Seminari Menengah Mataloko, Ngada, Flores. Kredit foto:
nanafrans.wordpress.com
(Tanggapan Untuk Silvano Keo Bhaghi)
TULISAN saudara Bhaghi[1] di IndoPROGRESS berjudul “Orang Miskin Dilarang Masuk Sekolah Katolik di Flores” patut diberi apresiasi. Apresiasi ini diberikan bukan saja karena penulis berani membagikan pengalaman personal di ruang publik sebagai bagian dari keluarga semi-proletar[2] yang bagaikan memakan buah Simalakama berhadapan dengan derap kapitalisme sekolah Katolik di Flores. Tetapi lebih karena tulisannya telah memberikan penjelasan yang berani dan jujur tentang watak sekolah-sekolah Katolik di Flores yang semakin hari kian menyesuaikan diri dengan derap ekspansi kapitalisme di Flores hari ini. Penelitian saya berkaitan dengan pembangunan dan sekolah Katolik di Flores mengonfirmasi apa yang dijelaskan Bhaghi.[3] Dalam tulisan ini, karena itu, saya tidak membantah apa saja yang ditulis Bhaghi,[4] tetapi hanya akan memberikan penjelasan tambahan tentang fenomena sumbangan pendidikan bagi sekolah Katolik di Flores, terutama sekolah-sekolah seminari dan sekolah Katolik non-seminari yang bermutu lainnya, yang sayangnya tidak disinggung oleh Bhaghi,[5] tetapi sedang marak berkembang di Flores hari ini. Sumbangan pendidikan itu, baik secara material maupun finansial, tidak saja datang dari orang-orang kaya di Flores (juga di kota-kota besar lainnya, seperti di Jakarta), tetapi juga dari petani miskin di Flores. Dengan ini, menurut saya, sumbangan pendidikan ini merupakan subsidi bagi golongan kelas menengah atas di Flores, yang telah mengirimkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Katolik, terutama sekolah-sekolah seminari dan sekolah-sekolah Katolik bermutu non-seminari, di Flores hari ini. Karena itu, sumbangan pendidikan ini tidak produktif karena dapat meningkatkan kesenjangan ekonomi dan politik hari ini dan di masa depan di Flores.
Sekolah Katolik Di Flores
Mungkin tidak terlalu adil menghakimi Gereja Katolik, terutama Gereja Katolik tua –istilah Gereja Katolik tua ini saya memodifikasinya dari frase Gereja Protestan tua di NTT hari ini yang disebut oleh Eki[6]– dan sekolah-sekolah Katolik di Flores tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi pembangunan di Flores hari ini. Bagi saya, walaupun sejak awal keberadaan Gereja Katolik tua di Flores dan misi pembangunannya bertali kelindan dengan intensi ekspansi kapital Belanda di Hindia Belanda[7] di awal abad 20,[8] sekolah-sekolah Katolik yang didirikan oleh Gereja Katolik tua, terutama sekolah Katolik yang dikelola oleh misionaris asing pada awal misinya di Flores hingga awal tahun 1980an, telah membawa manfaat bagi pembangunan di Flores.[9] Kedatangan Gereja Katolik tua di Flores dalam payung politik etis ini sungguh meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan di Flores.
Sejak tahun 1913, Gereja Katolik tua, terutama melalui serikat SVD,[10] seperti yang ditulis oleh Webb,[11] telah membawa dampak bagi “kemajuan pendidikan” di Flores. Sejatinya pendidikan di Flores dirintis oleh Gereja Katolik tua sejak menjelang akhir abad ke 19, ketika pater Gaspar Hubertus Fransen mendirikan sekolah pertama di Larantuka pada tahun 1861. Pada tahun 1926, Pater Frans Cornelissen mendirikan seminari di Lela, yang kemudian dipindahkan ke Mataloko pada tahun 1929. Pada tahun 1920, pater Bernhard Glanemann membangun misi SVD di Manggarai yang mendorong berdirinya sekolah pertama di Manggarai, yakni di Rekas pada tahun 1921 dan Lengkoajang pada tahun 1924.[12] Sepanjang abad 20, Gereja Katolik tua dan muda di Flores telah mendirikan ratusan sekolah Katolik yang bermutu mulai dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi. Mutu sekolah Katolik diraih, salah satunya, berkat kurikulum standar internasional model kolese, gimnasium di Eropa.[13] Selain itu, mutu pendidikan itu dihasilkan oleh kerja keras para misionaris Gereja Katolik tua kala itu.[14]
Pada mulanya sekolah-sekolah Katolik yang didirikan oleh Gereja Katolik tua, yakni misionaris asing Katolik di Flores, dapat diakses oleh semua golongan masyarakat di Flores. Hal itu disebabkan karena sekolah-sekolah Katolik gratis dan murah karena misi Gereja Katolik tua kala itu adalah ingin meng-Katolik-kan generasi muda Flores melalui jalur pendidikan. Sebab, generasi tua yang sudah terikat dengan agama alam dan pagan sudah dianggap tidak mudah untuk menerima ajaran Gereja Katolik yang baru.[15] Hal inilah yang menyebabkan banyak anak tuan tanah, pemimpin feodal dan pemimpin adat di Flores disekolahkan di sekolah-sekolah bermutu, seperti seminari, di Flores kala itu. Sebab, jika anak-anak tuan tanah, tuan feodal dan pemimpin adat sudah menjadi Katolik –apalagi menjadi imam dan uskup Katolik atau katekis Katolik– maka hal itu akan sangat membantu dan mempermudah misi Katolisasi Gereja Katolik tua di Flores.
