Indonesia: Kapitalisme Parasitis dan Ekonomi Berbagi

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foro: Medium

 

Kawan-kawan,

KETIKA saya berkunjung ke Indonesia beberapa waktu, saya melihat Uber di Amerika telah masuk pula ke Indonesia. Pengalaman itu membuat saya, dalam surat kali ini, menulis apa itu ekonomi berbagi yang sedang populer saat ini.

Bagi kebanyakan orang Barat, duduk di boncengan sepeda motor Go-Jek adalah cara yang trendi dan menyenangkan untuk pergi ke tempat yangdi tuju. Selain itu, banyak orang di Barat menganggap mengendarai sepeda jauh lebih ramah lingkungan ketimbang menggunakan mobil. Selain itu, bagi mereka yang berteriak-teriak tentang kurangnya angkutan kereta api publik, sensasi aplikasi berbagi sepeda motor di Indonesia meniadakan kebutuhan untuk membangun sistem kereta api umum. Dengan demikian, Indonesia telah melewati negara-negara berkembang lainnya di Dunia Selatan dalam hal menghindari kebutuhan sektor publik untuk berinvestasi dalam angkutan massal yang mahal. Di Indonesia, seperti di seluruh ekonomi global neoliberal, sektor swasta adalah satu-satunya jawaban. Sebagaimana narasi yang disampaikan, investasi privat alih-alih investasi publik, memungkinkan Indonesia untuk mendahului negara-negara lain di Asia Tenggara yang memiliki investasi negara yang besar di ranah publik. Kemenangan untuk semua orang!

 

Investasi Publik atau Swasta?

Buruknya infrastruktur adalah persoalan abadi/klasik dari ekonomi politik Indonesia sejak zaman kolonial. Ketika negara-negara besar lainnya di Asia telah membangun sistem transportasi massal di kota-kota utama mereka sejak tahun 2010, Jakarta dan sekitarnya jalan rayanya justru menjadi semakin padat. Selama beberapa dekade terakhir, rencana-rencana untuk membangun angkutan kereta api untuk mengurangi kemacetan lalu lintas Jakarta, gagal terealisasi karena kurangnya pendanaan dan investasi oleh pemerintah. Sejak terpilih menjadi presiden empat tahun lalu, Joko Widodo telah gagal memobilisasi investasi negara dalam angkutan umum, dan sebaliknya ia malah mempromosikan investasi kapital internasional dalam teknologi e-commerce daripada memobilisasi belanja pemerintah untuk membangun infrastruktur besar. Ironisnya, milyaran dolar modal asing yang diinvestasikan dalam e-commerce Indonesia dan perusahaan yang naik daun sejak 2014 jauh lebih besar ketimbang biaya untuk membangun sistem angkutan kereta api massal di Jakarta. Jelas perusahaan-perusahaan angkutan berbasis aplikasi ini mengharuskan warga untuk memasuki ekonomi pasar dan membayar ongkos hadir dan biaya untuk layanan perbankan dan layanan lainnya yang sebenarnya akan jauh lebih jika dimobilisasi untuk membiayai sistem angkutan utama untuk umum.

Karena krisis transportasi telah menjadi ciri utama Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia lainnya, pemerintah hanya melakukan sedikit tindakan untuk memperbaiki masalah melalui investasi publik dan bahkan investasi publik-swasta. Ketimbang berinvestasi dalam infrastruktur transportasi massal, pemerintah malah mendukung investasi ekuitas swasta asing dalam ekonomi informal transportasi sepeda motor roda dua. Selama enam tahun terakhir, investasi yang ditanamkan untuk monetisasi pengendara sepeda motor melalui angkutan pesanan (ride hailing) dan e-commerce jauh lebih besar dibandingkan biaya yang diinvestasikan ke dalam jaringan transportasi umum yang baru. Dengan kemacetan lalu lintas yang luar biasa parah, menggunakan taksi roda dua (Ojek ) jauh lebih cepat tiba di tempat tujuan ketimbang menggunakan mobil pribadi atau naik bis umum.

