SEIRING dengan maraknya tren dakwah ‘Hijrah’ para ustad di perkotaan, baik melalui berbagai kelompok pengajian maupun saluran media sosial, tak bisa dipungkiri bahwa kata hijrah sekarang tengah mencapai puncak popularitasnya, khususnya di kalangan masyarakat muslim urban dengan tendensi keberislamannya yang eksklusif dan fasistik. Di sini lah letak dilematisnya. Di satu sisi kata hijrah telah dipopulerkan dan diperbincangkan, tapi di sisi lainnya, sebagai sebuah nilai dan konsep penting dalam Islam, hijrah makin kehilangan relevansinya dari kondisi sosial dan politik yang mendera mayoritas kaum muslim di Indonesia, seperti kesenjangan ekonomi, perampasan tanah (land grabbing), rezim upah murah dsb. Seperti kata dan konsep lainnya yang kerap diperbincangkan, bukannya makin terang makna dan pengertiannya, sebaliknya justru makin kabur dari apa yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an dan yang pernah dipraktikkan Nabi dan para sahabatnya di masa Islam perdana. Hijrah hanya dimaknai secara artifisial dan tercerabut dari konteks kehidupan umat Islam hari ini.
Kita akan mengelaborasi apa dan bagaimana konsep hijrah bila dibaca dalam konteks kondisi sosial politik yang dihadapi umat Islam hari ini, sekaligus mengkritik kecederungan tafsir artifisial dan ahistoris terhadapnya yang sedang mewabah seperti sekarang.
Dengan demikian, timbul beberapa pertanyaan, apakah pengertian hijrah? Bagaimana kita memaknai hijrah di tengah maraknya fabrikasi kebencian terhadap etnis dan agama tertentu? Apakah hijrah selalu terkait dengan pilihan busana kaum muslim, seperti memakai hijab bagi perempuan dan memanjangkan jenggot bagi laki-laki? Apakah hijrah juga berarti anjuran untuk pasrah menerima kezaliman dan ketidakadilan seperti perampasan tanah (land grabbing) yang terjadi di Kulon Progo dan banyak tempat lainnya di Indonesia?
***
Kata hijrah, jauh sebelum menjadi materi dakwah para ustad, sesungguhnya telah lama diserap ke dalam bahasa Indonesia, dan menjadi kata yang kerap dipakai dalam percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, hijrah bermakna berpindah atau menghindar untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain dengan alasan tertentu seperti untuk keselamatan atau kebaikan.[1] Di dalam bahasa Arab, kata hijrah memiliki kata dasar h – j – r (hajara, yahjuru, hajran) yang berarti memutuskan hubungan, dan menjadi lawan kata al-Wasl yang berarti menyambung. Dalam berbagai bentuknya, kata hijrah disebut di dalam 31 ayat yang tersebar dalam 17 surat di dalam al-Qur’an. jadi, secara kalkulatif, ini menunjukkan bahwa konsep hijrah mempunyai arti penting di dalam Islam.[2] Sebagian besar Ulama membagi hijrah menjadi dua bagian besar: hijrah makaniyah dan hijrah maknawiyah. Hijrah makaniyah adalah perpindahan fisik terkait ruang geografis, sedangkan hijrah maknawiyah adalah hijrah substansial yang diantaranya menyangkut aspek pikiran, mental dan keyakinan[3]. Misalnya, dari yang berpikiran picik menjadi terbuka, dari yang bermental pendendam menjadi pengampun db.
Di dalam beberapa ayat al-Qur’an, hijrah seringkali terkait dengan orang-orang beriman dan jihad. Diantaranya di dalam surat al-Baqarah ayat 218, surat al-An’fal ayat 74, dan surat at-Taubah ayat 20.[4] Di ketiga ayat tersebut secara eksplisit kaum beriman mendapat mandat untuk melakukan hijrah dan jihad dari Allah.
