Kredit ilustrasi: NCCJ
SYAHDAN, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin pernah membagi puasa ke dalam tiga kategori.
Puasa kategori pertama adalah puasa awwam, puasa orang biasa. Puasa dalam tipologi ini oleh Al-Ghazali disebut hanya dengan menahan lapar, dahaga, dan syahwat. Puasa jenis ini hanya menggugurkan kewajiban sebagai seorang Muslim Tidak ada nilai samping yang diperoleh dari puasa semacam ini, menurut Al-Ghazali, kendati ia memang telah berpuasa.
Puasa kategori kedua adalah puasa khawwas, puasa orang-orang yang shalih. Puasa jenis ini bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga ditambah ditambah dengan menjaga lisan, pandangan dan telinganya dari apa-apa yang tidak disukai Allah. Kerangka niat ikhlas dipasang ketika berpuasa. Jenis puasa ini mendapatkan pahala yang lebih daripada kategori pertama.
Puasa kategori ketiga adalah puasa khawasil khawwas. Seseorang berpuasa dengan menyertakan diri untuk menjaga hati dan kerangka berpikirnya dari penyakit hati. Sehingga, puasa jenis ini meniadakan sesuatu yang berasal dari selain Allah, juga menjadikan puasa sebagai kerangka taqarrub ilallah dari segala bidang. Puasa ini menjadikan dirinya berada di titik nol, untuk kemudian meneruskannya menjadi orang yang taqwa.
***
Tak kurang dari satu pekan sebelum Ramadhan, Indonesia dikejutkan oleh serangan terror beruntun: kerusuhan di Mako Brimob, bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, serangan di Mapolwiltabes Surabaya dan Mapolda Riau. Di jalur Gaza, serangan Israel menewaskan 53 warga Palestina, di saat ketika Amerika Serikat membuka Kedutaan Besarnya yang baru di Jerusalem –salah satu agenda politik luar negeri Donald Trump saat ini.
Tentu tidak perlu menyebut kekerasan lain yang juga baru-baru ini terjadi di Afrin, Douma, Shan’a – semuanya dilakukan oleh aktor yang berbeda-beda tapi dengan satu hal yang mengikat mereka: kekerasan dan perang.
Hizkia Yosie Polimpung telah mengingatkan kita untuk berbicara melampaui tragedi kemanusiaan ketika bicara serangan teror macam ini. Kita tentu mengutuk aksi teror; tapi ketika saya berbicara dengan seorang rekan dari Afghanistan –yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya karena bom yang terus meledak secara rutin— tentang pengeboman tempo hari, saya jadi tersadar dengan satu hal: tragedi kemanusiaan telah berlangsung secara global dan menjadi bagian dari realitas politik global saat ini.
Kita mungkin, hari ini, hanya terkejut –dan tentu saja shocked— dengan mereka yang ingin ‘mengimpor’ kekacauan-kekacauan itu ke tanah air.
Baru-baru ini, Adam Morton dan Andreas Bieler berargumen bahwa Perang Global, Kapitalisme Global, dan Krisis Global sejatinya terkait satu-sama-lain. Krisis global –trouble di Eurozone, krisis keuangan di dua sisi Atlantik, dan anjloknya harga komoditas global yang meluluhlantakkan arsitektur politik dan ekonomi di Timur Tengah dan Amerika Latin, sejatinya punya dua implikasi utama: krisis kapitalisme yang ditandai dengan kembalinya kapitalisme negara dan ‘perang dagang’ antara dua kekuatan utama global saat ini –Cina dan Amerika Serikat— dan perang global yang ditandai oleh munculnya ISIS dan gejolak di Teluk.
Keduanya saling berkelindan satu sama lain. ISIS, sejatinya, lahir dari kegagalan politik imperialisme Amerika Serikat di Iraq dan Syria, yang diradikalisasikan oleh sentimen agama. Namun, ada satu hal lain yang juga dieksploitasi oleh ISIS sehingga memungkinkan mereka menjadi ancaman politik luar biasa di Timur Tengah: kegagalan negara untuk menyediakan kebutuhan hidup yang layak bagi warganya. Hal ini menyebabkan orang menjadikan ‘agama’ sebagai delusi –alih-alih menghidupkan semangat progresif agama sebagai cara untuk memperbaiki hidup secara kolektif, orang menjadikan agama sebagai tempat pelarian yang ujung-ujungnya jatuh dalam fundamentalisme agama.
