Kredit ilustrasi: News
PERNAHKAH Anda bertanya, di mana penyertaan Tuhan saat penderitaan terjadi? Masih cukup jelas ingatan saya ketika pertama kali melakukan wawancara pengalaman kekerasan kepada anak di sebuah lembaga/panti. Saya menemukan banyak anak di sana yang mengalami berbagai macam kekerasan. Walau sudah setahun bekerja dibidang perlindungan anak, ternyata tidak cukup memperlengkapi saya untuk bertemu mata dengan korban kekerasan.
Sayangnya, pertolongan segera bagi anak-anak itu pun tidak dapat dilakukan karena beberapa pertimbangan. Pertama, anak yang mengalami kekerasan menolak untuk dihubungkan dengan layanan rujukan; sedangkan kami tidak dapat melakukan rujukan tanpa persetujuan anak. Kedua, tidak tersedia rumah aman sebagai alternatif tempat tinggal, sehingga risiko kekerasan justru lebih besar jika layanan tidak responsif. Ketiga, minimnya layanan perlindungan anak di sekitar lokasi yang bisa membantu. Faktor-faktor ini membuat saya dan tim peneliti tidak dapat menolong anak-anak tersebut.
Saya tidak siap. Saya rapuh di hadapan mereka. Saya merasa tidak berdaya. Saya kecewa karena sepertinya pengetahuan yang saya miliki justru tidak berguna di saat terdesak. Saya bahkan marah pada Tuhan. Bagaimana mungkin Allah, yang penuh kasih, seolah lepas tangan membiarkan anak-anak tidak bersalah mengalami kekerasan setiap hari? Bahkan secara ironis, korban adalah bagian dari gereja. Bukankah Alkitab mengajarkan bahwa Kerajaan Allah dijanjikan bagi mereka yang menyambut-Nya seperti seorang anak kecil (Mark. 10:15)? Lantas, bagaimana saya harus bersikap sebagai seorang Kristen ketika pandangan Kristen yang populer hari-hari ini mengajarkan bahwa kesalehan individu adalah kunci mendapatkan berkat dan perlindungan dari Allah? Masihkah masuk akal untuk mengharapkan penyertaan Allah ketika kita hidup di dunia yang carut-marut?
Dunia yang Kejam dan Ketetapan Allah
Manusia memang hidup di dunia yang kejam. Alam liar dan bangsal-bangsal rumah sakit menjeritkan tentang rapuhnya hidup. Bahkan Alkitab mengisahkan Ayub, seorang pengusaha kaya nan saleh. Hanya dalam waktu sekejap, ia kehilangan harta dan anaknya. Ia pun ditinggal istri dan menderita penyakit kulit. Tidak cukup sampai di situ, Ayub juga difitnah teman-temannya. Mereka mengira ia terkena hukuman Allah akibat dosanya.
Apakah Ayub sedang terkena azab karena menjadi pengusaha yang rakus dan melanggar perintah Allah? Tentu tidak! Pada Ayub 1:8, Allah secara eksplisit berkata. “…tiada seorang pun di bumi seperti dia (Ayub), yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Lantas jika Ayub tidak bersalah, mengapa Allah tetap menimpakan penderitaan kepadanya? Apakah Allah merupakan sosok pasif-agresif yang sengaja mereka-reka kejahatan agar manusia bersujud-sujud di hadapan-Nya memohon belas kasihan?
Alkitab mengatakan bahwa Allah memiliki ketetapan (Yes. 46:9-10; Ef 1:11; Rm 9:15, 16, 18). Tidak satu pun peristiwa yang terjadi di dunia tanpa seizin-Nya (Kis 2:23). Dengan kata lain, masa depan telah Ia tetapkan tanpa ada ruang kontingensi. Bahkan, prinsip ini juga berlaku dalam peristiwa terkelam sekalipun, seperti, perang atau genosida. Allah mengizinkan umat-Nya berbuat dosa dan mengalami godaan dalam rangka pengajaran (Kis 12:7-9). Namun Ia juga membatasi dosa agar tidak keluar dari rencana yang telah ditetapkan (2 Raja 19:28, Kej 50:20). Kekristenan mengimani hal ini sebagai pemeliharaan Allah atau providentia. Kata providentia berasal dari Bahasa Latin yang artinya menerawang.