Namun, mutu dan keberadaan sekolah Katolik mengalami ‘guncangan’ dan kemunduran ketika pada tahun 1970an para misionaris Katolik asing dilarang datang ke Indonesia.[16] Begitu juga dengan dana operasional Gereja Katolik tua yang disumbangkan oleh Gereja Katolik sejagad juga dikontrol dan diintervensi oleh pemerintah pusat.[17] Karena itu, pada awal tahun 1980an, Gereja Katolik Indonesia[18] dan Gerja Katolik tua di Flores, memperkenalkan Gereja Mandiri (atau Gereja Katolik muda di Flores mengikuti bahasa Eki[19]).[20] Gerakan Gereja Mandiri[21] atau Gereja Katolik muda tidak mudah membantu meningkatkan mutu pendidikan dan tetap eksisnya beberapa sekolah Katolik di Flores. Intervensi pemerintah yang terlalu berlebihan melalui kebijakan kurikulum nasional telah menciderai otonomitas sekolah-sekolah Katolik yang pada akhirnya memperparah mutu pendidikan sekolah-sekolah Katolik di Flores. Karena itu, dengan keterbatasan dana dan intervensi pemerintah itu, Gereja Katolik lokal di Flores akhirnya menyerahkan, baik kepemilikan maupun manajemennya, puluhan, bahkan ratusan, sekolah Katolik kepada pemerintah lokal di Flores.[22]
Namun, hanya segelintir sekolah-sekolah tertentu, yang dari segi manajemen hanya bisa dilakukan oleh Gereja Katolik (misalnya sekolah-sekolah seminari) dan, tentunya, sekolah-sekolah non-seminaris yang secara bisnis menguntungkan Gereja Katolik muda. Sekolah-sekolah seminari dan sekolah-sekolah non-seminari bermutu –seperti SLTP-SMA Frater di Maumere, SMA Ndao dan Syuradikara di Ende, SMA Regina Pacis di Bajawa, SLTP Imakulata, SMA Fransiskus, SLTP-SMA St. Klaus dan SMA Setia Bhakti di Manggarai, SMA Familia di Lembor, Manggarai Barat– tetap dikelola oleh baik Gereja Katolik muda maupun tarekat religius tertentu di Flores, yang wataknya makin kapitalis hari ini seperti yang telah disinggung oleh Bhaghi.[23] Karena itu, sekolah-sekolah Katolik yang dikelola oleh Gereja Katolik muda, terutama sekolah-sekolah seminari, hanya menjadi domain kelas menengah atas di Flores. Jika kelas bawah, atau petani semi-proletar, seperti keluarga Bhaghi,[24] dan petani tak bertanah ingin bersekolah di sekolah-sekolah Katolik yang wataknya semakin kapitalis ini, maka faktor-faktor produksi yang penting baginya, seperti tanah, harus dijual, atau menjual tenaganya sendiri di Malaysia, Papua dan Kalimantan,[25] agar bisa menyesuaikan diri dengan derap kapitalisasi sekolah-sekolah Katolik di Flores hari ini.
Sumbangan Pendidikan Katolik di Flores untuk Siapa?
