Kredit ilustrasi: es.123rf.com
Kawan-kawan,
RENTANG fluktuasi harga yang ekstrim baru-baru ini dan penurunan tajam di pasar saham AS, kembali menggarisbawahi ketidakstabilan kapitalisme. Seperti yang kini dicatat banyak komentator, kemerosotan ekonomi lainnya kembali membayangi. Kita tahu bahwa semua reformasi dan peraturan yang diberlakukan setelah Depresi Besar pada 1930-an gagal mencegah baik penurunan yang lebih kecil dalam rentang periode 1941 dan 2008, dan kemudian krisis besar lainnya pada tahun 2008. Ketidakstabilan kapitalisme, selama berabad-abad, menolak semua upaya untuk mengatasinya dengan atau tanpa intervensi pemerintah. Namun, ilmu ekonomi arus utama umumnya menghindari konfrontasi jujur dengan biaya sosial dari ketidakstabilan ekonomi semacam itu. Lebih buruk lagi, ia menghindari debat langsung dengan kritik Marxian yang menghubungkan biaya-biaya tersebut pada argumen bahwa perubahan sistem akan menjadi solusi terbaik dan paling “efisien”.
Dalam pengajaran ilmu ekonomi hari-hari ini, sebagian besar profesor AS memuji “pasar bebas.” Mereka bersikeras bahwa hasilnya (harga, pendapatan, suku bunga, dan sebagainya) mengalir dari individu-individu egois (self-interested individuals) yang melakukan tawar-menawar secara bebas atas interaksi ekonomi mereka (membeli, menjual, meminjam, meminjamkan, bekerja, dan sebagainya). Hasil pasar, mereka ajarkan, secara unik stabil, efisien dan, tentu saja optimal dalam beberapa lingkup pengertian sosial (atau setidaknya dalam pengertian Vilfredo Pareto). Menurut ideologi ini, perekonomian akan bekerja dengan baik jika kita membiarkan sihir pasar bekerja tanpa gangguan.
Guru-guru yang baik menjelaskan bahwa dibutuhkan serangkaian – tentang kondisi-kondisi sosial yang perlu ada – agar pasar bebas bisa menghasilkan hal-hal yang luar biasa ini. Tetapi sebagian besar mahasiswa meninggalkan kelas ekonomi mereka dengan pengertian yang lebih sedikit ketimbang ideologi pasar bebas ini. Mereka keluar dengan keyakinan bahwa pasar bekerja dengan buruk ketika pemerintah campur tangan dengan memengaruhi harga, pendapatan, suku bunga, dan sebagainya.
Ideologi pasar bebas mengalami hantaman besar pada 1930-an. Sebabnya tahun-tahun sebelum krisis 1929 tampak bahwa ideologi yang sedang berkembang mekar itu mendapatkan cipratan keuntungan dari “Ledakan 20an/Roaring Twenties.” Menyusul Depresi Besar yang mengerikan satu dekade setelah 1929, terlihat bagaimana hujatan telah menggantikan pujian terhadap ideologi pasar bebas. Kapitalisme privat dan liar kini dipandang sebagai masalah sehingga intervensi pemerintah merupakan solusi yang diperlukan. Sebuah paradigma ekonomi baru yang dipelopori oleh John Maynard Keynes, menggantikan ideologi pasar bebas dari 1930-an hingga 1970-an. (Profesor makroekonomi saya, James Tobin, adalah seorang Keynesian yang antusias. Ia membumbui kuliahnya dengan pukulan keras pada “ortodoksi” pasar bebas dan pendukung doktrinernya, Milton Friedman).
Seluruh paruh kedua abad ke-20 dalam ilmu ekonomi adalah pengulangan tanpa akhir dari pertarungan ideologi pasar bebas (atau “neoklasikal” ekonomi) versus ekonomi Keynesian (atau perlunya ideologi intervensi pemerintah). Kedua belah pihak, dalam perdebatan ini, tak jarang bersikap emosional terhadap yang lain. Sehingga itu tak jarang pendukung satu sisi akan memblokir pengangkatan profesor dari sisi lain, di mana dan kapan pun mereka bisa.
