Kredit ilustrasi: Kota Bergerak
HUBUNGAN internasional dewasa ini telah berkembang dan melingkupi spektrum tema-tema yang baru. Tema-tema sentral seperti perang dan perdamaian maupun kerjasama ekonomi, semakin dilengkapi dengan isu dan fenomena kontemporer yang membuat bahasan studi Hubungan Internasional menjadi lebih kaya. Hal ini tidak lepas dari munculnya aktor-aktor baru selain negara, berikut model-model interaksi lintas batas negara yang dilakukan oleh para aktor tersebut. Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di berbagai belahan dunia, interaksi lintas batas negara menjadi semakin mudah. Hal tersebut lantas membuat aktor non negara seperti individu, kelompok atau organisasi mampu berjejaring dan kemudian bertindak secara kolektif dalam isu-isu yang menjadi konsern bersama. Aksi kolektif lintas batas tersebutlah yang kemudian menimbulkan sebuah fenomena transnasionalisme.
Transnasionalisme secara luas merujuk kepada ikatan-ikatan dan interaksi-interaksi yang menghubungkan orang-orang atau institusi-institusi melewati batas-batas negara-bangsa (Pries, 2008, p. ii). Aksi kolekteif transnasional itu sendiri didefinisikan sebagai “the process through which individuals, non-state groups, and/or organizations mobilize jointly around issues, goals, and targets that link the domestic and international arenas” Von Bulow (2010, p. Aksi kolektif transnasional yang akan dibahas dalam hal ini adalah upaya kampanye dan atau advokasi terhadap kebijakan politik yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) atau proses demokratisasi baik itu di level domestik maupun nasional. Aksi kolektif ini sering menyasar masalah kesejahteraan dalam kerangka isu-isu pembangunan. Aksi atau gerakan tersebut dilakukan secara bersama dengan maksud untuk memperbesar tekanan demi tercapainya tujuan. Contoh yang dapat dilihat dari sebuah aksi kolektif, misalnya, pada protes terhadap pertemuan World Trade Organization (WTO) di Seattle, Amerika Serikat di tahun 1999. Mobilisasi massa yang masif dari berbagai kelompok dan organisasi dari seluruh dunia pada saat itu mampu menutup pertemuan WTO yang regulasinya dianggap timpang dan merampas demokrasi dari masyarakat sipil. Hal itu sekaligus menarik perhatian dunia akan kekuatan dari upaya kolektif advokasi transnasional.
Hak Atas Kota sebagai Isu Advokasi dan Sasaran Kampanye
Salah satu sasaran kampanye dan advokasi pada isu-isu kontemporer adalah tentang masalah perkotaan. Pembangunan kota sebagai suatu isu dan agenda politik semakin menjadi relevan dikarenakan makin meningkatnya perhatian terhadap masalah-masalah ketimpangan hidup di kota. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa dalam suatu laporan di tahun 2012 (What is the New Urban Agenda?, 2015), pada tahun 2050 tujuh puluh persen dari populasi dunia akan tinggal di kota. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang intensif, kota yang dalam konteks ini adalah lokus kegiatan ekonomi dan kontrol politik dituntut memiliki model pembangunan yang demokratis dan ramah bagi semua penduduk. Hal ini menjadi kepedulian dari tidak hanya pemerintah kota dan nasional, tapi juga dari Non-Governmental Organization (NGO) domestik maupun internasional, para praktisi, akademisi, sampai aktivis akar rumput untuk menyuarakan Right to the City atau hak atas kota sebagai komitmen bersama.
Terminologi Right to the City pada mulanya adalah slogan yang diartikulasikan oleh filsuf dan sosiolog asal Prancis Henri Lefebvre dalam bukunya Le Droit a la Ville tahun 1968, dalam masa-masa awal gerakan protes Mei 1968 terhadap pemerintah Prancis. Buku tersebut menjelaskan dampak negatif dari sistem ekonomi kapitalis yang mengubah ruang-ruang perkotaan menjadi terkonstruksi hanya memenuhi kepentingan akumulasi kapital. Tidak hanya sebagai slogan, Right to the City juga mengusung usulan politis untuk perubahan dan sebagai alternatif bagi kondisi kehidupan perkotaan yang diciptakan oleh kebijakan kapitalis (Sugranyes & Mathivet, 2010, p. 14).