Menjawabi persoalan kekurangan dana, untuk kembali meningkatkan mutu dan mempertahankan eksistensi sekolah-sekolah Katolik, terutama sekolah seminari, Gereja Katolik muda akhir-akhir ini, menurut saya, melakukan cara instan melalui gerakan menggalang sumbangan dana pendidikan. Penggalangan sumbangan dana pendidikan ini dilakukan oleh sekolah-sekolah Katolik, seperti sekolah-sekolah seminari, di Flores hari ini. Seminari Mataloko, misalnya, meraup sekitar 700an juta rupiah dalam tour konser musik penggalangan dana pendidikan di bulan Oktober 2014 di Jakarta.[26] Selain mengadakan konser musik, seperti yang kerap dilakukan oleh seminari Mataloko, penggalangan sumbangan oleh sekolah-sekolah Katolik di Flores hari ini, berdasarkan penelitian saya, dilakukan juga melalui surat edaran sekolah kepada orang tua murid, pembagian kalender di akhir tahun, penjualan buku dan majalah karya anak-anak sekolah Katolik di Flores hari ini.[27]
Pertanyaan, sumbangan dana pendidikan, misalnya bagi sekolah-sekolah seminari dan sekolah-sekolah Katolik bermutu non-seminari di Flores, untuk kepentingan siapa? Apakah sumbangan dana pendidikan dimaksud dapat membawa keadilan sosial di tengah masyarat Flores yang miskin? Tidak terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab, menurut saya, sumbangan pendidikan di Flores secara terang benderang hanya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas di Flores. Di hampir semua seminari di Flores, misalnya, mayoritas para seminarisnya, seperti yang telah disinggung Bhaghi,[28] berasal dari keluarga PNS, pengusaha, politisi, pedagang dan tuan tanah. Biaya pendidikan di seminari menengah yang mahal dan sistem seleksi perekrutan berdasarkan merit system menyebabkan golongan masyarakat menengah ke bawah –yakni para nelayan, petani miskin dan buruh tani yang merupakan mayoritas masyarakat Flores– tidak mampu mengakses pendidikan seminari, terutama sekolah-sekolah seminari menengah pertama dan menengah atas di Flores hari ini.[29] Karena itu, sumbangan dana pendidikan bagi sekolah-sekolah seminari dan sekolah-sekolah Katolik bermutu non-seminari di Flores tak ubahnya subsidi BBM di Indonesia sebesar 210 triliun rupiah dari total PDB 9.084 triliun rupiah di tahun 2013, yang menurut saya, lebih ditujukan untuk kepentingan kelas menengah ke atas di Indonesia hari ini.[30]
Karena itu, akibat lebih jauh dari mahalnya biaya pendidikan di seminari menengah dan sistem seleksi berdasarkan merit system, seminari menengah di Flores bukan saja menjadi tempat pendidikan calon imam, melainkan juga merupakan tempat reproduksi ketimpangan sosial di Flores hari ini dan di masa mendatang. Di seminari Mataloko, Flores, menurut seorang responden yang pernah mengirimkan anaknya di SLTP dan SMA seminari Mataloko, para petani kecil yang tidak memiliki pendapatan lain seperti berternak atau menjual tanah[31] sulit dan bahkan tidak mungkin bisa mengirimkan anaknya untuk belajar di sana karena uang sekolah dan asramanya yang terlampau mahal.[32]
Selain itu, sayangnya, mahalnya biaya sekolah Katolik di Flores tidak dibarengi oleh perlakuan yang adil dan wajar terhadap kelas pekerja, yakni para guru dan karyawannya.[33] Sekolah-sekolah Katolik di Flores yang dikelola oleh Gereja Katolik muda kerap kali memberi gaji kepada para guru dan karyawannya di bawah Upah Minimum Propinsi (UMP) NTT.[34] Berdasarkan SK Gubernur NTT No. 283/KEP/HK/2017 tentang UMP, pemerintah propinsi menetapkan UMP NTT sebesar 1.666.000 rupiah. Namun, banyak gaji guru dan karyawan di NTT yang berada jauh di bawah UMP NTT. Di SMA Fransiskus Boawae, Flores, sebuah sekolah Katolik yang berada di bawah Yayasan Persekolahan Umat Katolik Kabupaten Nagekeo, Keusukupan Agung Ende (YAPERSUKNA), misalnya, seorang kepala sekolah yang telah mengajar 10 tahun hanya menerima gaji bulanan sebesar 1.573.063 rupiah. Dari 19 orang guru swasta (yayasan) yang mengabdi di SMA St. Fransiskus Boawae, saya menemukan hanya seorang guru senior yang telah mengabdi selama 26 tahun yang menerima gaji di atas UMP NTT yakni 2.099.760 rupiah. Guru yang baru mengabdi 0-3 tahun bergaji sebesar 700.000-895.640 rupiah.[35] Padahal, dengan gaji di bawah UMP, mereka mendapat beban mengajar rata-rata 34-38 jam seminggu.[36]
Ketidakadilan sosial yang ditimbulkan oleh sekolah-sekolah Katolik, baik kepada kaum miskin maupun kepada tenaga pengajar dan karyawannya,[37] juga beberapa hal pelik lainnya, seperti kasus korupsi,[38] yang dilakukan oleh Gereja Katolik muda,[39] telah berkontribusi menimbulkan kesenjangan ekonomi yang tinggi[40] di NTT, yang dapat menimbulkan konflik sosial yang mematikan di kemudian hari di Flores.[41]
Ketika merespons tulisan Bhaghi,[42] di media sosial, dalam kaitan degnan sumbangan pendidikan Katolik di Flores, saya menemukan beberapa pihak menegaskan bahwa dasar pemberian sumbangan bagi sekolah seminari di Flores adalah bahwa “Flores menjadi terkenal karena pendidikannya yang dimotori oleh sekolah-sekolah seminari, baik seminari menengah maupun seminari tinggi. Sekolah-sekolah seminari mau hebat, mau kuat, mau berdaya saing tinggi harus didukung dengan keuangan yang juga hebat dan kuat.” Menurut saya, inilah cara berpikir yang sudah dikooptasi (atau dalam bahasa Gramscian[43] telah dihegemonisasi) oleh logika kapitalisme yang lebih menekankan daya saing, bukan pemerataan akses masuk seminari bagi semua kelas sosial di Flores hari ini. Bagi saya, apalah gunanya daya saing, jika mayoritas massa rakyat Flores tidak mendapatkan akses kepada pendidikan bermutu dari sekolah-sekolah seminari itu.
