Air meti (surut) pada siang hari yang mendung membuat speedboat harus didorong (foto: I Ngurah Suryawan)
FEDELES Manibui, sekretaris Kampung Korano Jaya, Distrik Manimeri, Kabupaten Teluk Bintuni, datang sempoyongan saat pertemuan di balai kampung hampir selesai. Ia yang berdiri sambil tersenyum-senyum menyampaikan bahwa jangan lupakan juga orang-orang asli Papua yang berada di kampung ini. “Saya ini orang asli Bintuni. Saya Wamesa”, ujarnya. Semua peserta pertemuan di balai kampung yang didominasi oleh warga transmigran dari Jawa diam sambil menundukkan kepala. Fedeles sebenarnya adalah pejabat di Kampung Korano Jaya bersama dengan Dedy Ediyanto, kepala kampung yang berasal dari Jawa. Namun entah mengapa, Fedeles malah datang sempoyongan setelah mengonsumsi miras (minuman keras).
Saya tertegun. Ini adalah kritik bagi orang Papua jika ingin belajar maju bersama. Tidak jarang saya lihat—entah di kampung ataupun di kota—situasi hidup yang sulit dan mendesak mereka sering ditanggapi dengan pelarian ke miras, bukan dengan berjuang. Suka atau tidak, mau tidak mau, saya kira orang Papua harus mengambil sikap dalam perubahan yang tak terhindarkan terjadi di tanah mereka. Ini saya kira tidak hanya terjadi pada orang Papua. Ini terjadi juga pada orang Bali, orang Dayak Kanayatn, atau orang di belahan bumi lainnya yang terpapar perubahan sosial.
Sejatinya, Kampung Korano Jaya adalah kampung yang inspiratif. Berbagai kegiatan kewirausahaan berlangsung aktif di kampung ini dan mampu menggerakkan perekonomian masyarakatnya. Pertemuan dengan warga Kampung Korano Jaya pertengahan November 2016, berkeinginan untuk menggali inisiatif usaha-usaha kecil yang ingin dikembangkan guna perbaikan kehidupan ekonomi mereka. Para warga ini dengan keberaniannya bekerjasama dengan sebuah bank swasta mengajukan kredit usaha. Para warga menyambut antusias program ini untuk lebih mengembangkan usahanya dalam bertani, nelayan kepiting, wirausaha kios, bengkel, dan service elektronik. Sebagian besar di antara mereka berusaha dalam tiga bidang usaha yaitu sebagai nelayan, bertani, dan usaha-usaha ekonomi produktif seperti kios, usaha dendeng ikan, bengkel, dan yang lainnya. Sebagian lainnya juga giat beternak di wilayah mereka masing-masing. Tidaklah heran jika di sepanjang jalan menuju kampung, banyak ditemukan hewan-hewan bebas mencari makan di rumput-rumput sepanjang jalan. Sebagian besar warga kampung memelihara sapi, kambing, dan ayam.
Kampung Korano Jaya berada di wilayah pinggiran kota Kabupaten Teluk Bintuni. Para warganya dengan relatif mudah mampu mengembangkan usaha dan kemandirian ekonominya. Akses mereka terhadap kota dan juga pemasaran produknya relatif mudah dibandingkan kampung-kampung di wilayah pedalaman teluk. Kampung-kampung pedalaman di wilayah teluk ini sudah mengalami “ketersingkiran” karena letak geografisnya. Sungguh merupakan perjuangan yang melelahkan untuk mengakses modernitas dan keterjangkauan geografis. Soal isolasi geografis, begitu banyak layers (lapisan) yang terjadi di tanah Papua. Beberapa wilayah di kawasan pedalaman teluk ini terpapar letak geografis yang mengerikan. Perjuangan mereka menuju Kota Bintuni tentunya berbeda dengan kampung-kampung yang berada di dekat kota. Meski mereka sama-sama dari Teluk Bintuni.
