Kredit foto: aktual.com
PADA 13 Desember 2018 lalu, presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui akun Twitter-nya menyatakan kritik terhadap penyelenggaraan bantuan sosial. Bagi Jokowi, pemberian bantuan sosial oleh negara kepada sektor masyarakat yang membutuhkan adalah sesuatu yang tidak mendidik. Jokowi tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang sebenarnya dimaksud sebagai tidak mendidik dari bantuan sosial. Namun kita tidak butuh bantuan paranormal untuk menerka bahwa Jokowi tengah menggaungkan gagasan lama (usang?) tentang bantuan sosial sebagai suatu bentuk ketergantungan. Di balik gagasan ini, terdapat asumsi bahwa bantuan sosial oleh negara, atau apapun yang merupakan suatu bentuk perlindungan sosial oleh negara, hanya akan menciptakan warga negara yang pasif serta malas. Untuk itu, kewajiban negara bukanlah memberikan “ikan” namun harus menyelenggarakan “pancing” untuk warganya.
Masalahnya, gagasan yang seakan masuk akal ini sendiri lebih serupa dengan narasi mistis dewa-dewi Yunani dibandingkan sebagai suatu pernyataan yang akurat tentang kenyataan. Studi Banerjee, Hanna, Kreindler, dan Alken (2017) tentang perbandingan program bantuan tunai di empat wilayah Amerika Latin, Filipina, Indonesia, dan Maroko menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang sistematis bahwa bantuan tunai menyebabkan orang menjadi malas untuk bekerja. Pada kesempatan yang lain, studi eksperimental yang dilakukan Blattman, Green, Jamison, Lehmann, dan Annan (2015) pada pedagang kecil di Uganda menunjukkan bahwa bantuan tunai justru mendorong terjadinya peningkatan rata-rata jam kerja para pedagang kecil ini menjadi 61 persen.
Apa yang dapat disimpulkan dari studi-studi tentang bantuan sosial ini adalah dukungan finansial terhadap kelompok sosial yang rentan justru dapat memberdayakan kelompok sosial tersebut. Ketersediaan perlindungan sosial tertentu melalui dukungan finansial dapat menurunkan hambatan struktural yang seringkali membatasi pilihan seseorang untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan dengan penyelenggaraan perlindungan sosial melalui redistribusi kekayaan yang sistematis, seseorang dapat menggapai kehidupannya dengan lebih memuaskan, bebas, dan merdeka dibandingkan tanpa adanya dukungan sama sekali.
Pengalaman politik sosialis di masa lampau menunjukkan tendensi ini. Dalam kajian Ghodsee (2018) tentang kualitas hidup perempuan di era Sosialisme negara, ia menunjukkan bahwa dalam pengalaman aktivitas seksual perempuan pada saat itu, perempuan lebih puas dengan kehidupan seksualnya. Walau relasi laki-laki dan perempuan masih jauh dari hubungan yang non-patriarkis, perempuan lebih tidak tergantung terhadap laki-laki karena banyak aspek kehidupan perempuan yang dikelola oleh negara. Dengan adanya ketersediaan yang cukup atas fasilistas perawatan anak, investasi yang besar terhadap pendidikan serta lapangan kerja untuk perempuan, sampai dengan propaganda massif tentang peran penting perempuan di ruang publik, perempuan lebih memiliki kuasa untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya, termasuk juga untuk menentukan pasangan seksualnya.
Tentu saya tidak hendak mempropagandakan bahwa bantuan sosial sebagaimana yang ada sejauh ini harus diterima apa adanya. Bukan juga mengimbau secara absurd bahwa Jokowi perlu mengubah preferensi politiknya menjadi sosialistik. Apa yang hendak saya kemukakan di sini adalah sangat sederhana; perlunya kita mengafirmasi peranan negara dalam melakukan perlindungan sosial yang komprehensif terhadap warganya.