Pertanyaannya, apakah keterkenalan Flores karena keberadaan sekolah-sekolah seminari dan sekolah-sekolah Katolik bermutu non-seminarinya membawa implikasi positif bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Flores? Ketika membuka kembali catatan-catatan saya 13 tahun lalu, saya menemukan pernyataan sinis seorang Ignas Kleden ketika berbicara di Festival Ledalero (2005) demikian: “sudah sekian lama saya meninggalkan (seminari atau Sekolah Tinggi Filsafat Katolik) Ledalero, saya melihat saat ini seminari Ledalero semakin maju dengan gedung-gedung yang indah, tetapi masyarakat di sekitar bukit Ledalero (atau bukit tempat sandar matahari dalam bahasa setempat) tidak berubah sedikit pun.” Dengan kata lain, sudah sekian lama berada di Flores, Gereja Katolik muda semakin maju, tetapi umatnya (atau ummah-nya yang terdesak oleh kapitalisme dan neoliberalisme dalam konteks Islam seperti yang ditulis Hadiz[44]) tetap miskin di tengah gempuran kapitalisme Gereja Katolik muda di Flores hari ini. Dengan formulasi agak lain, dalam kaitannya dengan pendidikan sekolah Katolik di Flores, khususnya sekolah-sekolah seminari-seminari Katolik dan sekolah non-seminaris bermutu di Flores, bisa dikatakan bahwa setelah sekian lama Gereja Katolik berada di Flores, hanya anak-anak seminari atau mantan seminari atau alumni dari sekolah non-seminaris bermutu di Flores, yang kebanyakan berasal dari golongan tuan tanah[45] dan orang kaya baru di Flores yang menjadi orang besar dan terkenal, baik di tingkat lokal maupun nasional, seperti, misalnya, Daniel Dhakidae dan Ignas Kleden, ilmuwan sosial yang cukup terpandang di tingkat nasional, yang adalah jebolan seminari Mataloko dan Seminari Hokeng dan seminari tinggi Ritapiret dan Ledalero. Sebaliknya, anak-anak para petani miskin di Flores yang tidak memiliki akses terhadap sekolah bermutu, seperti sekolah-sekolah seminari Katolik di Flores, tetap menjadi miskin dan bahkan harus merantau ke Malaysia untuk bisa melakukan reproduksi sosial guna mempertahankan hidupnya sendiri dan keluarganya.[46] Karena itu, keterkenalan sekolah Katolik di Flores, terutama sekolah-sekolah seminari, sejatinya tidak membawa implikasi positif bagi pembangunan dan peningkatan kehidupan mayoritas masyarakat Flores yang adalah petani miskin hari ini.
Selain itu, karena sensitivitas religius, beberapa pihak masih ngotot memberikan sumbangan kepada sekolah-sekolah seminari di Flores karena keberadaannya sebagai ladang persemain calon imam Katolik. Atas alasan ini, saya bisa membantahnya. Menurut saya, selama ini kebanyakan para kelas menengah ke atas yang mengirimkan anaknya bersekolah di seminari bukan pertama-tama untuk menjadi imam, tetapi hanya untuk mengenyam pendidikan bermutu alias ‘mencuri ilmu’ dengan memanfaatkan banyak sumbangan pendidikan baik dari orang kaya maupun orang miskin di Flores.[47] Berdasarkan data yang saya peroleh, misalnya, dari sekitar 100 siswa masuk SLTP seminari Mataloko angkatan 1996/1997, yang akhirnya ditahbiskan jadi imam hanya sekitar 7 orang (7%). Data bahwa 7% dari setiap angkatan yang masuk seminari sejak sekolah menengah pertama bukan menjadi kekhasan seminari Mataloko, tetapi juga terjadi di seminar-seminari lain di Flores.[48] Dengan demikian, data ini memberikan penegasan bahwa seminari bukan lagi menjadi ladang persemaian calon iman di Flores, tetapi sebagai gelanggang untuk mereproduksi ketimpangan sosio-ekonomi-politik hari ini dan di masa depan di Flores.
