Kredit foto: adambeeldenva1900.blogspot.com
“SEORANG politikus tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal humanisme, humanitas secara modern. Dan politikus tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politisi kejam. Pertama, dia tidak mengenal sejarah Indonesia. Dua, tidak mengenal humaniteit, humanisme secara modern. Dan bisa menjadi kejam.”
Kalimat ini berasal dari Penulis Tetralogi “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) dalam sebuah wawancara yang bisa ditonton di Youtube.
Mengapa Multatuli begitu penting?
Saya kira, salah satu alasannya terdapat dalam kisah berikut.
Upik Keteh dan Kisah Pemahat Batu dari Jepang
Dalam “Max Havelaar” (Bab 10, pp. 189-200), pembaca akan menemukan cerita menarik Multatuli tentang Si Upik Keteh.
Si Upik Keteh (Nona Kecil) adalah seorang gadis 13 tahun dari Natal, Sumatera. Dia adalah putri seorang datuk, pemimpin pribumi Melayu pada era kolonial dan feodal dulu.
Max Havelaar, Seorang Asisten Residen Lebak-Banten, bertemu dengan Upik Keteh di Kota Natal pada tahun 1842. Saat itu, ia menjadi Pengawas di Natal. Tugasnya adalah mengawasi perkebunan merica di Pantai Teluk-Balai yang terletak di sebelah utara Kota Natal. Ia “menganggap tugas mengawasi perkebunan merica adalah merendahkan martabat saya, bahwa saya seharusnya telah ditunjuk menjadi gubernur sebuah sistem matahari dahulu kala.”
Saat Max Havelaar bertemu Si Upik Keteh untuk pertama kali di atas sebuah perahu di Pantai Natal, Upik Keteh sedang sibuk memasukkan manik-manik ke sebuah tali dengan segenap perhatian. Ia meremehkannya. Di matanya, Si Upik Keteh, gadis 13 tahun dari Datuk Melayu itu, adalah makhluk menyedihkan atau semacam itu “karena dalam penilaian saya, saya jauh lebih terhormat dari dia.”
Akan tetapi, saat pukul 6 sore tepat dan Natal tinggal terletak 5 menit di sebelah utara, Max Havelaar menceritakan dongeng “Pemahat Batu dari Jepang” karya Jeronimus yang ia baca di Majalah Hindia Belanda Timur kepada Si Upik Keteh.
Dongeng “Pemahat Batu dari Jepang” menceritakan kisah tentang seorang pria pemahat batu yang selalu merasa kurang dan tidak pernah puas dengan upahnya yang kecil. Suatu ketika, datanglah malaikat dari surga yang sanggup memenuhi semua impiannya hingga yang paling liar. Pertama-tama, pria pemahat batu itu meminta menjadi kaya. Maka, jadilah ia kaya. Akan tetapi, saat dilihatnya seorang raja negeri itu melintas dengan payung emas di kepala diiringi pasukan berkuda, ia hendak menjadi raja. Maka, jadilah ia raja. Lalu, sinar matari yang terik membakar wajahnya. Ia ingin menjadi matari. Maka, jadilah ia matari. Tetapi, awan menghalangi matari dan memantulkan sinarnya kembali. Ia mau menjadi awan. Maka, jadilah ia awan. Awan menurunkan hujan, menghijaukan tetumbuhan, mendatangkan banjir, dan menghalau segala jenis benda di atas bumi. Namun, sebuah batu tetap kokoh tak tergoyahkan. Ia ingin menjadi batu. Maka, jadilah ia batu. Lalu, seorang pria dengan kapak di tangan menetak dadanya hingga hancur. Betapa perkasanya pria itu! Ia mau menjadi pria itu. Maka, jadilah ia pria pemahat batu. Ia bekerja keras menetak batu untuk mendapatkan sedikit upah. Dan ia merasa puas.
Max Havelaar lalu bertanya kepada Upik, “Dan kau Upik, apa yang akan kau pilih, jika seorang malaikat turun dari langit dan bertanya apa yang paling kau sukai?”
Si Upik Keteh, gadis 13 tahun itu, menjawab: “Tuan, saya akan berdoa agar dia membawa saya kembali ke surga bersamanya.”
