Henri de Lubac SJ. Kredit ilustrasi: Thinking Faith
‘Allah adalah Dia yang berada dekat bahkan bersatu dengan manusia.’
DEMIKIANLAH salah satu pemikiran yang terkenal dari Henri de Lubac. Lubac coba membongkar kemapanan teologi Neo-skolastik yang cukup lama menyekap Gereja pada masanya. Ia tampil sebagai seorang pembaharu teologi Katolik dengan pemikiran teologis yang brilian dan memfokuskan kedekatan Allah dengan manusia, penyatuan antara dunia nyata dan dunia seberang. Namun, pemikiran-pemikiran Lubac dipandang Gereja sebagai sebuah kecelakaan tragis dan oleh karena itu, hampir seluruh karyanya diberangus oleh Gereja.
Dalam makalah ini, kami sejauh mungkin inigin memperkenalkan Lubac dan gagasan-gagasannya. Sekiranya, tetap ada yang dapat dipetik dan dihayati dalam hidup keberimanan kita.
Henri de Lubac: Sebuah Perkenalan
a. Riwayat Hidup[1]
Henri de Lubac lahir pada tahun 1896 di Cambrai. Tahun 1913 ia masuk Ordo Jesuit, sebuah Ordo yang terpaksa bermisi di tempat pembuangan akibat undang-undang Negara Perancis yang anti-ordo. Ketika sedang menempuh pendidikan di London, ia dipaksa untuk menjalani wajib militer dari tahun 1915-1918, sebagaimana harus dilakukan oleh semua klerus pada masa itu. Di medan pertempuran ia mengalami luka parah di kepala yang menyebabkan ia menderita seumur hidup. Dalam ordonya, ia bersahabat dengan Pierre Teilhard de Chardin, seorang teolog Prancis. Chardin coba menjembatani dunia ilmu alam dan iman. Lubac turut membela teologi Chardin dari serangan kaum konservatif.
Tahun 1929 Lubac menjadi profesor pada Fakultas Teologi di Lyon. Ia turut bergabung dalam sebuah kelompok anti-Nazi dan oleh karena itu beberapa kali ia ditangkap pihak Nazi. Pada tahun 1960 Paus Yohanes XXIII memilihnya menjadi penasihat komisi persiapan teologi konsili. Pada awal Konsili Vatikan II, ia diangkat menjadi penasihat ahli. Ia turut mengerjakan teks-teks penting konsili dan kemudian menjadi konsulator pada sekertariat pasca konsili menyangkut kaum bukan Kristen dan kaum tidak beriman.[2]
b. Karya-karya[3]
Selamanya hidupnya, Lubac menghasilkan banyak karya yang dituangnya dalam berbagai tulisan. Tahun 1938, terbit karyanya yang termasyur Catholiscisme: Les aspects Sociaux du Dome (Katolisisme: Aspek–aspek Sosial Dogma), sebuah karya yang menandai babak baru teologi Katolik. Tahun 1944, terbit karyanya yang kedua yakni Corpus Mysticum yang kemudian diberangus. Karyanya Surnaturel (Dunia Adikodrati) terbit pada tahun 1946, juga dihancurkan Gereja. Dapat dikatakan, hampir semua karya de Lubac ‘dibersihkan’ oleh Gereja. Rak-rak buku pada perpustakaan umum dan perpustakaan Yesuit disita, dan Lubac dilarang memberi kuliah.