Dalam sejarah Islam, pada tahun 615 M, untuk menghindari intimidasi para petinggi suku Quraisy, Nabi memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mencari suaka politik ke Habasyah atau yang disebut juga sebagai Ethiopia. Di antara para sahabat yang turut dalam rombongan hijrah ini adalah Usman bin Affan, Ja’far bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Abdurrahman bin Auf.[5] Kemudian, karena situasi politik di Makkah terus memburuk, dan tak lagi memungkinkan bagi keberadaan kaum muslim yang terus menerus berada dalam intimidasi dan represi oligarki suku Quraisy, pada tahun 622 M, Nabi dan kaum muslim Makkah memutuskan hijrah ke kota Yastrib,[6] yang kelak namanya diganti Madinah, yang berarti kota yang beradab yang ditandai dengan ditetapkannya perjanjian Madinah sebagai dasar relasi sosial politik di kota tersebut.[7] Dengan adanya perjanjian tersebut, maka perselisihan antar kelompok politik dan komunitas sosial yang ada di Madinah, khususnya dua suku besarnya yakni suku Auz dan suku Khazraj bisa didamaikan.
Berdasarkan contoh beberapa ayat dan kisah Nabi dan para sahabatnya tersebut, kita menjadi mengerti bahwa pertama-tama pengertian hijrah adalah sebuah perjuangan dan perpindahan dari kondisi tertentu yang kurang atau tidak baik menuju kondisi tertentu yang lebih baik dalam berbagai aspeknya, baik secara lahiriah maupun batiniah.
***
Sayangnya secara banal, sekarang hijrah diidentikkan dengan segala hal yang berbau relijiusitas personal yang ditandai dengan misalnya, perubahan selera berbusana khususnya bagi perempuan, yang sebelumnya tidak berhijab kemudian memutuskan berhijab. Dari yang telah berhijab namun belum bercadar kemudian memutuskan bercadar. Sedangkan bagi para lelaki, mereka yang belum memelihara jenggot kemudian memutuskan untuk memelihara jenggot. Dari yang celananya panjang kemudian memutuskan untuk memakai celana yang ujungnya menggantung di atas mata kaki atau memakai jubah ala Arab dan lain sebagainya. Pendeknya hijrah sekadar dipahami dan dimaknai sebagai pendisiplinan tubuh oleh imperatif syariah. Pada umumnya yang menjadi sasaran utamanya adalah tubuh perempuan yang dianggap sebagai aurat dan sumber kemerosoton moral yang harus terlebih dulu didisiplinkan. Apapun itu, konsep hijrah disederhanakan sedemikian rupa dan berhenti sebatas reparasi mental di ranah personal melalui serangkain pendisiplinan yang cenderung bias gender, dan tentu ahistoris.
Di ranah ekonomi politik, hijrah telah dipakai sebagai alat legitimasi menudukung perampasan tanah sebagaimana terjadi di Kulonprogo. Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), salah seorang budayawan kondang, dengan sengaja mempolitisir konsep hijrah sebagai alat legitimasi penggusuran tanah untuk pendirian bandara NYIA di Kulonprogo. Dalam sebuah acara yang digelar pihak PT. Angkasa Pura 1 yang diberi tema “Hijrah: Angon Kahanan Anyar (Peradaban Baru Pasca Operasional Bandara Internasional Yogyakarta)”, sang budayawan mengilustrasikan warga yang dirampas tanahnya tak ubahnya ulat di dalam kepompong yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Sedemikian, baginya, segala nestapa perampasan tanah (bahkan intimidasi dan represi) harus dilihat sebagai ujian hidup, seperti ulat yang sedang bertapa di dalam ruang sempit nan gelap bernama kepompong yang kelak akan berubah menjadi hewan cantik bernama kupu-kupu. Dengan lugas Ia mengajak masyarakat untuk berlapang dada menerima penggusuran tanah mereka untuk pembangunan bandara NYIA, karena mereka, dalam bahasa Cak Nun, “sedang menjalani proses hijrah dari kehidupan agraris ke kehidupan industri”.
