Kredit ilustrasi: rtuc.wordpress.com
I. Pentingnya Partai Politik setelah Komune Paris
SETELAH kemenangan Jerman di Sedan dan penangkapan Bonaparte, rakyat Paris berbalik melawan Adolphe Thiers, dan pada 18 Maret 1871 memulai peristiwa politik besar pertama dalam kehidupan gerakan buruh: Komune Paris (Paris Commune). Tetapi selama “minggu berdarah” (21-28 Mei 1871), sekitar sepuluh ribu Communard (para pendukung Komune Paris) terbunuh dalam pertempuran atau dieksekusi secara sewenang-wenang; sebuah pembantaian paling berdarah dalam sejarah Prancis. 43.000 lainnya atau lebih ditawan, 13.500 di antaranya kemudian dijatuhi hukuman mati, dipenjara, di pekerja paksakan atau di deportasi. Sejak saat itu, Internasional berada di ambang badai, dituding sebagai provokator untuk setiap tindakan melawan kekuasaan yang mapan. “Ketika kebakaran besar melanda Chicago,” Marx merenung dengan ironi yang pahit, “surat kawat (telegram) di seluruh dunia mengumumkannya sebagai perbuatan terkutuk Internasional; dan yang sungguh menakjubkan bahwa gerakan keji itu tidak dikaitkan dengan badai yang menghancurkan West Indies”.
Namun demikian, pemberontakan Paris semakin memperkuat gerakan buruh, mendorongnya untuk mengambil posisi yang lebih radikal dan mengintensifkan militansinya. Pengalaman menunjukkan bahwa revolusi adalah mungkin, bahwa tujuannya dapat dan harus membangun masyarakat yang benar-benar berbeda dari tatanan kapitalis, tetapi juga bahwa, untuk mencapai ini, para pekerja harus menciptakan bentuk-bentuk asosiasi politik yang tahan lama dan terorganisir dengan baik. Ide-ide ini kemudian diperkenalkan dalam undang-undang (statuta) organisasi di Konferensi London pada September 1871. Salah satu resolusi yang disahkan di sana menyatakan: “bahwa untuk melawan kekuatan kolektif dari kelas-kelas berpunya, kelas pekerja tidak dapat bertindak, sebagai kelas, kecuali dengan membentuk dirinya menjadi sebuah partai politik (…); bahwa pengolompokkan kelas buruh ke dalam sebuah partai politik sangat diperlukan untuk memastikan kemenangan revolusi sosial dan tujuan akhirnya – penghapusan kelas-kelas”. Kesimpulannya jelas: “gerakan ekonomi [kelas pekerja] dan aksi politiknya menyatu tidak terpisahkan”.
Sementara Kongres Jenewa tahun 1866 menetapkan pentingnya serikat pekerja, Konferensi London 1871 menggeser fokus ke instrumen kunci lain dari gerakan buruh modern: partai politik. Bagi Marx, emansipasi diri kelas pekerja membutuhkan proses yang panjang dan sulit – kebalikan dari teori dan praktik dari Catechism of a Revolutionary-nya Sergei Nechaev yang dianjurkan oleh perkumpulan rahasia yang dikutuk oleh para delegasi di London, tetapi didukung dengan sangat antusias oleh Mikhail Bakunin.
Untuk semua klaim manfaat yang menyertainya, kejadian London dilihat oleh banyak orang sebagai campur tangan yang kasar. Tidak hanya kelompok-kelompok yang terkait dengan Bakunin tetapi hampir semua federasi dan seksi-seksi lokal menganggap prinsip otonomi dan menghormati realitas yang beragam telah menjadikan Internasional sebagai salah satu pilarnya. Kesalahan perhitungan dari Marx ini kemudian mempercepat krisis organisasi.
Pertarungan terakhir antara kelompok ‘sentralis’ dan kelompok ‘otonomis’ terjadi di Kongres Den Haag, pada September 1872. Menyadari pentingnya Kongres ini, Marx, dengan ditemani Engels, memutuskan untuk hadir secara pribadi. Inilah satu-satunya kongres Internasional yang dihadirinya. Seluruh sesi kongres ditandai dengan antagonisme dimana kedua kubu gagal mencapai kata sepakat, dan persetujuan atas resolusi dimungkinkan hanya karena komposisi yang terdistorsi. Bagaimanapun, setelah momen ini, partai dianggap penting untuk perjuangan proletariat: partai harus independen dari semua kekuatan politik yang ada dan akan dibangun, baik secara program maupun organisasi, berdasarkan konteks nasional.
