Kredit ilustrasi: News 24 Jam
MENJELANG pemilu legislatif 2019, ada banyak kawan perempuan saya yang meramaikan bursa calon legislatif (caleg) melalui pelbagai partai politik. Ramainya perempuan masuk ke bursa caleg (tidak hanya teman-teman saya) berkorelasi dengan capaian gerakan perempuan awal reformasi untuk memperjuangkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam institusi politik formal. Institusi politik formal yang sukses melaksanakan kuota 30 pesen keterwakilan perempuan adalah pemilu. Ulasan yang kritis maupun kurang kritis tentang pemilu dan kuota 30 persen keterwakilan perempuan sudah sangat banyak, dan saya memang tidak akan masuk ke ranah itu. Saya akan masuk ke ranah yang “tidak politik”, dengan agak iseng-iseng, untuk menilai apakah yang politik dari pemilu itu politik? Apakah caleg perempuan masuk ke ranah pemilu yang politik itu bernilai politik, khususnya “politik perempuan”?
Iseng-iseng yang tidak politik ini akan saya mulai dari pengamatan saya terhadap banner-banner caleg yang mulai banyak hadir di ruang publik, terutama di jalan-jalan. Banner-banner itu berdiri setara dengan iklan-iklan, lalu foto caleg-caleg itu serupa dengan wajah artis yang mengiklankan merk-merk, seperti Samsung, Oppo, Panasonic, Unilever, Procter & Gamble, Nike, dll. Merk-merk itu itu ditandakan secara estetis oleh logo (Yunani: nalar, kata, dan berkembang menjadi tipografi) dalam wujud visual yang mudah ditangkap dan diingat oleh konsumen. Banner-banner caleg itu juga ditandakan secara estetis oleh logo, yaitu wajah dirinya sendiri.
Apa politik logo? Ini tentang istilah dalam dunia pemasaran dan periklanan. Anda protes? Politik pemilu kok disandingkan dengan periklanan, emangnya komoditas? Ya memang telah terjadi komodifikasi politik pemilu dewasa ini, hingga saya kehilangan makna politik pemilu sebagai ajang pertarungan program penyelenggaraan negara –sesuai dengan etimologi politik itu sendiri (Yunani= polis, yaitu penyelenggaraan pemerintahan kota). Dalam dunia periklanan, logo adalah lambang visual sebuah merk dagang (brand) yang dibuat oleh ahlinya sedemikian rupa untuk merepresentasikan citra yang dibangun oleh merk tersebut. Contohnya Nike membuat logo centang, dan hanya melihat logo itu penggemar sepatu olah raga sudah tahu bahwa itu sepatu Nike. Nike sebagai merk juga mempunyai kisah di dalam dirinya untuk membangun sebuah citra merk. Nike adalah nama dewa perempuan yang dipercaya orang Yunani sebagai dewa kemenangan, dan nama itu dipungut oleh Phillip Knight (pendiri perusahaan Nike) sebagai merk sepatu olah raga untuk menciptakan sugesti kemenangan dalam kontestasi olah raga. Dengan kata lain, iklan itu mengatakan bahwa sepatu merk Nike itu awet dan sangat kuat untuk Anda pakai dalam kontestasi olah raga. Adapun logo centang mengandung pesan “ya, terverifikasi”, untuk mengatakan bahwa kualitas sepatu Nike itu terverifikasi.
Kembali ke caleg, setelah saya pikir-pikir, nama mereka pun tak ubahnya sebuah merk yang dikeluarkan oleh perusahaan dirinya (perusahaan outsource) di bawah payung perusahaan penjual merk dan logo, yaitu partai politik A, B, C, D. Nike itu sendiri saat ini tidak memproduksi sepatu, melainkan menjual merk dan logo, adapun pemroduksi sepatunya adalah perusahaan outsource di Indonesia (antara lain di Tangerang).
