Kredit ilustrasi: BibleWalks.com
RELASI mengenai wahyu dan nalar adalah salah satu tema penting dalam percakapan mengenai teologi. Pertanyaan utama tema ini adalah natur dari pengetahuan atas tuhan. Lalu, bagaimana nalar manusia, pada dirinya, mampu menggapai pengetahuan ini. Tema ini menjadi penting karena ia juga membantu kita memahami hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Wahyu adalah proses terbukanya selubung mengenai realitas atas tujuan ilahiah dan suci manusia dan kemanusiaan (Dulles, Revelation, 1999)[1]. Sepanjang sejarah pemikiran iman Kristen, terdapat berbagai bentuk relasi nalar dan penerimaan terhadap wahyu (Dulles, 1997). Secara umum, dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 model iman Kristen (Holmes, 2010)[2]. Kesimpulan umum Holmes adalah, sebagaimanapun pesimisnya sebuah model iman, nalar tetap diperlukan[3]. Model yang berangkat dari pengakuan bahwa nalar manusia itu sangat terbatas dan menyesatkan sendiri harus melibatkan serangkaian proses berpikir untuk mencapai kesimpulan tersebut.
Namun ada yang sering hilang dan terasa ganjil di percakapan tradisional mengenali wahyu dan nalar. Seolah-olah, wahyu hadir sebagai relasi yang independen antara Tuhan dengan nalar murni. Imajinasi kita mengenai penyingkapan pengetahuan mengenai Tuhan seringkali berhubungan dengan pertapaan dan kontemplasi, juga pergelutan dengan teks-teks suci. Konteks sejarah dan sosio-politik menjadi aksesoris untuk menjelaskan momen-momen penyingkapan. Padahal dalam teks-teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, konflik-konflik dan kemelut bermasyarakat adalah bagian yang penting dan tak terpisahkan dari tersingkapnya pengetahuan atas Tuhan.
Wahyu senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat. Penelusuran Cone (1974) menunjukkan bahwa dalam kisah perjanjian lama, Tuhan menyingkapkan dirinya di tengah-tengah kisruh perbudakan atas orang-orang Israel, upaya pembebasan mereka, dan lahirnya Israel sebagai sebuah bangsa. Memenuhi janjinya di kitab Kejadian, menyingkapkan sedikit bagian dari rencananya dengan mengangkat bangsa Israel dari status budak menjadi bangsa pilihan.
“Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu–bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka TUHAN telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir.” (Keluaran 7:7-8).
Keluaran adalah peristiwa peresmian dan penebusan janji Allah terhadap anak-anak Abraham. Peresmian ini dipertegas dengan perjanjian antara kedua pihak. Lewat perjanjian ini, Tuhan Perjanjian Lama menegaskan keinginan dan visi-nya atas dunia. Di sini, tuhan secara eksplisit menyingkapkan berbagai pengetahuan mengenai rencana-Nya. Mulai dari pembebasan dari perbudakan dan penindasan serta keberpihakannya pada orang-orang yang lemah.
“Janganlah kautindas atau kautekan seorang orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir.
Seseorang janda atau anak yatim janganlah kamu tindas.
Jika engkau memang menindas mereka ini, tentulah Aku akan mendengarkan seruan mereka, jika mereka berseru-seru kepada-Ku dengan nyaring.
Maka murka-Ku akan bangkit dan Aku akan membunuh kamu dengan pedang, sehingga isteri-isterimu menjadi janda dan anak-anakmu menjadi yatim.” (Keluaran 22:21-24)
Bangsa Israel ternyata tidak berhasil bersetia pada peristiwa Keluaran[4]. Hal ini terjadi pada periode berdirinya monarkisme Israel. Bangsa yang diangkat dan diresmikan menjadi bangsa terpilih dari status sebagai budak yang hina, ternyata mulai menjadi penindas baru. Wahyu hadir lewat suara-suara kenabian. Para nabi memprotes dan mengkritik arah masyarakat Israel yang menjauh dari Tuhan.
