KEHADIRAN Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai baru peserta pemilihan umum (pemilu) 2019 yang mengusung jargon ‘partai politik milenial’ menarik perbincangan publik karena bagi sebagian pihak ia dianggap memberi peluang sebagai kendaraan politik alternatif. Tapi seberapa menjanjikan ia dalam kancah politik yang dipenuhi oleh transaksionalisme (politik dagang sapi untuk memperebutkan kekuasaan dan sumber daya) dan predatorisme (kontrol atas lembaga publik untuk akumulasi privat)?
Kaum Muda Menjanjikan Perubahan?
Dalam situs resminya disebutkan bahwa “PSI sebagai partai baru tidak lagi tersandera dengan kepentingan politik lama, rekam jejak yang buruk, beban sejarah dan citra yang buruk dari partai sebelumnya.” Klaim ini menurut PSI telah diwujudkan di antaranya melalui rekrutmen kader yang banyak diambil dari mantan aktivis dan anak muda (maksimal usia 45 tahun) dengan rekam jejak terlepas dari politisi atau partai lama.
Dengan platform politik seperti itu, Ariel Heryanto berpandangan dalam satu artikelnya bahwa kehadiran PSI layak dihargai. Menurutnya, semua sejarah perubahan sosial bertumpu pada peran kaum muda. Namun, berkaca dari pengalaman Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Rakyat Demokratik (PRD) serta munculnya tokoh baru—yang semula dibayangkan dapat terlepas dari kepentingan elite lama—seperti Joko Widodo (Jokowi) yang ternyata hanya memberi harapan terbatas akan perubahan, mendorong Ariel juga tidak terlalu berharap banyak pada PSI. Dengan keraguan, Ariel menilai bahwa “tantangan kondisi politik makro” adalah faktor yang membatasi harapan itu.
Menurut saya, pandangan Ariel mengandung beberapa masalah. Pertama, definisinya tentang peran kaum muda sebagai “ujung tombak semua perubahan sosial” adalah bentuk generalisasi yang berlebihan. Pandangan ini mengabaikan penjelasan atas suatu kondisi sosial dan politik tertentu yang memungkinkan kaum muda sebagai garda terdepan mampu melakukan perubahan sosial. Kaum muda yang mana, dalam kondisi yang bagaimana? Uraiannya tentang kegagalan PKS dan PRD saja sebenarnya sudah menggugurkan argumen sejarahnya yang esensialis itu.
Kedua, keraguan yang didasarkan atas kondisi politik makro yang disertai dengan harapan karena ditopang oleh aktor politik kaum muda juga menunjukkan asumsi yang kontradiktif dalam melihat hubungan antara struktur dan agensi. Di satu sisi, adanya keraguan menunjukkan bahwa Ariel menempatkan kondisi struktural secara relatif dominan menentukan manuver aktor-aktor politik. Di sisi lain, pengharapannya menunjukkan bahwa para politisi baru PSI dipercaya memiliki otonomi secara relatif terhadap kondisi makro tersebut.
Namun, sejauh apa relativitas yang satu lebih utama terhadap yang lain luput mendapat penjelasan yang memadai dalam artikel Ariel. Anjurannya kepada para politisi PSI untuk memberi perhatian pada persoalan yang substansial dalam berpolemik di ruang publik menegaskan kecenderungan penjelasan Ariel yang lebih menekankan pendekatan personalistik. Pendekatan ini memang lebih melahirkan optimisme, tapi sebenarnya problematik.
Pandangannya tentang “kaum muda” juga terkesan mengandung pengertian yang monolitik dan karena itu terutama mengabaikan keragaman kelas sosialnya. Orientasi politik kaum muda dari kelas bawah, misalnya, tidak bisa disamakan begitu saja dengan mereka yang berasal dari kalangan menengah dan atas.
Basis Politik Milenial yang Cair
Bertolak dari keterbatasan penjelasan yang ada, pandangan alternatif mengenai masa depan politik yang mengandalkan basis sosial generasi milenial perlu dikemukakan. Menurut saya, berbagai klaim PSI sangat layak diragukan. Kecil kemungkinan partai ini maupun para politisinya bisa terlepas dari dominasi transaksionalisme dan predatorisme politik. Ada dua perkara utama.