Ia secara sengaja dan sadar turut menggiring masyarakat ke dalam imajinasi tentang masa depan yang lebih indah, ketika warga berkenan melepaskan tanahnya untuk pembangunan bandara baru. Dalam salah sebuah kalimat yang dikutip oleh situs resmi Angkasa Pura 1, sebagai titik tekan untuk melegitimasi kepentingan penggusuran tanah warga Temon, sang Budayawan mengatakan: “Hijrah! Bahwa orang-orang beriman yang berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan untuk meraih rahmat dan keridhaan Allah, mereka itulah adalah mu’min sejati yang akan memperoleh pengampunan Allah, memperoleh keberkahan rejeki dan nikmat yang mulia, dan kemenangan di sisi Allah. Semoga hijrah yang dilakukan masyarakat Kulon Progo ini dapat diniatkan karena Allah sehingga memperoleh keberkahan rejeki dan kemenangan di sisi Allah SWT. Aamiin”.[8]
Statemen ini menunjukkan bahwa sang budayawan sedang berfungsi sebagai aparatur ideologis korporasi untuk memuluskan jalannya investasi dan perampasan tanah. Olehnya, hijrah yang merupakan salah sebuah konsep di dalam Islam yang bertendensi progresif, ditafsir secara fatalis agar warga terdampak bandara berkenan menyerah pasrah menerima penggusuran rumah dan ladangnya. Padahal, seperti kita tahu, dalam sejarah Islam, hijrah adalah titik balik (turning point) perjuangan Nabi dan para sahabatnya dalam memperjuangkan nilai-nilai agama Islam dan rute panjang menuju pada kemenangan, bukan kekalahan.[9]
Dengan demikian, hijrah mengalami manipulasi makna dari yang aktif menjadi pasif, dari yang progresif menjadi fatalis. Di ketiga ayat yang telah saya singgung di awal, setidaknya memberi sinyal bagi kaum beriman untuk selalu bertindak lurus memperjuangkan kemenangan, yang tak lain dengan melakukan hijrah dalam pengertian generik, karena hanya dengan hijrah, baik secara pikiran dan mental seseorang telah siap untuk melanjutkan fase perjuangan berikutnya yakni jihad. Dengan demikian, adalah sebuah kekeliruan menafsir hijrah secara fatalis. Karena itu, perintah hijrah ruang (exodus) yang dilakukan Rasulullah harus dimaknai sebagai sebuah strategi menuju kemenangan, sebab dengan strategi tersebut ada kemungkinan untuk memperoleh kemenangan besar kelak dikemudian hari, alih-alih dibumihanguskan sebelum sempat tumbuh. Di antara contohnya adalah keberhasilan Rasulullah membangun konsensus politik yang demokratis di Madinah dan berhasil menaklukkan Makkah, sebuah kota yang dulu ditinggalkannya. Maka hijrah yang dilakukan Nabi bukanlah sebuah jalan kekalahan, tapi strategi untuk menggapai kemenangan permanen kekuatan rakyat.
***
Tentu saja saya tak memungkiri adanya keragaman tafsir terhadap hijrah. Cak Nur (Nurcholish Madjid), misalnya, dalam sebuah esai pendeknya berjudul ‘Makna Hijrah’ memaknai hijrah sebagai ‘peningkatan kualitatif perjuangan bersama menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya’[10]. Saya sendiri setuju dengan makna tesebut yang telah merangkum aspek positif, aktif dan progresif yang terkandung di dalam konsep hijrah. Namun, sayangnya, Cak Nur mengilustrasikan makna hijrah secara developmentalis yang merupakan ideology pembangunan ekonomi orde baru. Ia menganggap bahwa masyarakat Indonesia perlu berhijrah mengikuti arah kebijakan ekonomi kapitalisme negara orde baru menuju era yang, ia pinjam istilahnya dari Suharto, yaitu era ‘tinggal landas’. Wajar saja, karena Cak Nur sangat dipengaruhi oleh ideologi developmentalisme yang naik daun di tahun 80-an dan sejak semula Cak Nur juga tidak pernah secara eksplisit menunjukkan posisinya dalam masalah ekonomi.