Henri de Lubac tentang Dunia Kodrati dan Adikodrati
a. Latar Belakang Pemikiran[4]
Lahirnya pemikiran de Lubac mengenai dunia adikodrati dikarenakan penolakannya terhadap pemikiran Neo-skolastik yang memisahkan dunia adikodrati dan kodrati. Atau, dengan kata lain, kaum Neo-skolastik menempatkan keduanya saling berdampingan tanpa hubungan sama sekali. Melawan pemikiran ini, Henri de Lubac menegaskan bahwa ada hubungan dari dalam antara dunia adikodrati dan kodrati. Baginya dunia adikodrati bukan hal yang ditempelkan yang bisa lepas atau jauh tanpa sesuatu pada kodrat. Dunia adikodrati, demikian Lubac, bukan dari luar, melainkan desakan dari dalam kodrat itu sendiri. Iman bukan latihan bagi dunia seberang melainkan harapan di dunia ini. Tidak hanya menyerang pemikiran Neo-skolastik, ia juga menyerang Gereja dengan kritikannya. Dengan itu, Gereja berpandangan bahwa kritik terhadap Gereja merupakan sebuah kejahatan religius karena Gereja merupakan perwakilan Allah di dunia, apalagi oleh anggota Gereja sendiri. Perlawanan Lubac ini bukan melalui suatu tindakan praktis, melainkan melalui tulisan-tulisan teologis yang brilian, yang akan kami bahas pada bagian selanjutnya.
b. Kodrat Seturut ‘Kodratnya’ Melaumpaui Dirinya[5]
Tema-tema teologis de Lubac berkisar pada satu titik pusat, yakni kesatuan antara dunia kodrati dan adikodrati. Menurut kaum Neo-skolastik, kodrat merupakan bagian yang tertutup dalam dirinya sendiri. Ia tertutup terhadap rahmat dan dunia adikodrati. Kodrat menerima dunia adikodrati karena diperintah oleh Allah. Kodrat sebenarnya tak menghendaki dunia adikodrati. Kodrat memiliki tujuannya sendiri. Bagi kaum Neo-skolastik, rahmat merupakan hiasan tambahan bagi tata kodrati yang mandiri, rahmat menjadi ibarat dekorasi mubazir pada kodrat.
Menolak pendekatan ini, Lubac mendasarkan pemikirannya pada ajaran Bapa-bapa Gereja. Menurut Lubac, di atas kodrat tak dapat ditempatkan sesuatu yang adikodrati yang asing baginya. Kodrat dari dalam dirinya mengarah kepada dunia adikodrati, sesuatu yang melampaui kodrat, atau dalam bahasa Maurice Blondel, yang adikodrati juga sekaligus dirindukan dari dalam. Kodrat tidak berorientasi pada dirinya sendiri, pada sesuatu yang bukan kodrat dan yang tak dapat dijangkau kodrat. Dunia adikodrati bukan tingkatan kedua dari kodrat, melainkan penggerak kodrat yang mengarahkannya menuju jalan realisasi diri, dan tanpa dunia adikodrati, kodrat tinggal di tempat. Menurutnya, hubungan antara yang kodrati dan yang adikodrati adalah sebuah paradoks. Di satu sisi manusia secara kodrati ingin memenuhi kekodratannya dalam Allah, tetapi di sisi lain hal itu bukan merupakan keharusan, melainkan hanyalah rahmat kepada siapa Allah ingin memberikannya.[6] Artinya, Allah bebas menganugerahkan rahmat-Nya kepada siapa pun.
Mengikuti Simone de Beauvoir, Lubac mendandaskan bahwa agama bukan pelarian atau pembelotan dari dunia melainkan yang membawa manusia kepada tujuannya. Ia mengandaikan adanya ‘finalitas adikodrati’ di dalam ‘kodrat’ manusia. Dunia adikodrati menghadiahkan identitas kepada kodrat manusia. Dunia adikodrati tidak menyebabkan, sebagaimana sering ditafsir, sebagai keterasingan diri kodrat. Secara paradoksal, kodrat manusia hanya dapat menjangkau dirinya dengan keluar dari dirinya dan melampaui dirinya, karena realisasi diri bukanlah sebuah prestasi manusia.