Dengan alasan-alasan yang sudah saya paparkan di muka, masyarakat Flores, baik kaya maupun miskin, baik di Flores maupun di tempat lain, seperti Jakarta, harusnya tidak lagi memberikan sumbangan pendidikan bagi sekolah-sekolah Katolik, terutama sekolah-sekolah seminari dan sekolah-sekolah Katolik bermutu non-seminari yang dikelola baik oleh Gereja Katolik muda maupun tareket religius tertentu di Flores hari ini. Sebab, sumbangan-sumbangan itu hanya ditujukan untuk memperkuat posisi ekonomi dan politik kelas menengah atas di Flores dan tarekat religius[49] tertentu dan Gereja Katolik muda itu sendiri serentak mengabaikan dan menindas orang miskin dan kelas pekerja (pengajar dan karyawannya di sekolah-sekolah Katolik) dan, karena itu, menurut saya, dapat berpotensi meningkatkan kesenjangan sosio-ekonomi-politik yang akan menimbulkan persoalan rumit lainnya di Flores hari ini dan di masa mendatang.***
Emilianus Yakob Sese Tolo adalah mahasiswa program master studi pembangunan di the University of Melbourne, Australia
—————–
[1]Bhaghi, S.K. (2018). Orang Miskin Dilarang Masuk Sekolah Katolik, IndoPROGRESS, 14 Desember, diakses 14 Desember 2018, https://indoprogress.com/2018/12/orang-miskin-dilarang-masuk-sekolah-katolik-di-flores/.
[2]Dari penjelasannya Bhaghi (2018), keluarga Bhaghi, menurut saya, adalah keluarga semi-proletar. Keluarga semi-proletar ini adalah mereka yang memiliki sarana produksi, seperti tanah, tetapi agar bisa bersubsisten harus menjual tenaganya atau menyewa atau menjual tanahnya. Namun, penelitian saya di Mbay (Tolo 2018), saya menemukan beberapa petani proletar, yang saya sebut sebagai proletar ternak, dan semi-proletar yang berternak demi mencapai subsistensi hidup (reproduksi sosial) di tengah masyarakat.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Ayub Titu Eki, wawancara pribadi, Kupang, 21 November 2018.
[7]Sejatinya kedatangan Belanda ke Flores sudah sejak abad ke 17 akibat Solor Treaty. Pada waktu itu, Belanda memiliki akses legal ke Flores dalam tata niaga di Flores, tetapi tidak sampai memonopoli perdagangan di Flores. Sebab, ketika itu, perdagangan di Flores dikuasai oleh orang-orang Bugis di bawah perlindungan kerajaan Goa (Metzener 1982). Kedatang Belanda pada awal 20 adalah akibat UU tahun 1870 yang melegalkan kepemilikan modal swasta di Hindia Beland. Karena itu, kedatangan Belanda pada saat ini adalah dalam rangka upaya akumulasi kapital. Misionaris Katolik kala itu, menurut saya, dimanfaatkan oleh Belanda untuk memuluskan agenda akumulasi kapitalnnya (Gordon 1975).
[8]Kedatangan Belanda pada tahun 1908 di Flores terjadi bersamaan dengan bergulirnya agenda politik etis di Hindia Belanda. Politik etis inilah yang mendorong Belanda memfasilitasi masuknya Gereja Katolik ke Flores pada tahun 1917, seperti yang ditulis Gordon (1975). Tindakan ramah Belanda terhadap Gereja Katolik ini merupakan langkah progresif di luar dari pakem lama, sebab sebelumnya Gereja Katolik di Hindia Belanda selalu direpresi dan didiskriminasi oleh Belanda yang lebih memprioritaskan misi Gereja Protestan (Boelaars 2005).
[9]Tolo, E.Y.S. (2016). Akumulasi Melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores, Jurnal Sosiologi Masyarakat Universitas Indonesia 21 (2); Gordon, Jhon Lambert (1975). The Manggarai: Economic and Social Transformation in An Eastern Indonesia Society. PhD Thesis at Harvard University Cambridge, Massachusetts.
[10]SVD adalah singkatan dari Sovietas Verbi Divini, yang dalam bahasa Indonesia berarti Serikat Sabda Allah. SVD merupakan serikat religius untuk imam dan bruder Katolik dalam Gereja Katolik yang didirikan pada tahun 1875 di Steyl, Belanda, oleh Santo Arnoldus Janssen. Serikat SVD sudah masuk di Flores sejak tahun 1913, setelah Serikat Jesuit meninggalkan Flores.