“Sesungguhnya, di antara umat-Ku terdapat orang-orang fasik yang memasang jaringnya;
seperti penangkap burung mereka memasang perangkapnya, mereka menangkap manusia.
Seperti sangkar menjadi penuh dengan burung-burung, demikianlah rumah mereka menjadi penuh dengan tipu;
itulah sebabnya mereka menjadi orang besar dan kaya,
orang gemuk dan gendut. Di samping itu mereka membiarkan berlalu kejahatan-kejahatan, tidak mengindahkan hukum,
tidak memenangkan perkara anak yatim, dan tidak membela hak orang miskin.” (Yer 5:26-28)
Kemarahan Tuhan berujung pada pembuangan orang-orang Israel. Pembuangan ini diisi dengan berbagai ratapan dan penyesalan hingga orang Israel menyerukan pertobatan. Ketika pengasingan berakhir dan orang-orang Israel kembali ke tanahnya, orang Israel membangun kembali bait suci. Kali ini, mereka bersumpah untuk menjunjung tinggi hukum sebagai bentuk pertobatan. Namun ketaatan pada tradisi bukanlah satu-satunya hal yang dicari oleh Tuhan Perjanjian Lama. Kekristenan percaya kisah ini berlanjut ke Perjanjian Baru.
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Mat 5:17)
Yesus hadir di tengah-tengah ketegangan antara begitu masif-nya helenisasi lewat cengkeraman imperium Romawi dan reaksi Israel atasnya. Israel paska pembuangan yang menekankan ketaatan pada hukum dan tradisi bertahan habis-habisan untuk mempertahankan identitasnya, yang pada gilirannya mengangkat hukum-hukum dan tradisi, serta bayang-bayang nostalgia kejayaan, menjadi sesuatu yang telah selalu ada (tidak bisa diganggu gugat). Di dalam kebuntuan tersebut, Yesus berusaha menawarkan gagasan dan visi-Nya kepada orang Israel. Namun kebaharuan ini bukan hadir dari pertapaan yang menghasilkan ide utopian ataupun agama baru untuk menggantikan tradisi yang lama. Secara kontraintuitif, ia justru menawarkan untuk kembali ke inti yang paling inti dari ajaran Judaisme.
Yesus dalam Lukas dan Matius bukanlah semata kisah mengenai orang malang yang disalibkan. Secara gamblang digambarkan bahwa lewat Yesus, Tuhan hadir dan menceritakan rencananya mengenai keselamatan dan pembebasan. Menariknya tema kehadiran tuhan ini lekat dengan janji-janji Tuhan perjanjian lama.
“karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.
Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;” (Lukas 1:49-53)
Tuhan hadir untuk berdiri bersama dan berpihak kepada orang-orang yang ditindas dan lemah. Hal ini senada dengan rencana-rencana Allah disingkapkan dalam Perjanjian Lama. Ayat tersebut menunjukkan bahwa yang dilakukan Yesus justru adalah kembali kepada visi Tuhan Perjanjian Lama. Dalam konteks ini, dapat menjadi masuk akal bagaimana Yesus menawarkan sesuatu yang baru sambil bersetia kepada yang lama. Yesus menawarkan jalan untuk menjadi lebih Judais daripada Judaisme (yang hadir kala itu).
Oleh karena itu, wahyu, dalam perjanjian baru dan kisah Yesus, hadir sebagai momen ruthless criticism of all that exist[5]. Yesus seorang Yahudi dan memegang teguh Judaisme. Namun ia tidak serta-merta menerima semua pandangan umum orang-orang Yahudi. Menariknya, ia sendiri tidak sepenuhnya anti dan ingin menghancurkan Judaisme dalam bentuknya yang hadir di hari-hari itu. Pemahaman dan nalar umum orang Yahudi mengandung benih-benih kebenaran (sekecil atau sedangkal apapun). Orang Israel ingin mengabdi dan taat kepada Tuhan serta visi-nya atas dunia. Namun hal ini tidak dilakukan dengan ketaatan pada hukum dan tradisi belaka. Yesus mengingatkan kepada orang Israel bahwa inti Judaisme tak lain dan tak bukan adalah pembebasan umat manusia. Dan dengan inilah Yesus mengubah sejarah Judaisme secara radikal.