Kampung-kampung yang terpapar keterisoliran ini begitu banyak jumlahnya di Papua. Kampung ini biasanya didominasi oleh orang-orang Papua dan bukan migran atau masyarakat transmigrasi. Orang-orang Papua ini biasanya adalah komunitas yang sudah berada sejak awal berdirinya kampung sebagai bagian dari pewarisan hak atas tanah. Sebagian orang Papua lainnya adalah yang tersingkir dari arus besar perubahan di kota dan memilih untuk berkumpul dan membentuk kampung. Tidaklah mengherankan di kawasan-kawasan sentra perubahan di tanah Papua umumnya, arus migrasi begitu tinggi. Dan orang Papua perlahan-lahan mulai tersingkirkan dari arus perubahan tersebut. Mungkin hanya sektor pemerintahan saja yang masih tersisa. Sektor ekonomi formal dan informal jauh dari genggaman orang Papua. Pasar-pasar di wilayah Papua adalah contoh yang gamblang. Di kawasan pesisir dan teluk ini saja, kampung-kampung yang jauh dari pusat perkembangan begitu banyak jumlahnya. Ini belum termasuk kampung-kampung di kawasan pegunungan tengah Papua, kawasan rawa dan juga lembah-lembah.
Ketersingkiran orang Papua di Bintuni bisa terlihat dengan jelas di Pasar Teluk Bintuni.
Bahkan penjual sirih pinang pun direbut oleh para pendatang.
(foto: I Ngurah Suryawan)
Ketersingkiran
Saat saya memasuki Kampung Sarbe di Distrik Kuri Kabupaten Teluk Bintuni, air laut sedang pasang sehingga spead boat yang kami tumpangi bisa sandar dengan aman. Bersamaan dengan sandarnya kami di kampung, dua orang paitua (bapak) dengan perahu sederhana dan alat jaring seadanya bersiap meninggalkan kampung untuk mencari udang dan kepiting. Menjadi nelayan untuk mendapatkan udang dan kepiting adalah pekerjaan primadona di kampung ini. Alasannya sudah pasti karena cepat bisa diuangkan untuk dijual ke pasar di Bintuni. Atau kalau tidak bisa untuk kebutuhan sehari-hari.
Kampung Sarbe adalah ibukota dari Distrik Kuri yang terdiri dari 7 kampung. Dari kota Bintuni kita bisa menempuhnya dengan menggunakan long boat atau spead boat yang membutuhkan waktu antara dua hingga tiga jam perjalanan. Terdapat tujuh kampung yang menjadi bagian dari Distrik Kuri yaitu: Kampung Wagura, Awegro, Taner/Refideso, Otremta, Sarbe, Naramasa dan Obo. Dua kampung yang sangat terpencil adalah Kampung Taner/Refideso yang berbatasan dengan Kabupaten Kaimana dan Kampung Obo yang berada di daerah pengunungan, di daerah kepala air (sumber mata air) dan berbatasan dengan Kabupaten Teluk Wondama. Masyarakat biasanya menggunakan long boat atau ketinting sehari-harinya sebagai alat transportasi. Mobilitas mereka biasanya adalah ke kampung-kampung tetangga di kawasan teluk dan mengangkut hasil bumi mereka ke pasar di Bintuni.
Permasalahan akses dan mobilitas warga di Kampung Sarbe menjadi hal yang serius karena menelan biaya yang tidak sedikit. Mereka sangat tergantung dengan BBM untuk menggerakkan mesin long boat atau ketinting mereka. Harga 1 liter BBM yang mereka beli adalah Rp.12.000 sehingga perjalanan pulang pergi dari kampung menuju pasar di Bintuni mereka menghabiskan uang Rp. 1,5 juta. Biaya yang tidak sedikit. Sementara itu mereka masih harus berjuang untuk menghabiskan barang dagangan di pasar.