Bagi Lefebvre, Right to the City adalah perspektif politik yang baru untuk menghadapi efek yang ditimbulkan kapitalisme seperti privatisasi ruang kota dan dominasi industri dan area komersial di kota (Mathivet, 2010, p. 21). Kota adalah lokasi strategis untuk akumulasi kapital dan dengan demikian adalah juga lokus kunci untuk perlawanan terhadap logika akumulasi kapital tersebut (Lipman, 2011, p. 160). Maka posisi kota merupakan episentrum dalam pengejawantahan ide pembangunan yang sedang dominan.
Ide tentang hak atas kota pada perkembangannya pasca momentum di Prancis 1960-an menjadi semakin signifikan. Pertama, Right to the City sebagai suatu gagasan dan usulan program didiskusikan dan dikampanyekan pada level domestik maupun internasional dalam kerangka isu hak asasi manusia (HAM). Sejak HAM diregulasikan pada level internasional melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, ia lantas menjadi perhatian dunia internasional yang sekaligus diratifikasi di banyak negara. Hal ini kemudian didukung oleh fakta bahwa HAM adalah isu yang paling menjadi fokus dan domain kerja dari organisasi-organisasi transnasional yang tumbuh dan berkembang sepanjang paruh kedua abad keduapuluh.
Dalam tulisan Kathryn Sikkink dan Jackie Smith (2002, p. 30) tentang organisasi transnasional dalam kurun waktu 1953 sampai 1993, tercatat bahwa pada tahun 1993 Human Rights adalah fokus isu dari sebanyak 190 organisasi transnasional (dari jumlah 685 yang tercatat). Jumlah tersebut adalah akumulasi peningkatan yang konsisten sejak 1953 kemudian ke 1963, 1973, dan 1983. Dalam tulisan yang sama dikemukakan isu lain yang menjadi fokus organisasi transnasional pada kurun waktu yang sama di antaranya adalah isu-isu perdamaian, hak-hak perempuan, lingkungan, hukum internasional dan pembangunan/pemberdayaan. Dari sini dapat dilihat juga bahwa organisasi-organisasi transnasional sejak 1953 terus berkembang dan melibatkan diri dalam upaya perubahan sosial dan politik.
Kedua, masalah-masalah hidup di perkotaan telah menjadi semakin kompleks. Tidak hanya persoalan urbanisasi dan ketimpangan ekonomi, hal-hal yang bersinggungan dengan partisipasi politik yang minim, kerusakan lingkungan akibat limbah industri sampai ancaman terhadap kelangsungan keragaman budaya juga ikut menjadi perhatian ketika membahas hak atas kota. Setidaknya dalam dua konteks tersebut, signifikansi kampanye tentang hak masyarakat sipil atas kota adalah upaya untuk memperjuangkan kota yang inklusif beserta kesejahteraan dan kualitas hidup di segi ekonomi, politik, dan sosial budaya yang baik dan memadai bagi penduduk kota pada umumnya.
Internasionalisasi gagasan “Right to the City”
Langkah krusial yang membawa Right to the City sebagai gagasan maupun usulan program ke level internasional adalah dibahasnya isu perkotaan dalam forum-forum internasional sebagai agenda politik. Inisiatif awal tersebut tampak pada proses dilangsungkannya United Nations Conference on Environment and Development atau dikenal dengan sebutan “Earth Summit” di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Selama konferensi yang mengusung tema utama tentang lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan tersebut, dilakukanlah upaya untuk mulai memformulasikan perjanjian dunia tentang Right to the City. Upaya tersebut saat itu dikoordinasikan oleh Habitat International Coalition (HIC) dengan partisipasi yang disusun oleh gerakan-gerakan rakyat, NGO, asosiasi-asosiasi profesional, serta jaringan-jaringan dan forum-forum masyarakat sipil nasional maupun internasional. Selama persiapan menuju “Earth Summit”, di tahun yang sama pula HIC mengorganisasikan the International Forum on Environment, Poverty and the Right to the City yang dihelat di Tunis.
