Kredit ilustrasi: salasanews.blogspot.com
PERLUKAH kita meributkan tren melemahnya rupiah terhadap dollar? Bisa ya, bisa tidak. Mungkin tergantung pada banyak hal. Jika kita pemilik dollar dalam jumlah “kacangan,” insting ekonomi kita pasti mendorong kita untuk ikut meributkan kapan waktu yang tepat untuk melepas dollar-dollar kita yang tidak seberapa itu demi rupiah yang lebih banyak. Namun jika Anda pemilik dollar kelas “kakap,” hampir tidak mungkin Anda tidak meributkan rupiah: pasalnya, tidak mungkin Anda memegang dollar ratusan ribu bahkan jutaan jika cara Anda “cari makan berlian” tidak berhubungan dengan dollar.
Menariknya, di keseharian, saya tidak banyak melihat rembesan “darah” rupiah itu. Harga BBM dan kebutuhan sehari-hari, yang juga sehari-hari dekat di hati dan kantong masyarakat kelas menengah ke bawah, juga relatif biasa-biasa saja. Alhasil, jarang saya dengar/jumpai perbincangan seputar rupiah dan dollar ini di warung saya biasa makan atau kedai saya biasa ngopi dan laptopan. Jika saya tidak bias karena ke-kuper-an saya, maka bisa dipastikan bahwa secara sosio-ekonomi, perlu tidaknya ikut ribut soal dollar adalah bergantung dari kelas mana Anda berasal. Alhasil, Anda perlu punya banyak dollar untuk ikut-ikutan meributkan dollar. Dengan lain kata, Anda perlu ada di kelompok kelas menengah atas, bahkan atas sekali!
Tapi pandangan ini pun menjadi perlu dipertanyakan lagi, karena apabila kita masuk ke dunia maya: “pengen gue banting aja ini HP, timeline isinya dollar-dollaran terus,” keluh seorang kolega saya. Saya beruntung memilih untuk mem-follow akun-akun dagelan saja di Twitter, dan jarang membuka Facebook sehingga saya tidak ikut terpapar fenomena “mendadak ekonom”-nya para warganet. Dipertanyakan: karena saat isu melemahnya rupiah ini digoreng untuk saling serang kubu yang akan bertanding di pilpres 2019, ternyata kelas menengah ke bawah juga banyak yang ikut ribut—setidaknya yang saya temui di linimasa saya. Artinya, Anda perlu menjadi pendukung setia petahana atau penantang yang akan bertanding di pilpres tahun depan untuk ikut meramaikan perdebatan—jika bisa dikatakan demikian—mengenai dollar-dollaran ini.
Namun demikian, ketidak-perluan kelas menengah ke bawah untuk ikut meributkan dollar ini, menyedihkannya, bukan hanya karena konon pemerintah dan BI bekerja keras melindungi (yang suudzon-nya tentu saja untuk menjaga kredibilitas petahana di Pilpres mendatang). Melainkan juga karena posisi kelasnya yang kurang diuntungkan oleh ekonomi! Saya pribadi inginnya adalah bahwa saya berada pada posisi yang diuntungkan oleh ekonomi—yang memang tidak lagi mensyaratkan kelas—dan bisa hidup tentram tanpa perlu ikut-ikutan cebong dan kampret beradu “data” finansial tentang topi siapa yang paling bundar.
Keinginan inilah yang melatar-belakangi judul di atas: “apa yang dibutuhkan untuk tidak ikut-ikutan meributkan dollar?” Jika ditarik dari keinginan saya barusan, berarti hal yang diperlukan adalah suatu ekonomi yang di dalamnya saya sejahtera tanpa mengorbankan kesejahteraan orang lain. Dan karena ekonomi hari ini tidak mungkin ada tanpa adanya kelas dan ketimpangan akannya, maka sudah bisa dipastikan bahwa kita perlu sistem ekonomi alternatif yang kongkrit. Sayangnya saat ini kita tidak/belum punya.
Apapun alternatifnya, yang pasti ia harus memungkinan saya dan Anda sekalian untuk bisa sejahtera dalam masyarakat tanpa pengkelasan sosio-ekonomi dan juga untuk tidak ikut-ikut meributkan dollar.
Mengikuti salah satu saran Mark Manson, penulis buku laris The Subtle Art of Not Giving a F*ck (terbitan terjemahannya, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat), untuk not giving a F* (bersikap bodo amat) terhadap sesuatu maka kita harus giving a F* (bersikap peduli) pada hal lain yang lebih penting. Sistem ekonomi lain yang tidak memerlukan hegemoni dollar, atau rupiah dan mata uang manapun, tentunya adalah yang harus dikualifikasi sebagai hal yang lebih penting tadi. Hanya orang-orang yang tidak memiliki hal yang penting untuk dikerjakan, difokuskan dan diperjuangkan saja yang, menurut Manson, akan mempedulikan banyak hal.
Sehingga bisa kita simpulkan satu lagi terkait perlu tidaknya meributkan dolar, yaitu bahwa Anda harus benar-benar tidak memiliki strategi, atau setidaknya gagasan, atau selemah-lemahnya iman, imajinasi mengenai alternatif sistem keuangan bagi ekonomi. Ya, Anda harus semenyedihkan itu. Ekonomi yang alternatif ini tentu saja harus memenuhi kualifikasi bahwa setiap orang bisa hidup sejahtera dalam masyarakat yang tidak mensyaratkan kelas-sosial dan bahwa setiap orang itu juga memiliki ketidak-perluan untuk meributkan dollar.
Pertanyaan kita kemudian sederhana, bukankah terlebih penting bagi kita untuk lebih memedulikan sepinya imajinasi sistematis, gagasan kongkrit, dan bahkan strategi serius untuk mewujudkan kehidupan sosio-ekonomi yang tanpa kelas dan sudah pasti tanpa dollar, ketimbang harus merapat ke barisan cebong dan/atau kampret dan menjadi ekonom dadakan? Karena saat kita memiliki gagasan kongkrit dan strategi yang terukur untuk mulai membangun tatanan sosial-ekonomi yang tanpa kelas dan juga tanpa rezim alat tukar berbasis uang, di situlah kita akan dapat bodo amat terhadap dollar. Sebaliknya, semakin kita peduli dengan dollar dan goreng-gorengan politiknya, semakin pula kita bodo amat dengan kenyataan bahwa kita miskin imajinasi, fakir gagasan dan defisit strategi untuk merumuskan, merencanakan dan mengeksekusi sejarah revolusioner menghapus tatanan ekonomi berbasis ketimpangan kelas ini. ***
Hizkia Yosias Polimpung, Peneliti di Koperasi Riset Purusha