Warga Kampung Sarbe sangat mengandalkan long boat mereka masing-masing untuk mengais rupiah. Dilengkapi dengan alat-alat tangkap sederhana, mereka akan menjelajah kawasan teluk untuk menangkap kepiting dan udang. Namun tidak semua warga di kampung memiliki long boat sebagai modal untuk mencari udang dan kepiting. Oleh sebab itulah mereka mengalihkan perhatian untuk berkebun dan beternak. Hasil-hasil kebun yang menjadi sandaran kehidupan warga Kampung Sarbe adalah buah pala yang pada masa panen bisa mendatagkan keuntungan bagi masyarakat. Selain pala, hasil kebun seperti pisang, keladi, patatas, dan berbagai jenis sayuran adalah sumber penghidupan masyarakat yang bisa dijual ke Bintuni.
Kawasan pedalaman Teluk Bintuni ini mengandalkan long boat dan ketinting sebagai sarana transportasi air
(foto: I Ngurah Suryawan)
Masyarakat di Kampung Sarbe juga masih melakukan praktik berburu binatang di hutan-hutan di belakang kampung. Hasil buruan itulah yang dibuatkan dendeng untuk kemudian dijual. Meski terbatas dalam transportasi—karena mahalnya BBM dan jarak—mereka tetap berusaha menjangkau kota untuk menjual hasil kebun mereka. Mereka harus menjualnya ke kota karena hingga saat ini belum ada penjual-penjual pengepul yang mau datang ke Kampung Sarbe untuk membeli hasil-hasil bumi mereka.
Sebagai ibukota Distrik Kuri, Kampung Sarbe memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lengkap. Kantor distrik berdiri megah di tengah perkampungan penduduk. Namun, sayangnya, seluruh pegawai di kantor distrik tidak berada di tempat. Begitu juga yang terjadi di kantor kepala kampung. Kepala kampung dan kepala distrik sudah hampir dua bulan lebih tidak berada di kampung. Mereka semua tinggal di kota dan menjalankan administrasi pemerintahan dari kota.
Seorang pemuda tenaga honorer Distrik Kuri menuturkan bahwa sampai saat ini ia, yang bertugas di kampung, hanya mendata keperluan administrasi warga di kantor distrik. Data-data yang diperlukan akan diambil di kampung untuk kemudian seluruhnya dibawa ke kota Bintuni. “Jadi kerja administrasi itu dilakukan di Bintuni, bukan di kantor distrik,” ujarnya. Oleh sebab itulah jika ada warga kampung yang mengurus surat-surat, ia akan mendatanya di kampung dan membawanya ke kota untuk diproses selanjutnya. Hal ini tentu saja mengejutkan karena semakin membuktikan bahwa akses dan keterpencilan sangat memengaruhi pelaksanaan pelayanan publik yang ada di kampung-kampung terpencil.
Fasilitas publik lainnya bisa dibilang berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Masyarakat Sarbe mengungkapkan bahwa di Distrik Kuri baru tersedia SD hingga SMP. Hal ini menyebabkan jika ada anak-anak di kampung ingin melanjutkan pendidikan, ia akan pergi ke Bintuni untuk sekolah SMA. Seluruh guru-guru yang ditugaskan juga bekerja dengan baik dan selalu ada di kampung untuk mengajar. Begitu juga dengan Puskesmas yang terpusat di Kampung Sarbe, memberikan pelayanan yang baik. Bidan-bidan yang berasal dari Jawa dan Toraja ada lengkap dan melayani masyarakat di kampung dengan baik.
Suasana mendung di kantor Kampung Sarbe ibukota Distrik Kuri, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat
(foto: I Ngurah Suryawan)
Terpaku
Jalan-jalan papan menuju kampung dari tempat sandar spead boat adalah pemandangan awal di Kampung Sarbe, Distrik Kuri. Kampung berada di kawasan teluk ini dikelilingi oleh hutan bakau sepanjang jalan. Perahu-perahu masyarakat bersandar saat air meti (surut). Seorang warga yang biasa dipanggil Mas Man, orang Jawa dari Banyumas, tampak sedang menyandarkan perahunya setelah selesai mencari kepiting. Mas Man sudah lama hidup di Kampung Sarbe. Ia bersama dengan warga kampung lainnya juga menyandarkan hidup dengan mencari kepiting, selain tentunya berkebun di kampung. Mas Man mengakui, mahalnya perjalanan menuju Kota Bintuni membuatnya hanya terpaku hidup di kampung.
