Berebut Perhatian Generasi Milenial

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Arry Rahmawan

 

PERHATIKAN mereka yang akan mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat tahun depan, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Para calon pejabat itu tampak sangat ingin menarik perhatian generasi milenial lewat materi kampanye yang dipasang di ruang public, baik secara tersirat maupun terang-terangan. Tidak heran sebab generasi milenial adalah calon pemilih terbesar di Pemilu yang akan datang.

Fenomena kampanye ala generasi milenial tersebut ditunjukkan dengan melihat berita dan materi kampanye calon maupun politisi petahana. Dari gaya pakaian, gaya hidup hingga slogan di baliho yang secara terbuka mengatakan bahwa mereka akan memperjuangkan aspirasi generasi milenial. Jokowi yang mengendarai motor atau Sandiaga yang kerap menggunakan jargon milenial dalam kunjungannya. Milenial bukan lagi rakyat yang kini menjadi kosakata yang segar dan menjual!

Generasi milenial sendiri didefinisikan dalam banyak pengertian. Namun sebagian besar sepakat generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam kurun waktu 1981-1996[1] dengan bermacam-macam predikat yang melekat pada diri mereka, seperti generasi yang akrab dengan teknologi terutama akses internet, generasi yang sangat mementingkan diri sendiri, serta cenderung pragmatis dalam urusan politik.[2]

Selain disebut sebagai generasi yang beruntung karena banyaknya akses pengetahuan yang dimiliki, ironisnya generasi ini juga mempunyai problemnya sendiri. Generasi ini sering diramalkan dalam berbagai penelitian sebagai generasi yang tidak akan mampu membeli rumah di masa depan, suka berpindah pekerjaan dan hanya fokus pada pribadinya masing-masing.[3]

Namun jika kita melihat lebih jauh tentang generasi milenial maka generasi ini bukanlah kelompok sosial yang tiba-tiba jatuh dari langit. Generasi milenial adalah generasi yang lahir di tengah masyarakat dan kondisi ekonomi-sosial-politik yang berkembang dari generasi sebelumnya. Ini artinya juga generasi milenial bukanlah generasi yang lahir di ruang hampa, generasi yang terlepas dari struktur masyarakatnya. Dengan menempatkan generasi milenial sebagai bagian dari struktur masyarakat, kita tidak bisa melihat problem generasi milenial sebagai masalah individu-individu belaka sebagaimana selama ini diwacanakan oleh media dan lembaga penelitian. Kita harus bisa menempatkan bahwa problem generasi milenial sebagai problem masyarakat kita saat ini yang hidup dalam sistem kapitalisme-neoliberal.

Kita ambil contoh tentang masalah ketidakmampuan generasi milenial membeli rumah, harus kita tempatkan pada kondisi ekonomi politik yang melingkupinya. Apakah generasi milenial dapat mengakses pendidikan tinggi sebagaimana generasi sebelumnya? Jika iya apakah biaya pendidikan tersebut masih masuk akal dengan adanya pencabutan subsidi yang terjadi di berbagai Negara di dunia?[4]

Masalah lain yang terkait dengan ketidakmampuan generasi milenial membeli rumah tersebut bisa juga kita luaskan lagi dengan pertanyaan, apakah upah minimum yang diterima mampu mengimbangi biaya hidup yang semakin hari semakin membengkak? Bagaimana dengan biaya pelayanan kesehatan saat ini? Apakah mengurangi beban hidup yang dimiliki generasi milenial? Tentu banyak hal yang bisa jadi pertimbangan dalam menganalisis masalah generasi milenial (sekaligus dicari solusinya) daripada sekadar menyebut generasi milenial lebih memilih liburan dibanding membeli rumah.

Contoh lain tentang generasi milenial yang suka berpindah karir harus kita lihat dari regulasi tenaga kerja yang mengatur dan data yang terkait lainnya. Apakah sistem tenaga kerja kontrak (yang paling banyak notabene adalah generasi milenial) semakin banyak atau sedikit? Bagaimana tentang jaminan karir mereka? Apakah kerja lembur mereka dibayar saat mereka bisa menentukan sendiri kapan waktu bekerja mereka sebagaimana menjadi tren korporasi saat ini?[5] Akan sangat banyak yang bisa digali dari data tersebut alih-alih menyebut generasi milenial adalah generasi mudah bosan dengan pekerjaannya.

Kembali ke permasalahan awal, bisakah kita berharap pada politisi di pemilu besok yang mengatakan bahwa mereka adalah perwakilan generasi milenial? Saya sendiri pesimis karena kampanye yang ditampilkan saat ini masih sekadar pencitraan tanpa menyentuh substansi permasalahan generasi milenial itu sendiri.

Meski begitu tetaplah harus dilakukan kritik dan pengangkatan wacana yang lain di arena politik ini, sebab bersikap masa bodoh terhadap politik adalah politik yang paling bodoh menurut saya. Di sisi lain proses penyadaran meski panjang, berliku, sekaligus penuh tantangan ini tetap menjadi kunci agar masyarakat, terutama generasi milenial, dapat mencapai keadilan sosial yang sesungguhnya.***

 

Aldian Andrew W, saat ini bekerja sebagai buruh di Ibukota Jawa Tengah dan aktif di komunitas baca dan tulis Artikulasi.id. Penulis bisa dihubungi di akun Twitter: @alldiandrew

 

———–

[1] http://www.pewresearch.org/fact-tank/2018/03/01/defining-generations-where-millennials-end-and-post-millennials-begin/

[2] www.prnewswire.com/news-releases/technology-driven-millennials-remain-narcissistic-as-they-age-300348086.html

[3] https://properti.kompas.com/read/2016/12/14/160706321/lima.tahun.lagi.generasi.milenial.terancam.tidak.bisa.membeli.rumah

[4] https://www.researchgate.net/publication/320069681_Neoliberalism_education_and_curriculum

[5] https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20161215174236-277-179907/milenial-generasi-kutu-loncat-pengubah-gaya-kerja

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.