***
Lantas, apa kaitannya dengan puasa? Dalam Surah Al-Baqarah, Allah berfirman, “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
Mengacu pada pesan Imam Al-Ghazali yang saya kutip di atas, ada satu hal yang sering terlupakan ketika kita puasa; semangat untuk ‘berpikir lebih dari sekadar menahan lapar, dahaga, dan syahwat yang sebetulnya adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam.
Secara filosofis, berpuasa secara khawwasul khawwas bisa kita maknai sebagai “kembali ke titik nol”. Puasa bermakna melakukan “negativisasi yang positif” dan “positivisasi yang negatif”. Kita dituntut melakukan ‘introspeksi total’ untuk menyucikan diri kita dari kerusakan-kerusakan yang selama ini, secara tidak sadar, kita lakukan. Semangat untuk puasa adalah “menahan diri” –yang secara sosial berarti menahan diri dari sesuatu yang mungkin mengantarkan diri kita dari berbuat kerusakan di muka bumi secara tidak sadar.
Mari kita ambil contoh menahan lapar. “Makan” adalah sesuatu yang lumrah bagi kita untuk bertahan hidup. Tapi sejauh mana kita berpikir lebih kritis tentang apa yang kita makan? Bukankah bulir padi yang kita makan lahir dari petani-petani yang bermandi keringat dan menanam padi untuk kita bertahan hidup? Hari ini, kita menyaksikan paradoks –petani-petani yang menanam padi kehilangan lahan karena harus digantikan oleh, misalnya, pabrik semen atau tambang batubara, yang tentu tidak bisa kita makan. Puasa mengajarkan kita bahwa apa yang kita makan tidak kita peroleh sekadar dari kerja yang kita lakukan di kota-kota besar, melainkan juga dari proses produksi dari para petani, atau buruh-buruh yang bekerja di pabrik makanan ringan.
Ambil contoh lain, menahan dahaga. Tentu air adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada kita, misalnya, melalui air hujan atau air sungai. Namun, belakangan ini, juga banyak industri yang tidak memperhatikan dampak lingkungan –membuang limbah atau menghasilkan polusi, yang mengakibatkan banyak kerusakan lingkungan. Efeknya berlangsung secara global –dari kekeringan atau naiknya suhu rata-rata bumi— yang membuat banyak anak-anak di Afrika kehausan di tengah terik musim panas. Oh ya, jangan lupa, privatisasi air membuat perusahaan-perusahaan air minum berlomba untuk menjual air bersih di saat negara kemudian gagal memberikan air minum yang berkualitas bagi warganya.
Bagaimana dengan menahan syahwat? Puasa mengajarkan kita untuk menahan syahwat yang sejatinya sah dilakukan di luar Ramadhan bersama pasangan suami dan istri kita masing-masing. Puasa, dengan demikian, mengajarkan kita pengendalian diri. Puasa, sejatinya, menghindarkan kita untuk paham batas etika dalam berhubungan dengan orang lain, tidak mengeluarkan joke-joke seksis, empatik dengan korban pelecehan seksual dan secara lebih luas mungkin bisa mendorong kita untuk mengkritisi tatanan masyarakat yang patriarkis ini.
Sebab itu, jika semangat puasa kita maknai secara sosial (dan struktural), puasa berarti adalah pelatihan untuk melakukan transformasi sosial. Ia kemudian meniadakan seluruh penghambaan terhadap selain Allah untuk kemudian menuju pribadi yang diridhai Allah (taqwa) sebagai tingkat keimanan tertinggi. Implikasi praksis gerakannya, peniadaan bentuk penghambaan ini juga harus berlaku secara kolektif.
Maka dari itu, perubahan individual diterjemahkan menjadi perubahan sosial. Artinya, ada perubahan individual setelah melakukan ibadah puasa, yang harapannya juga terejawantah dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Puasa adalah menahan diri untuk memahami realitas sosial yang lebih kompleks dan mengerikan. Dan puasa menyemangati gerakan sosial yang menginginkan perubahan itu dengan semangat “menahan hawa nafsu”.
