Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
Tesis Pertama: Kuasa oligarki bukan sebuah tesis moralistik, tapi kerangka makro untuk memahami keterbatasan struktural bagi kaum progresif untuk melakukan intervensi politik dalam ruang demokrasi dan politik elektoral.
1.1. Ruang politik Indonesia hari ini berhadapan dengan kenyataan politik yang tidak berpihak pada kaum progresif. Hal ini disebabkan oleh penguasaan institusi dan sumber daya negara maupun arena demokrasi oleh aliansi bisnis-politik (yang bersarang di partai-politik) yang berkepentingan untuk mendistribusikan kemakmuran dan kekuasaan bagi kelompok mereka saja.
1.2, Kenyataan politik yang keras ini tidak mengingkari realitas bahwa terdapat agensi-agensi politik progresif di dalam tubuh negara. Masalahnya himpunan kaum progresif di dalam tubuh negara sampai saat ini tidak mampu memengaruhi arah kebijakan negara untuk menahan operasi penjarahan (predatorisme) yang dilakukan oleh kekuatan oligarki dan menciptakan struggle within the state (pertarungan di internal negara) untuk mengarahkan kebijakan negara agar berpihak pada agenda politik kerakyatan.
Contoh:
a. Kebijakan redistribusi lahan yang menjadi ujung tombak program pemerintahan Jokowi gagal menyasar wilayah-wilayah konflik (konflik antara kepentingan bisnis-kekuatan politik dan rakyat) dan mengembalikan tata kelola pertanahan bagi mereka yang berhak: rakyat Indonesia.
b. Penghancuran ekosistem dan kehidupan sosial warga melalui agenda reklamasi di berbagai tempat.
c. Arena suprastruktur ideologis pemerintahan Jokowi melalui penguatan ideologi Pancasila gagal diintervensi menjadi narasi ideologi progresif dengan mogoknya institusi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan kemungkinan institusi ini selanjutnya bekerja sebagai pemberi legitimasi dari tindakan negara.
d. Standar minimal dalam penciptaan supremasi hukum negara yakni imparsialitas Lembaga Yudikatif gagal ditegakkan, seiring dengan pemilihan jaksa agung dari partai politik.
e. Kebijakan negara untuk mengatasi gelombang pasang konservatisme, dan merebaknya narasi kebencian tidak dibangun berdasarkan kerangka demokrasi, tapi berpijak pada model negara neo-integralisme.
f. Kekalahan pamungkas aktor progresif di hadapan kelas dominan oligarki adalah tidak berhasil memastikan agar Presiden Jokowi didampingi oleh wakil dari kubu progresif dalam Pilpres 2019. Kemenangan kekuatan oligarki justru menjadi kenyataan politik yang keras dengan penetapan KH Ma’ruf Amien (figur yang terkenal mengusung isu-isu intoleransi) sebagai calon wakil presidennya.
1.3. Gerakan progresif di Indonesia lemah dan insignifikan untuk menggugat dominasi faksi-faksi oligarki yang sedang berkuasa maupun yang berada pada kubu oposisi. Lebih dari itu agensi-agensi progresif di dalam tubuh negara juga pada akhirnya terserap dan terkooptasi oleh agenda oligarki di dalam tubuh negara.
Kalangan aktivis progresif di luar negara berserak. Mereka tidak berhasil membangun front nasional lintas sektor, kekuatan produktif dan identitas serta tenggelam dalam perdebatan jargonik dan elementer. Ketika mereka menggugat aliansi elite oligarkis dari massa, mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya merekalah yang selalu gagal membangun kekuatan organik (artinya mereka sendiri yang terasing dari gerak hidup keseharian massa). Sementara elite bisnis-politik yang mereka gugat memiliki hubungan yang rapi dan terorganisir dengan rakyat melalui hubungan patronase politik dan memberi kesadaran palsu dengan membelokkan antagonisme sosial menjadi antagonisme kultural berbasis isu etnis dan agama (agenda populisme kanan).
Sementara itu kalangan aktivis progresif yang masuk ke dalam sistem juga menghadapi persoalan yang tidak kalah gentingnya. Modal politik yang berhasil dikumpulkan dalam pengorganisiran politik pada Pilpres 2014, dengan sangat mudah ditransaksikan dengan jabatan-jabatan politik kelas dua dan tiga tanpa pembuktian atas realisasi program politik progresif ketika mereka masuk dalam struktur kekuasaan.
