Kredit foto: ranahsuratkabar-online.blogspot.com
PERTAMA, izinkan saya memulai dengan cerita pribadi. Sepanjang Juli 2011 hingga Mei 2017, saya kuliah di jurusan biologi Fakultas MIPA satu perguruan tinggi di Medan. Dari sejumlah mata kuliah yang diajarkan, saya tertarik perihal lingkungan. Karena itu, saya menghabiskan lebih banyak waktu membaca buku-buku menyangkut topik tersebut, ketimbang yang lain.
Di kampus, ada beberapa organisasi yang membidangi masalah lingkungan, baik pada tingkat jurusan, lintas jurusan, dan lintas kampus. Di jurusan biologi sendiri, sedikitnya dua organisasi yang semacam itu. Organisasi ini memiliki anggota lumayan banyak –tentu tidak lebih banyak dibandingkan, katakanlah, himpunan mahasiswa jurusan, organisasi keagamaan dan kedaerahan. Namun saya tidak bergabung dengan organisasi tersebut, kendati saya mengaku peduli alam raya. Beberapa kawan menganggap saya “berkhianat”. Tetapi saya punya alasan untuk itu.
Tulisan ini memuat alasan saya tidak bergabung dengan organisasi lingkungan bersama mahasiswa eksakta, khususnya biologi. Selain itu, saya menguraikan hal yang kerap alpa dibicarakan oleh mahasiswa biologi dalam perjuangan lingkungan. Pendapat saya ini semata-mata hasil pengamatan saya di kampus saya dan beberapa kampus lain di Medan.
Krisis Ekologi Bukan Krisis Moral
Tidak sukar bagi kita menyebutkan persoalan lingkungan hidup hari-hari ini. Katakanlah: polusi, penggundulan hutan, banjir, pemanasan global, hujan dan perairan dengan tingkat keasaman tinggi, erosi hara tanah, dan sebagainya. Contoh yang saya buat ini bukan hal baru bagi saya dan teman-teman kampus. Kami kerap mendiskusikannya (walau saya enggan mengakuinya), sewaktu saya mahasiswa.
Selama diskusi, narasi dominan kami tertuju pada penyebab persoalan lingkungan, yaitu perilaku manusia yang tidak peduli. Mereka lebih suka menebang pohon alih-alih menanamnya. Mereka lebih suka membuang sampah di sembarang tempat. Mereka lalai dan membiarkan peralatan elektronik terhubung dengan listrik setelah tidak digunakan lagi. Mereka tidak sabar menggunakan pupuk organik. Singkatnya, mereka egois dan bermoral rendah.
Identifikasi masalah ditemukan dan segera dicarikan solusi. Teman-teman saya menggalang aksi. Sejumlah kegiatan dilakukan. Suatu kali, saya melihat foto teman-teman saya (saya tidak pernah turut) menanam bakau di air payau. Mereka rela diterpa terik mentari. Tidak tanggung-tanggung, mereka bekerja sama dengan pemerintah setempat. Suatu kali yang lain, teman-teman saya mendatangkan selebriti dari Jakarta. Ia berceramah di aula kampus tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Suatu kali yang lain lagi, teman-teman saya mengadakan perlombaan cipta karya dari barang-barang bekas untuk anak sekolah. Saya, sebagai teman, bangga kepada mereka atas kerja kerasnya. Saya berdoa, siapa saja hadir di kegiatan-kegiatan itu, tetap bersahabat dengan lingkungan.
Namun, saat semangat teman-teman saya membuncah, saat itu pula saya cemas. Saya merasa perbedaan pendapat di antara kami “mengganggu” saya. Bagi saya, krisis ekologi bukan disebabkan krisis moral semata. Krisis ekologi terjadi karena adanya corak produksi yang membebani lingkungan. Titik masalah ada pada pola pengorganisasian kegiatan produksi. Tentu pendapat ini bukan sepenuhnya murni hasil olah pikir saya. Untuk memahami hal itu, saya telah dibantu oleh pemikir-pemikir Marxis.
Jika krisis ekologi bukan karena kurangnya moral maka tindakan yang diambil teman-teman saya kurang relevan. Menanam pohon dan menghemat konsumsi listrik tentu saja sikap yang baik. Namun itu bukan jawaban atas krisis ekologi, yang telah saya katakan sebabnya, yaitu “adanya corak produksi yang membebani lingkungan.”
