Kredit ilustrasi: Learning Mind
SYAHDAN, Syekh Muhammad Abduh –ulama Mesir yang sangat terkenal itu—pernah berkata, Al-Islaam mahjuubun bil muslimin. Islam –Dienul Islam— menjadi jumud justru untuk kaum muslim itu sendiri.
Abduh hidup di masa ketika Kesultanan Ottoman masih menjadi Orang Sakit dari Eropa (“The Sick Man of Europe”) dan kehilangan tanah-tanah kekuasaan akibat diambil Inggris dan Prancis. Mesir salah satunya. Abduh menggambarkan kejumudan yang akut pada masa itu: perang dimana-mana, kekuasaan korup, tidak berdaya-nya umat Islam dalam jebak kabut imperialisme, dogmatisme menimbulkan kebisuan, dan lain sebagainya.
Refleksi Abduh kemudian melahirkan keresahan dan, sekaligus juga, semangat: Gerakan pembaharuan –tajdid— harus lahir mendobrak kejumudan itu. Keresahannya disambut oleh banyak orang di berbagai penjuru dunia: Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah setelah membaca Al-Manar, dan banyak pembaharu-pembaharu keagamaan di negeri kolonial tersadarkan oleh perlunya mencerahkan masyarakat sebelum melawan penindasan rezim kolonial.
Pertanyaannya, apakah dua abad kemudian, refleksi Muhammad Abduh ini masih relevan?
***
Di tahun 2018, masyarakat Turki menyaksikan kembalinya Recep Tayyip Erdogan sebagai Presiden untuk kedua kalinya (dan sebagai “pemimpin de facto” untuk kesekian kalinya). Namun demikian, public dikejutkan oleh tampilnya sebuah partai kecil — Halkların Demokratik Partisi (HDP) sebagai partai ketiga. Suaranya memang terbilang kecil, hanya 5.800.000 suara. Tentu tak cukup untuk membentuk pemerintahan.
Tapi mereka tampil dengan platform yang berbeda: membela hak-hak minoritas Kurdi, mendorong sosialisme demokratis, dan egalitarianism dalam tatanan sosial politik di Turki. Dan pikiran itu sukses membuat calon Presiden mereka, Selahattin Demirtas, untuk mencalonkan diri dari dalam penjara. Tapi penjara Erdogan tidak membuatnya kehilangan dukungan. Partainya menjadi partai ketiga terbesar di Turki, menyapu bersih wilayah-wilayah Kurdi, dan mendorong tatanan politik yang lebih demokratis di tengah kemenangan Erdogan dan pendukungnya.
***
Pada tahun 2011, jurnalis Ahram Mariz Tadroz mencatat fenomena yang cukup aneh: gelombang demonstrasi anak-anak muda gaul untuk menuntut pengunduran diri Hosni Mubarak –pemimpin Mesir bertangan besi yang berkuasa lebih dari 20 tahun dan selalu menang Pemilu. Anak-anak muda ini adalah anak-anak muda Ikhwan, tapi berbeda dengan para pendahulunya: gaul, lincah dalam mobilisasi gerakan, dan kritis terhadap kekuasaan –bahkan pada tanzim Ikhwan sendiri.
Tadroz mencatat ada tiga faksi besar di tubuh Pemuda Ikhwan. Faksi pertama adalah faksi taat dan secara resmi memegang ‘komando’ jamaah (kira-kira mereka ini yang rajin liqo dan turut dengan taklimat). Faksi kedua adalah faksi yang pasif, mereka yang bermain aman di dalam jamaah sembari tetap mengorganisir di luar. Sementara faksi ketiga lebih bandel, mereka yang aktif di mana-mana tanpa peduli itu dilarang tanzim atau tidak.
Singkat kata, bulan Januari sudah menapak akhir bulan. Situasi kian memanas. Khaled Said, seorang blogger, disiksa oleh aparat keamanan gegara aktivitas blogging-nya yang dianggap subversif dan meninggal. Kematian Khaled Said membangkitkan amarah anak-anak muda. Tanggal 25 Januari, aktivis-aktivis yang selama ini bergerak di bawah tanah memutuskan untuk turun ke jalan. Hari itu kemudian tercatat dalam sejarah sebagai yaum al-ghadhab; hari kemarahan. Anak-anak muda itu, termasuk di dalamnya anak-anak muda Ikhwan, turun ke lapangan Tahrir dan meneriakkan slogan-slogan yang dulunya tabu: Mubarak harus turun.