II. Sumbangan Internasional kepada Marx
Hasil dari Konferensi London dan Kongres Den Haag secara signifikan memperburuk krisis internal, dengan tidak memperhitungkan suasana yang berlaku atau untuk menampilkan pandangan ke depan yang diperlukan guna menghindari menguatnya pengaruh Bakunin dan kelompoknya. Ini membuktikan kemenangan yang menghancurkan (Pyrrhic victory) buat Marx – yang, dalam upaya menyelesaikan konflik internal, akhirnya menonjolkan mereka. Namun demikian, tetap saja bahwa keputusan yang diambil di London hanya mempercepat proses yang sudah berjalan dan tidak mungkin dibalik.
Di samping seluruh pertimbangan-pertimbangan sejarah dan organisasional ini, terdapat juga pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya terkait penyebab utama krisis Internasional. Sebagaimana telah diingatkan Marx kepada para delegasi di suatu sesi Konferensi London tahun 1871, “pekerjaan Dewan telah menjadi sangat besar, yang diwajibkan untuk menangani masalah-masalah umum dan masalah nasional”. Internasional kini bukan lagi organisasi yang kecil seperti pada 1864, yang kakinya hanya ada di Inggris dan Prancis; ia kini telah berdiri di seluruh negara Eropa, dengan masalah-masalah dan karakter-karakternya yang khusus. Tidak hanya organisasi di mana-mana dirundung konflik internal, tetapi kedatangan para pendukung Komune yang mengungsi di London, dengan gangguan-ganguan baru dan muatan ide-ide yang beraneka ragam, menyebabkan tugas Dewan Umum untuk melaksanakan kerja-kerja penyatuan politik kian bertambah sulit.
Selama delapan tahun, Marx dengan sangat bersemangat aktif dalam Internasional. Sadar bahwa kekuatan buruh sedang mengalami kemunduran menyusul kekalahan Komune Paris – fakta paling penting saat itu baginya – ia kemudian mengabdikan sisa hidupnya untuk menyelesaikan Capital. Ketika ia menyeberangi Laut Utara menuju Belanda, ia merasakan bahwa pertempuran yang sedang menunggunya merupakan aktivitasnya yang terakhir sebagai seorang pelaku langsung aktivitas revolusioner itu.
Dari seorang sosok yang semula diremehkan pada pertemuan pertama di St. Martin Hall pada 1864, Marx kemudian diakui sebagai pemimpin Internasional, tidak hanya oleh para peserta kongres dan Dewan Umum, tapi juga oleh publik luas. Jadi, walaupun Internasional tentu berutang banyak hal pada Marx, Internasional juga telah mengubah hidupnya. Sebelum berdirinya Internasional, ia hanya dikenal di lingkaran kecil aktivis politik. Kemudian, dan di atas segalanya setelah Komune Paris – juga, tentu saja, publikasi karya besarnya pada 1867 – ketenaranya menyebar di kalangan revolusioner di banyak negara Eropa, keadaan dimana media menjulukinya sebagai “red terror doctor.” Dengan tanggung jawab yang melekat atas perannya di Internasional – yang memungkinkannya untuk mengalami langsung dari dekat begitu banyak perjuangan ekonomi dan politik – kemudian mendorongnya untuk melakukan refleksi yang mendalam akan komunisme dan memperkaya keseluruhan teori anti kapitalisnya.***
Bagian pertama artikel ini bisa di lihat di sini.
Marcello Musto (1976) adalah Professor bidang Teori Sosiologi di York University (Toronto). Ia telah menulis banyak buku dan artikel yang diterbitkan di lebih dari 20 bahasa. Di antaranya ia mengedit beberapa volume seperti Karl Marx’s ‘Grundrisse’: Foundations of the Critique of Political Economy 150 Years Later (Routledge, 2008); Marx for Today (Routledge, 2012); Workers Unite!: The International 150 Years Later (Bloomsbury, 2014). Ia juga menulis buku Another Marx: Early Manuscripts to the International (Bloomsbury, 2018) dan The Last Marx (1881-1883): An Intellectual Biography (forthcoming 2019). Tulisan-tulisannya tersedia di www.marcellomusto.org.