Drama antara Tuhan dan bangsa Israel yang tertulis dalam Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru menunjukkan berbagai momen-momen penyingkapan. Wahyu, justru seringkali hadir di pergumulan-pergumulan sosial dan politik. Bukan kebetulan pengetahuan mengenai Tuhan hadir di momen pembebasan Israel dari perbudakan, penghukuman atas kelaliman monarkisme Israel, dan kritik sosial terhadap reaksi Judaisme atas helenisasi. Kisah mengenai orang-orang yang bergumul, memprotes, dan melawan, juga kisah orang-orang yang menindas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wahyu. Mereka tidak bisa semata-mata diperlakukan sebagai latar yang bertugas menjadi penghias dan penjelas momen penyingkapan.
Pada akhirnya, pembacaan di atas tidak dimaksudkan untuk mengajak kita meninggalkan percakapan tradisional mengenai wahyu dan nalar. Penelusuran terhadap penyingkapan dan pikiran manusia pada dirinya sendiri tetap memiliki tempat yang penting dalam percakapan ini. Begitu juga hubungan langsung nalar dan wahyu. Namun percakapan ini dapat diperlengkap dan diperluas dengan mulai memperlakukan “konteks” secara serius. Dengan demikian, diharapkan natur dari relasi Tuhan dengan manusia dapat terlihat lebih jelas.***
Dono Ekuator, pengasuh Diskusi Rabuan Gereja Komunits Anugerah Salemba
Kepustakaan:
Cone, J. H. (1974). Biblical Revelation and Social Existence. Interpretation: A journal of Bible and theology , 422-440.
Dulles, A. (1999, July 29). Revelation. From Encyclopaedia Britannica: https://www.britannica.com/topic/revelation
Dulles, A. (1997). The Assurance of Things Hoped for: A Theology of Christian Faith. New York: Oxford University Press.
Holmes, P. (2010). Models of Fath and Reason. Sidney: University of Notre Dame Australia.
———-
[1] Dalam artikel di Encyclopaedia Britannica, Avery Dulles menyebutkan “Revelation, in religion, the disclosure of divine or sacred reality or purpose to humanity. In the religious view, such disclosure may come through mystical insights, historical events, or spiritual experiences that transform the lives of individuals and groups.”
[2] Model tersebut adalah: 1) Proposisional, 2) Transendental, 3) Fidusial, 4) Afektif/pengalaman, 5) Ketaatan/obediential, 6). Praksis, 7) Personalis. Model fidusial dan ketaatan adalah semacam fideisme yang menekankan adanya batas nalar dan kecenderungannya untuk malah menyesatkan manusia
[3] Pertanyaan survey umum Holmes adalah “apakah nalar diperlukan untuk menerima pengetahuan mengenai Tuhan?”
[4] Yer 5:26-28, Mi 6:8 menunjukkan bahwa bangsa Israel penuh keserakahan dan tipu daya, menolak berlaku adil, tidak memenangkan perkara anak yatim, dan tidak membela hak orang miskin
[5] Dalam suratnya kepada Arnold Ruge, Karl Marx menjelaskan bahwa tugas mendesak hari-hari tersebut adalah kritik secara brutal terhadap apapun yang ada (Ruthless Criticism of Everything That Exist). Argumen Marx adalah, kesadaran yang ada, maupun seburuk dan sebuntu apapun tidak bisa dikalahkan dengan menjadi dismisif. Kesadaran dan nalar umum, sebaliknya, telah selalu mengandung fragmen kebenaran. Maka yang ia maksud dengan kritik adalah mengekspos apa yang benar dari kesadaran tersebut dan mengklarifikasinya (arguably, membelokkan dan menyimpangkan).