Dalam semangat epistemologi pengetahuan, puasa berarti adalah dekonstruksi. Ia secara skeptis mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada dalam masyarakat, mengajak untuk berpikir secara lebih jernih (baik rasional maupun emosional), dan mengembalikannya pada “kebertiadaan” (nol) sebagai esensi dari sesuatu. Sebagaimana kata Ibn ‘Arabi dalam Futuhat Al-Makkiyah, “”laa ya’rif ladzdzatal ittishaf bil ‘ubudiyah illaa man dzaaqal ‘alam ‘inda ittishafihi bil rububiyah” — Tidak akan ada seorang pun yang mengetahui nikmatnya memiliki sifat kehambaan, kecuali orang yang pernah merasakan sakitnya memiliki sifat ketuhanan. Ungkapan Ibn Arabi mengkritik mereka yang menggunakan kekuasaan secara semena-mena, apalagi jika itu diatasnamakan “agama”.
Artinya, Semangat puasa untuk meniadakan hawa nafsu, secara sosial, berarti semangat untuk membatasi dominasi akal dengan adanya kontrol dari nurani dan wahyu. Dalam konteks kekuasaan, puasa berarti pembebasan dari penindasan kepada orang lain –atau dengan kata lain penindasan dari mereka yang berpunya kepada mereka yang tidak berpunya melalui sistem sosial yang dominan.
Soal penindasan, Islam mengenal kata “zalim” untuk mengilustrasikan hal ini. “Zalim” sendiri punya dua makna dalam Al-Qur’an. Pertama, zhaalimun linafsihi atau menganiaya diri sendiri –perbuatan yang berasal dari diri kita dan berdampak pada diri kita sendiri. Tapi ada jenis kedua, yaitu zhaalimun dalam makna kolektif kekuasaan –dalam Bahasa Al-Qur’an, tufsiduuna fil ‘ardli. Berpuasa, dengan kata lain, juga berarti menahan nafsu berkuasa. Artinya, nafsu untuk mendominasi orang lain, yang menjadi pintu masuk penindasan, harus ditahan dengan puasa. Praktik penumpukan modal di segelintir elit harus dikritisi dan ditentang. Mereka yang bermegah-megah sementara masih ada warga yang hidup di bawah garis kemiskinan harus diingatkan.
Itulah sebabnya, di akhir bulan Ramadhan, kita diajarkan untuk membayar zakat fitrah untuk mendistribusikan ekonomi secara adil. Agar puasa kita benar-benar bermakna secara sosial, bukan hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat secara sosial.
***
Maka, jika semangat puasa mengejawantah secara sosial, tujuan berpuasa sebagaimana digariskan oleh QS Al-Baqarah: 183, yaitu la’allakum tattaquun (menjadi orang yang bertaqwa) dapat tercapai. Imam Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Kita bisa memaknainya secara sosial. Taqwa berarti menghindari berbuat kerusakan di muka bumi, mengkritisi sistem sosial yang timpang dan tidak bertanggungjawab, serta menunaikan kewajiban kita sebagai khalifatullah fil ‘ardli, berbuat baik pada sesama, dan melatih diri kita untuk tidak berbuat zalim.
Dalam makna “transformatif” semacam ini, menghindari apa yang diharamkan Allah artinya melakukan tugas-tugas pembebasan manusia dari ketertindasan, sementara menunaikan apa yang diperintahkan Allah artinya memenuhi kewajiban sebagai manusia untuk berbuat kebajikan, dibingkai dalam kerangka keimanan. Ramadhan secara sosial adalah bulan pelatihan untuk membangun sistem sosial yang lebih baik.
Dan bagaimana jalan untuk menuju itu semua? Ada satu hal lain yang juga penting, yaitu bahwa dalam bulan Ramadhan kita juga diingatkan untuk men-tadabburi Al-Qur’an. Ayat pertama, syahdan, turun di bulan Ramadhan. Dan ini mungkin menjadi untaian madrasah Ramadhan bagi kita semua –dengan membaca, menahan hawa nafsu, sadar dengan ketidakadilan ekonomi, dan keluar menjadi orang yang bertaqwa, secara individual maupun secara sosial.
Fastabiqul Khairat.
Tulisan ini diadaptasi dari buku penulis, Puasa dan Transformasi Sosial (Surabaya: Pustaka Saga, 2018, cetakan kedua).