SETIAP shalat 5 waktu dan shalat-shalat Sunnah, kita diwajibkan untuk membaca Surah Al-Fatihah. Karena ini ayat yang diamalkan setiap shalat, tentu saja sejak kecil kita sudah menghapalkannya. Akan tetapi, jika kita kaji kembali ayat ini, sungguh masih banyak hikmah yang terpendam.
Di ayat ini, kita hanya memohon sebuah doa yang didahului oleh puji-pujian kepada Allah. Doa tersebut sederhana: Ihdinash shirath al-mustaqiim (Al-Fatihah: 6). Artinya sederhana, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Apa maksud dari ayat ini? Allah memberikan petunjuk tambahan di ayat berikutnya: Shirath al-ladziina an’amta ‘aiaihim. Jalan orang-orang yang engkau beri nikmat atasnya. Jalan itu bukanlah jalan, ghairil maghdhuubi ‘alaihim. Bukan jalan orang-orang yang Allah murkai. Wa la adh-dhaalliiin. Dan bukan orang yang sesat.
Ayat tersebut punya titik tekan pada satu hal: shirath al-mustaqiim. Jalan yang lurus. Inilah sesuatu yang minimal kita doakan setiap 17 kali sehari, bahkan lebih jika kita mengamalkan Shalat-Shalat Sunnah. Tentu saja ini adalah bagian yang sangat penting. Tapi apa maknanya di abad ke-21?
***
Dalam kitab Tafsir-nya yang terkenal, Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menerangkan ‘Jalan yang Lurus’ ini punya empat komponen utama: pertama, al-Irsyad, artinya agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan, sehingga dapat membedakan yang salah dengan yang benar. Kedua, at-Taufiq, yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa yang direncanakan’Iuhan. Ketiga ,al-Ilham, diberi petunjuk supaya dapat mengatasi sesuatu yang sulit. Keempat, ad-Dilalah, artinya ditunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda dimana tempat berbahaya, dimana yang tidak boleh dilalui dan sebagainya.
Bagaimana kita memaknai ayat ini dalam dunia yang kompleks ini? Dalam Surah Al-Fatihah, hakikat dari Jalan yang lurus adalah ‘jalan orang-orang yang diberi nikmat’. Beberapa ahli tafsir mengatakan jalan itu adalah ‘agama’. Diin al-Islam. Tapi, makna agama seperti apa yang relevan saat ini?
Dalam Surah Al-Fatihah, Allah telah memberikan dua rambu penting untuk memahami ayat ini. Pertama, jalan itu bukanlah jalan orang yang dimurkai Allah. Menurut Hamka, orang-orang ini sudah diberikan oleh Allah petunjuk, tapi mereka masih saja mengerjakan apa yang dilarang oleh Allah. Kedua, jalan itu bukan jalan orang-orang yang sesat. Menurut Hamka, orang-orang ini ialah orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak dikenalnya menurut maksud yang sebenarnya. Akibatnya, menempuh jalan yang tidak berdasar dan salah karena tidak ada pengetahuan tentang ‘jalan yang lurus’ itu, hanya mengikuti arus orang-orang tanpa kesungguhan untuk bertahan di jalannya.
Dewasa ini, kita sering sekali menghadapi dua pilihan di atas. Dunia yang ‘ganas’ tidak hanya menelan mereka yang jauh dari agama, tetapi juga mereka yang dikenal ahli agama. Oleh sebab itu, berpengetahuan agama saja tidak cukup bagi kita untuk menempuh ‘sirathal mustaqim’. Kita harus membekali diri kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang juga bermanfaat, terutama ketika kita menghadapi realitas yang sama sekali berbeda dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang sebelum kita, walaupun yang kita baca adalah ayat-ayat yang sama.