Konsep ini sangat berbeda dengan keyakinan Deisme yang populer pada abad ke-17 hingga ke-18[1]. Deisme memandang Allah sebagai pencipta yang menarik diri dari dunia pasca penciptaan. Allah membiarkan alam semesta diatur oleh hukum alam yang berjalan secara otonom. Pada ekstrem yang berlawanan, terdapat doktrin Panteisme yang memandang bahwa Allah adalah alam semesta. Tidak ada perbedaan antara Sang Pencipta dengan ciptaan, Allah adalah sepenuhnya imanen. Namun Alkitab mengajarkan bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang transenden (Yes 55:8-9; 1 Raja 8:27; Kis 17:24) sekaligus imanen (Ayub 33:4; Kis 17:27). Allah melampaui segala ciptaan. Namun, Ia juga berada bersama-sama ciptaan-Nya di sepanjang rantai sejarah. Bahkan, Ia mewujud menjadi daging (inkarnasi) di dalam Yesus Kristus.
Pemeliharaan Allah
Sepanjang sejarah, para teolog Kristen meyakini bahwa Allah memelihara dan memerintah bumi. Namun mereka memiliki pandangan yang berbeda saat berbicara mengenai kendali Alllah atas bumi. Dalam sejarah pemikiran Kristen, beberapa doktrin (Jesuit, Socinian, dan Arminian) meyakini bahwa manusia memiliki kehendak sepenuhnya untuk menentukan ujung dari tindakan yang diambil. Allah hanya memberi stimulus agar tindakan manusia sejalan dengan kehendak-Nya. Namun jika demikian, artinya Allah memberi manusia kuasa untuk mengontrol melampaui kuasa Allah. Konsekuensinya, itu sama saja dengan tidak ada pemeliharaan Allah.[2]
Di sisi lain, doktrin yang dikembangkan oleh Augustine dari Hippo dan John Calvin meyakini bahwa pemeliharaan Allah tidak bekerja secara general atau imparsial tanpa secara langsung memengaruhi tindakan ciptaan-Nya. Allah bekerja baik dalam hidup individu maupun sejarah. Akibatnya, tidak ada kebetulan. Pasalnya, segala hal terjadi dengan seizin dan sepengetahuan Allah. Lebih jauh, Calvin juga menyatakan bahwa Allah mengendalikan alam dan sejarah hingga detail terkecil.[3] Contohnya bisa kita lihat di alam. Eksistensi alam dan hukum-hukumnya tidak diciptakan oleh alam dan berjalan atas kehendaknya sendiri. Semua itu diselenggarakan oleh Allah. Layaknya alokasi dalam sistem ekonomi, Allah mengendalikan produksi di alam dengan mengalokasikan kesuburan pada tanah, hewan, atau rahim perempuan, yang disebut oleh teolog Roland Boer sebagai teo-ekonomi.[4] Tanpa penyelenggaraan Allah, bumi mati.
Dalam teologi tradisional, doktrin pemeliharaan Allah memiliki tiga elemen, yaitu pemeliharaan (conservatio), kooperasi (concursus), dan pemerintahan (gubernatio). Allah memelihara dan menyokong kelangsungan hidup ciptaan-Nya sebagai bentuk kesetiaan terhadap tujuan penciptaan. Tidak ada satu pun ciptaan yang dapat bertindak di luar kehendak Allah. Bersama dengan ciptaan-Nya, Allah juga berkooperasi sesuai dengan hukum-hukum yang telah Ia tetapkan. Kooperasi bukan berarti Allah mengendalikan tindak-tanduk manusia layaknya dalang memainkan wayang, namun memberikan ruang untuk kehendak bebas. Bukan juga berarti Allah berbagi tugas dengan manusia, namun keduanya bekerja secara simultan dengan kehendak Allah sebagai prioritas. Sebagai penguasa alam semesta, Allah juga memerintah untuk mengarahkan semua ciptaan pada tujuan akhirnya. Pemerintahan Allah tidak dapat dipahami secara harfiah. Misalnya, sebagai tangan yang menggerakkan makhluk ke sana dan ke mari. Namun, secara agung Ia bekerja melalui hukum-hukum di alam semesta, bahkan dapat secara langsung memengaruhi pikiran, kehendak, dan hati manusia[5], [6].
Di dunia modern, teologi tradisional mengenai pemeliharaan Allah juga tidak diterima sebagai kesimpulan final. Pandangan tradisional dianggap kurang memuaskan dalam menjawab perdebatan mengenai pemeliharaan Allah dan adanya kejahatan yang terkesan kontradiktif. Sebagai respons, beberapa teolog mencoba mengembangkan teori teodisi[7]. Salah satu teori yang berkembang dan berpengaruh hingga saat ini adalah teodisi proses yang dipopulerkan oleh teolog modern, seperti John Cobb, David Griffin, dan Marjorie Suchocki.
Teodisi proses meyakini bahwa kekuasaan Allah terbatas dan hanya bersifat persuasif dan tidak mengikat. Karena ada hal-hal yang dapat terjadi di luar kuasa Allah, maka Ia tidak dapat disalahkan atas tragedi yang terjadi di alam semesta. Allah selalu memiliki niatan yang baik, namun makhluk ciptaan-Nya memiliki kebebasan yang berpotensi mendatangkan kejahatan. Meskipun populer, namun sayangnya teori ini jauh dari teks Alkitab[8].
