Kredit foto: Kricom
SELAIN ulama, Pilpres (pemilihan presiden) 2019 turut menyeret kampus dalam pusaran politik dukung-mendukung. Pada 28 Juli 2018, beberapa alumni UGM mendeklarasikan dukungan pada Joko Widodo dalam Pilpres 2019, dengan membentuk kelompok relawan bernama ‘Bulaksumur untuk Kemenangan Jokowi 2019’ (Blusukan Jkw).
Tidak mengherankan jika alumni UGM menyatakan dukungan pada Jokowi, karena Jokowi sendiri merupakan lulusan UGM. Beberapa posisi menteri di kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK saat ini pun diisi oleh jebolan kampus Bulaksumur ini.
Tak sekadar alumni UGM, dalam video yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu, sejumlah alumni UI yang mengatasnamakan Komunitas Anak Bangsa, juga menyerukan dukungan pada Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019, sembari menunjukkan jari berbentuk L dan menyerukan slogan 3L; Lanjutkan, Lawan, Libas.
Seruan dukungan tersebut dipimpin oleh Ali Mochtar Ngabalin, yang saat ini menjadi tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden (KSP). Dukungan tersebut kemudian menuai kecaman dari sejumlah alumni UI lain yang mengatasnamakan diri sebagai Solidaritas Alumni UI Lintas Generasi, karena menyeret UI ke ranah dukung-mendukung calon presiden.
Menjelang Pilpres 2019, dukung-mendukung terhadap calon tertentu adalah hal yang lumrah, termasuk dari ikatan alumni kampus.
Jejaring, Identitas Almamater dan Legitimasi Ilmiah
Ikatan alumni kampus memiliki jejaring (networking) yang luas dan rasa kecintaan pada almamater yang mendalam. Apalagi keluaran kampus ternama seperti UGM, UI, ITB, dan ITS serta lainnya mampu menjangkau ke pelbagai pelosok di negeri ini. Alumninya tersebar luas dan bahkan memiliki posisi strategis baik di sektor pemerintahan, swasta ataupun berperan di kegiatan sosial-kemasyarakatan.
Jejaring yang luas menjadi alasan mengapa menggaet ikatan alumni kampus –atau setidaknya yang mengatasnamakan alumni kampus tertentu— untuk politik dukung-mendukung dalam kontestasi elektoral dinilai efektif mendongkrak jumlah pemilih (gaining voters) tanpa terlalu banyak mengeluarkan logistik kampanye. Karena ada rasa cinta almamater dan rasa bangga ketika terdapat alumni yang se-almamater menjadi orang terkenal. Identitas almamater tersebutlah yang dimobilisasi untuk kemudian dikonversi menjadi suara dalam politik elektoral.
Selain itu, dalam politik, legitimasi ilmiah sangatlah penting. Setiap program, kebijakan dan strategi politik harus lah dibangun dan disusun melalui serangkaian penelitian ilmiah. Supaya publik yakin bahwa program yang direncanakan dan kebijakan yang akan dilaksanakan tidak dibuat secara serampangan. Legitimasi ilmiah, dalam hubungannya dengan politik, menjadi fondasi utama untuk meyakinkan publik bahwa kebijakan digarap dengan serius dan tujuan kebijakan telah diprediksi secara matang.
Kampus memiliki legitimasi ilmiah tersebut dengan otoritasnya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan. Di kampus, para akademisi –baik dosen, mahasiswa dan peneliti– bergulat dengan teks dan penelitian ilmiah.
Ketika terdapat calon presiden didukung oleh alumni kampus tertentu –tidak peduli seberapa banyak alumni yang mendukung atau hanya klaim saja–, ia tidak hanya berarti memanfaatkan jaringan yang luas dengan mobilisasi identitas almamater untuk menambah jumlah suara, melainkan juga hendak menampilkan legitimasi ilmiah dan citra ke publik bahwa ada masyarakat berpendidikan tinggi –jika enggan menyebut masyarakat ilmiah– yang mendukung.
Legitimasi dan citra ilmiah tersebut digunakan untuk menyatakan keseriusannya memperbaiki persoalan-persoalan negeri, karena dia tidak akan bekerja sendirian (dan memang negeri ini terlalu besar untuk diperbaiki oleh seorang presiden saja), tetapi juga terdapat orang-orang berpendidikan tinggi di belakangnya yang siap mengawal program dan kebijakan yang dijanjikan.
Kerap kali, legitimasi ilmiah disalahgunakan untuk sekadar membentengi diri dari serangan dan kritik pihak oposisi. Dalam hal ini, legitimasi ilmiah menjadi tameng untuk menyembunyikan kepentingan, dan ilmu menjadi alat untuk memperoleh dan melindungi kepentingan tersebut.
Hubungan Ilmu dan Politik
Menjadi soal andai kata legitimasi ilmiah sekedar dijadikan alat untuk melegitimasi program dan kebijakan tanpa susah payah melakukan verifikasi metodologis dan validitas data karena hasil penelitian telah ditentukan sedari awal, yakni bagaimana suatu kebijakan dengan hasil tertentu dapat memperoleh legitimasi ilmiah. Hasil penelitian telah ditentukan oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini politisi misalnya, untuk memberi justifikasi ilmiah terhadap kebijakan-kebijakannya.
Pada konteks tersebut, marwah ilmu menjadi buruk dan citra kampus menjadi tercoreng serta dianggap telah menjadi budak para politisi. Kita pernah mengalami bagaimana ilmu dengan legitimasi ilmiah sekadar menjadi alat untuk kepentingan para politisi.
Pada Pilpres 2014, banyak lembaga survei merilis hasil quick count (hitung cepat) yang berbeda-beda. Sebagian mengunggulkan pasangan Jokowi-JK, dan sebagian yang lain menjadikan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pemenang.
Padahal, lembaga survey merupakan institusi ilmiah yang setiap penelitiannya ditopang oleh kaidah-kaidah ilmiah, terutama ilmu statiska. Perbedaan hasil tersebut disinyalir memang disengaja oleh politisi yang memiliki kepentingan untuk memengaruhi opini publik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) guna memenangkan salah satu calon.
Dalam konteks tersebut, telah terjadi kongkalikong antara lembaga survey sebagai institusi ilmiah dan politisi dengan mengesampingkan verifikasi metodologis dan validitas data serta objektivitas untuk kepentingan politik tertentu. Sehingga yang terjadi adalah politisasi ilmu (politization of science) dan saintisasi politik (scientization of politics).
Seharusnya, antara ilmuwan dan politisi melakukan hubungan mitra dan setara serta deliberatif, sehingga penelitian ilmiah tidak dibajak oleh politisi untuk kepentingan politik jangka pendek dan ilmuwan tidak menjadi budak bagi kepentingan para politisi.
Jika ditarik pada konteks kampus dalam politik dukung-mendukung menjelang Pilpres 2019, ikatan alumni kampus seharusnya menjadi mitra kritis bagi kerja-kerja kampanye dan pemerintahan kelak, sehingga pelbagai persoalan dapat teruraikan dengan jelas. Bukan malah memperkeruh suasana dengan menjadi sangat fanatik terhadap calon yang didukung.***
Melfin Zaenuri, Pegiat Lingkar Studi Filsafat Cogito UGM Yogyakarta