Namun kedua kubu juga menyetujui beberapa poin mendasar. Pertama, masing-masing pihak mengatakan bahwa formulasinya penting untuk melayani dan menyelamatkan kapitalisme. Kaum neoklasik mencela kaum Keynesian karena membenarkan suatu negara intervensionis yang mau tidak mau akan menjuruskan ke sosialisme. Keynesian mencemooh kritik itu dengan menunjukkan bahwa mengikuti ideologi pasar bebas akan menyebabkan Depresi Besar yang lebih parah, yang nantinya akan mendorong massa rakyat berbalik melawan kapitalisme itu sendiri. Kedua, kedua pihak bersikeras bahwa perdebatan di antara mereka adalah perdebatan utama dalam ilmu ekonomi. Ketiga, kedua belah pihak sepakat bahwa ekonomi Marxian adalah salah, tidak relevan dengan “ilmu ekonomi modern” dan oleh karena itu para profesor Marxis tidak boleh dan harus ditolak untuk menjadi pengajar di institut dan universitas. Tetapi mereka sepakat untuk mengakomodasi politik Perang Dingin saat itu. Bersama-sama, kedua belah pihak telah mencerabut dua generasi rakyat Amerika dari setiap pengajaran berkelanjutan tentang kritik mendasar kapitalisme. Para guru, jurnalis dan politisi yang diajar oleh kedua generasi tersebut tidak memiliki pemahaman terhadap kritik Marxis tentang kapitalisme (mereka sendiri berkembang di abad ke-20), dan tidak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan atau menerapkan wawasan mereka untuk analisis atau kebijakan ekonomi. Di dua generasi ini, teori Marxis diguncang oleh dan bereaksi besar terhadap kebangkitan ekonomi Uni Soviet hingga 1975 yang kemudian mengalami penurunan hingga kebangkrutannya pada tahun 1989, perpecahan Soviet-Cina dan pengaruh Mao, pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat pesat pasca 1990an, dan naiknya Euro-komunisme di Eropa Barat. Konsep-konsep dasar analisis Marxis – kelas dan perjuangan kelas, nilai dan harga, dan sebagainya – menjadi subjek kritik dan perdebatan yang muncul dalam konsep-konsep baru yang diterapkan pada masalah pembangunan ekonomi, organisasi perusahaan pasca-kapitalis, peran demokrasi dalam ekonomi sosialis, dan seterusnya.
Kejadian-kejadian semenjak krisis 2008 memang telah berdampak pada pendidikan ekonomi formal di AS, tetapi sejauh ini hanya sedikit. Alasan paling sederhana untuk kelambatan itu adalah bahwa profesor ekonomi disediakan masa jabatan sejak dari usia yang cukup muda. Sebagian besar kemudian menetap pada posisi-posisi fakultas dalam jangka panjang sehingga membuat mereka bisa memiliki kekuasaan atas kurikulum dan keputusan perekrutan. Krisis memang telah menggeser beberapa ekonom neoklasik ke posisi Keynesian dan memperkuat komunitas akademis Keynesian dan Marxian yang relatif lemah. Tetapi secara keseluruhan, sejauh ini para profesor ini tetap berpegang pada disposisi neoklasik. Hal ini terus dilakukan dalam menghadapi intervensi besar pemerintah Trump dalam ekonomi dengan pemotongan pajak besar-besaran, defisit anggaran, pemaksaan tarif, perang dagang, dan sebagainya.
Tentu ada kemungkinan yang lebih besar saat ini ketimbang di tahun 1960-an untuk melakukan terobosan politik.
Situasinya sangat berbeda di media massa, pendidikan informal dan dunia media sosial. Dalam bidang-bidang ini, kapitalisme sekarang jauh lebih luas dikritik dan ditolak dibandingkan saat-saat lain pada setengah abad yang lampau. Para pembela sosialisme juga telah kembali. Gerakan Occupy Wall Street pada tahun 2011, kemudian kampanye Bernie Sanders pada tahun 2016, dan jumlah kandidat yang secara terang-terangan mendaku sosialis yang tumbuh pesat di pemilu AS saat ini, menyebabkan terjadinya lonjakan pemikiran ekonomi yang sangat berbeda dari ekonomi neoklasik arus utama yang bercokol di dunia akademis. Memang para pengajar arus utama itu tengah mengalami kesulitan besar dalam mempertahankan minat siswa, apalagi kesetiaan. Tetapi, pada akhirnya, kelompok dominan/elite lah yang mengendalikan ilmu ekonomi: entitas yang tidak melihat kehancuran yang terjadi pada tahun 2008 dan terus berlangsung hingga kini itu seolah-olah tidak pernah terjadi dan seolah-olah tidak menghasilkan “dekade yang hilang” bagi jutaan orang.