[11]Webb, R.A.F.P. (1986). Adat and Christianity in Nusa Tenggara Timur: Reaction and Counteraction, Philippine Quarterly of Culture and Society, 14, hlm. 346.
[12]Tolo, E.Y.S. (2012). “Kembalikan Kejayaan Sekolah katolik di Flores.” Flores Pos, 22 Maret 2012; Nama, S. (2012). “Kerasulan Sosial Ekonomi: Bagian Integral Pewartaan Injil, dalam Chen Martin dan Suwendi, Budaya & Pergumulan sosial: Refleksi Yubeleum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai. Jakarta: Obor.
[13]Tolo, Kembalikan Kejayaan Sekolah…
[14]Kerja keras para misionaris ini sempat membuat membuat Kapten Tasuku Sato (1976 [1957]: 110-111) yang memimpin pasukan Jepang pada perang dunia ke II di Flores “mengalami rasa kagum yang mendapalam terhadap disiplin dan organisasi Gereja yang mengirim orang-orangnya ke daerah misi terjauh, dimana mereka bekerja tanpa mengeluh”. Para misionaris yang disaksikan oleh Kapten Tasuku Sato ini benar-benar membangun Flores secara serius, termasuk dalam bidang pendidikan. Karena itu, ketika Jepang menduduki Flores, banyak orang Belanda dan misionaris yang ditangkap dan dipenjarakan, kecuali bagi mereka yang bekerja pada institusi pendidikan. Sebab, sama halnya dengan Belanda, Jepang juga memiliki kepentingan ekonomi politik tersendiri dengan sekolah-sekolah yang telah didirikan oleh para misionaris Katolik ini (Sato 1976 [1957]). Lihat, Sato, KT & Tennien, PM. (1957). Wignyanta, Thom (penerj., 1976). Aku Terkenang Flores(I Remember Flores). Ende: Nusa Indah.
[15]Molnar, A. K. 1997. Christianity and Traditional Religion among the Hoga Sara of West-Central Flores.Anthropos 92: 389-408; Erb. M. (2006). Between Empowerment and Power: The Rise of the Self-Supporting Church in Western Flores, Eastern Indonesia. Journal of Social issues in Southeast Asia 21 (2): 204-229.
[16]Boelaars, HJWM. (1991). Hardawiryana, R (penerj., 2005). Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
[17]Ibid.
[18]Ibid.
[19]Ayub Titu Eki, wawancara pribadi, Kupang, 21 November 2018
[20]Erb, Between Empowerment and…
[21]Mengenai pengertian Gereja Mandiri di sini, penulis mengikuti penjelasan Boelaars (1991 [2005]: 104, catatan kaki no. 3) sebagai berikut: “[p]engertian “Gereja mandiri” jangan diartikan “otonom”, tanpa ikatan lagi dengan Gereja semesta. Ketika tahun pada tahun 1961 didirikan hierarki gerejawi di Indonesia, Gereja Indonesia menurut Hukum Gereja bukan “daerah misi” lagi, dengan kata lain “mandiri”, terlepas dari Belanda, tetapi tidak terlepas dari Gereja semesta”. Dalam pengeritan ini, seperti yang ditulis Erb (2006: 2008), Gereja Katolik Flores, “[p]ada tahun 1980an […] tidak lagi bergantung pada bantuan dari misionaris Eropa dalam kaitan dengan bantuan keuangan dan personel.”
[22]Romo Simon Nama Pr, wawancara pribadi, Ruteng, 28 Oktober 2012.
[23]Bhaghi, Orang Miskin Dilarang…
[24]Ibid.
[25]Tolo, E.Y.S. (2018). Agrarian Change in Rural Flores, Indonesia: Class Dynamics, the Dynamics of Accumulation and International labour Mingration. Master Thesis, School of Social & Political Scinces and Melbourne School of Government, the University of Melbourne, Australia.
[26]Berdasarkan riset saya, penggalangan sumbangan pendidikan juga digalakan oleh beberapa seminari menengah lainnya dan seminari– seminari tinggi, juga sekolah-sekolah Katolik non-seminari, di Flores dalam beberapa tahun terakhir.
[27]Bahkan corak permintaan dana sumbangan seperti ini tidak saja dilakukan oleh sekolah Katolik secara khusus. Gereja Katolik muda itu sendiri melakukan hal yang sama. Beberapa waktu yang lalu, seorang uskup di Flores menulis “surat cinta” kepada umat Katolik di Flores agar memberikan sumbangan kepada Gereja Katolik muda di Flores, yang kadang-kadang dana sumbangan ini dikorupsi oleh pihak Gereja Katolik. Korupsi dalam Gereja Katolik di Flores pernah dilakukan oleh uskup Ruteng, Hubertus Leteng, yang telah dinon-aktifkan dari tugas sebagai uskup Ruteng, tetapi nanti akan ditugaskan kembali di Keuskupan Bandung, yang akhir-akhir ini menuai protes dari beberapa kalangan umat Katolik di Flores hari ini.