Sejarah kemudian mencatat Yaum Al-Ghadhab sebagai titik balik dari apa yang disebut sebagai Arab Spring. Tak lama kemudian, Hosni Mubarak menyatakan mundur. Pemilu digelar segera sesudahnya. Ikhwan mencalonkan Mohammad Morsy dan menang Pemilu. Meski usia pemerintahannya hanya satu tahun, ketika kemudian Abdel Fattah el-Sisi, jenderal pilihan Morsy sendiri, mengudetanya di tahun 2013 dan membentuk kediktatoran baru di Mesir.
***
Tahun 1920an, ada banyak orang yang berangkat haji dan pulang ke Hindia Belanda, tidak hanya dengan gamis, kurma, atau oleh-oleh untuk sanak kerabat. Mereka pulang dengan gagasan dan pemikiran baru tentang kolonialisme Belanda di Nusantara. Beberapa di antara mereka muncul dengan gerakan-gerakan baru. Ditopang oleh usaha toko bukunya, Haji Misbach mendirikan dua jurnal yang dicetak dengan semangat meledak-ledak: Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Orang-orang mengenalnya sebagai Hadji Merah.
Di antara orang-orang yang membantunya, ada nama yang tak asing bagi orang-orang Muhammadiyah: Haji Fakhruddin. Ia adalah adik dari tiga bersaudara assabiqunal awwalun Persyarikatan –salah satu di antara murid-murid pertama Kyai Dahlan. Kakaknya kelak dikenal dengan nama Kyai Syuja’ dan Ki Bagus Hadikusumo –pemimpin-pemimpin Persyarikatan sepeninggal Kyai Dahlan.
Syahdan, ketika Haji Misbach ditangkap polisi kolonial, Medan Moeslimin dan Islam Bergerak diurus oleh Haji Fakhruddin, deputinya di dua jurnal itu. Konon Fakhruddin juga berguru kepada Mas Marco Kartodikromo, jurnalis kiri anti-kolonial kenamaan masa itu. Walau kemudian Fakhruddin lebih dekat dengan Sarekat Islam dan kelompok Tjokroaminoto –juga seorang Haji— plus mengurus Muhammadiyah. Dan sekeluarnya Misbach dari penjara, hubungan antara dia dengan pengurus-pengurus Muhammadiyah menjadi retak.
Tapi di kemudian hari, haji-Haji itulah yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Persentuhan antara gerakan Islam dan gerakan Kiri di tahun 1920an itu telah menumbuhkan semangat anti-kolonialisme yang kuat dan menggelora bagi partai-partai Islam. Semangat perlawanan terhadap kolonialisme, dan kapitalisme yang membersamai pemerintah kolonial itu, bersumber atas dorongan yang kuat dari Islam sebagai kekuatan sosial dan politik yang kuat di masa itu.
***
Sejarah bergerak dinamis. Di setiap fasenya, selalu hadir koreksi, dan koreksi melahirkan perubahan. Maka dari itu, sejarah mengajarkan semangat perubahan, dan sejarah juga telah menceritakan betapa kejumudan adalah sebuah pintu gerbang menuju koreksi besar-besaran; jalan lempang menuju perubahan, pembaharuan; revolusi, koreksi.
Koreksi bisa jadi hadir dari dalam diri sendiri. Namun demikian, ada sebuah hadits yang cukup relevan, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, maka apabila tidak bisa ubahlah dengan lisannya, maka apabila tidak bisa maka dengan hatinya yang demikian selemah-lemah iman”
Para ulama menafsirkan kata bi yadihi (dengan tangannya) di sini sebagai “dengan kekuasaan/kemampuan”. Apa artinya? Kita bisa mengatakan bahwa jika ingin melakukan perubahan, lakukanlah secara kolektif. Dalam konteks komunitas, masyarakat, transformasi memerlukan kesadaran dari dalam diri untuk melakukan koreksi, secara mandiri, pada ranah substansial-massa, bukan elite. Transformasi tidak pernah sepenuh hati dilakukan elite, kecuali jika elite-elite itu bertaubat. Transformasi membutuhkan massa.