Pada dekade 1960-an terjadi pemutusan yang serupa. Saat itu Keynesian lagi dominan di banyak departemen ekonomi di seluruh negeri. Murid-murid mereka terpukau pada aktivisme hak-hak sipil, Mahasiswa untuk Masyarakat Demokratis (Students for a Democratic Society), dan gerakan-gerakan terkait yang menentang Perang di Vietnam, yang secara serius mempelajari pemaparan Michael Harrington tentang Amerika “yang lain” yang miskin dan terpinggirkan, dan melansir feminisme modern. Bagi mereka, ekonomi Keynesian sudah tua dan hambar, hanya peduli dengan pengangguran ketika isu-isu panas menyangkut jenis pekerjaan, kekuasaan, pertalian dan kehidupan apa yang bisa diharapkan atau diraih oleh generasi baru. Para mahasiswa ekonomi muda dalam jumlah yang signifikan kehilangan kesabaran dengan Keynesian lama dan ideologi sempit (Perang Dingin) mereka sehingga membatasi kritik-kritik dan dan kepedulian sosialnya. Para mahasiswa itu kemudian membentuk kelompok-kelompok studi dan Persatuan Ilmu Ekonomi Politik Radikal (the Union for Radical Political Economics) (sebagai alternatif dari Asosiasi ilmu Ekonomi Amerika (American Economic Association) lama yang mapan). Banyak dari mereka yang menemukan jalan ke Marx dan Marxisme, dan menentang hal-hal yang dilarang Perang Dingin yang diterima dan ditegakkan oleh Keynesian liberal. (Profesor Tobin memperingatkan saya secara pribadi untuk tidak membahayakan karir saya dengan mengikuti “hal-hal Marxian ini.”)
Dalam beberapa tahun terakhir, para mahasiswa sejauh ini telah melakukan serangkaian tindakan terbatas menentang ortodoksi neoklasik di kampus-kampus mereka. Mahasiswa Harvard, misalnya, memprotes mata kuliah pengantar ilmu ekonomi dari Profesor Gregory Mankiw karena presentasi lapangan yang terlalu berat sebelah. Ketika ketidaksetaraan ekstrim kapitalisme AS semakin mendalam, hal itu memancing lebih banyak tantangan. Begitu juga dengan subordinasi profesi terhadap pemerintah yang mencibir ortodoksi perdagangan bebas dipelintir oleh kalangan neoklasik dan dengan bangga mengikuti proteksionisme yang oleh kaum neoklasikal ajarkan kepada kita untuk ditolak. Menyusutnya dukungan publik terhadap pendidikan tinggi juga merongrong apa yang dimiliki oleh universitas-universitas negeri kecil yang independen secara ideologis. Perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah negeri saat ini bergantung pada hibah dan kontrak dengan bisnis, dan donasi dari alumni kaya yang dengan berbagai cara mendukung ilmu ekonomi neoklasik dan menolak semua perspektif alternatif. Skandal yang muncul di sekitar “hadiah” mengikat dari Koch Brothers kepada para akademisi di departemen-departemen ekonomi, adalah contohnya.
Keputusan dari banyak mahasiswa ekonomi terbaik pada 1960-an dan 1970-an untuk melepaskan diri dari ortodoksi neoklasik terjadi tanpa ketidakpuasan massa dari kapitalisme. Dan itu adalah masalah yang sangat mendalam. Jarak mahasiswa kritis dari rakyat kebanyakan dan terutama pekerja urban dan liberal terbukti menjadi hambatan serius untuk mempertahankan, apalagi memperdalam kritisisme para mahasiswa itu. Ini juga menghalangi kemungkinan aliansi mahasiswa-pekerja yang mungkin telah tumbuh menjadi kekuatan politik kiri yang kuat.
