Sketsa karya Ellya Alexander Tebay (2011)
AKHIR Oktober 2011, saat itu Kota Timika masih berkecamuk demonstrasi pegawai PT Freeport Indonesia. Rentetan penembakan tidak juga kunjung berhenti. Saya mendarat di Bandara Moses Kalangin dengan perasaan waswas. Saya membaca surat kabar dan informasi beberapa kawan di Jayapura, suasana di Timika sedang tidak menentu, mirip dengan akronim Timika yaitu Tiap Minggu Kacau. Tapi saya beranikan diri untuk datang, hanya dengan satu tujuan: melihat sebenarnya apa yang terjadi.
Saya menyusuri jalan-jalan utama di Timika, ke pasar mama-mama, dan pusat kota. Seorang kawan di Keuskupan Timika membawa saya bertemu dengan seorang pendeta. Bapa pendeta baru tiba beberapa hari lalu. Ia adalah salah satu saksi hidup Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakheus, Padangbulan, Abepura pada 17-19 Oktober 2011. Ia termasuk satu dari sekian banyak peserta kongres yang selamat. Ia berhasil lari dari kepungan aparat keamanan yang membubarkan acara tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga bertindak brutal dengan melakukan kekerasan bahkan penembakan. Lebih dari 200 orang ditangkap, 3 orang dinyatakan meninggal, dan 5 orang ditetapkan sebagai tersangka makar. Salah satu hasil penting kongres tersebut adalah mendeklarasikan sebuah Negara Federasi Papua Barat.[1]
Bapa pendeta menerima saya di mata jalan (pinggir jalan). Ia berjalan perlahan dan mengajak saya menuju kebun di belakang sekolah teologi tempatnya mengabdi sebagai dosen. Saya sampaikan maksud kedatangan saya untuk mendengar kesaksiannya mengikuti Kongres Rakyat Papua III. “Anak, ini barang rahasia. Mari bapa cerita,” ujarnya. [2]
Bapa pendeta menunjukkan handphonenya. Saya membaca ada pesan singkat, yang katanya dari nomer Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua yang saat itu berada di dalam rumah tahanan Jayapura. Isinya, semua pimpinan KRP III yang ditangkap akan dilepas atas desakan dunia internasional. Setelah itu akan dikibarkan bendera Bintang Kejora sebagai pertanda telah lahir negara Papua Barat. “Barang de su jadi,” katanya untuk menunjukkan bahwa kemerdekaan, sebuah negara berdaulat bernama Papua Barat sudah terbentuk. “Tong su akhiri,” lanjutnya untuk menunjukkan bahwa penindasan dan masa kegelapan di bawah pemerintah Indonesia telah berakhir. Namun tidak satupun pesan singkat tersebut yang menjadi kenyataan. Forkorus Yaboisembut dan rekan-rekannya tersangka makar masih ditahan, tidak terjadi pengibaran Bintang Kejora, apalagi Papua merdeka.
Kosmologi
Di relung-relung hati orang Papua terdalam, selalu ada pengharapan datangnya “zaman bahagia”, sebuah massa berakhirnya penderitaan dan nyanyian pagi kemerdekaan dilantunkan . Jika kita menyelami dunia berpikir orang Papua, kerinduan akan datangnya masa “pembebasan” suatu saat nanti tak akan pernah luntur sedikitpun . Alm. Muridan S. Widjojo dengan sangat baik pernah menuliskan:
Sekitar 1970-an lalu, di Desa Keikwa, pantai selatan Papua, seorang paitua Kamoro sedang duduk memandang laut lepas. Ia ditanya pastor tua Frankenmollen, apa yang sebenarnya ia pikirkan tentang keberadaan Belanda, Jepang, dan kini Indonesia. Dengan enggan paitua itu menjawab, “Bapa, dulu Belanda datang, lalu ada datang Jepang, dan sekarang Indonesia. Kitorang sekarang ada tunggu siapa lagi yang akan datang. [3]
Orang Kamoro selalu merindukan kedatangan leluhur, nenek moyang mereka, yang akan kembali ke kampung untuk menyelamatkan kehidupan mereka dari kesulitan. Mereka akan menjadi makmur. Widjojo (2000) melanjutkan bahwa rakyat Papua tidak pernah lelah menagih janji pada nenek moyangnya. Berbagai kekecewaan dan kegagalan gerakan mistis kargoisme di masa lalu tidak pernah memutus asa untuk meniti penantian baru. Penantian itu kini mendapatkan bentuknya dalam perjuangan “Papua Merdeka”. “Merdeka” bagi rakyat Papua di pedalaman adalah kegairahan penantian sekaligus harapan baru.
Akar gerakan-gerakan keselamatan, kultus kargo (cargo cult), dan pandangan messianistic pengharapan munculnya kebahagiaan dan kebebasan memiliki sejarah panjang di Papua. Gerakan messianistic ini lahir hampir bersamaan dengan masuknya injil dan nilai-nilai kekristenan yang masuk ke Papua tahun 1855 melalui zendeling. Ottow dan Geisler. F.C Kamma, seorang zendeling yang bertugas di Papua, pernah mencatat bahwa gerakan cargo cult khususnya terjadi di Biak terjadi sekitar tahun 1855 dengan mitos Manarmakeri/Mansren Manggundi (Kamma 1972; Sterlan dan Godschalk 1989: 6). Manarmakeri adalah mitologi tentang lelaki bujang yang kudis namun membawa berita koreri, rahasia kebahagiaan, kebebasan, dan hidup kekal saat sampari (bintang pagi) muncul.