 

Latarbelakang: Kapitalis, E-commerce dan Transportasi

Pengenalan teknologi navigasi baru dan pertumbuhan e-commerce dalam lima tahun terakhir telah menghasilkan pusat laba baru bagi investor multinasional dan kelompok teknologi di Barat, Cina yang semakin bertumbuh, yang berusaha untuk mengeksploitasi sektor informal yang belum dimanfaatkan di Global South melalui pengendara sepeda motor mandiri yang memanfaatkan aplikasi ponsel untuk mendapatkan pelanggan. Sejalan dengan itu, pekerja berupah rendah yang mengandalkan sektor informal di masa lalu tidak memiliki layanan yang setara untuk menggantikan layanan yang telah memasuki ekonomi digital itu. Mereka yang tidak memiliki ponsel tidak dapat bekerja atau dilayani.

Sejak tahun 2015, investasi asing baru dalam teknologi angkutan pesanan (ride hailing) telah mendorong persaingan di antara para investor asing untuk membagian pasar Indonesia bagi kendaraan sewa. Uber, pemimpin global industri angkutan pesanan yang berbasis di AS, juga telah memasuki pasar Indonesia guna bersaing dengan penyedia layanan taksi aplikasi regional dan domestik, Grab dan GO-JEK yang berbasis di Malaysia.

Ekspansi yang cepat dari Uber, Grab, dan GO-JEK kemudian mendapatkan perlawanan para supir taksi konvensional. Pada 21 Maret 2016, 12.000 sopir taksi PT Blue Bird dan PT Ekspres Transindo Utama melakukan mogok satu hari menutut pelarangan penggunaan aplikasi murah. Ribuan pengemudi taksi di Jakarta memblokir arteri dan jalan-jalan persimpangan utama untuk memprotes meluasnya layanan angkutan pesanan karena berdampak buruk pada pekerjaan dan mata pencaharian mereka. Taksi konvensional telah kehilangan pangsa pasarnya yang direbut oleh Uber, Grab, dan navigasi lain yang tidak diregulasi melalui pemangkasan tarif untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar. Sementara itu, Go-Jek telah memasuki pasar transportasi sepeda motor yang tak tersentuh dan merebut pangsa pasar untuk semua pengemudi. Strategi penetapan harga di bawah harga pasar ini (This loss-leader strategy) ini awalnya mensubsidi pengemudi yang mengadopsi aplikasi angkutan-panggilan untuk memasuki pasar, dengan demikian mengesampingkan layanan taksi tradisional. Sementara protes sopir taksi merebak di kota-kota besar global lainnya di mana sistem angkutan berbasis aplikasi ini beroperasi, di Indonesia karena tidak adanya perencanaan negara dan kurangnya alternatif transportasi publik dan pengangguran yang tinggi semakin memperparah ketegangan antara pengemudi taksi di sektor formal dan informal.

Sementara indsutri-industri startup baru yang berbasis di Indonesia (Tokopedia, Traveloka, GO-JEK) dipandang oleh para pendukungnya sebagai perusahaan-perusahaan Indonesia terkemuka, mereka hampir sepenuhnya mengandalkan investasi modal asing dari perusahaan-perusahaan ekuitas swasta yang rakus di Amerika Serikat, yang mencari keuntungan besar atas investasi. Selain itu, raksasa teknologi AS, Google, Facebook, dan Twitter, diblokir untuk memasuki pasar China, kemudian menggelontorkan dananya ke berbagai perusahaan startup regional di Asia Tenggara untuk bersaing dengan Alibaba dan Tencent asal China untuk menancapkan kaki dan dominasinya atas e-commerce, yang kini menjadi industri yang paling menguntungkan di dunia. Para investor berbagi keyakinan bahwa layanan sehari-hari yang penting seperti transportasi dan komunikasi dapat dimonetisasi untuk mendatangkan keuntungan. Dengan demikian, sementara perusahaan-perusahaan Indonesia mungkin memiliki identifikasi lokal, investasi sesungguhnya dikendalikan oleh modal asing.