Berikutnya pada tahun 2000 di Meksiko berlangsung the First World Assembly of Urban Inhabitants dengan tema “People Rethinking the City” dimana diperkirakan sejumlah 300 delegasi gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi sosial dari 35 negara turut berpartisipasi (Mathivet, 2010, p. 23). Satu tahun berikutnya berlangsung World Social Forum yang pertama dan formulasi perjanjian pun dimulai. Paralel dengan inisiatif oleh masyarakat sipil ini, beberapa pemerintah di level regional, nasional dan lokal pun menghasilkan instrumen legal untuk meregulasi HAM dalam konteks perkotaan. Capaian paling maju untuk level internasional ini adalah the European Charter to Safeguard Human Rights in the City (2000) ditandatangani di lebih dari 400 kota (Mathivet, 2010, p. 23). Untuk level nasional dan lokal ada City Statute of Brazil (2001), the Montreal Charter of Rights and Responsibilities (2006) dan the Mexico City Charter for the Right to the City (2010). Selain itu dalam konteks ini, Right to the City juga telah dicantumkan dalam konstitusi Bolivia dan Ekuador (2008).
Selanjutnya pada November 2014 berlangsung suatu pertemuan internasional di Sao Paulo, Brazil yang dihadiri 158 partisipan dari Amerika Latin, Asia, Afrika dan Eropa mewakili NGO, jaringan dan forum, institusi-institusi akademik, sektor publik, gerakan sosial, yayasan dan organisasi-organisasi internasional. Pada pertemuan ini kelompok organisasi tersebut membentuk sebuah koalisi transnasional yaitu “The Global Platform for the Right to the City”. Koalisi ini bertujuan membangun sebuah gerakan internasional untuk mengupayakan hak atas kota (What is it?, 2017). The Global Platform for the Right to the City ini adalah hasil dan capaian dari mobilisasi dan aksi-aksi transnasional yang dipimpin oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil di tingkat domestik.
Instrumen-instrumen legal tersebut, baik itu di level lokal, nasional, regional atau juga internasional (yang lebih dulu ada dan mendasari perjanjian di tingkatan regional, nasional dan lokal tentang isu perkotaan pada khususnya)[1] setidaknya membuktikan bahwa ada proses penerimaan dan terbangunnya kesadaran akan pentingnya gagasan hak atas kota untuk diimplementasikan di tataran praktis oleh pemerintah lokal maupun nasional. Terlebih pada pembentukan The Global Platform for the Right to the City sebagai koalisi transnasional yang mencakup secara luas aktor (terutama organisasi dan jaringan internasional) dalam upayanya mengampanyekan Right to the City secara global, juga sampai batas ini mengafirmasi eksistensi sebuah gagasan yang mewujud dan menyebar dalam proses-proses dan interaksi-interaksi transnasional.
Kredit foto: Occupy.com
Platform Global “Right to the City”
Pentingnya membangun kesadaran kolektif tentang perlunya upaya mobilisasi gerakan dan kampanye Right to the City di tingkat nasional dan lokal menggiring banyak inisiatif dari berbagai aktor untuk bekerja bersama secara transnasional. Kesadaran kolektif yang diperoleh tersebut sekaligus akan menjadi pengakuan bagi Right to the City sebagai paradigma baru dalam pengembangan kota yang inklusif, berkelanjutan dan demokratis.
Tonggak awal dalam perjalanan untuk menginternasionalisasikan hak atas kota sebagai HAM mencakup dialog-dialog yang terjadi pada 1990an di antara aktivis-aktivis HAM, aktivis lingkungan (environmentalis), organisasi-organisasi non pemerintah dan gerakan-gerakan sosial masyarakat miskin kota dengan otoritas lokal dan nasional dan badan-badan internasional. Misalnya United Nations Conference Eco-92 di Rio de Janeiro, Human Settlements Conference dan Habitat II di Istanbul. Konferensi-konferensi ini memperkenalkan komponen-komponen hak atas kota ke dalam Agenda 21[2] dan agenda Habitat (About the right to the city, 2017).