Jalan papan menuju kampung di kawasan pedalaman Teluk Bintuni adalah pemandangan yang biasa kita saksikan (foto: I Ngurah Suryawan)
Keterbatasan akses untuk mengembangkan kualitas kehidupan menjadi lebih baik membuat sebagian besar warga Kampung Sarbe tertahan dan terpaku dengan kondisi yang sudah ada, tanpa inisiatif untuk mengubahnya. Mereka menjalankan aktivitas keseharian hanya sekadar mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tergambar jelas dari ekspresi para generasi muda di Kampung Sarbe yang terpaku pada situasi yang ada tanpa ingin meningkatkan kehidupan mereka. Jika ingin menuju ke Kota Bintuni untuk menjual hasil kebun atau kepiting, mereka harus berhitung biaya yang dikeluarkan. Satu-satunya jalan yang paling aman adalah bertahan hidup di kampung.
“Untuk makan kitong aman. Ada dusun sagu, pisang, kasbi dan sayur-sayuran,” kata seorang pemuda menjawab enteng. Ia menuturkan bahwa kesehariannya tidak akan ada permasalahan dengan makan. Semuanya sudah tersedia di kampung. Meski hidup bergantung dengan kebun, ternyata beras adalah kasta tertinggi dibandingkan makanan hasil kebun. Masyarakat di kampung-kampung pedalaman masih berharap beras untuk makanan sehari-hari, bukan sagu dan pisang, keladi. Raskin adalah makanan elit bagi masyarakat di kampung. Jika ingin mengonsumsi terus beras, maka harus menyiapkan uang yang cukup. Namun itu tidak mungkin karena membeli beras memerlukan uang. “Kitong banyak uang baru beras terus. Kalau uang tidak lancar baru andalkan hasil alam,” ujarnya. Hal ini sungguh ironis.
Saya terperangah. Saya memiliki kesan masyarakat terpaku dengan situasi yang menyingkirkan mereka. Seolah-olah tidak ada imajinasi untuk perubahan. Raskin dan dengan demikian pragmatisme menguasai imajinasi kehidupan mereka. Ungkapan kekesalan itu sungguh nyata:
Sampai saat ini program-program yang kami suarakan tersebut belum muncul-muncul. Tim-tim khusus ada dari kabupaten, pemberdayaan, dari pusat datang ambil-ambil data saja. Hanya turun tim-tim saja terus.Trada hasilnya bagi kami hingga kini.
Salah satu persoalan yang dirasa sangat memberatkan tersebut adalah mahalnya biaya transportasi untuk menjual barang dagangan mereka ke Bintuni. Hasil-hasil bumi yang mereka hasilkan di kampung biasanya akan diangkut dengan menggunakan long boat warga. Warga kampung akan siap menjual hasil tangkapan kepiting, udang, ikan, dendeng sapi, dan hasil bumi berupa pala, dan buah-buahan. Tidak ketinggalan sayur-sayuran. Seluruh bahan jualan mereka ini biasanya akan dikumpulkan untuk diangkut sekalian ke Pasar Baru Bintuni.
Di tengah keterisoliran tersebut, mereka sebenarnya sangat mampu bertahan hidup dari hasil alam yang ada di kampungnya. Namun usaha mereka untuk memiliki cash money (uang tunai) hanya dengan menjual hasil kebun mereka ke Bintuni. Oleh sebab itulah tidak salah jika seorang warga berbisik ke saya:
Kitong tahu kitong kaya, tapi orang di luar tahu kitong miskin
(Kita tahu bahwa kita kaya, tapi orang di luar mengetahui (menganggap) kita miskin)
Teluk Bintuni, November 2016