Pandangan de Lubac yang menyatukan ini memungkinkan manusia sekular-modern menjadi orang Kristen dan yang melindungi orang Kristen dari bahaya skizofrenia terhadap bahaya untuk hidup bersamaan di dunia. Ensiklik Humani Generis Paus Pius ke XII mengecam teologi baru yang diusung de Lubac dan kawan-kawannya karena mereka dituding membahayakan aspek gratis dari rahmat. Teologi Neo-skolastik menitikberatkan pada aspek gratis dari rahmat, bahwa rahmat tidak mesti diberikan kepada kodrat, tetapi merupakan hadiah bebas untuk kodrat. Lubac memang tidak menyangkal ciri hadiah rahmat dan keselamatan, tetapi ia tetap mempertanyakan hal ini dalam sitem penjelasannya. Lubac misalnya berbicara tentang hubungan organis antara kodrat dan rahmat. Dunia adikodrati dan kodrati menurut Lubac cocok satu sama lain dan saling mengisi. Jika mengikuti konsep Thomisme, demikian de Lubac, aspek rahmat dalam Kitab Suci yang tidak terduga dan yang merupakan hadiah, terancam menjadi hadiah tambahan pada kodrat. Rahmat tampaknya secara alamiah melekat pada manusia, ibarat gaya berat pada batu. Akan tetapi, manusia tak dapat menghadiahkan rahmat, tak dapat memberikan pengampunan atas dosa-dosanya. Pandangan Lubac ini berusaha menyatukan secara total pandangan tradisional tentang Allah, dan bahwa dunia kodrati dan adikodrati bukan dual hal yang terlepas satu sama lain, melainkan satu kesatuan. Untuk mengambarkan ini, de Lubac menjelaskan bahwa Allah itu seperti udara yang selalu dihirup manusia, tanpa Allah manusia akan mati lemas. Allah adalah pusat kehidupan manusia.[7]
Catatan dan Relevansi Pemikiran de Lubac
a. Catatan
Agaknya, jika dilihat, pemikiran de Lubac ini rumit dan membutuhkan kejelian dan ketajaman untuk dapat memahaminya. Pada tempat pertama, kami memberikan apresiasi kepada de Lubac yang telah berani mengusik kenyamanan Gereja melalui pemikirannya yang bertolak belakang dengan apa yang telah mapan dalam Gereja. Kami merasa seperti turut ‘ditampar’ oleh Lubac, agar dapat segera bangun dari kepolosan menerima begitu saja pandangan-pandangan teologis tradisional. Namun, kami juga melihat adanya sisi lain dari pemikirannya yang harus dikritisi.
Pertama, Lubac menaruh penekanan yang lebih antara kesatuan dunia kodrati dan adikodrati. Penekanan seperti ini bisa saja memunculkan multi-tafsir atasnya. Dengan memutlakkan kesatuan yang kodrat dan yang adikodrati, ciptaan dan Pencipta turut disatukan karena ketiadaan dikotomi. Konsekuensi logisnya, manusia akan merasa sama seperti Allah dan oleh karena itu memiliki kekuasaan yang setara dengan Allah. Ini yang tidak dapat diterima karena pada hakikatnya wahyu merupakan inisiatif Allah dalam mendekati manusia, dan iman merupakan jawaban manusia atas inisiatif Allah tersebut, sehingga manusia tidak dapat sejajar dengan Allah.[8]
Kedua, dengan menekankan bahwa kodrat itu memiliki kepenuhan dalam yang adikodrati dan yang kodrat seutuhnya digerakan oleh yang adikodarti, de Lubac seakan mengabaikan otonomi manusia yang justru menjadi kodrat manusia itu sendiri. Manusia diberi kehendak bebas, sehingga manusia bebas melakukan apa saja dan tidak semua yang dilakukan manusia mengarah kapada yang adikodrati seperti yang diajarkan Lubac.[9] Secara eksistensial, manusia dengan otonominya dalam kemenduniaannya selalu berhadapan dengan berbagai kemungkinan untuk mewujudkan dirinya tergantung dari apa yang dipilihnya. Dengan ini sebenarnya Lubac sedang meremehkan otonomi manusia.
Ketiga, dengan mempelajari secara saksama pemikiran Henri de Lubac, kami mengambil kesimpulan, ajaran ini cukup membahayakan aspek gratis dari rahmat. Hemat kami, apa yang diperjuangkan oleh kaum Neo-skolastik itu ada benarnya juga, yakni menitikberatkan aspek gratis dari rahmat. Manusia tidak perlu bekerja keras untuk memperoleh rahmat karena itu diberikan secara cuma-cuma oleh Allah. Hanya saja, butuh kerja sama dari pihak manusia agar rahmat itu berdaya guna.