The Global Platform for the Right to the City (selanjutnya akan disingkat GPRTTC atau GPR2C) adalah hasil dari aksi-aksi dan mobilisasi-mobilisasi oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil dalam menuntut agenda tentang hak asasi manusia baik itu bagi penduduk desa, kota maupun kota besar (Saule JR, 2016, p. 47). Pada pertemuan United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro tahun 1992, dihasilkanlah Urban Treaty “Toward Just, Democratic and Sustainable Cities, Town and Villages”. Perjanjian ini menggarisbawahi beberapa prinsip dasar dengan mengartikan Right to the City sebagai : (1) the participation of inhabitants of cities, towns and villages in deciding their own future; (2) the democratic management of citizenship; and (3) the social function of the city and property understood as a fair and social use of urban space which ensures that citizens can take ownership of their territory by participating in democratic decision-making processes regarding their spaces of power, production and culture within the parameters of social justice and the creation of environmentally sustainable conditions (Saule JR, 2016, pp. 47-48).
Pada pertemuan United Nations Conference on Human Settlements atau disebut Habitat II tahun 1996, perjanjian tersebut menjadi referensi penting dalam pembahasan mempertahankan hak untuk perumahan (housing) sebagai agenda Habitat, dan secara khusus untuk prinsip atas fungsi sosial dari kota dan properti. Ini menjadi warisan sangat penting bagi the Global Platform for the Right to the City dan World Charter for the Right to the City, yang kedua-duanya berjalan dari sejumlah aksi-aksi dan mobilisasi internasional yang berlangsung selama World Social Forum di Porto Alegre, Brazil dari tahun 2000 hingga 2005 (Saule JR, 2016, p. 48).
Sejak pertemuan internasional tentang hak atas kota dihelat di Sao Paulo tahun 2014, the Global Platform for the Right to the City dianggap sebagai ruang bersama untuk produksi pengetahuan, informasi dan diseminasi praktik dan kebijakan publik yang mempromosikan Right to the City atau hak atas kota melalui empat sumbu strategis: (1) HAM di kota; (2) tata pemerintahan yang demokratis dan partisipatif di kota; (3) urbanisasi dan pemanfaatan teritori secara berkelanjutan; dan (4) inklusi (keterbukaan) sosial. Untuk mencapai tujuan ini, Nelson Saule JR menyebutkan, the Global Platform for the Right to the City berkontribusi:
“to the adoption of commitments, policies, projects and actions by United Nations’ bodies as well as national and local governments, addressed at developing fair, inclusive, democratic and sustainable cities and territories – and, above all, focused on giving visibility and strengthening local and national social vindications and struggles” (Saule JR, 2016, pp. 48-49).
Beberapa organisasi yang menjadi bagian dari GPRTTC (pada pembentukan awal) di antaranya adalah the ActionAid; Avina Foundation; Brazilian Association of Municipalities; Cities Alliance; Committee on Social Inclusion, Participatory Democracy and Human Rights of the United Cities and Local Governments (UCLG); Huairou Commission; Global Fund for the Cities Development (FMDV); Ford Foundation; Brazilian National Urban Reform Forum; Habitat for Humanity; Habitat International Coalition (HIC); International Alliance of Inhabitants; Intercontinental Network for the Promotion of Social Solidarity Economy (RIPESS); Pólis Institute; Shack Slum Dwellers International (SDI); United Cities and Local Governments (UCLG); WIEGO – Women in Informal Employment: Globalizing and Organizing; Women In Cities International; dan TECHO (What is it?, 2017).
Sementara itu tujuan-tujuan yang ingin dicapai GPRTTC dilaksanakan oleh beragam profesional yang terlibat dalam kerja-kerja kampanye, di antaranya adalah representatif dari gerakan-gerakan sosial, representatif dari organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO), otoritas-otoritas nasional dan lokal, para profesor, peneliti, dan representatif dari badan-badan internasional (Public, 2017).
Penutup
Sebagai sebuah konsep yang telah mengalami proses transnasionalisasi secara luas, Right to the City menjadi bahan pendiskusian dan advokasi oleh berbagai elemen masyarakat sipil, terutama NGO yang bergerak dalam bidang isu-isu perkotaan. Meskipun beberapa organisasi atau gerakan sosial tidak secara eksplisit menyebutkan terminologi “Right to the City” dalam aksi-aksinya, esensi hak atas kota terkandung dalam usulan-usulan yang dikampanyekan. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa pada perkembangannya, gagasan “Right to the City” diterjemahkan oleh banyak organisasi dan gerakan sosial menjadi dimensi-dimensi, pilar-pilar, atau komponen-komponen yang merujuk pada usaha mencapai kota yang inklusif serta kualitas kehidupan urban yang memadai.