Mereka yang terserap dalam institusi negara, seperti masuk ke dalam institusi gemuk Kantor Staf Kepresidenan (dengan menyandang pin burung garuda di kerah bajunya), tidak menyadari bahwa pola rekruitmen seperti itu telah mendomestifikasi gerak langkah politik mereka tidak lebih sebagai prisoner in paradise, burung perkutut di sangkar emas! Seiring dengan penyerapan agensi-agensi politik progresif dalam tubuh negara, di KSP, di kementrian maupun di sektor-sektor BUMN kita tidak mendengar kemampuan politik strategis mereka untuk mengorganisasikan tuntutan-tuntutan arus bawah yang kemudian diartikulasikan dalam agenda politik bernegara yang progresif. Tugas progresif paling heroik dari aparatus negara yang berada di tubuh KSP adalah mengumpulkan dan mempertemukan kalangan akademisi, intelektual dan selebritis dengan Presiden Jokowi untuk salaman dan selfie bersama dan berdiskusi tentang perihal politik sambil mengacungkan kode “stop” ketika arah perbincangan sudah menuju arah kritis terhadap kebijakan negara!
1.4. Dengan mempertimbangkan kondisi struktural dan fenomena keseharian politik di atas, sepertinya tuduhan sebagian kalangan progresif bahwa tesis oligarki dan aliansi predatoris sebagai teori muram dengan klaim penghakiman moralistik tidak memiliki landasan empiriknya. Alih-alih dengan nada cemooh mereka menganggap tesis oligarki ibarat lagu melankolis era 80-an yang diusung oleh kumpulan artis JK Record dan Obbie Mesakh yang terjadi sebaliknya. Ketika menggugat tesis oligarki, sebagian kalangan progresif ini ibarat kumpulan band Indonesia era tahun 2000-an awal yang membuat lirik-lirik tentang indahnya hidup di negeri di atas awan, atau anak muda usia awal 20-an yang ingin terbang mencapai mentari bersama pacarnya. Ilusi tentang kemampuan untuk bertarung di dalam dengan membangun aliansi kalangan progresif dengan perlindungan pemimpin Presiden Jokowi, adalah ibarat seorang ksatria yang masuk ke dalam hutan untuk menghadapi macan, serigala dan hewan-hewan pemangsa (predator) dengan bekal senapan tapi lupa membawa peluru tajam di dalam tasnya.
Sementara itu kalangan progresif yang menampilkan tesis oligarki dalam seruannya, mereka lupa bahwa tesis oligarki sendiri sebenarnya adalah tesis yang kuat. Namun kekuatan dari tesis tersebut adalah untuk melihat konteks makro dari realitas dan konfigurasi politik di Indonesia, dengan pemahaman atas keterbatasan politik untuk membangun intevensi politik progresif dalam agenda politik di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan, ketika mereka mencoba merumuskan bagaimana mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut, jawabannya begitu garing: golput krik…krik…krik.
Tesis Kedua: kekuatan progresif perlu mendalami kembali kalkulasi politik beserta segenap konsekuensinya untuk membangun intervensi politik melampaui pilihan dukungan tanpa syarat atau Golput.
2.1. Pilpres 2019 kali ini membuat kaum progresif berada pada posisi yang benar-benar sulit dan dilematis. Pada satu sisi mereka berhadapan dengan aliansi kekuatan oligarki yang dipenuhi oleh kekuatan Orde Baru, kelompok populisme kanan dan pengusung nasionalisme kanan. Sementara ketika mereka menoleh ke kiri, mereka melihat kekuatan politik yang hampir lima tahun yang lalu mereka bangun dengan komitmen bersama platform Nawacita, tahap demi tahap telah terbajak oleh kekuatan sosial yang mirip dengan mereka yang berada di kubu seberang.
Berhadapan dengan realitas politik seperti itu, bagi kaum progresif yang berada di dalam negara, yang pertama-tama harus disadari adalah bahwa perjuangan mereka di dalam institusi negara terbukti telah gagal dan kita telah kalah dalam pertarungan sosial untuk mengintervensi praksis politik bernegara. Kekalahan dan kegagalan dalam proses intervensi politik inilah yang sepertinya tidak disadari.
