Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
KELAYAKAN Indonesia dalam menyandang identitas sebagai negara agraris kini tengah dalam ujian berat. Pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan akan hal ini sudah sering disuarakan melalui pemaparan fakta-fakta kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak petani melalui media masa koran ataupun televisi.
Salah satu masalah yang dapat dilihat dan bahkan membuat pertanyaan “masihkah pantas Indonesia dikatakan sebagai negara agraris?” adalah maraknya alih fungsi lahan skala besar yang menyebabkan keberatan dan perlawanan dari warga. Contoh kasus dari hal ini adalah alih fungsi lahan menjadi Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka atau New Yogya International Airport (NYIA) di Kulon Progo, yang melibatkan warga desa dan juga para aktivis yang ikut tergerak untuk membela warga desa.
Konflik skala besar tersebut bukan menjadi fokus artikel ini, melainkan ancaman-ancaman lain yang bergerak di wilayah superstruktur yang membuat orang-orang tidak mudah untuk melihat bahaya dan ancaman di tengah masyarakat pertanian. Untuk melihat fenomena ini, baiknya kita ikuti tesis Jean Baudrillard mengenai peralihan masyarakat modern ke postmodern, yaitu adanya peralihan penilaian komoditas dari exchange-values (nilai-tukar) dan use-value (nilai-guna) menjadi sign-value (nilai-tanda).[1] Konflik-konflik yang tidak terlihat dan hadir di tengah masyarakat pertanian ini erat kaitannya dengan pergeseran sign-value yang tidak disadari atau tergolong sulit untuk dilihat karena tertutup oleh kabut hyper-realitas (ketidakmampuan kesadaran untuk membedakan antara realitas dari realitas yang palsu), yang terlalu pekat.
Hyper-realitas dan konsumerisme
Satu hal yang seolah berjodoh dan pasti muncul dari hyper-realitas adalah konsumerisme. Perasaan kebutuhan yang semakin bertambah di zaman sekarang ini sebenarnya bukan hanya perasaan, melainkan sebuah pergeseran makna dalam masyarakat dikarenakan adanya ‘pengetahuan’ mengenai standar kehidupan, kecantikan dan juga kesehatan yang terus berkembang dan dikembangkan. Hal ini menyebabkan kita tidak lagi benar-benar mengetahui apa yang kita butuhkan. Kita hanya dibekali pengetahuan tersebut dan berada di tengah perputaran perkembangannya.
Dulu kita masih bisa dengan mudah mengenali geliat promosi dari sales-sales yang datang mengetuk pintu untuk menawarkan barang dagangan mereka dengan kalimat-kalimat yang persuasif. Akan tetapi sekarang kita tidak lagi menemukan sales-sales tersebut, kita dibuat menyenangi hiburan yang ada di media seperti televisi atau majalah. Perkembangan ragam media juga mengalami percepatan dengan adanya sosial media dan fenomena seperti selebgram yang semakin meningkatkan kualitas dan standar dalam bergaya untuk menjadi fashionable. Kita tidak lagi bisa mengenali strategi penjualan. Atau sekalipun kita dapat mengenalinya kita sudah terjebak pada keinginan untuk menjadi seperti citraan yang dilihat melalui media tersebut.
Keinginan untuk memiliki barang-barang yang ada di iklan bukan lagi didasari atas kebutuhan subjek atau kegunaan barang tersebut. Sehingga bisa jadi saja konsumen sudah memiliki tas tapi karena ingin tampil modis dengan mix and match warna sepatu dengan tas, maka dia harus membeli lebih banyak tas lagi. Citraan-citraan yang ditampilkan di media membangkitkan keinginan untuk meniru agar bisa terlihat cantik atau tampan dan berkelas. Realitas mengenai kebutuhan dan kegunaan suatu barang telah tertutup kabut tebal hyper-realitas yang terasa lebih nyata dari realitas itu sendiri sehingga menciptakan tuntutan untuk terus dan terus membeli. Dari sinilah kemudian muncul kisah pertautan cinta abadi antara hyper-realitas dan konsumerisme.
Hyper-realitas dan konsumerisme di masyarakat pertanian
Ketika suatu komoditas dilihat dari sign-value maka hal ini akan mendekatkan kita pada kebiasaan untuk pamer untuk mendapatkan prestise. Sebenarnya budaya pamer dan memamerkan harta kekayaan yang sekiranya dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi superior itu sudah ada sejak lama. Persaingan untuk menjadi ‘yang ter-‘ di dalam masyarakat memang sudah lama dibangun dan dilestarikan perkembangannya sampai sekarang. Seperti halnya juga terjadi di masyarakat pertanian.