Sumber utama pendapatan adalah suntikan modal asing di perusahaan teknologi baru yang digunakan untuk mendorong pekerja sektor informal ke ekonomi fleksibel/gig economy ‘baru’. Saat penyebaran e-commerce Internet semakin berkembang biak di Barat, kaum kapitalis internasional berusaha meluaskan ekspansinya ke luar inti imperialis di mana margin keuntungan jauh lebih tinggi. Pada tahun 2010, karena sumber-sumber super-profitabilitas di Amerika Utara dan Eropa Barat telah habis atau telah dicegah dari bersaing dengan tenaga kerja yang berurat berakar, investasi modal diperluas ke Asia dan seterusnya. Raksasa Barat Uber dihalangi di Cina, seiring dengan penuangan modal investasi nasional miliaran dolar untuk aplikasi kendaraan berbagi tumpangan nasional, Didi Chuxing. Kapitalis Cina adalah investor utama dalam aplikasi navigasi utama, sementara Indonesia bergantung pada investor AS dan Cina untuk aplikasi seperti Go-Jek.

Asia Tenggara telah menjadi tempat kompetisi baru di tahun 2014 ketika Uber memasuki pasar taksi Indonesia. Tidak ada kota besar di Indonesia yang memiliki infrastruktur transportasi yang maju dan memiliki pasar e-commerce yang relatif belum tersentuh, dan menjadi wilayah utama kompetisi untuk perusahaan kendaraan berbagi tumpangan dan modal asing yang bersedia untuk berinvestasi. Secara historis mengikuti negara-negara Asia Tenggara lain dalam investasi modal utama, modal asing telah menyasar paksa dengan terbuka pasar Indonesia. Investasi dalam angkutan pesanan yang terkontrol dan privat dan e-commerce memperkaya para kapitalis asing dan kelas komprador yang bertumbuh yang memperoleh keuntungan melalui monopoli investasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja domestik.

 

Kenapa ini sangat mengganggu?

Angkutan berbagi tumpangan dan e-commerce dianggap sebagai sarana baru bagi modernisasi cepat Indonesia dan titik masuk ke gelombang baru inovasi teknologi dan ekonomi global di bawah pendiri dan CEOnya yang berusia 34 tahun, Nadiem Makarim yang keberhasilannya bergantung pada kapasitasnya untuk meningkatkan modal asing untuk berinvestasi ke aplikasinya dan ke sistem pembayaran elektroniknya, yang bergantung pada supir berupah rendah untuk mengangkut penumpang dan mengirim makanan dan pekerja jasa ke rumah-rumah para kelas menengah pinggiran dan menengah atas Indonesia.

GO-JEK dan penyedia e-commerce lainnya tidak memungkinkan Indonesia untuk melewati tahap-tahap penting pembangunan ekonomi dan beralih ke gelombang pertumbuhan baru setara dengan negara-negara kapitalis di barat atau bahkan Cina karena dua alasan utama. Pertama, investasi modal swasta asing dalam navigasi transportasi dan sistem e-commerce tidak menggantikan kebutuhan yang sangat diperlukan untuk angkutan massal. Sementara memperbaiki kebutuhan beberapa warga berpenghasilan menengah, sebagian besar penduduk tidak mampu membayar biaya untuk bepergian dengan sepeda motor. Komisi mengumpulkan komisi selangit 20-40 persen untuk setiap pengemudi.

Untuk dua alasan, angkutan pesanan mendorong banyaknya kendaraan untuk tumpah ke jalanan dan jalan raya. Pertama, adalah tidak mungkin untuk melewati tahap pembangunan ekonomi melalui ketergantungan pada sektor swasta. Kedua, ketergantungan Indonesia pada solusi swasta terhadap kebutuhan sosial utama mengungkapkan mundurnya sistem negara yang tertanam dalam pengerukan pada era penjajahan kolonial dan tidak adanya pemerintahan otonom yang dapat bertindak independen dari modal, domestik atau asing. Perkembangan e-commerce mengungkapkan ketiadaan sistemik negara kuat yang diperlukan bagi Indonesia untuk melakukan modernisasi seperti negara-negara lain di Global South. Ini bukan pertanda baik bagi perkembangan ekonomi ekonomi Indonesia, yang membutuhkan investasi luas di ranah publik untuk menyediakan kualitas dasar kehidupan bagi sebagian besar orang Indonesia. Dalam kondisi ini, pertumbuhan angkutan pesanan dan e-commerce menunjukkan sifat parasit dari investasi modal.