Kita semua akan menjadi lebih baik ketika kepicikan ilmu ekonomi saat ini dibuka untuk memasukkan lebih banyak proposal-proposal dasar untuk perubahan yang memadai bagi kedalaman ruang lingkup masalah-masalah kapitalisme saat ini.
Situasinya sangat berbeda kali ini. Mahasiswa ekonomi telah diprovokasi tidak hanya oleh realitas ekonomi di sekitar mereka tetapi juga oleh gerakan massa orang di luar dunia akademis. Gerakan itu menemukan Partai Demokrat tradisional sangat tidak memadai sebagai kendaraan bagi perubahan yang anggotanya dianggap perlu. Dalam pertemuannya di sekitar Bernie Sanders dan yang lain, diakui bahwa ukurannya telah siap untuk pembangunan sebuah kekuatan politik. Singkatnya, ada sekutu bagi mahasiswa yang memisahkan diri dari ortodoksi neoklasikal kepada pendekatan untuk kerja bersama. Hasilnya, mungkin ada kemungkinan yang lebih besar saat ini bagi terobosan politik kiri dibandingkan yang terjadi di tahun 1960-an.
Dalam tradisi Marxian yang luas, beberapa aliran menawarkan analisis dan kebijakan yang berbeda secara tajam dari apapun yang ditawarkan oleh ekonomi neoklasik atau ekonomi Keynesian. Untuk mengambil mungkin contoh yang paling jelas, banyak Marxis fokus pada posisi kapitalis yang tidak demokratis dalam perusahaan (pemilik perorangan dan dewan direksi perusahaan). Keputusan mereka tentang apakah dan bagaimana menginvestasikan pendapatan bersih menentukan bentuk makroekonomi untuk semua. Minoritas yang berfokus pada keuntungan perusahaan sebagai “hal terpenting/the bottom line” membuat keputusan yang berdampak pada pekerjaan, pendapatan, utang, dll. dari mayoritas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara demokratis. Harapan, keinginan, dan “roh kebinatangan” minoritas ini (sebagaimana dikatakan Keynes) menyebabkan ketidakstabilan, dalam pandangan Marxian. Saran kebijakan yang muncul dari pandangan itu berfokus pada program untuk “mendemokratisasikan perusahaan” sebagai solusi untuk ketidakstabilan. Mengganti hirarki perusahaan kapitalis yang tidak demokratis dengan koperasi pekerja yang terorganisasi secara demokratis – di mana masing-masing anggota perusahaan memiliki satu suara dalam memutuskan hal-hal penting, seperti keputusan investasi – adalah langkah maju yang dilarang baik oleh para ekonom neoklasik maupun Keynesian untuk diperdebatkan di forum publik dan akademis. Kita semua akan menjadi lebih baik ketika kepicikan ilmu ekonomi saat ini dibuka untuk memasukkan lebih banyak proposal-proposal dasar untuk perubahan yang memadai bagi kedalamam ruang lingkup masalah-masalah kapitalisme saat ini.***
Richard D. Wolff adalah pensiunan professor ilmu ekonomi di Universitas Massachusetts, Amherst, dimana ia mengajar ilmu ekonomi dari tahun 1973 hingga 2008. Saat ini adalah profesor tamu di program pasca sarjana hubungan internasional di Universitas New School, New York City. Richard juga secara regular mengajar kelas-kelas di Brecht Forum di Manhattan. Bukunya antara lain: Capitalism’s Crisis Deepens: Essays on the Global Economic Meltdown( 2016); Democracy at Work: A Cure for Capitalism (2012); Occupy the Economy: Challenging Capitalism (2012); Contending Economic Theories: Neoclassical, Keynesian, and Marxian (2012); dan Capitalism Hits the Fan: The Global Economic Meltdown and What to Do About It (2009). Arsip penuh dari karya Richard, termasuk video-video dan podcast-podcast bisa diperoleh di websitenya . Follow Richard di Twitternya: @profwolff