Di tengah kebijakan agraria orde baru hingga sekarang, dimana pemerintah lebih memprioritaskan penyediaan tanah dalam skala besar untuk investasi dan eksploitasi sumber daya alam ketimbang untuk rakyat, khususnya petani kecil dan tuna kisma (landlessness), maka makna hijrah yang tengah dipopulerkan oleh para ustad dan juga Cak Nun pada dirinya tertolak dan memunggungi semangat dan nilai perjuangan yang terkandung di dalam konsep hijrah. Sebabnya penggusuran yang menimpa warga Kulonprogo, alih-alih membawa kemenangan, justru menggiring mereka menjadi proletariat dan buruh cadangan murah. Wallahua’lam.***
Denpasar, 15 Agustus 2018
—————-
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 401.
[2] Diantara ayat-ayat tersebut adalah QS. An-Nahl [16]: 110 dan 41, QS. Al-Muzammil [73]: 10, QS. Al-Muddassir [74]: 3-5, QS. Al-Furqan [25]: 30, QS. Al-Baqarah [2]: 218, QS. An-Nisa [4]: 34, QS. Al-Ankabut [29]: 26, QS. Al-hajj [22]: 58, QS. An-Nisa [4]: 100. QS. An-Nisa [4]: 97, QS. Ali-Imran [3]: 195, QS. Maryam [19]: 46, QS. Al-Mu`minun [23]: 67, QS. At-Taubah [9]: 20, 117, dan 100, QS. Al-Anfal [8]: 72, 74, dan 75, QS. Al-Mumtahanah [60]: 10, QS. Al-Hasyr [59]: 8 dan 9, QS. Al-Ahzab [33]: 50 dan 6. Muhammad Fu’ad ‘Abd al- Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz Alquran (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 900. Dan lihat juga Al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Faz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 534-537.
[3] Hijrah maknawiyah seriangkali dibagi menjadi empat: i’tiqadiyah (keyakinan), syu’uriyah (kesenangan), fikriyah (pikiran, dan sulukiyah/khuluqiyah (akhlak).
[4] Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Baqarah:218). Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia (QS. al-An’fal :74). Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (QS. At-Taubah :20)
[5] Ismail Rajil al-Faruqi, Hakikat Hijrah Strategi Dakwah Islam Membangun Tatanan Dunia Baru,(Bandung : Mizan, 1994), hal. 10.
[6] Lih. Muhamad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hal. 179.
[7] Setelah 10 tahun di Yatsrib, Nabi kemudian mengubah nama kota itu menjadi Madinah. Kata al-madinah secara umum memang diartikan sebagai kota, tetapi sebetulnya al-madinah itu mengandung makna peradaban. Karena dalam bahasa Arab, peradaban itu adalah madaniyah atau tamaddun. Dalam bahasa Arab kata itu juga digunakan untuk padanan perkataan Inggris ”civil”. Misalnya dalam bahasa Inggris ada istilah ”Civil Act” (Undang-undang sipil), dalam bahasa Arabnya disebut ”Qanun Madani”. Kata “madaniyah/madinah” juga menjadi padanan dari perkataan Yunani “polis”, yang dari perkataan itu terambil perkataan politic, policy, police yang terkait dengan gagasan tentang suatu kehidupan yang teratur dan beradab.
[8] Cak Nun & Kiai Kanjeng – Hijrah Angon Kahanan Anyar Di Laguna Pantai Glagah Indah Kulon Progo, https://www.youtube.com/watch?v=APzqSvf2jzY , lihat juga, https://www.ap1.co.id/id/information/news/detail/angkasa-pura-airports-gelar-pengajian-dan-doa-bersama-masyarakat-kulon-progo
[9] Opcit., hal. 7.
[10] Lih. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 33.