 

Yang Diuntungkan dan Dikalahkan

Seberapa menguntungkan penggunaan teknologi baru yang dikendalikan secara pribadi dalam ketiadaan infrastruktur mendasar? Mobilisasi pengendara sepeda motor independen ke dalam ekonomi kapitalis tidak menunjukkan bahwa Indonesia telah mengejar ketertinggalannya dan sejajar dengan kawan-kawannya di seluruh dunia dan memasuki era baru modernisasi. Hanya dengan mengerahkan para pengendara sepeda motor yang rentan kondisinya ke dalam industri angkutan pesanan e-commerce memaksa kelas pekerja Indonesia berkondisi rentan ke dalam ekonomi yang dimonetisasi melalui hutang untuk berpartisipasi dalam sistem jaringan atau ke dalam pengecualian dan isolasi relatif.

Aplikasi navigasi telah mendorong lebih banyak orang Indonesia ke dalam ekonomi kapitalis.

  • Diperlukan untuk menggunakan telepon seluler
  • Membuka rekening bank
  • Mengekstrak/mengeruk surplus dari pengendara sepeda motor

Memonetisasi kehidupan sehari-hari sebagai penduduk harus menggunakan sektor swasta untuk bepergian ke dan dari tempat kerja, sekolah, dokter dan klinik kesehatan, juga pasar. Aplikasinya meningkatkan biaya dengan mengubah transportasi menjadi bentuk konsumsi di negara yang hampir tidak memiliki alternatif transportasi publik sambil mengonsolidasikan investasi modal di sektor jasa ekonomi nonproduktif daripada membangun infrastruktur yang diperlukan. Selain itu, aplikasi dapat memperparah kemacetan lalu lintas dan polusi udara karena semakin banyak orang didorong untuk mengemudi dan konsumen menjadi tergantung pada jasa pengiriman.

 

Proletarianisasi Buruh Informal

Para pendukung angkutan pesanan dan e-commerce di seluruh dunia berpendapat bahwa sistem baru ini sangat menguntungkan pembangunan ekonomi, dan mengurangi kemiskinan dengan mendorong pekerja menganggur di ekonomi informal ke pasar kapitalis dengan masuk ke bisnis untuk diri mereka sendiri. Ini bukan ide baru, tetapi sebuah formula yang telah diterapkan sejak munculnya neoliberalisme pada 1980-an. Namun, bahkan jika beberapa pedagang keliling, supir taksi dan penyedia layanan sewaan dapat meningkatkan penghasilan mereka melalui penjualan layanan mereka, sebagian besar terpaksa bekerja dengan jam kerja panjang dengan upah rendah. Mayoritss dari mereka tidak dapat mempertahankan pekerjaan dalam ekonomi layanan pribadi selama lebih dari beberapa tahun dan meningkatkan standar kehidupannya. Pengemudi mungkin mengira mereka adalah wiraswasta-wiraswasta yang cerdas, tetapi mereka sebenarnya dipaksa untuk bekerja lebih keras dan lebih lama guna memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya. Kebanyakan pengemudi memasuki industri ini karena kurangnya upah yang layak di sektor yang lebih produktif, dan mereka sesungguhnya tidak berbisnis buat diri mereka sendiri karena mereka sangat bergantung pada pusat aplikasi dan panggilan, yang dapat mendisiplinkan mereka melalui penarikan sistem navigasi. Pengemudi juga mengeluarkan biaya besar untuk pembelian dan perawatan sepeda motor. Sementara pengemudi dapat mengambil pinjaman, sektor informal memaksa lebih banyak pengemudi terjerat ke dalam utang.