Afirmasi peran negara untuk menyediakan perlindungan sosial yang komprehensif semakin penting di tengah gembar-gembor Jokowi tentang pembangunan infrastruktur. Gerakan rakyat hampir dapat dikatakan luput (jika tidak dikatakan absen sama sekali) untuk menghubungan agenda pembangunan infrastruktur dengan kepentingan rakyat pekerja untuk mendapatkan perlindungan sosial. Misalnya tuntutan gerakan rakyat untuk pembangunan rumah sakit layak yang dapat digunakan oleh rakyat miskin, tuntutan pembangunan sumber daya energi murah yang ramah lingkungan atau pembangunan perumahan layak yang murah bagi seluruh rakyat. Absennya narasi untuk mengaitkan perlindungan sosial dengan pembangunan infrastruktur membuat agenda infrasturktur sepenuhnya menjadi ruang dominan bagi kepentingan modal. Konsekuensinya bisa kita lihat sekarang dimana agenda pembangunan infrastruktur menjadi agenda politik yang represif serta anti kerakyatan. Tanpa ada kontestasi gagasan (serta kekuatan tentunya) proses pembangunan infrastruktur yang ada tidak ada berubah sama sekali.
Afirmasi peranan negara untuk penyediaan perlindungan sosial juga membantu kita untuk memperluas horison tentang peranan negara dalam ekonomi. Selama ini kita selalu dijejali dengan ide bahwa sektor private memegang peranan penting dalam upaya pembangunan ekonomi nasional. Namun apa yang tidak pernah diungkap dari narasi ini adalah pembangunan ekonomi yang kuat justru memerlukan peranan negara yang dinamis. Sebagai contoh, kita sering menganggap bahwa kemajuan teknologi sebagaimana yang kita rasakan sekarang adalah buah dari inovasi perusahaan swasta multinasional seperti Apple, Google, atau Microsoft. Apa yang luput dari propaganda massif ini adalah bagaimana perusahaan teknologi informasi multinasional tersebut justru banyak mengembangkan produk-produknya dari program riset institusi yang dibiayai pemerintah Amerika Serikat seperti DARPA (Defense Advanced Research Project Agency) . Hasil riset yang diproduksi oleh DARPA menjadi embrio utama bagi banyak produk yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan teknologi informasi raksasa sekarang ini. Tanpa ada inisiatif publik seperti DARPA, sulit bagi kita untuk membayangkan adanya Revolusi 4.0 sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini.
Lembaga keuangan JP Morgan memprediksikan bahwa tahun 2020, dunia akan kembali mengalami resesi global . Di tengah potensi krisis masa depan, perjuangan untuk memastikan penyelenggaraan perlindungan sosial oleh negara tentu harus menjadi perhatian yang serius bagi seluruh elemen gerakan sosial. Respon krisis ekonomi melalui politik pengetatan anggaran yang membatasi pembiayaan untuk kepentingan public, sesuatu yang disukai oleh bayak kelas berkuasa, termasuk di Indonesia, harus mulai diantisipasi secara luas oleh gerakan social Indonesia. Bukan sekadar untuk memastikan bahwa rakyat tidak lagi menjadi korban, namun untuk memastikan bahwa krisis ekonomi jsutru menjadi peluang untuk memastikan kemenangan bagi gerakan rakyat itu sendiri.***
Kepustakaan:
Banerjee, A. V., Hanna, R., Kreindler, G. E., & Olken, B. A. (2017). Debunking the stereotype of the lazy welfare recipient: Evidence from cash transfer programs. The World Bank Research Observer, 32(2), 155-184.
Blattman, C., Green, E. P., Jamison, J., Lehmann, M. C., & Annan, J. (2016). The returns to microenterprise support among the ultrapoor: A field experiment in postwar Uganda. American Economic Journal: Applied Economics, 8(2), 35-64.
Ghodsee, K. R. (2018). Why Women Have Better Sex under Socialism: And Other Argument for Economic Independence. New York: Nation Books.