Perhatikan di sepanjang jalan dan ruang publik di Indonesia saat ini mulai bermunculan banner yang bergambar foto diri caleg yang dibubuhi nama, angka (angka sebagai peserta pemilu, yaitu angka yang musti kita coblos dalam bilik suara) dan sederet gelar kesarjanaan dan gelar keagamaan. Mereka menciptakan logo bagi dirinya, yaitu penampilan wajah yang dipoles sedemikian rupa agar menarik. Jadi logo adalah wajah diri yang disimbolkan dalam angka, sedangkan merk-nya adalah nama plus deretan gelar kesarjanaan dan gelar keagamaan. Merk ini di bawah naungan merk besar, yaitu partai politik. Tentu saja ada tuntutan bahwa logo harus tervisualkan secara menarik. Jangan khawatir jika wajah Anda kurang sedap dipandang secara objektif, kini ada teknologi make up, foto, dan disain sudah sangat maju untuk menyulap yang kurang sedap menjadi ganteng atau cantik. Bahkan smartphone bermerk Oppo telah menjanjikan bahwa alatnya mampu membuat visual diri anda yang pas-pasan menjadi wow ganteng atau cantik. Itu sebabnya, banyak caleg membuat logo dirinya sedahsyat mungkin untuk ditampilkan pada banner-banner di ruang publik.
Apakah membuat logo diri sedahsyat mungkin itu keliru? Oh, jangan sesatkan pendapat saya hingga menjadi hoax yang menyudutkan caleg-caleg, terutama caleg perempuan. Masalahnya adalah —-kembali ke makna politik: apakah logo-logo caleg itu mengandung pesan politik? Nah, itulah yang sampai sekarang saya tidak memperolehnya. Kalau pesannya: “coblosnya nomor sekian, namanya ini, wajahnya ini” dalam bilik suara, menurut saya itu pesan teknis dan bukan pesan politik. Pesan politik selalu mengandung gagasan, dan gagasan itu mempunyai daya untuk penyadaran massa maupun daya imaginatif untuk menggerakkan cipta, rasa dan karsa kita semua.
Miskinnya Daya Poesis Politik
Baca banner-banner dengan logo wajah, angka, nama dan gelar yang bertebaran di jalan-jalan itu dan bandingkan dengan iklan-iklan sabun cuci piring Sunlight, smartphone Oppo atau pun sepatu Nike, kira-kira mana yang mempunyai pesan politik? Maaf, harus saya katakan produk barang itu mempunyai pesan politik dibandingkan iklan caleg-caleg, calon kepala daerah (cakepda) maupun capres kita (untuk menunjuk sebagai sesama orang Indonesia). Nike yang merk sepatu itu mempunyai pesan politik Just Do It (lakukan!) dan kemudian The Swoosh (melemparkan bola basket ke dalam gawang) yang dicitrakan dalam keperkayaan pebasket Michael Jordan. Pun iklan sabun pencuci piring Sunlight yang dikeluarkan pertama pada 1884 di Inggris oleh Lever Brothers, dengan logo sinar matahari, mempunyai pesan politik tentang kebersihan the health of the household. Pesan politik Sunlight pun menjanjikan pembebasan ibu rumah tangga dari kerja keras untuk kebersihan, begini katanya: every woman’s wants Sweet, Cleans, Clothes with less Toiling and Boiling on wash day, (setiap ibu rumah tangga mengingingkan pakaiannya bersih dan apik tanpa merendamnya dengan air panas sepanjang hari), hingga ia katakan Sunlight itu reduce the labor of washing (membuat ibu rumah tangga tak perlu mengeluarkan tenaga banyak untuk menggosok dan menghilangkan lemak-lemak alat dapur. Padahal hanya sabun cuci alat dapur namun mempunyai pesan pembebasan kerja perempuan di dapur. Pun sabun mandi Pearl yang dikeluarkan abad 19 di Inggris mengeluarkan pesan politik yang rasis, yaitu menggunakan foto orang kulit putih memberikan sabun itu ke orang kulit hitam yang dirty. Meskipun rasis, sabun mandi Pearl membawa pesan pembebasan politik bahwa yang hitam dan kusam dapat dibersihkan menjadi putih dan bersih.