Manifestasi terbesar dari kegagalan tersebut adalah delusi pandangan dengan menggambarkan realitas politik terkini dengan ilustrasi romantik sejarah politik Indonesia di masa lalu. Delusi tersebut tampil dengan menyamakan Jokowi dengan Sukarno dan aliansi bisnis-politik di sekitar Jokowi dengan aliansi nasionalis kerakyatan (marhaen) dan kaum kiri di belakang Sukarno. Kita melupakan bahwa proyek bernegara di era Sukarno dijalankan dengan interaksi dialektik tanpa henti antara pengorganisiran kekuatan politik kelas bawah dengan upaya akomodatif Sukarno untuk mengusungnya dalam arus utama politik republik. Sementara pada era Jokowi, aliansi bisnis-politik di sekeliling Presiden mampu menancapkan pengaruhnya di tengah absennya pengorganisiran arus bawah dalam mengisi agenda politik bernegara.
Dalam realitas politik seperti ini, pilihan politik untuk memilih Jokowi-Ma’ruf tanpa syarat di tengah bolongnya fakta-fakta empirik keberhasilan agenda politik kerakyatan dalam Pilpres 2019, hanya akan menyeret kaum progresif menjadi ondel-ondel politik untuk mengusung jargon-jargon progresif tanpa makna. Sementara aliansi oligarki yang mendapatkan keuntungan kuasa dan material, cengengesan di belakang layar sambil berseloroh “sudah pada gue pegang dan tuntaskan barisan kaum kritis dan aktivis prodem buat kepentingan kita”.
Pelajaran penting yang harus direnungkan dalam momen politik elektoral, salah satunya adalah momen Pilpres Amerika Serikat 2016 lalu. Setelah anti-klimaks kegagalan Bernie Sanders yang diusung aliansi kelas bawah, kaum milenial dan intelektual progresif yang tersandung manuver kaum elite establishment dalam konvensi Partai Demokrat, maka mereka dihadapkan pada pilihan buruk Hillary Clinton elite mapan pecinta perang (warmonger). Dihadapkan pada figur populis kanan yang menyebarkan kebencian seperti Donald Trump dan elite proponen neoliberal warmonger Hillary Clinton, kaum progresif di Amerika Serikat tampil tanpa kepercayaan diri dengan mengusung narasi “Stronger Together”.
Pilpres Amerika Serikat tersebut pertama-tama jangan dimaknai sebagai argumen yang harus dipaksakan kepada pikiran-pikiran kaum progresif untuk harus memilih yang terbaik di antara yang terburuk. Pelajaran politik dari Pilpres Amerika Serikat harus ditampilkan di hadapan para elite politik yang gagal membawa mandat bersama. Apabila mereka meninggalkan kaum aktivis dan para pendukung yang meskipun tidak signifikan, maka mereka akan kehilangan barisan creative minority yang selama ini berperan menciptakan narasi progresif bagi kemenangan mereka.
2.2. Sementara bagi mereka yang pagi-pagi sudah memilih golput karena melihat realitas politik yang keras, maka pilihan politik seperti ini adalah eskapisme politik. Benar seperti yang diutarakan oleh Bung Martin Suryajaya bahwa golput tidak dihitung dalam rezim elektoral kita saat ini. Hari ini golput adalah semata-mata pilihan politik individual yang tidak memiliki tenaga politik untuk dihimpun sebagai kekuatan politik kolektif. Pilihan politik golput semata-mata sebagai golput tidak memberikan pendidikan politik signifikan kepada rakyat tentang potensi politik mereka untuk menggugat kelas dominan di level negara.
Tesis Ketiga: Reclaiming Nawacita berbasis Trisakti atau Golput!