Industri angkutan pesanan ini memiliki kemiripan dengan pinjaman mikro yang dibuat oleh Bank Dunia. Dilihat sebagai sarana untuk mengangkat orang miskin keluar dari kemiskinannya, pinjaman mikro benar-benar menjadi sarana untuk memperluas kontrol kapitalis atas populasi yang sangat tergantung. Pengendara sepeda motor dan buruh perusahaan-perusahaan angkutan pesanan bertanggung jawab untuk membeli sepeda motor dengan kredit yang mungkin disediakan oleh bank-bank yang terkait dengan perusahaan angkutan pesanan tersebut. Mereka, dengan demikian, menjadi semakin tergantung pada perusahaan (Go-Jek atau Grab) daripada mereka sebagai pengemudi pribadi. Mereka harus membayar untuk bahan bakar, helm dan seragam, bertanggung jawab atas kecelakaan, dan menanggung risiko kesehatan pribadi tingkat tinggi akibat stres dan kelelahan mengemudi empat kali lebih banyak sebelum sebelum dikenalkannya aplikasi. Selain itu, karena Go-Jek belum menguntungkan, setelah pengemudi taksi dan pilihan-pilihan transportasi terdesak ke luar dari sistem, mereka tidak punya kompetitor lagi dan kemudian dapat meningkatkan pangsa mereka karena pengemudi tidak memiliki pilihan untuk mendaftar dengan perusahaan angkutan pesanan. Mereka harus, atau berisiko kehilangan kapasitas mereka untuk bekerja.

 

Kesimpulan

Dengan demikian, aplikasi dalam berbagai layanan untuk hampir sebagian besar penduduk perkotaan berpenghasilan tinggi, sebagian besar gagal memenuhi kebutuhan mendasar angkutan bagi sebagian besar yang membutuhkan transportasi umum yang handal. Pertumbuhan e-commerce memaksa orang Indonesia untuk memasuki ekonomi monetisasi swasta melalui rekening bank baru dengan aplikasi yang tersedia via aplikasi di telepon seluler. Meskipun orang-orang Indonesia berpenghasilan tinggi adalah mereka yang paling diuntungkan dari layanan ini, ekonomi berbagi juga memaksa pekerja yang bekerja di sektor informal untuk menggunakan jaringan online, memaksakan penggunaan ponsel, rekening bank dan sistem pembayaran elektronik. Sementara sebagian besar orang Indonesia tidak akan pernah mampu membeli layanan e-commerce secara teratur untuk kebutuhan sehari-hari mereka, mereka tak terhindarkan harus bergabung dengan sistem yang mengeruk keuntungan melalui biaya untuk pelayanan mendasar dan penting seperti transportasi, pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan umum.

Indonesia adalah negara yang didominasi oleh modal swasta. Ini menunjukkan cara bahwa segmen spesifik dari kelas atas memperoleh manfaat dari penyediaan layanan kunci yang sifatnya langka bagi masyarakat umum. Orang Indonesia harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk pergi ke tempat kerja, sekolah, rumah sakit dan klinik, membeli makanan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Daripada berinvestasi dalam infrastruktur yang dibutuhkan, Indonesia, negara keempat terbesar di dunia, telah memungkinkan kapitalis komprador domestik yang terhubung dengan modal internasional untuk berinvestasi dalam eksploitasi kelas pekerja Indonesia. Ia bahkan tidak perlu berinvestasi dalam biaya tetap, selain dari jaringan e-commerce swasta dan aplikasinya sendiri. Alih-alih ia mengandalkan modal pekerja yang secuil saja — sepeda motor mereka. Ini memberikan layanan yang dulunya disediakan oleh keluarga dan anggota-anggota masyarakat setempat.***

 

Immanuel Ness adalah profesor ilmu politik di Brooklyn College, City University of New York (CUNY). Prof. Ness adalah juga editor dari The Journal of Labor & Society, dan menulis puluhan buku dan artikel ilmiah, di antaranya Southern Insurgency: The Coming of the Global Working Class (2015) dan Immigrants Unions & The New US Labor Market (2005).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.