Pertama, sejauh ini tidak terlihat ada pengorganisasian yang serius atas basis sosial yang mereka kategorikan sebagai kelompok milenial, selain dengan cara berpolemik di media sosial untuk membangun popularitas. Basis massa yang didefinisikan sebagai kaum muda, selain lintas kelas tentu juga sangat cair dan karena itu tidak bisa menjadi kekuatan politik terorganisir yang dapat mengontrol kinerja partai, lembaga legislatif maupun pemerintah.
Namun, melihat jargon anti-korupsi dan anti-intoleransinya serta instrumen kampanyenya yang lebih bertumpu pada media sosial, partai ini cenderung lebih menyasar segmen kaum muda kelas menengah. Jika benar demikian, maka segmen kelas ini juga sulit diharapkan dapat mendorong perubahan politik yang didominasi predatorisme.
Di samping itu, fakta demografis ihwal besarnya jumlah generasi muda tentu juga telah menjadi perhatian partai-partai yang sudah berpengalaman memenangkan kontestasi pemilu. Sebagian besar partai juga memiliki organisasi kepemudaan yang menyasar mereka. Survei yang dilakukan oleh Ella Prihastini, peneliti dari University of Western Australia, kepada mahasiswa universitas di Indonesia di 23 provinsi, misalnya, menunjukkan bahwa partisipasi politik pemilih muda dalam pemilu 2014 justru merosot dibandingkan dua pemilu sebelumnya.
Lebih dari separuh pemilih usia 17 hingga 29 tahun juga tidak memberikan hak politiknya pada pemilu legislatif 2014. Temuan menarik lainnya, 34 persen pemilih usia muda yang menjadi respondennya lebih memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sementara hanya kurang dari 5 persennya memilih PSI.
Sementara itu, upaya untuk merebut pemilih milenial, selain sangat mengandalkan polemik di media sosial, juga banyak dilakukan oleh PSI dengan “mendompleng” pada salah satu organisasi kepemudaan terbesar seperti Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Ini terlihat di antaranya dari jargon PSI yang terkesan diselaraskan dengan pandangan politik faksi Nahdlatul Ulama, terutama GP Ansor yang mempromosikan nilai-nilai pluralisme keagamaan. Banyak kader PSI juga memberikan dukungan, pujian secara berlebihan dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan GP Ansor.
Secara sepihak, PSI bahkan telah mengusulkan Yaqut Cholil Qoumas ketua umum GP Ansor sebagai salah satu tokoh pemuda yang layak mendampingi Jokowi dalam kontestasi elektoral tahun 2019. Padahal, anggota Ansor sejauh ini adalah salah satu pemasok suara bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tentu saja kedua partai lama ini dengan konsolidasi yang lebih mapan tidak akan tinggal diam jika basisnya direbut oleh partai baru.
Jejak Konglomerat Hitam?
Kedua, karena basis pengorganisasian yang lemah, hampir mustahil partai ini terhindar dari transaksionalisme politik. Ini dapat diamati dengan menelusuri sumber daya ekonomi yang digunakannya untuk mengonsolidasikan kekuatan politik. Selama ini PSI mengklaim hanya mengandalkan iuran sukarela yang tidak mengikat untuk membiayai kegiatan politiknya. Dengan kondisi pengorganisasian yang lemah, pernyataan semacam itu bagai mimpi di siang bolong. Sebab, bagaimana mereka memobilisasi suara saat pemilihan legislatif kelak jika tidak ada basis sosial terorganisir yang menopang partai ini, sementara telah menjadi rahasia umum adanya ongkos politik yang besar dalam arena politik yang didominasi predatorisme?
Faktanya, banyak informasi menunjukkan bahwa PSI bukanlah partai yang sepenuhnya berisi orang-orang baru yang belum pernah berkecimpung dalam dunia politik. Nama Sunny Tanuwidjaja dan Jeffrie Geovanie dalam jajaran Dewan Pembina PSI paling tidak bisa menjadi catatan penting yang dapat menggugurkan klaim itu. Sunny adalah mantan staf khusus Gubernur Jakarta era Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang pernah diperiksa dan dicekal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap rancangan peraturan daerah tentang reklamasi teluk Jakarta yang telah menjerat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.
Laporan Majalah Tempo menunjukkan bahwa Sunny adalah penghubung antara Ahok dengan para pengembang reklamasi termasuk pemilik PT Agung Sedayu Grup, Sugianto Kusuma alias Aguan. Saat diperiksa KPK, Sunny juga mengaku sebagai general manager Rajawali Group milik konglomerat Peter Sondakh. Laporan situs berita Merdeka.com juga mengungkap pengakuan Ahok bahwa Sunny adalah supupu dari istri Franky Oesman Widjaja, anak dari konglomerat Eka Tjipta Widjaja pemilik Sinar Mas.