Biang Kerok Kehilangan
Mungkin banyak pembaca keberatan dengan paragraf-paragraf terakhir dia atas. Mungkin juga sebagian mulai berkata bahwa saya hanya mengoceh tanpa berbuat sesuatu yang nyata. Semoga saja tidak. Biarkan saya melanjutkan ini. Saya akan memulai lagi dari hutan.
Jejak ekologi untuk hutan kita, misalnya, bukanlah narasi manis untuk hari ini.[1] Ia tidak lagi seindah bayangan tempo dulu, di mana ragam flora dan fauna merayakan hidup di dalamnya. Hal-hal eksotis tentang hutan mulai tergerus. Ibarat sebuah novel, saat ini hutan sedang larut dalam lembar-lembar konflik membosankan, entah kapan klimaks serta akhir kisahnya.
Kita menyesali berbagai kehilangan. Masyarakat lokal menyesal sebab kehilangan akses ke hutan. Lantas mereka berupaya untuk merebut kembali akses itu. Orang-orang Melanesia di Papua kehilangan wilayah adat karena perusahaan tambang beroperasi di sana. Ikan kehilangan “masa-masa menyenangkan” karena sungai tercemar limbah tambang. Kita nyaris kehilangan orangutan, lalu berupaya untuk melestarikannya. Barangkali hutan juga sedang “menjerit” atas kehilangan sejumlah “anaknya”. Singkatnya, kita atau bumi ini mewariskan kehilangan untuk masa depan.
Sebab kita kehilangan pepohonan, lantas kita berkampanye menanam pohon sebagai reaksinya. Pemerintah dan masyarakat berbondong-bondong menanam bibit tetumbuhan. Dengan laku ini, kita berpikir telah berbuat nyata untuk alam. Ya, memang sudah. Namun, sialnya, pada saat yang sama, pemerintah mengizinkan penebangan pohon terus berlanjut. Jangan-jangan, kita menanam pohon hanya untuk menggelar karpet merah menuju kehilangan lagi.[2] Dari sudut ini, kita begitu naif.
Kini sampailah kita pada penyebab kehilangan. Muasalnya terdapat pada corak produksi yang membebani lingkungan. Corak produksi berpondasi akumulasi modal. Awalnya modal masuk ke bentang ekologi, katakanlah hutan. Ia diasumsikan akan melahirkan keuntungan. Nilai guna yang dikandung hutan dipandang oleh pemilik modal sebagai nilai tukar. Maka komponen ekologi diubah menjadi komoditas.
Setiap komoditas menghasilkan laba. Lalu laba dijadikan modal dengan menanamnya kembali untuk membuahkan komoditas dan laba berikutnya. Dengan logika ini, hutan diekstrak demi akumulasi modal dan pundi-pundi keuntungan. Tuntutan akumulasi berarti meneruskan ekstraksi alam. Sumber daya ekologi dibenarkan untuk dieksploitasi sedemikian laju. Alhasil, krisis ekologi adalah keniscayaan dari logika corak produksi ini.
Untuk konteks Indonesia, jalan ini diawali dengan falsafah yang memasukkan logika pasar ke dalam ekologi. Demi memastikannya, berbagai undang-undang dibuat untuk menunjang corak produksi tersebut. Akses terbuka bebas. Narasi pertumbuhan ekonomi disemai untuk membasmi tuntutan penolakan terhadapnya. Padahal hanya pemilik modal yang mengisap sari pertumbuhan ekonomi. Orang-orang yang berada di dalam atau sekitar bentang ekologi, justru kehilangan sumber ekonomi. Sementara itu, dari sisi lingkungan, menghidangkan ekologi pada altar logika pasar bebas akan berdampak buruk dibanding, misalnya, pengelolaan oleh komunitas lokal.[3]
Akhir-akhir ini, hubungan kelestarian alam dan pertumbuhan ekonomi mulai diselaraskan. Ide ini lahir dari tanggapan atas meluasnya krisis ekologi dan maraknya penolakan bisnis perusak lingkungan. Bila sebelumnya ide ekonomi dimasukkan ke dalam ekologi, maka hari-hari ini ide ekologi berupaya disuntikkan ke dalam ekonomi.[4] Dengan begitu, bisnis dapat diwacanakan peduli lingkungan. Inilah yang kita sebut dengan istilah bisnis ramah lingkungan atau berkelanjutan. Bahkan, perkembangan mutakhir mengenai bisnis berkelanjutan tidak hanya merupakan hubungan antara ekonomi dan ekologi, tetapi juga memuat aspek sosial.[5]
Bisnis berkelanjutan berjalan tidak seperti yang diharapkan. Aspek ekologi dan sosial tetap terdampak buruk. Kalkulasi oleh Spaiser, dkk. menunjukkan gagalnya agenda keberlanjutan selagi dieksekusi oleh paradigma bisnis seperti biasanya (business as usual).[6] Dengan kata lain, bisnis berkelanjutan bukanlah soal perbaikan ekologi bila masih mengadopsi corak produksi yang sama.[7] Corak produksi berasas akumulasi modal bukanlah solusi. Untuk memperjuangkan lingkungan, kita harus mengganti corak produksi yang membebaninya.