Islam bertitik tumpu pada kesadaran. Seseorang beragama jika ia yakin, sadar. Percaya. Itulah yang kita sebut sebagai iman. Beriman itu berkesadaran, dengan sadar kita percaya bahwa Allah itu ada, Nabi Muhammad itu benar-benar utusan Allah, dan hidup ini adalah untuk ibadah kepada Allah. Tanpa kesadaran, tidak ada iman. Tidak ada taqwa. Tidak ada ihsan. Dan dengan perangkat kesadaran itulah, agama menjadi bersifat transformatif, menginginkan koreksi-koreksi dari dalam diri masyarakat secara kolektif.
Agama yang terlampau berdimensi mistis –tidak rasional— akan dapat jatuh pada kejumudan. Dan jika agama jatuh pada kejumudan, ia kehilangan dimensi kesadarannya, yang menghubungkannya dengan massa, dengan manusia, dengan masyarakat.
Jika agama jatuh pada kejumudan, ia menjadi rentan dengan ghoshob –pencurian dan pembajakan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu yang sesaat! Sebab, kejumudan hanya menghilangkan kesadaran, menghilangkan rasionalitas, menghilangkan kritisisme terhadap struktur di luar agama. Agama menjadi rentan digeret pada relasi-kuasa tertentu; dijadikan tunggangan untuk kepentingan tertentu; dijadikan dalih untuk melakukan sesuatu yang merefleksikan kuasa-kuasa semu.
Agama tidak boleh jatuh pada kejumudan. Oleh sebab itu, ia secara alamiah mengalami proses transformasi; pembaharuan secara terus-menerus. Islam mengistilahkanya dengan tajdid. Ini bukan sesuatu yang dibawa hanya oleh Muhammadiyah. Banyak ulama-ulama Islam di abad kejayaan Islam yang memeloporinya secara kreatif.
Mari kita ambil contoh sederhana: bagaimana tradisi filsafat Islam terbentuk di abad pertengahan. Tradisi filsafat Islam yang punya kerangka dalam nash, bertemu dengan filsafat Yunani Kuno yang otentik dan klasik, melahirkan sebuah hybrid yang dahsyat dalam tradisi intelektual Islam. Inilah era yang dikenal dengan era keemasan Islam –Bayt al-Hikmah—yang menandai titik kulminasi tatanan dunia msa itu. Penemuan berbagai macam ilmu dan pengetahuan, termasuk tradisi sosiologi sejarah Ibnu Khaldun, tak lepas dari pertemuan ini. Islam lahir sebagai world-view, salah satunya berkat adanya kolaborasi, dan terutama koreksi, atas tradisi pemikiran yang berkembang sebelumnya –yaitu Yunani.
Islam, dengan demikian, adalah sumber dari koreksi baik secara sosial maupun intelektual Secara intelektual, Islam mendobrak kejumudan zaman dengan semangatnya untuk membaca (Iqra’). Secara sosial, Islam juga mendobrak kejumudan zaman dengan perlawanannya terhadap kezaliman, kemunkaran, atau dalam bahasa yang lebih kekinian –struktur sosial yang menindas. Pertanyaannya, bagaimana sisi-sisi korektif dan transformatif Islam itu diejawantahkan?
***
Hari ini, kita seperti dilanda kejumudan-kejumudan baru atas nama kekuasaan. Ketika agama dijadikan alat untuk mendulang suara. Ketika agama diperalat untuk tuntutan-tuntutan kekuasaan. Ketika agama dijadikan hanya sekadar aksesori, instrumen, untuk struktur di luar dirinya, sementara para pemeluknya terkungkung oleh penjara kebodohan, kemiskinan, penindasan –meminjam Hassan Hanafi.
Menjelang tahun 2019, umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua pilihan: tetap jumud dengan kekuasaan-kekuasaan yang korup dan meninggalkan umat Islam setelah mereka memenangkan hati umat dengan jargon kampanye mereka, atau memperbarui cara kita memandang Islam dan masalah-masalah sosial politik hari ini?
Dan sebab itu, kejumudan itu harus dilawan dengan koreksi dan transformasi. Pertanyaannya tinggal satu: siapa yang mau melakukan tugas itu? Dengan cara apa? Dan apa yang mau dikoreksi?
Mungkin, para petani di sekitar area Tumpang Pitu –yang hari ini dengan gagah berani mempertahankan lahan mereka walau diancam perusahaan tambang dan dipenjara aparat— sudah jauh lebih maju dari kita dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.***