[28]Bhaghi, Orang Miskin Dilarang…
[29]Biaya studi di seminari tinggi sangat murah (bahkan gratis, terutama untuk calon imam dari tarekat religius tertentu). Di seminari tinggi di Flores, calon iman diosesan biasanya membayar sedikit biaya kuliah, makan minum dan akomodasi, sedangkan calon imam tarekat religius, seperti SVD, Scalabrinian, Rogasionist, Carmel dan beberapa yang lain, biasanya nyaris gratis, kecuali diminta sumbangan tidak wajib tertentu saja yang sangat kecil dan murah. Sebaliknya, biaya studi yang mahal itu hanya di seminari-seminari menengah pertama dan menengah atas. Alasannya, menurut hemat saya, para calon imam di seminari tinggi sudah memiliki orientasi yang lebih jelas untuk menjadi imam Katolik, baik iman diosesan maupun imam tarekat religius tertentu.
[30]Kompas 24/10/2014.
[31]Bhaghi, Orang Miskin Dilarang…
[32]Kletus Dhone (bukan nama sebenarnya), wawancara pribadi, Boawae, 14 Desember 2018.
[33]Gaji karyawan yang bekerja di lembaga atau institusi Gereja Katolik pada umumnya sangat rendah. Seperti informasi dari beberapa responden saya, para imam Gereja Katolik di Flores tidak memiliki pengalaman hidup susah dalam berkeluarga, seperti masyarakat awam. Karena itu, ketiadaan pengalaman berkeluarga, pemberian gaji kepada pekerja dan karyawan kadang tidak cukup bagi keluarga mereka untuk bersubsistensi, apalagi untuk mengirimkan anak-anaknya ke Perguruan Tinggi.
[34]Remond Nipa (bukan nama sebenarnya), wawancara pribadi, Boawae, 4 Desember 2018; Paulinus Dina (bukan nama sebenarnya), wawancara pribadi, Boawae, 23 Agustus 2018.
[35]Informasi ini diperolah dari daftar gaji guru honor komite dan honor yayasan SMA St. Fransiskus Xaverius, Boawae, Flores, NTT tertanggal 2 Desember 2018 dan ditandatangani oleh Kepala Sekolahnya, Bronu Kewo Ule, S.Fil.
[36]Remond Nipa (bukan nama sebenarnya), wawancara pribadi, Boawae, 4 Desember 2018.
[37]Para karyawan di kebun, di kandang ternak dan di dapur di sekolah-sekolah seminari di Flores dan sekolah non-seminari di Flores, seperti SLTP dan SMA St. Klaus, Kuwu, Cumbi, Ruteng, dibayar sangat murah, jauh di bawah UMP NTT. Untuk mendapat angka gaji yang pasti hari ini, saya perlu melakukan penelitian lebih jauh. Sayang sekali, saya belum bisa melakukan itu hingga menulis tulisan ini. Namun, data-data lama yang saya punyai dan juga hasil diskusi saya dengan teman-teman yang dididik dan pernah bekerja sebagai karyawan di sekolah-sekolah Katolik di masa lalu, menegaskan bahwa gaji para karyawan yang bekerja di dapur, kebun dan kandang-kandang ternak di sekolah-sekolah Katolik di Flores biasanya dibayar sangat murah, jauh di bawah UMP NTT. Gereja Katolik muda, dalam hal ini, belum sepenuhnya melaksanakan apa yang mereka ajarkan. Kata dan perbuatan tidak satu. Karena itu, bagi saya, seperti yang saya pernah tulis di tempat lain (Tolo 2016), kemiskinan di Flores salah satunya disebabkan oleh keberadaan Gereja Katolik muda di Flores hari ini.
[38]Soal korupsi yang dilakukan oleh para imam Katolik di Flores, Romo Yos, pastor paroki St. Fransiskus Xaverius, Boawae hari ini, pada tahun 2016 (sayang sekali, ringkasan kotbahnya hilang dan, karena itu, saya tidak bisa menemukan tanggal dan bulan yang pasti), dalam kotbahnya di hari Minggu di gereja St. Fransiskus Xaverius, Boawae, pernah secara terus terang mengatakan demikian: “banyak pastor yang korupsi di Gereja Katolik di Flores hari ini, hanya saja kalian umat takut untuk mengoreksi dan melapornya.”
[39]George Hormat Kulas, diskusi dengan penulis dan tiga mahasiswa PMKRI Kupang, Kupang, 21 November 2018.