Adanya akses yang tidak seimbang terhadap lahan, dikarenakan lahan pertanian memang menjadi kodomitas yang diperebutkan. Di tengah masyarakat pertanian, kedekatan akses dengan lahan dan juga berapa luas lahan yang dimiliki menjadi sebuah ukuran penting superioritas seseorang. Dalam hal ini sign-value yang dimiliki lahan pertanian dapat meningkatkan derajat pemiliknya. Akan tetapi hal ini tidak membuat masyarakat pertanian berada dalam situasi hyper-realitas dan juga konsumerisme. Mengapa ?
Hal ini dikarenakan lahan pertanian bukan hanya dilihat dari sign-value nya melainkan juga dari use-value dan exchange-value. Masyarakat pertanian, selain ingin menjadi superior dengan memiliki akses terdekat terhadap sejumlah lahan, mereka juga menginginkan kegunaan dari lahan tersebut yaitu untuk bertani dan menghasilkan komoditas tani yang akan memiliki exchange-value di pasar. Dalam hal meningkatkan daya beli terhadap lahan, petani masih memiliki kemampuan berpikir apa yang dibutuhkannya sebagai petani.
Akan tetapi peralihan sign-value terhadap barang-barang lainnya, juga mulai menjangkiti masyarakat pertanian. Gambaran (image) petani dan profesi bertani sendiri seolah terpisah dan dipisahkan dari perkembangan image masyarakat modern nan modis. Bisa kita perhatikan di awal mulai meledaknya industri televisi dan aksesnya menjadi tak terbatas di mana semua orang sudah mampu membeli televisi. Dari statusnya sebagai barang mewah, televisi sudah menjadi barang yang bisa dimiliki siapa saja. Program-program seperti sinetron ataupun iklan yang ditampilkan di televisi mulai menampilkan image masyarakat modern dengan baju-baju glamor, pekerjaan kantoran, rumah dan juga mobil mewah.
Gambaran petani ataupun orang desa yang dimunculkan dalam acara-acara seperti sinetron berupa seorang yang dekil dengan baju kuno, menjadi pembantu atau menjadi ‘orang hilang’ yang asing dengan kebudayaan kota. Hal ini tentu akan sangat berdampak bagi masyarakat desa atau masyarakat pertanian yang mulai melihat pekerjaan sebagai petani adalah sesuatu yang tertinggal di tengah perkembangan jaman yang sepertinya tidak menyertakan mereka ke dalam lingkaran gambaran masyarakat modern.
Sebagaimana dikatakan oleh Jacques Lacan dalam tahap cerminnya bahwa subjek hanya bisa mengenali dirinya melalui kehadiran orang lain, yang juga bisa diartikan bahwa subjek bisa mengenali dirinya dari penilaian orang lain.[2] Sehingga identitas itu merupakan sesuatu yang didapat dari luar. Melihat bagaimana gambaran masyarakat modern seharusnya, masyarakat di desa mulai meninggalkan profesi sebagai petani dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan kantoran, bahkan mereka lebih memilih pekerjaan blue collar ataupun menjadi tenaga kerja di luar negeri yang bayarannya lebih besar, asalkan tidak bekerja di ladang yang kotor.
Mengejar imaji masyarakat modern karena ingin menjadi bagian di dalam perkembangan sebuah peradaban inilah yang kemudian perlahan-lahan membangun kabut hyper-realitas di tengah masyarakat desa. Hal yang sama juga terjadi di mana-mana, akan tetapi lain dengan masyarakat desa yang ingin mengejar citraan masyarakat modern yang seolah meninggalkan mereka, perubahannya terasa signifikan. Pergeseran makna tidak hanya terjadi pada profesi yang ingin dikejar oleh masyarakat desa, melainkan juga pada bagaimana masyarakat superior dilihat. Walaupun mereka masih melihat kepemilikan terhadap lahan pertanian sebagai sesuatu yang dapat membuat seseorang dipandang superior, namun sekarang kategorinya bertambah untuk menjadi superior. Memiliki lahan saja tidak cukup tapi harus juga memiliki rumah mewah dengan desain yang kekinian, perabotan yang juga semakin menegaskan kemewahan rumah tersebut. Belum lagi dengan keharusan memiliki mobil dan memakai baju-baju yang fashionable mengikuti trend baru bisa dikatakan superior dan mendapatkan prestise.