Para teolog reformed Kristen juga nampaknya belum mencapai jawaban final untuk menjawab relasi antara Allah dan kejahatan di dunia. Namun, alih-alih menghabiskan energi dalam perdebatan yang tidak kunjung usai, saya justru tertarik dengan tawaran James Cone. Menurut Cone, meski tanggungjawab Allah terhadap kejahatan masih menjadi misteri, Alkitab juga menunjukkan upaya Allah melawan kejahatan. Dalam tradisi iman Kristen, salib Kristus adalah panggilan untuk memperjuangkan kemenangan atas penderitaan. Salib adalah bukti Allah yang turut rentan dan menderita bersama manusia.[9]
Lebih jauh, ketritunggalan Allah adalah wujud pemeliharaan atas dunia. Allah adalah Sang Bapa yang berduka atas dosa manusia, Sang Anak yang rentan dan menderita, serta Roh Kudus yang memberi kelegaan dan pengharapan. Allah bukanlah pencipta yang jauh, namun yang ada bersama dengan kita.[10]
Agen Pemeliharaan Allah
Berangkat dari pemahaman tersebut, segala hal yang terjadi di alam semesta, baik maupun jahat terjadi dalam kerangka perencanaan Allah. Sehingga secara teologis, tidak ada hal yang mutlak baik atau jahat, karena setiap peristiwa dalam sejarah terjadi seizin Allah dan merupakan bagian dari tujuan akhir yang telah ditetapkan. Namun Allah yang sama juga turut ada bersama ciptaan-Nya dalam menghadapi penderitaan.
Dalam kerangka berpikir kooperasi, manusia sebagai makhluk rasional diberi Allah peran untuk bersama-sama mengerjakan karya pemeliharaan atas ciptaan (Kej 1: 28; Kej 45:5; Kel 4:11-12; 1 Kor 12:6; Ef 1:11; Fil 2:13). Allah tritunggal turut aktif bergerak bersama manusia. Maka, pemeliharaan Allah bukanlah dalih fatalisme untuk berpasrah karena semua telah ditetapkan. Justru sebaliknya, pemeliharaan Allah menuntut manusia menjadi agen Allah di bumi.
Di dalam keterbatasan dan ketidakberdayaan individu, Allah memanggil gereja untuk saling menguatkan (Gal 6:2). Di tengah keputusasaan, gereja harusnya menjadi motor yang mengubah galau kolektif menjadi semangat progresif. Permasalahan struktural seperti yang saya contohkan di atas tidak dapat diselesaikan melalui kegiatan amal. Jika gereja hanya memandang kekerasan terhadap anak sebagai dampak salah asuh orang tua dan kurangnya kesadaran[11], maka gereja telah gagal memahami ketimpangan ekonomi dan sosial. Gereja seharusnya berpihak, sama halnya dengan Allah yang berpihak pada kaum miskin dan lemah (Maz. 82:1-4, Ams. 14:31; Yes. 58:6-7; Yak 2:5-9). Gereja harus berani menyuarakan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Lantas bagaimana gereja hari-hari ini merespons panggilan Allah? Sudahkah gereja menjadi agen pemeliharaan Allah atas dunia, ataukah gereja justru menjadi agen real estate bermodal iming-iming janji rumah masa depan?***
Windy Mulia Liem, anggota tim kebaktian dan pembinaan Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba.
Kepustakaan:
Daniel, L. Migliore, 2004. Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology, Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
James H. Cone, 1997. God of the Oppressed, Orbis Books; Rev Sub edition.
Louis Berkhof, 2017. Systematic Theology, GLH Publishing.
Roland Boer, 2011. Criticism of Religion: : On Marxism and Theology, II, Haymarket Books.
————
[1] Berkhof, Systematic Theology, hlm. 181.
[2] Ibid., hlm. 188.
[3] Migliore, Faith Seeking Understanding, hlm. 122.
[4] Roland Boer, Criticism of Religion, hlm. 135.
[5] Migliore, op. cit., hlm. 6-7.
[6] Berkhof, op. cit., hlm. 185-92.
[7] Teodisi merupakan teori yang menyelaraskan kebaikan dan kekuasaan Allah dengan adanya kejahatan.
[8] Migliore, op. cit., hlm. 130.
[9] Cone, God of the Oppressed, p183.
[10] Migliore, op. cit., hlm. 132-133.
[11] https://pgi.or.id/himbauan-pgi-bersama-lembaga-pelayanan-anak-tegakkan-perlindungan-anak/, diakses 16 November 2018.