3.1. Posisi kaum progresif secara aktual dalam realitas politik memang lemah, tapi kita memiliki potensi politik yang signifikan dan tidak dapat disepelekan. Kaum progresif memang harus membaca kembali kitab kekuasaan Machiavelli Il Prince dan juga Antonio Gramsci Prison Notebooks dan juga sebagai tambahan buku yang ditulis Pablo Iglesias, Sekjen Partai Kiri Spanyol Podemos dan Dosen Ilmu Politik Complutense University of Madrid berjudul Politics in A Time of Crisis. Ketiganya mengafirmasi tesis Machiavelli bahwa wajah kekuasaan ibarat makhluk fiksi Centaur, separoh manusia dan separuh binatang buas. Kekuasaan tidak hanya bekerja melalui akumulasi kapital melalui jalan yang brutal dan koersif yang dibangun melalui praktik dominasi; tapi juga melalui persetujuan publik yang dibangun melalui hegemoni. Apabila dominasi bekerja melalui penguasaan ranah masyarakat politik, maka hegemoni bekerja melalui persuasi gagasan, retorika dan ide dalam institusi pendidikan, media massa dan ruang media sosial.
3.2. Dalam realitas politik kini, kita menyaksikan meskipun ruang dominasi dari kekuatan sosial oligarki dominan masih menguat di institusi negara, tapi ruang hegemoni yang dibangun melalui persetujuan kolektif antara elite dan massa di ruang masyarakat sipil tengah melemah. Persoalan politik yang tengah dihadapi oleh Presiden Jokowi adalah pada ranah hegemoni, ketika akibat pergerakan dinamis penguasaan ruang-ruang kekuasaan oleh oligarki semakin kokoh dan menguat, telah membuat tergerusnya kepercayaan dari kalangan pendukung militan mereka, yakni kaum progresif dan mayoritas diam dari masyarakat bahwa rezim ini akan konsisten mengusung agenda Nawacita.
3.3. Dalam realitas politik seperti ini, yang kerap kita lupakan sebagai kekuatan politik progresif adalah jikapun kekuatan kita dihitung kepala per kepala secara politik elektoral aktual lemah, tapi potensi kekuatan kita untuk membangun narasi politik perjuangan sebagai creative minority begitu kuat. Dalam pertarungan ide dan gagasan di media online, penulis-penulis progresif yang, misalnya, berhimpun dalam organ gerakan IndoPROGRESS, bisa memengaruhi ribuan orang untuk membagi dan puluhan ribu orang untuk membacanya. Pada momen pilpres 2014 bahkan Jokowi sendiri menyadari dukungan politik kuat dari relawan.
3.4. Oleh karena itu mengingat potensi politik yang kuat dari kalangan progresif untuk memengaruhi opini publik, sungguh sebuah aktivitas politik yang mubazir untuk menyia-nyiakan potensi ini dalam gelanggang pilpres 2019. Tidak ada momen yang paling strategis dan menentukan dalam arena politik selain momen Pilpres untuk mengedepankan kembali agenda politik kerakyatan. Orientasi politik yang dituju dalam momen pilpres ini adalah jangan terburu-buru bagi kita untuk menentukan antara Golput atau Memilih, tapi gunakan momen ini bagi kaum progresif untuk memberikan penyadaran politik kepada mayoritas massa yang diam dan tengah kecewa terhadap pilihan politik yang ada. Ingatkan bahwa Nawacita yang berbasis Trisakti adalah narasi politik orisianl (genuine) yang telah kita bangun bersama pada 2014 lalu, untuk menjadi ruh bagi pembangunan kekuatan politik baru yang ke depan berpotensi menantang kuasa oligarki.
3.5. Sementara dalam konteks pertarungan politik 2019 pilihan politik yang ada, agenda kaum progresif tentu tidak memilih Prabowo, dan memaksa kubu Jokowi untuk mengakui penyimpangan arah nawacita yang sudah empat tahun berjalan, dan mengembalikan kepercayaan publik dengan kembali ke agenda Nawacita berbasis Trisakti atau Golput pada saat-saat terakhir apabila tidak ada perubahan signifikan dalam langkah politik Jokowi dalam sisa delapan bulan ke depan!
Tesis Keempat: Kaum Progresif Indonesia bangunlah dari tidurmu, basuh muka dan hadapi hari yang keras ini.***
Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Direktur Executive Initiative Institute
Artikel lain terkait debat pilpres 2019:
Muhammad Ridha, Posisi Sosialis untuk Pemilu 2019: Golput Bukan Pilihan
Abdul Mughis Mudhoffir, Boikot Pemilu dan Masa Depan Gerakan Progresif: Kritik atas Pendekatan Personalistik
Martin Suryajaya, Tesis Agustus Tentang Gerakan Kiri dan Pilpres 2019