Sejarah Indonesia dan Humanisme
Cerita Multatuli dalam “Max Havelaar” sarat dengan kritik atas feodalisme dan kolonialisme di bumi Indonesia. Indonesia pada masa Multatuli dipimpin oleh kekuasaan feodal dan kolonial sekaligus. Dua-duanya korup. Para pemimpin feodal menggelayut di pundak pemimpin kolonial untuk mendapatkan remah-remah jabatan dari meja gubermen, sedangkan para pemimpin kolonial memboncengi pemimpin feodal untuk memuluskan langkah menggenggam nasib pribumi Hindia.
Feodalisme dan kolonialisme adalah bagian dari periode sejarah yang menentukan Indonesia hari ini. Membaca dan memahaminya adalah syarat untuk memahami dan memperbaharui Indonesia hari ini. Tanpa pengetahuan dan pemahaman tentang feodalisme dan kolonialisme di Nusantara, kita akan gagap dan gugup menghadapi tantangan keindonesiaan dewasa ini.
Korupsi, suatu kata yang digunakan Multatuli secara eksplisit dalam “Max Havelaar”, adalah salah satu tantangan utama keindonesiaan sekarang. Korupsi di negeri khatulistiwa ini sudah mencapai taraf yang sangat akut. Kita sudah amat sering membaca dan menonton operasi tangkap tangan lembaga antirasuah terhadap para penjabat korup. Korupsi memamahbiak mulai dari pusat hingga ke daerah, dari pimpinan pangkat tertinggi hingga pangkat terendah, dari lembaga politik hingga ke lembaga agama dan adat.
Penjajahan dan penghisapan dalam sistem feodalisme dan kolonialisme selama bertahun-tahun ternyata bukan saja menguras sumber daya alam tetapi juga membuat mental bangsa ini keropos. Pram tidak ragu menyebut mental bangsa Hindia korup sejak dalam pikirannya. Padahal seorang terpelajar mesti berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Mental tidak pernah puas positif jika diterapkan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi akan menjadi sebuah petaka kalau diterapkan dalam bidang ekonomi-politik. Kekuasaan ekonomi-politik membutuhkan virtue, kebajikan seperti keadilan. Tanpa keadilan, eksploitasi atas manusia oleh manusia akan terus terjadi.
Feodalisme dan kolonialisme belum berlalu dari bumi Indonesia. Para pemimpin feodal atau aristokrat tradisional pada masa lampau sudah mereproduksi kekuasaannya secara modern melalui penguasaan sistem ekonomi politik di negeri ini. Jika dulu para aristokrat tradisional menjadikan tanah sebagai modal dan sumber produksi utama, maka sekarang mereka menjadikan sistem kekuasaan ekonomi politik sebagai sumber produksi utama. Maka orang berlomba-lomba menjadi penjabat dan politisi dengan terjun langsung ke medan politik. Sialnya, politik tidak dipahami sebagai panggilan, politic as vocation, sebagaimana Max Weber memahaminya, tetapi politik dipahami sebagai ladang ternak untuk mengakumulasi modal dan kekayaan. Korupsi adalah jalan paling pendek dan mudah untuk mengakumulasi modal dan kekayaan.
Kolonialisme wajah baru tampak dalam dominasi sistem ekonomi neoliberalisme yang melahirkan ketimpangan sosial ekonomi yang semakin besar. Versi pemerintah, angka ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia berkurang dengan Gini Ratio Indonesia pada Maret 2018 mencapai angka 0,389. Akan tetapi, kita tahu, jurang antara si kaya dan miskin masih menganga terlampau lebar. Ketimpangan pendapatan dan pengeluaran penduduk mustahil diatasi jika kita membiarkan diri dicengkeram oleh sistem ekonomi neoliberalisme yang secara struktural mengakibatkan kemiskinan pada sebagian besar kelompok tertentu di satu sisi dan mendatangkan kekayaan berlipat ganda pada sebagian kecil kelompok lainnya di sisi lain.
Akhirnya, politikus mesti membaca Multatuli karena hanya dengan mengenal sejarah bangsa ini dengan segala intrik feodalisme dan kolonialismenya, ia dapat menjadikan politik sebagai panggilan mengabdi kemanusiaan.***
Silvano Keo Bhaghi adalah alumnus STFK Ledalero