yang akan diselenggarakan serentak pada tahun 2019. Bukan hanya sekadar tahu dan paham, namun juga harus memiliki nilai tawar dalam urusan memastikan bagaimana para kandidat yang telah dipilih bekerja menjalankan mandat serta kebijakan yang berpihak kepada kepentingan mereka. Terlebih mengenai penyelesaian dan perlindungan kawasan dari okupasi pertambangan, industrialisasi banal serta perampasan lahan-lahan produktif untuk kawasan perumahan, industri hingga infrastruktur yang tidak melihat dampak sosial-ekologis.
Tentu hal ini tidak mudah. Untuk menjadikan rakyat sebagai panglima dibutuhkan eksperimen berulangkali. Seperti membangun partai berbasiskan rakyat yang terampas ruang hidupnya, yang terdiri dari kelompok tani, adat dan buruh. Atau memperbanyak ruang-ruang pengetahuan guna mengakselerasi pengetahuan rakyat, yang nantinya akan menjadi pondasi kokoh dalam berkontestasi secara politis. Dan yang paling penting ialah membangun partai yang ideologis dengan berperspektif kelas, berpandangan hijau dan tentu saja berhaluan progresif.***
Wahyu Eka Setyawan adalah aktivis FNKSDA & Walhi Jatim
Kepustakaan:
Fariz, D., Sjafrina, A., Sari, E. P.,& Herawan, W. N. (2014). Kajian Implementasi Aturan Trading in Influence dalam Hukum Nasional. ICW.
Fuentes-Nieva, R.,& Galasso, N. (2014). Working for the Few: Political Capture and Economic Inequality. Oxfam
Wihardi, Aji. 21 Maret 2014. Hanya 7 % Calon Anggota Legislatif DPR-RI Paham Isu Lingkungan. Diakses dari Https://www.mongabay.co.id/2014/03/21/hanya-7-calon-anggota-legislatif-dpr-ri-paham-isu-lingkungan/
Winters, J. A. (2011). Oligarki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 9-17 (Dasar Material Oligarki: Kearah Suatu Teori Oligarki)