Komitmen dan Netralitas dalam Teologi Kristen: Mengimani Sekaligus Memberpihaki

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Godsloveandlaw’s Blog

BAGAIMANA cara kita mendekati teologi? Apakah sama seperti kita mendekati ilmu-ilmu alam dengan argumentasi-argumentasi modernis yang berjarak? Apakah agama itu sesuatu yang subjektif dan tidak terlepas dari pengaruh kondisi di sekitarnya?

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba memaparkan secara sederhana mengenai dua tarikan ini. Apakah teologi Kristen dapat diperlakukan serupa dengan ilmu pengetahuan lain? Atau jangan-jangan, teologi justru memiliki sisi uniknya tersendiri?

 

Netralitas Ilmu Pengetahuan
Kita memahami netralitas sebagai sesuatu yang bebas nilai. Prinsip ini merupakan sebuah tuntutan kepada ilmu pengetahuan. Tujuannya agar ilmu pengetahuan menjadi suatu objek yang dapat berkembang secara independen. Caranya dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan itu sendiri. Penerapan prinsip ini bermaksud untuk membuat ilmu pengetahuan bertumbuh hanya demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu, ia tidak boleh berdasarkan pada pertimbangan lain di luar lingkup ilmu pengetahuan itu sendiri. Pendeknya, penilaian semata-mata hanya berdiri pada pertimbangan ilmiah murni.

Ada kalanya ilmu pengetahuan terpengaruh oleh pertimbangan lain, seperti politik, ekonomi, agama, dan moral. Jika demikian, proses itu sudah menghasilkan sebuah output yang tidak otonom. Ia sudah terdistorsi oleh nilai di luar dirinya sendiri. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan sudah menjadi tidak murni sama sekali.

Intinya adalah ilmu pengetahuan baru dapat dikatakan netral jika telah memenuhi dua prinsip utama. Pertama, ia harus bersifat mandiri. Kedua, ada unsur objektivitas, yaitu ia konsisten dengan keputusannya serta tidak menghakimi atau mengebiri orang atau kelompok tertentu.

Pandangan netralitas ilmu ini dikemukakan pertama kali oleh seorang filsuf Prancis, Auguste Comte. Dalam doktrin positivisme, dia memberi jarak antara fakta dan nilai. Baginya, ilmu pengetahuan yang murni harus dapat melepaskan diri dari pandangan subjektif peneliti. Positivisme sendiri berakar dari empirisme. Dalam hal ini, empirisme menekankan pengalaman sebagai satu-satunya pengetahuan yang valid. Objek pengetahuan harus mengandung fakta konkret. Dengan demikian, positivisme menolak unsur subjektivitas di belakang fakta. Ia juga harus menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.

Akan tetapi, mungkinkah ilmu pengetahuan bersifat netral? Bisakah sebuah objek berdiri sendiri tanpa adanya tafsiran subjektif dari peneliti?

Perdebatan mengenai ilmu bebas nilai telah menjadi pro dan kontra. Para peneliti, ilmuwan, dan filsuf terus memperdebatkan topik ini sampai sekarang. Ada yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang menentang netralitas sebuah ilmu. Bahkan, perdebatan ini telah berlangsung lama sejak dari zaman Yunani kuno.

Berbeda dengan Comte, Aristoteles, yang hidup jauh sebelum Comte, mengatakan bahwa ilmu itu justru tumbuh dengan nilai-nilai. Begitu pula menurut seorang fisikawan dan sejarawan filsafat ilmu, Thomas S. Khun. Dia berpendapat bahwa ide netralitas ilmu hanyalah sekadar ilusi. Menurutnya, paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan. Itu juga akan memengaruhi jenis-jenis pertanyaan yang diajukan dan masalah yang dianggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tidak bisa mengumpulkan fakta.

Sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan. Ide netralitas ilmu pengetahuan, yang tidak berpihak kepada apapun, hanya akan membutakan ilmuwan terhadap kepentingan atau tujuan yang mendasari sebuah penelitian ilmiah. Dampaknya, kebutaan tersebut akan menjadi-jadi. Alhasil, ia akan menimbulkan persoalan sosial-etis, misalnya, proses dehumanisasi manusia yang justru adalah pemilik ilmu dan teknologi.

Maka pertanyaan selanjutnya adalah jika teologi merupakan sebuah ilmu, apakah seharusnya teologi juga netral?

 

Teologi Kristen Sebagai Ilmu yang Netral?