Belajar dari pesan politik Nike, Just Do it, saya teringat pesan politik presiden ke enam RI, Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye pilpres pada 2009. Tim kampanye SBY membuat pesan politik Lanjutkan!, yang pada masa itu berarti lanjutkan memilih dia lagi. Atau pesan politik Prabowo: Salam Dua Jari, dan iklan Jokowi: Kerja, Kerja, Kerja! Tetapi, itu bukan pesan politik yang kuat, melainkan hanya pesan teknis semasa kampanye pemilu. Kata Lanjutkan, Salam Dua Periode, Kerja itu tidak mempunyai makna pembebasan politik, misalnya pembebasan rakyat Indonesia dari krisis permanen, pembebasan dari konservatisme menuju bangsa baru yang beradab, dst. Bandingkan dengan pesan politik Soekarno: Revolusi Belum Selesai!, itu mempunyai pesan pembebasan politik bagi sebuah bangsa terjajah yang mengalami ancaman kolonialisme/imperialisme. Lalu bagaimana dengan caleg-caleg?
Logo-logo caleg –seperti yang saya singgung di atas—sama sekali tidak mempunyai pesan politik. Wajah-wajah pas foto atau dalam aneka ekspresi, gaya, perlengkapan busana yang disesuaikan dengan tradisi lokal, mengingatkan saya pada foto-foto hasil selfie yang diposting di media sosial. Jangan marah, karena saya belum menjumpai logo diri dan pesan politik caleg, khususnya caleg perempuan, yang mempunyai makna pembebasan. Lalu apa yang dijual oleh caleg-caleg sebagai calon anggota legislatif, selain hanya foto diri, angka, nama dan gelar? Paling-paling ada tambahan kata seperti ini contohnya: Mengucapkan Selamat Datang atau Selamat Hari Ini atau Itu. Lha caleg kok seperti MC pada acara pesta atau Dinas Pariwisata? Ah, semoga banner yang saya baca itu hanya sebagian kecil, karena saya tidak tahu pesan dan logo caleg di Indonesia secara keseluruhan.
Perhatikan, caleg-caleg perempuan itu fotonya tidak ada yang kuyu atau kucel, melainkan mereka sangat cantik seperti foto-foto artis dalam pelbagai iklan. Rupanya mereka mengubah pesan politik menjadi pesan personal ke dalam penampilan fisiknya, agar mudah diingat orang dalam bilik suara nanti. Tapi, karena banyak sekali wajah-wajah dan angka, saat di dalam bilik suara kita bisa salah coblos lho! Cerita seperti itu sangat banyak pada setiap pemilu, terutama dari rakyat pekerja yang telah dipesan sebelumnya untuk mencoblos si A atau si B, tapi keliru mencoblos C atau D. Para pencoblos dalam bilik suara itu mengatakan bahwa mereka bingung, lupa wajah dan angka, dan seterusnya. Masalahnya jelas dan mudah ditebak: karena wajah, angka, nama dan sederet gelar itu tidak hadir riil sehari-hari memimpin aktivitas di tengah calon konstituennya. Sebaliknya, konstituen itu diberi uang atau disuruh tokoh masyarakat setempat untuk mencoblos si A atau si B, dan menurut saja apa kata bos (pemberi uang).
Mengapa iklan caleg sungguh miskin pesan politik? Ada banyak dalih yang pernah saya dengar. Apa pun dalihnya selalu merujuk pada kondisi yang teknis, dan bukan yang berkenaan dengan gagasan. Kemiskinan gagasan itu boleh disebut kemiskinan poesis (Yunani: penciptaan), yang artinya caleg-caleg itu miskin penciptaan, penciptaan adalah proses kreasi, kreasi menggunakan nalar dan pengetahuan atau proses refleksi pengetahuan. Pedihnya, caleg adalah representasi dari manusia Indonesia saat ini yang miskin poesis, sehingga memahami pemilu seperti seorang EO (event organizer) mempersiapkan sebuah perhelatan. Sedikit dari caleg-caleg itu yang berpikir tentang politik dalam arti yang substansial.