Penutup
Saya menutup tulisan ini dengan “menggoda” kawan-kawan saya mantan mahasiswa eksakta, khususnya biologi. Tidak menutup kemungkinan juga ditujukan ke mahasiswa biologi di dalam dan di luar Medan, yang tidak saya kenal. Saya menamai ini surat rindu, bila kurang pantas dikatakan surat cinta. Godaan saya, meminjam kata-kata Adam: Apakah kita betah seranjang dengan musuh?***
Jakarta, 10 Oktober 2018
Jasman F. Simanjuntak, Divisi Literatur dan pegiat kajian agraria Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba
Kepustakaan:
Adams, William M. (2017), “Sleeping with the enemy? Biodiversity conservation, corporations and the green economy”, Journal of Political Ecology 24(1): 243-257.
Ajmal, Mian M., Mehmood Khan, Matloub Hussain & Petri Helo (2017), “Conceptualizing and incorporating social sustainability in the business world”, International Journal of Sustainable Development & World Ecology, DOI: 10.1080/13504509.2017.1408714
FWI/GWF (2001), Keadaan Hutan Indonesia, Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch.
Magdoff, Fred dan John Bellamy Foster (2011), What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment, New York: Monthly Review Press.
Mshale, Baruani (2015), “Right, resources and environmental impacts: A complex but crucial link” https://forestsnews.cifor.org/27366/right-resources-and-environmental-impacts-a-complex-but-crucial-link?fnl=en diakses 6 Oktober 2018.
Simanjuntak, Suryati (2017), “Peralihan Tanah Adat dengan Dalih Penanaman Pohon” https://medium.com/literasi/peralihan-tanah-adat-dengan-dalih-penanaman-pohon-47a3bead8024 diakses 6 Oktober 2018.
Spaiser, Viktoria, Shyam Ranganathan, Ranjula Bali Swain & David J. T. Sumpter (2017) “The sustainable development oxymoron: quantifying and modelling the incompatibility of sustainable development goals”, International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 24(6): 457-470, DOI: 10.1080/13504509.2016.1235624
———–
[1] Lihat, misalnya, FWI/GWF (2001), Keadaan Hutan Indonesia, Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch.
[2] Simanjuntak, Suryati (2017), “Peralihan Tanah Adat dengan Dalih Penanaman Pohon” https://medium.com/literasi/peralihan-tanah-adat-dengan-dalih-penanaman-pohon-47a3bead8024 diakses 6 Oktober 2018.
[3] Mshale, Baruani (2015), “Rights, resources and environmental impacts: A complex but crucial link” https://forestsnews.cifor.org/27366/rights-resources-and-environmental-impacts-a-complex-but-crucial-link?fnl=en diakses 6 Oktober 2018.
[4] Adams, William M. (2017), “Sleeping with the enemy? Biodiversity conservation, corporations and the green economy”, Journal of Political Ecology 24(1): 243-257.
[5] Ajmal, Mian M., Mehmood Khan, Matloub Hussain & Petri Helo (2017), “Conceptualizing and incorporating social sustainability in the business world”, International Journal of Sustainable Development & World Ecology, DOI: 10.1080/13504509.2017.1408714
[6] Spaiser, Viktoria, Shyam Ranganathan, Ranjula Bali Swain & David J. T. Sumpter (2017) “The sustainable development oxymoron: quantifying and modelling the incompatibility of sustainable development goals”, International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 24(6): 457-470, DOI: 10.1080/13504509.2016.1235624
[7] Magdoff, Fred dan John Bellamy Foster (2011), What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment, New York: Monthly Review Press, hlm. 8.