Tidak hanya di dalam ilmu sekuler, rupanya topik netralitas ilmu ini juga telah menjadi diskusi panjang dalam tradisi Kristen. Perdebatan ini dipercaya sudah dimulai pada abad ke-12 di universitas Paris.

Konfrontasi publik terbelah menjadi dua. Pertama, mereka yang percaya bahwa teologi harus berkomitmen pada iman Kristen (Bernard of Clairvaux). Kedua, mereka yang bersikeras bahwa teologi adalah sebuah ilmu akademis. Kelompok terakhir menuntut pemisahan teologi dari para praktisi teologi (Peter Abelard).

Para ”penuntut pemisahan” ini berargumen bahwa hal utama dalam teologi adalah pencarian nilai kebenaran. Jika seseorang, yang mencari nilai kebenaran, telah berkomitmen pada suatu aliran tertentu, kecurigaan akan timbul terhadap kebenaran yang dihasilkannya. Oleh sebab itu, yang berhak menilai iman Kristen adalah hanya mereka yang netral terhadapnya.

Argumen kedua adalah teologi harus dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit. Misalnya, mengenai kredibilitas intelektual, metode, dan ide dasarnya. Lingkungan kritis dan ilmiah, seperti disiplin ilmu pengetahuan, perlu untuk membangun teologi yang netral, jujur, dan tanpa pengaruh pertimbangan lain.

Akan tetapi, apakah benar teologi dapat sepenuhnya netral? Apakah benar teologi Kristen bisa lepas dari pergumulan sosial-politik di lingkungan sekitarnya? Tampaknya tidaklah demikian.

Menurut Karl Marx, agama tidak bisa berdiri sendiri. Agama adalah institusi sosial yang bergantung pada realitas material dan ekonomi pada masyarakat tertentu. Ia tidak memiliki sejarah yang independen. Sebaliknya, agama adalah sebuah kekuatan produktif. Sebagaimana Marx menuliskan, ’The religious world is but the reflex of the real world.”

Dalam materialisme historis, Marx membagi lingkup kehidupan manusia dalam dua bagian besar, yakni dasar nyata (basis) dan bangunan atas. Dasar atau basis adalah produksi kehidupan material. Bangunan atas adalah proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual. Dalam hal ini, basis akan selalu memengaruhi bangunan atas, begitu juga sebaliknya secara dialektis.

Dia menekankan bahwa corak produksi kehidupan material memengaruhi proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual manusia. Kesadaran bukan yang menentukan keadaan, tetapi sebaliknya keadaan sosial manusia yang menentukan kesadaran. Marxist Italia Antonio Gramsci kemudian mengembangkan pandangan ini. Menurutnya, ilmu pengetahuan, sosial-politik, dan agama (bangunan atas) yang telah dipengaruhi oleh corak produksi tadi, kembali memengaruhi modus produksi (basis). Dengan begitu, siklus itu menghasilkan sebuah model seperti counter clockwise.

Kita misalkan sebuah masyarakat yang tumbuh dari sebuah sistem feodal. Agama, dalam konteks itu, akan menghasilkan umat yang akan tunduk kepada tuan tanah. Mereka akan menerima kesusahan hidup sebagai sesuatu yang harus “disyukuri”. Bahkan, mereka tidak pernah berniat untuk mengubahnya. Kemudian, agama tersebut akan mendorong orang untuk menuhankan Si Tuan Tanah, struktur pemerintahan, dan relasi ekonomi yang menindas. Alhasil, agama mengambil peran sentral dalam sistem corak produksi ekonomi yang menguntungkan penguasa.

Pemikiran dua tokoh di atas, kiranya, dapat menjadi cerminan dalam memikirkan ulang arti berteologi Kristen. Seharusnya, kita yang menjadi Kristen bukan menarik diri dari pergumulan dunia. Sebaliknya, kita justru harus masuk dan menjadi bagian dari pergumulan tersebut. Dengan begitu, pertanyaan selanjutnya adalah ke mana orientasi teologi Kristen seharusnya bergerak?

Dalam sejarahnya, kita sulit untuk menggolongkan kekristenan sebagai sesuatu yang netral. Pada dasarnya, kekristenan tak pernah lepas dari pergumulan sosial-politik dimanapun ia berada. Keberpihakan selalu menjadi ciri khas teologi Kristen.