Sebagai catatan, ada sih perkembangan maju logo caleg sejak 2004 sampai sekarang, yaitu kemajuan teknik visual, digital dan kosmetik hingga dapat menciptakan logo semakin menarik. Termasuk pembuatan vlog-vlog tentang aktivitas diri dalam pelbagai kesempatan. Namun tak ada perkembangan pesan politik pembebasannya. Saya yakinkan Anda: tidak ada!
Kredit ilustrasi: Rakyat Sulsel
Politik Konsumsi Dalam Logo Caleg Perempuan
Caleg perempuan memang harus ekstra kerja keras untuk bersaing mendulang suara, dan kemudian mereka memperebutkan suara konstituen perempuan. Logo diri yang dijual adalah pakaian sebagai identitas yang diasumsikan compatible dengan pakaian konsumen yang disasarnya. Gejala ini sudah mulai tumbuh sejak Pemilu 2004, namun makin kemari, logo identitas itu makin marak dipergunakan oleh caleg perempuan. Salah satu busana identitas yang menonjol adalah kerudung atau jilbab yang dikenakan oleh caleg perempuan dalam logo tersebut, padahal di luar logo mereka berpakaian tanpa jilbab.
Logo-logo caleg perempuan juga menunjukkan kemewahan hasil fotografi atau memang realitas sesungguhnya. Politik logo caleg-caleg perempuan itu pada akhirnya menyampaikan fashion nilai sosialnya, ketimbang menyampaikan pesan politik untuk kepentingan pembebasan perempuan (“kepentingan perempuan” adalah sebuah konsep politik perempuan yang dirumuskan secara kolektif menurut ruang-waktunya). Hanya dengan melihat logo caleg pada banner-banner tersebut kita sudah dapat membedakan nilai kultural kelas sosialnya: apakah isteri pejabat/politisi, perempuan “ndeso” rakyat pekerja, ustadzah, artis. Kita juga dapat mengkalkulasi seberapa tinggi nilai konsumsi dalam logo wajah-wajah tersebut, mulai dari kosmetik sampai dengan perawatan kulit dan kecantikan. Wajah Ratu Atut –mantan gubernur Banten—yang kinclong dan kencang (tak berkerut) dulu terpampang pada banner-banner di ruang publik di Banten, dan visualisasinya itu menunjukkan harga nilai konsumsinya.
Jadi politik logo perempuan cenderung untuk menyampaikan pesan nilai konsumsi ketimbang nilai politik. NIlai konsumsi menunjukkan identitas kelas sosialnya. Hal ini tak ada hubungannya dengan alasan bahwa logo diri harus dibuat menarik, dan agar menarik membutuhkan harga tidak murah. Hal itu berhubungan dengan ideologi mereka sebagai kelas borjuasi yang makmur di dalam kapitalisme. Sebagai catatan, bahwa caleg perempuan (juga caleg laki-laki) makin kemari gelar akademiknya rata-rata adalah magister (pascasarjana) dibandingkan pada 2004 yang rata-rata lulusan S1. Saya tidak berpendapat bahwa makin tinggi gelar akademik caleg, makin tinggi kualitas politiknya. Gelar-gelar itu (termasuk gelar keagamaan) hanya untuk membangun citra merk diri, seperti halnya sabun mandi merk Pearl, Imperial Leather, Lux, atau Mustika Ratu membangun citra dirinya dengan menciptakan mitos kecantikan.