Sketsa karya Ellya Alexander Tebay (2011)
Alam berpikir orang Papua selalu menyiratkan hal ini. Transformasi selalu terjadi dan menemukan konteks zamannya. Radongkir (2001: 283) menafsirkan dengan baik sekali bahwa telah terjadi transformasi dalam alam berpikir “zaman pembebasan” ini. Ia menuliskan telah munculnya nilai-nilai baru yang diadopasi ke dalam gerakan Koreri, salah satunya dengan memperjuangkan kemerdekaan politik Papua. Spiritnya tetap sama (keyakinan datangnya masa pembebasan) tapi selalu menemukan konteks zamannya. Kini zamannya adalah kemerdekaan Papua.
Jika kita mencoba memahami spirit “ideologi pembebasan” kultus kargo ini, kelangsungannya semakin dikuatkan dengan pengalaman kekerasan dan penderitaan yang tiada tara. Kisah kekerasan dan penderitaan itulah yang semakin mendorong transformasi kultus kargo menjadi perjuangan kemerdekaan Bangsa Papua. Semakin rakyat Papua disakiti, imajinasi pembangunan sungguh jauh dari bayangan
Jika menelisik lebih jauh, orang Papua memahami sejarah kebudayaan manusia itu seperti episoda atau babakan-babakan tertentu yang terus-menerus berganti. Kejadian dan aktor dari babakan yang satu diganti dengan aktor dari babakan lain, yang kadang-kadang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Giay (2000: 9-10) dengan tajam mengungkapkan:
…dengan mengikuti alur berpikir filsafat episoda atau babakan ini, orang Papua mengatakan bahwa sejarah Papua itu mengikuti episode berikut: ada episode dimana orang Papua berkuasa di atas tanahnya sendiri, lalu diganti dengan babakan berikut dengan kedatangan utusan injil Barat. Babakan ini disusul lagi dengan babakan kedatangan orang Belanda, lalu diganti lagi dengan masa pendudukan Jepang dan terakhir kedatangan Indonesia. Episoda berikut setelah Indonesia adalah: Papua merdeka dan babakan terakhir adalah kedatangan Kristus (episode yang ditafsirkan dari sudut pandangan Kristen). Berangkat dari pemahaman demikian, orang Papua berpandangan bahwa menjadi bagian dari Republik Indonesia itu hanyalah transit sementara, bukan terminal akhir.
Negara Indonesia sangat takut Papua akan merdeka menjadi sebuah negara sendiri. Jika kita tanpa pamrih “membebaskan” orang Papua , kenapa mesti takut? Kita sebenarnya bisa dengan hati terbuka dan penuh kasih membukakan jalan bagi orang Papua menuju pembebasan sejatinya. Saat “mengintegrasikan” (menganeksasi?)Papua ke dalam negara ini, sudah pasti di Bumi Cenderawasih itu bukan tanah kosong. Di tanah yang kaya itu, terdapat pemilik sah tanah leluhur mereka, yaitu orang Papua sendiri dengan beragam komunitas etnik, bahasa, dan budayanya. Jika kita beritikad “memerdekakan” orang Papua dari penjajahan, semestinya baku tipu (saling menipu) peristiwa Pepera 1969 tidak terjadi. Kita akan dengan bermartabat membebaskan rakyat Papua untuk berjuang menjadi merdeka dalam menentukan keputusannya, seperti juga kita yang berjuang merebut kemerdekaan dari Belanda. Namun watak bekas negari jajahan yang ingin mencoba latihan menjajah wilayah lain tak terhindarkan. Dari bekas terjajah, kini menjadi penjajah (baru).
Sayang hal itu tidak negara ini lakukan saat ini. Nasi telah menjadi bubur. Kita harus mengakui bahwa kita pamrih. Banyak dari kita yang serakah dan berkepentingan dalam mengeruk kekayaan di tanah Papua. Keculasan kita berawal dari sini. Selain pamrih ekonomi tersebut, dari lubuk hati kita terdalam, kita belum menganggap orang Papua itu sederajat dengan kita dalam kehidupan bernegara. Kita seolah menyerap perlakuan kolonialistik penjajah untuk kita praktikkan terhadap Papua. Catatan rasisme dan diskriminasi yang dialami oleh anak-anak muda Papua, pembungkaman disertai kekerasan yang menyuarakan aspirasinya, adalah beberapa contoh saja.
Tragedi demi tragedi diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada orang Papua tentu saja akan menambah luka. Luka yang menjadi tak mungkin tersembuhkan. Luka tersebut justru akan menjadi borok. Di tengah penderitaan yang tanpa henti dalam pendudukan negara ini, rakyat Papua akan selalu merindukan datangnya “zaman pembebasan”. Melanjutkan kekerasan berarti meneguhkan tekad rakyat Papua untuk terus dan terus memanjatkan doa kemerdekaan.***
Sydney – Denpasar, Desember 2018
I Ngurah Suryawan, antropolog yang menekuni studi tentang Papua. Bukunya (cetak ulang), Jiwa yang Patah: Rakyat Papua, Sejarah Sunyi, dan Antropologi Reflektif (akan terbit 2019).
———-
[1] Mengenai kekerasan dalam Kongres Rakyat Papua III Oktober 2011, lihat beberapa perspektif berita dari media nasional Jakarta, media lokal di Jayapura, dan catatan sebuah LSM Papua: https://nasional.kompas.com/read/2011/10/20/15255131/lima.orang.papua.disangka.makar; https://tabloidjubi.com/arch/2011/10/27/kongres-rakyat-papua-iii-bukan-makar/; https://www.jeratpapua.org/2014/07/24/mengenang-kongres-berdarah-abepura/ (diakses 8 Desember 2018).
[2] Catatan lapangan 28 – 29 Oktober 2011 di Kota Timika, Papua.
[3] Lihat Muridan S. Widjojo, “Papua Merdeka, Suatu Babak Penantian”, Kompas, 19 Juni 2000