Mari kita melihat kitab Keluaran 13. Ini merupakan kisah pembebasan perbudakan bangsa Israel atas inisiatif Allah sendiri. Hal menarik adalah kisah pembebasan ini bukan karena status Israel sebagai “umat pilihan Allah” semata. Rombongan besar, berjumlah ratusan ribu orang itu, tidak hanya berisi bangsa Yahudi saja. Akan tetapi, mereka juga terdiri dari bangsa-bangsa non Yahudi.

Bukan tanpa sebab Allah memihaki rombongan besar ini. Kita bisa menyebutkan status politik sebagai tawanan dan budak sebagai dasar dari pemihakan Allah. Kitab Keluaran dengan gamblang menampilkan sosok YHWH sebagai Allah yang membenci perbudakan dan penindasan.

Mari kita melompat pada bagian kitab yang lain. Jika kita membaca 1 dan 2 Raja-raja, misalnya, kita akan menemukan suatu bentuk teokrasi-monarki. Bangsa Yahudi menerapkan itu dengan unik jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain disekitarnya. Bangsa lain, pada zaman itu, menganggap raja sebagai titisan allah. Mereka meyakini bahwa titah raja adalah titah allah. Artinya, titah raja bersifat mutlak. Dengan demikian, rakyat dipaksa untuk menuhankan raja. Namun, bangsa Yahudi berbeda. Alih-alih memihak kepada raja, Allah, dalam kitab Raja-raja, justru siap mengudeta raja yang melanggar perjanjian-Nya dengan Israel sebelum masuk ke tanah Kanaan (bandingkan Kel. 22: 21–24, 23: 6–9 dengan 1 Raja-raja 21)

Dalam tradisi mula-mula, kekristenan telah mengenal narasi keberpihakan pada pihak yang lemah. Dalam kitab Didache,[1] misalnya, menggolongkan para penindas dan orang yang serakah ke dalam “jalan kematian”. Tidak sampai di situ, objek keberpihakan, dalam nas ini, bukan hanya manusia, tetapi semua ciptaan yang dirusak oleh pihak yang lebih super power:

“Orang-orang yang menindas orang-orang yang saleh: membenci kebenaran, mencintai kebohongan, tidak mengetahui cara membalas kebaikan, tidak mendekati kebaikan dan keputusan yang adil, begadang bukan untuk kebaikan tetapi untuk kejahatan, menjauhi kerendahhatian dan kesabaran, mencintai kebatilan, menindas tindakan membalas budi, tidak mengasihi orang-orang miskin, yang tidak merasa terluka bersama orang-orang yang terluka, tidak mengetahui pencipta mereka, membunuh anak-anak, merusak ciptaan Tuhan, berpaling dari orang-orang yang membutuhkan, membuat cemas orang-orang yang dalam kesusahan, membela orang-orang kaya, memutuskan kezaliman bagi orang-orang sengsara, melakukan pelbagai kesalahan; semoga kamu dan anak-anakku selamat dari sifat-sifat itu semuanya.” – Didache 5:2

Oleh karena itu, saya rasa penting untuk menekankan kembali deklarasi politik Yesus dalam Lukas 4:18-19. Ini menjadi sebuah ayat penting dalam konteks keberpihakan teologi Kristen. Manifesto ini sangat membantu agar kita dalam merefleksikan kembali apa itu Injil, fungsi, dan tujuannya.

Bukan tanpa alasan Allah yang transenden dan tak terpahami itu mengambil wujud material dalam inkarnasi Sang Firman. Bukan tanpa alasan pula Allah, Sang Empunya sejarah, justru masuk menyejarah bersama dengan ciptaan-Nya. Ia ingin kita memahami arti nilai kebenaran kerajaan Allah yang diwujudkan dalam perbuatan Yesus Kristus selama di bumi.

Pada akhirnya, beriman kepada Kristus bukan sekedar mempercayai-Nya sebagai Tuhan dan Juru Selamat saja. Akan tetapi lebih dari itu, beriman berarti meneladani seluruh perkataan dan tindakan-Nya, memikirkan apa yang dipikirkan-Nya, meresahkan apa yang diresahkan-Nya, menggumuli apa yang digumuli-Nya, dan memihaki apa yang dipihaki-Nya.***

 

Penulis adalah jemaat Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba

 

———-

[1] Didache (diterjemahkan sebagai “ajaran para rasul”) adalah risalah Kristen awal yang memuat kumpulan pengajaran kepada jemaat Kristen mula-mula, diperkirakan ditulis antara rentang waktu abad pertama sampai abad ketiga

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.