Tentu saja bahwa perkembangan politik logo perempuan ke arah nilai konsumsi itu tidak terkalkulasi pada saat gerakan perempuan di Indonesia menggelar Kongres pada 22 Desember 1998 di Yogyakarta (kongresnya sebelum 22 Desember 1998). Salah satu mandat Kongres itu adalah memperjuangkan aksi afirmasi untuk keterwakilan perempuan dalam politik formal. Gagasan politik perempuan saat itu adalah pembebasan perempuan dari pelbagai bentuk politik otoritarian melalui representasi perempuan. Dibayangkan bahwa kaum perempuan menjadi sadar politik, memimpin negara dan membuat perubahan untuk kepentingan perempuan (sebagai representasi masyarakat marginal). Apa hendak dikata, dalam perkembangannya, calon-clon politisi perempuan malah terseret ke dalam skema komoditas pemilu. Caleg perempuan berkontestasi membeli komoditas pemilu melalui nilai tukar (komoditas) suara perempuan rakyat pekerja di kampung-kampung. Pendapat saya, pemilu dan suara pemilih itu bisa disebut komoditas karena mempunyai nilai tukar pada kapital (uang). Maka suara perempuan adalah alat tukar caleg perempuan untuk membeli posisi politik di parlemen. Posisi politik di parlemen juga komoditas karena bernilai kapital.
Melucuti Politik Logo Tanpa Logo
Saya meminjam istilah yang dipergunakan Naomi Klein dalam bukunya No Logo (2000)[1], yaitu politik tanpa logo. Politik “tanpa logo” adalah menyingkap penindasan buruh-buruh di pabrik oursourse sepatu yang memproduksi barang tanpa tahu apa merknya. Mereka hanya tahu ketika sepatu itu ditempeli logo Nike, Adidas, atau lainnya. Namun buruh tidak mengerti bahwa nilai komoditas logo-logo tersebut telah memiliki nilai konsumsi tinggi sebagai gaya hidup, dan bukan lagi sekadar barang. Mereka sangat terkejut ketika diberitahu bahwa harga sepatu yang mereka buat itu lebih mahal dari UMR mereka sendiri. Selain itu politik tanpa logo dapat pula bermakna melawan politik logo yang bernilai konsumsi.
Kembali ke ranah pemilu. Politik tanpa logo dapat berarti menyingkap suara perempuan yang tak bernama sebagai pemberi suara kepada caleg-caleg perempuan. Mereka hanya disebut suara tanpa nama, dan caleg-caleg itu pun tidak tahu siapa mereka, dan bagaimana kondisi hidup sehari-harinya. Melawan politik logo adalah membuat suara perempuan tak bernama itu menjadi bernama sebagai kekuatan politik massa. Lagi-lagi hal ini mensyaratkan perempuan tak bernama itu terorganisir dalam satuan kampung untuk menuntut caleg pemilik logo mengabdi dalam aktivitas sehari-hari di daerah pemilihannya (dapil). Caleg-caleg perempuan itu harus tinggal bersama mereka dan bekerja untuk membebaskan problem-problem riil sehari-hari yang dihadapi calon pemberi suara. Jika kerja pembebasan urusan sehari-hari itu dilakukan, caleg-caleg itu bukan lagi hadir sebagai logo melainkan hadir sebagai yang material, yang melakukan poesis politik dalam wujud praksis. Politik tanpa logo dari calon pemberi suara ini memang belum menjadi sebuah gerakan yang kuat di Indonesia. Sebaliknya, pada pemilu 2014, sebagian kecil caleg-caleg perempuan pernah mempraktikkan kehadiran material di dapilnya tanpa logo, dan di sana melakukan praksis, pembebasan praktis dalam kehidupan sehari-hari calon pemberi suara. Pada umumnya caleg perempuan mendapat suara besar dari perempuan yang dilayaninya hingga berhasil duduk di parlemen.
Politik tanpa logo juga bermakna politics of care, politik merawat-mengasuh-mereproduksi penyelenggaraan negara yang bernilai pembebasan bagi warga atau konstituen politik. Masihkan itu mungkin?***
———-
[1] Naomi Klein, No Logo, (Great Britain: Flamingo, 2000)