Dan keempat sekaligus terakhir, realitas yang terjadi sekarang kurang lebih persis seperti yang dikatakan de Lubac. Orang mengakui diri sebagai beriman tetapi tidak mau terikat pada lembaga agama tertentu dengan segala macam aturan dan larangan. Model beriman seperti ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Iman memang berkaitan dengan yang transenden, tetapi akal kita pun mesti memahami apa yang kita imani. Jika kita beriman dan tidak mau mengikuti dogma Gereja, itu sama saja kita tidak mengakui Gereja. Bukankah Kristus telah memberi mandat dan kuasa untuk Gereja? Beriman kepada Kristus tetapi tidak mengakui Gereja sama saja tidak beriman.
b. Relevansi
Pemikiran-pemikiran Henri de Lubac sangat mustahil untuk dimengerti tanpa mencernanya dengan baik. Seakan menampar kita agar bangun dari konsep dasar kita tentang Allah, de Lubac mengatakan bahwa sebagaimana seorang yang beriman, kita harus yakin bahwa Allah yang kita imani itu bukan Dia yang berada jauh di dunia seberang, melainkan yang ada dekat kita. Kenyataannya, kebanggaan akan keberhasilan diri menjadi yang sering dilakukan oleh manusia. Dalam kebangaan itu kita semacam terkena amnesia kronis bahwa keberhasilan itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah. Maka, Lubac sesungguhnya mendorong kita agar selalu bersyukur atas rahmat itu dan alangkah baiknya jika kemampuan yang ada pada kita digunakan demi kemuliaan Allah. Kodrat harus melampaui dirinya dan terarah pada yang adikodrati.
Sebagai agen-agen pastoral kini dan di masa depan, kiranya anjuran ini mesti menjadi acuan dalam menjalankan tugas kita untuk menyadarkan umat bahwa kita tidak hanya berharap pada Allah yang berada di seberang, melainkan juga berharap pada Allah yang berada di sisi kita dalam setiap aktivitas hidup kita. Hal ini perlu agar kita tidak menjadikan Allah sebagai seorang pengibur dan sumber pengharapan yang sia-sia tanpa melakukan sesuatu menurut kemampuan yang telah dianugerahkan kepada kita. Rahmat memang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah, tetapi rahmat itu tidak boleh tidur-tidur saja, melainkan digunakan atau dengan meminjam kata-kata dalam Injil, uang itu harus dijalankan kalau tidak diberikan kepada orang yang menjalankan uang.
Selain itu, sedikit provokatif, Lubac mengingatkan kita untuk tidak serta-merta menerima apa yang dikeluarkan Gereja, karena menurutnya Gereja bukanlah yang adikodrati. Hal ini tidak berarti bahwa ia menyarankan kita untuk melawan Gereja atau murtad, tetapi untuk lebih jeli dan selektif dalam menerima ajaran Gereja yang menyimpang. Toh, kita tidak dapat mengingkari sejarah, bukan? Contoh praktis lainnya, berkaitan dengan masalah ekologis, pemikiran Lubac dapat menjadi acuan dalam melawan perusakan alam. Kalau segala sesuatu dilihat selalu mengarah pada yang adikodrati, alam pun tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri melainkan tertuju pada Allah. Jika konsep ini dipahami oleh semua orang, niscaya aktivitas pengrusakkan alam pelan-pelan dapat dikurangi.
Rangkuman
Soal yang cukup serius ialah bagaimana menjelaskan maksud dari pernyataan, dunia adikodrati bukan paksaan dari luar melainkan ada dalam yang kodrati. Dunia adikodrati dan kodrati menurut de Lubac cocok satu sama lain dan saling mengisi. Di sini, sebagai contoh, iman kepada Allah tidak muncul karena paksaan, melainkan lebih oleh desakan dari dalam. Artinya, iman kepada Allah itu hanya mungkin apabila manusia memiliki kerinduan untuk menyandarkan diri pada sesuatu yang melampaui dirinya, yakni Allah itu sendiri.