Berbagai fenomena di perkotaan yang akhir-akhir ini semakin intens dan eksploitatif sesungguhnya adalah inti dari persoalan yang ingin diartikulasikan oleh Right to the City sebagai perspektif politik alternatif. Mulai dari perampasan lahan, penggusuran, pembangunan industri yang abai terhadap dampak lingkungan, berkurangnya ruang publik, dan seterusnya adalah hal-hal yang harus dilawan. Dengan itu, hak atas kota harus semakin lantang disuarakan tidak hanya sebagai slogan, tetapi sebagai pengejewantahan kehendak dan hasrat akan kehidupan urban yang adil dan demokratis. Terlebih lagi saat ini hak atas kota telah menjadi isu global yang diperjuangkan banyak organisasi transnasional maupun gerakan-gerakan akar rumput di berbagai belahan dunia. Kesemua aktor tersebut selayaknya lebih terkonsolidasi untuk mewujudkan sebuah gerakan sosial global hak atas kota.***
Penulis adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. Semasa mahasiswa pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNHAS sebagai ketua periode 2014-2015. (Artikel ini diadaptasi dari skripsi dengan judul yang berbeda)
Kepustakaan :
Buku
Khagram, S., Riker, J. V., & Sikkink, K, 2002, From Santiago to Seattle: Transnational Advoacy Groups Restructuring World Politics, dalam S, Khagram, J. V. Riker, & K, Sikkink, Restructuring World Politics: Transnational Social Movements, Networks and Norms (pp. 3-23), Minneapolis: University of Minessota Press
Lipman, P, 2011, The New Political Economy of Urban Education: Neoliberalism, Race, and the right to the City, New York: Routledge
Mathivet, C, 2010, The Right to the City: Keys to Understanding the Proposals of “Another City is Possible”, dalam A, Sugranyes, & C, Mathivet, Cities For All : Proposals and Experiences towards the Right to the City (pp. 21-26), Santiago: Habitat International Coalition
Pries, L (ed), 2008, Rethinking Transnationalism: The Meso-link of Organisations, New York: Routledge
Saule, N, 2016, Global Platform for the Right to the City: First Steps for Internationalization of the Right to the City, dalam C, Mathivet, Unveiling the Right to the City: Representations, Uses and Instrumentalization of the Right to the City (pp. 47-51), Paris: Ritimo
Sikkink, K., & Smith, J, 2002, Infrastructures for Change: Transnational Organizations, 1953-93, dalam S. Khagram, J. V. Riker, & K. Sikkink, Restructuring World Politics : Transnational Social Movements, Networks and Norms (pp. 24-44), Minneapolis: University of Minessota Press
Steans, J. dkk, 2010, An Introduction to International Relations Theory : Perspectives and Themes (3rd ed), Harlow: Pearson Education Limited
Sugranyes, A., & Mathivet, C, 2010, Cities for All: Articulating the Social-urban Capacities, dalam A. Sugranyes, & C, Mathivet, Cities for All: Proposals and Experiences towards the Right to the City (pp. 13-20), Santiago: Habitat International Coalition
Von Bulow, M, 2010, Building Transnational Networks: Civil Society and the Politics of Trade in the Americas, New York: Cambridge University Press
Internet
About the right to the city, 2017, diakses dari http://www.righttothecityplatform.org.br/sobre-o-direito-a-cidade/
Public, 2017, diakses dari http://www.righttothecityplatform.org.br/publico-alvo/
What is it?, 2017, diakses dari http://www.righttothecityplatform.org.br/o-event/
What is the New Urban Agenda?, 2015, diakses dari http://citiscope.org/habitatIII/explainer/2015/06/what-new-urban-agenda
————
[1] Misalnya Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), atau Convention on the Rights of of the Child (1989) yang semuanya merupakan perjanjian-perjanjian internasional tentang HAM pada umumnya.
[2] Agenda 21 adalah rencana aksi (action plan) Perserikatan Bangs-bangsa yang tidak mengikat dan dilaksanakan secara sukarela sehubungan dengan Sustainable Development. Agenda 21 disepakati di Rio de Janeiro pada UN Conference on Environment and Development tahun 1992. Angka 21 merujuk pada abad ke-21.