Sementara itu, Jeffrie Geovanie dikenal sebagai politisi kutu loncat yang kerap berpindah-pindah partai, mulai dari Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar, Nasdem, Perindo, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hingga kini di PSI. Situs resmi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tempat ia kini bekerja mencatat bahwa Jeffrie sebelumnya pernah menjadi direktur Trego Holding Ltd Singapore dan direktur Bank Artha Prima Jakarta milik konglomerat Tommy Winata.
Berita harian Kompas (15/6/2013) juga menunjukkan Jeffrie sebagai Chairman PT Panen Galeries Lafayette Indonesia—department store terbesar asal Perancis—yang merupakan anak perusahaan PT Mitra Adi Perkasa (MAP). Techinasia (9/3/2016) mencatat bahwa MAP adalah perusahaan retail—pemegang lisensi Starbucks, Zara dan banyak merek dagang internasional lainnya—milik Boyke Gozali dan pamannya Sjamsul Nursalim, buron koruptor kelas kakap kasus BLBI yang kini menetap di Singapura.
Ketua umum PSI, Grace Natalie, juga mengakui bahwa Jeffrie adalah salah satu pengusaha yang mendanai kegiatan-kegiatan politik partainya. Melihat jaringan Jeffrie yang terhubung dengan para oligark hingga buron kasus korupsi BLBI, sulit mengabaikan dugaan mengenai absennya andil para konglomerat itu dalam membiayai kegiatan politik PSI. Terlebih, Jeffrie adalah ketua Dewan Pembina PSI.
Serupa dengan Partai Lama
Berdasarkan uraian di muka, posisi Jeffrie dan Sunny dalam struktur PSI mengisyaratkan bahwa partai baru ini juga tidak ada bedanya dengan partai lama. Latar belakang keduanya yang punya hubungan dekat dengan banyak konglomerat menunjukkan jejak partai yang juga terhubung dengan jaringan oligarki. Sunny yang sempat diperiksa dan dicekal KPK sebagai saksi juga mencederai jargon partai yang mengampanyekan anti-korupsi. Keberadaan Jeffrie sebagai politisi lama di berbagai partai juga menggugurkan klaim PSI sebagai partai baru yang hanya diisi orang-orang baru. Masuknya Christianto Wibisono, salah satu mantan pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), yang berusia 73 tahun juga semakin mempertegas inkonsistensi PSI.
Dari sisi dukungan, karena PSI tidak dibangun sebagai gerakan dari bawah seperti juga partai-partai pada umumnya, selain patut diduga akan turut terlibat dalam politik uang, berbagai cara juga potensial ditempuh untuk memobilisasi suara termasuk dengan memainkan politik identitas. Pernyataan kader PSI Depok yang menolak LGBT maupun dukungan partai ini terhadap Perppu Ormas (kini telah disahkan menjadi UU) atas nama nasionalisme Pancasila menunjukkan kecenderungan itu. Para kader PSI juga di garda terdepan membela Ahok yang terjerat kasus penistaan agama, tetapi dukungan mereka terhadap Perppu Ormas yang di dalamnya juga memuat ketentuan yang mereplikasi UU penodaan agama justru menunjukkan sikap yang kontradiktif, jika tidak pragmatis.
Kondisi-kondisi itu menggambarkan dasar konsolidasi awal partai yang sudah tampak rapuh terjebak dalam transaksionalisme dan predatorisme. Selain karena basis sosialnya yang lemah, artikulasi politiknya juga lebih menyasar segmen kelas menengah. Tidak heran jika mereka juga menunjukkan kecenderungan turut menempel pada faksi oligark tertentu, ketimbang berusaha melawannya. Maka, saat memasuki gelanggang politik yang lebih riil pada momen pemilu dan sesudahnya kecenderungan itu tampaknya akan semakin kuat, sehingga menghambat berbagai kemungkinan perubahan yang menantang kepentingan-kepentingan oligarki. Dengan konteks semacam ini, masih layakkah klaim politik partai milenial dipercaya dapat menjanjikan perubahan?***
Penulis adalah kandidat PhD di Asia Institute, The University of Melbourne, Australia