Pergeseran sign-value lahan
Mengusahakan diri untuk menjadi bagian dari perkembangan masyarakat modern tentu membuat pola pikir masyarakat desa menjadi berubah. Selain terjangkit oleh budaya konsumerisme, masyarakat desa mulai perlahan-lahan menerima pembangunan sebagai hal yang wajar. Pembangunan yang dimaksud di sini adalah pembangunan yang mulai menjadikan desa memiliki akses perbelanjaan dan juga perumahan yang dekat sehingga tidak perlu lagi ke kota dan menjadikan desa sebagaimana layaknya kota. Hal ini membuat batasan desa dan kota semakin kabur, dan secara tidak sadar juga merupakan bagian dari dampak usaha masyarakat desa untuk menjadi modern. Dengan kata lain mempersilahkan hyper-realitas dan konsumerisme untuk semakin masuk ke jantung desa.
Mugkin pembaca sekalian adalah orang desa yang mengambil pendidikan di universitas-universitas besar di kota, atau mungkin bekerja di kota. Ketika Anda pulang ke desa atau bahkan setiap Anda pulang pasti Anda melihat perubahan dari segi pembangunan di desa. Lahan-lahan banyak yang dialihfungsikan menjadi pusat perbelanjaan atau malah menjadi perumahan. Alih fungsi lahan skala kecil dan sifatnya sukarela dari pemilik lahan ke developer ini memang seringkali bukan dianggap sebagai ancaman.
Diawali dari kebutuhan yang mendesak dan tawaran dari developer, pemilik lahan pertanian kemudian akan menjualnya. Masyarakat pertanian sedikit sekali yang menyuarakan protes kepada sang pemilik tanah atau setidaknya melakukan musyawarah desa untuk antisipasi agar lahan pertanian tidak sampai dijual. Kiranya kebutuhan itu masih bisa dipecahkan bersama sehingga lahan tidak perlu dijual. Solusi semacam ini dipandang utopis karena persaingan yang tak terlihat untuk mendapatkan prestise dan menjadi superior kian menajam dan semakin tidak disadari gerakannya. Selain itu juga, memang masyarakat menginginkan adanya akses dekat ke pusat-pusat perbelanjaan dan membeli rumah di perumahan juga akan menaikkan derajatnya untuk dapat dilihat sebagai masyarakat modern. Apalagi ketika perumahan tersebut sudah bisa diakses di desa.
Penjualan lahan atas dasar pemenuhan kebutuhan lainnya tentu dapat diartikan sebagai pergeseran sign-value dari lahan itu sendiri. Lahan pertanian yang dulu diperebutkan kepemilikannya dan dipertahankan sekarang dijadikan layaknya seperti deposito. Sewaktu-waktu apabila ada kebutuhan lainnya maka akan dijual. Sedangkan dengan memperhatikan konsep hyper-realitas dan konsumerisme, maka kebutuhan manusia tidak lagi didasarkan kendali penuh atas manusia itu sendiri melainkan pada sistem kapitalisme. Ini merupakan lingkaran setan gerilya kapitalisme yang seringkali luput dari kategori ancaman besar.
Pelemahan makna terhadap masyarakat pertanian ini berlangsung dalam dua arah: pertama, dengan membuat generasi muda tidak lagi mau bekerja sebagai petani dan juga kepemilikan lahan menjadi hal yang tidak begitu penting. Hal ini sangat dilematis, karena sekalipun kesadaran untuk mempertahankan lahan mulai dibangun, akan tetapi regenerasi petani juga tidak berlangsung, maka tetap saja lahan itu akan kehilangan fungsi dan maknanya. Kalau ini terus dibiarkan, bukan mustahil suatu saat tidak ada lagi lahan yang dimiliki perseorangan melainkan dikuasai oleh korporasi.***
Fitrilya Anjarsari adalah Asisten dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dan penggagas Persatuan Tani Mandiri Indonesia
————
[1] Artikel ini menggunakan kerangka berpikir Jean Baudrillard, silakan baca lebih lanjut dalam: Baudrillard, Jean. [1968] 2006. The System of Objects. (9th edition). Trans: James Benedicts. London: Verso. 1998, The Consumer Society: Myth and Structures. California: SAGE Publication.
[2] Baca lebih lanjut dalam Lacan, Jacques. 2007. Ecrits : The First Complete Edition in English. Trans: Bruce Fink. London: W. W. Norton Company.