Berhadapan dengan kaum ateis, misalnya, bagaimana pula gagasan de Lubac ini diperkenalkan? Kita sadari, realitas yang terjadi di dunia yang kian sekular dewasa ini, orang memang beriman tetapi tidak ingin terikat pada suatu lembaga agama tertentu. God, yes; religion, no! Memang cukup, bahkan amat sulit, menjelaskan gagasan de Lubac pada sesama kita yang begitu mengandalkan rasionalitas radikal dan yang selalu menginginkan adanya bukti empiris dalam hal keberimanan. Namun, kita dapat menunjukkan itu lewat aksi nyata sebagai bukti aplikasi pemahaman kita atas gagasan de Lubac.
Soal lain yang tak kalah penting, mengapa de Lubac yang pernah dituduh sebagai pembangkang justru kembali dirangkul oleh Paus Yohanes XXIII dan diakui sebagai salah satu teolog penting? Ini sekaligus menjadi contoh betapa Gereja, sejak Yohanes XXIII, mulai terbuka dan keluar dari cangkang eksklusivitasnya. Gagasan-gagasan de Lubac ternyata berperan penting bagi Konsili Vatikan II, sebuah lembaran baru dalam sejarah Gereja yang ingin senantiasa berubah. Ecclesia semper reformanda!
Penutup
Henri de Lubac dan beberapa teolog lainnya digolongkan sebagai kelompok teologi baru atau nouvelle teologie. Kebaruan teologi mereka disembunyikan dalam balutan hal yang lama. Mereka menginginkan pembaruan dengan bertolak dari sumber-sumber Kristiani. Lubac menegaskan, “Hanya sesuatu yang berakar yang bisa bertahan hidup.” Harus diakui bahwa Lubac memberi sumbangsih yang besar bagi perkembangan Gereja pasca Konsili Vatikan II. Ia meyakinkan kita bahwa Allah bukan hanya satu realitas yang jauh dari kita melainkan sekaligus berada dekat dan bersama kita.
Meminjam A. N. Whitehead, Dia ada bersama setiap satuan aktual.[10] Henri de Lubac adalah representan sebuah katolisisme yang lain dan yang lebih baik karena ia menghayati apa yang ia ajarkan.***
Kedua penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere. Mariano merampungkan skripsinya dengan judul ‘Meneropong Demokrasi Indonesia dalam Terang Pemikiran Plato dan Relevansinya bagi Kesadaran Warga’ dan Reinard menggarap ‘Etika Globa Hans Küng. Ihwal Tanggung Jawab Agama-agama dalam Mewujudkan Perdamaian dan Relevansinya bagi Indonesia’. Saat ini sama-sama tinggal di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kepustakaan:
Buku-buku
Kleden, Paulus Budi. Dialog Antara Agama dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead. Maumere: Ledalero, 2002.
……………………………. Membongkar Derita. Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Maumere: Ledalero, 2006.
Poehlmann, Horst G. Pembaruan Bersumber Tradisi. Potret 6 Teolog Besar Katolik Abad Ini. Penerj. Alex Armanjaya dan Georg Kirchberger. Ende: Nusa Indah, 1998.
Sabari, Henry S. Menggugat Manusia Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Internet
Teologi Henri de Lubac, http://www.credenda.org/index.php/Theology/henri-du-lubac-and-catholic-renewal.html.
————-
[1]Horst G. Poehlman, Pembaruan Bersumber Tradisi. Potret 6 Teolog Besar Katolik Abad Ini, penerj. Alex Armanjaya dan Georg Kirchberger, (Ende: Nusa Indah, 1998), hlm. 43-45.
[2]Paulus Budi Kleden, Membongkar Derita. Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Maumere: Ledalero, 2006), hlm. 122-123.
[3]Horst G. Poehlman, op. cit., hlm. 45.
[6]Lih. Teologi Henri de Lubac (Online), (http://www.credenda.org/index.php/Theology/henri-du-lubac-and-catholic-renewal.html, diakses 3 Maret 2016).
[8]Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 1.
[9]Henry S. Sabari, Menggugat Manusia Moderen (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 65.
[10]Paulus Budi Kleden, Dialog Antara Agama dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 65.