[40]Dalam kurun waktu 2005-2010, pertumbuhan ekonomi NTT 4,7 persen per tahun. Prosentase kemiskinan terus menurun dari 25.68% pada tahun 2008 menjadi 20,88% di tahun 2012. Namun, penurunan kemiskinan itu tidak diikuti dengan pemerataan ekonomi. Data menunjukkan bahwa koefisien gini NTT sudah mencapai angka 0,38 (2014), dan dari total total 4,8 (2014) juta penduduk terdapat lebih dari 1 juta penduduk miskin, walaupun pertumbuhuan ekonomi mencapai 6,25 persen (2014) dengan pendapatan perkapita sekitar 7,8 juta (BPS 2014). Secara ekonomi politik, koefisien gini di atas 0,40 berpotensi menimbulkan konflik sosial yang termanifestasi dalam gesekan sosial lainnya yang seolah-olah bukan akibat kesenjangan ekonomi, seperti masalah ras, etnis dan agama seperti yang terjadi di Indonesia saat ini yang mana koefisien gininya sudah mencapai 0, 41 (2014). Bagi saya, pendidikan-pendidikan sekolah Katolik (juga Protestan), baik seminari maupun non-seminari yang bermutu, turut meningkatkan kesenjangan ekonomi ini, sebab hanya golongan anak orang-orang berduit yang bisa mengakes pendidikan bermutu di sekolah-sekolah Katolik dan Protestan di NTT hari ini. Lihat, Wuryandari, G. (Ed.). (2015). Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Analisa Pelaksanaan Kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[41]Ibid.
[42]Bhaghi, Orang Miskin Dilarang…
[43]Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks. New York: International Publisher.
[44]Hadiz, V.R. (2016). Islam Populism in Indonesia and the Middle East. England: Cambridge University Press.
[45]Molnar, Christianity and Traditional Religion…
[46]Eki, A.T. (2002). International Labour Migration from East Flores to Sabah Malaysia: Study of Patterns, Causes and Consequences. Unpublished PhD Thesis, Department of Geographical and Environmental Studies, Adelaide University; Allerton, C. (2013). Potent Landscape. Honolulu: University of Hwai’i Press; Goma, J. N., Mantra, I. B., & Bintarto, R. (1993). Labor Force Mobility from East Flores to Sabah Malaysia and the Extent of the Influence in the Village Origin: A Case Study at Nelereren Village. BPPS-UGM, 6(4A), 401-412; Goma, J.N. (1993). Mobilitas Tenaga Kerja Flores Timur ke Sabah Malaysia dan Pengaruhnya Terhadap Daerah Asal: Studi Kasus Desa Nelereren Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur. Unpublished Master Thesis, Yogyakarta: Gadjah Mada University, Indonesia; Tirtosudarmo, R. (2015). On the Politics of Migration: Indonesia and Beyond. Jakarta: LIPI press; Williams, C. P. (2008). Female Transnational Migration, Religion and Subjectivity: The Case of Indonesian Domestic Workers. Asia Pacific Viewpoint, 49(3), 344-353; Williams, C. P. (2005). ‘Knowing One’s Place’: Gender, Mobility and Shifting Subjectivity in Eastern Indonesia. Global Networks, 5(4), 401-417.
[47]Berdasarkan temuan saya, di Flores, dengan semakin banyak serikat religius Katolik yang ‘menggempur’ Flores untuk mendapatkan calon misionaris bagi serikat religiusnya di sebuah pulau yang miskin, yang mana banyak anak muda dan mudi di Flores dari keluarga petani miskin menghindari kemiskinan dengan menjadi misionaris baik menjadi suster, seperti saudari Bhaghi (2018), maupun imam, hari ini, di Flores, justru semakin banyak anak muda dan mudi menjadi imam Katolik dan suster Katolik walau mereka tidak bersekolah di sekolah-sekolah seminari dan sekolah-sekolah Katolik bermutu non-seminari yang dikelolah oleh Gereja Katolik muda dan tarekat religius tertentu di Flores. Mereka-mereka ini umumnya, karena kemiskinannya, bersekolah di sekolah negeri atau sekolah swasta yang kurang bermutu di Flores. Namun, untuk mendapat prosentase yang lebih tepat dan lengkap tentang hal ini dibutuhkan riset yang lebih serius dan mendalam di masa depan.
[48]Dengan rendahnya ouput seminari yang menjadi imam Katolik hari ini, banyak kelas menengah atas di Flores yang bersembunyi di balik kata-kata Kitab Suci: “banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” Namun, bagi saya, selain ‘dicedok’ (dikeluarkan) dari seminari, para seminaris yang tidak ingin menjadi imam adalah pilihan bebasnya setelah memperhitungkan keunggulan koperatif yang diperolehnya dari pendidikan seminari untuk mencapai kesuksesan ekonomi-politik sebagai awam Katolik di kemudian hari.
[49]Paulinus Dina (bukan nama sebenarnya), wawancara pribadi, Boawae, 23 Agustus 2018.