***
Lantas, bagaimana ayat ini membantu kita untuk hidup dalam kapitalisme global abad ke-21? Slavoj Zizek pernah menulis analisis yang cukup bagus tentang apa yang ia sebut sebagai ‘logika penikmatan’ (jouissance) dalam ideologi kapitalisme-neoliberal saat ini. Kapitalisme, menurut Zizek, tidak lagi berorientasi pada ‘disiplin’ dan ‘represi’ sebagaimana ia dijadikan alat oleh pemilik pabrik di Manchester atau Sheffield abad ke-19. Kapitalisme beroperasi pada logika “penikmatan”, dengan menciptakan stimulus-stimulus konsumsi sehingga konsumen semakin hidup nyaman. Mereka yang bekerja diajarkan untuk menerima dan mencintai pekerjaannya, seberapapun eksploitatifnya pekerjaan itu dan seberapapun ada ketidakadilan yang menghantui kaum pekerja kerah biru.
Tapi, kapitalisme tetap punya paradoks yang ‘real’ –ketimpangan yang semakin nyata, gap penggajian yang semakin mengemuka; mereka yang kaya menjadi semakin kaya dan mereka yang tak berpunya semakin tak berpunya. Tapi logika ‘penikmatan’ bekerja dengan satu ungkapan: “Mereka tahu apa yang mereka lakukan, tapi masih saja mengerjakannya”. Kita dituntut oleh masyarakat untuk merasa bahwa kita tidak punya pilihan lain; bahwa yang kita lakukan adalah ‘normal’ dalam logika masyarakat kapitalis kontemporer.
Perkara yang kemudian dihadirkan oleh logika ‘kapitalisme kultural’ semacam ini adalah soal kesadaran –tentang hidup kita, bahwa (sebagaimana kata KH Mas Mansyur) kita hidup bermasyarakat, dan ada mereka yang ‘tertindas’ ketika kita mungkin menikmati apa-apa yang dihadirkan oleh masyarakat kapitalis kita hari ini. Bahwa ketika kita menikmati naik pesawat setiap mau mudik lebaran, bisa jadi, ada tanah-tanah mereka yang dibebaskan secara paksa. Atau ketika kita menikmati kopi hari ini, ada petani penggarap yang diupah rendah oleh pemilik lahan yang mereka garap. Ihdinash Shirathal Mustaqiim pada titik ini menawarkan satu hal: membangun kesadaran kritis tentang ‘nikmat’ yang hakiki, bukan kenikmatan yang dimurkai Allah atau kenikmatan yang sesat.
***
Membaca Ihdinash Shirathal Mustaqiim di abad ke-21, dengan demikian, punya dimensi yang lain: membuka kesadaran kritis untuk memahami jalan yang lurus, memahami realitas nyata dan menjadikan agama sebagai jalan untuk “meluruskan” realitas yang timpang. ‘Sirathal Mustaqiim’ adalah simbol dari kesadaran kritis untuk melihat realitas sosial, memahami kembali apa yang disebut dengan “kenikmatan” yang haqiqi –kenikmatan yang didasarkan atas tanggung jawab kita sebagai Khalifah di muka bumi untuk menegakkan keadilan kepada seluruh alam— dan menjadikan agama untuk memandu kita menapaki jalan tersebut. Dalam setiap aktivitas kita saat ini, bergerak menempuh ‘sirath al-Mustaqiim berarti bersiap menghadapi dua percabangan jalan –jalan orang-orang yang Allah murkai (al-maghdhuubi ‘alaihim) dan jalan orang-orang yang‘ sesat (adh dhaalliin).
Bagi aktivis gerakan kerakyatan, ‘sirathal mustaqiim’ berarti secara konsisten dan konsekuen melawan mereka yang menindas nasib rakyat secara organik, berurat dan berakar pada garis perjuangan yang sudah dituliskan. Artinya, berjuang benar-benar untuk rakyat!
Dalam setiap langkah perjuangan, kita menghadapi dua pilihan yang cukup berat. berjuang untuk kepentingan pribadi atau kepentingan rakyat banyak. Seringkali, kita tahu bahwa mengisi pundi-pundi kantong pribadi pada anggaran publik yang notabene merupakan hak rakyat adalah sesuatu yang salah. Namun, terkadang hawa nafsu menggerakkan kita untuk melakukan itu. Hawa nafsu duniawi itulah yang coba untuk kita tahan melalui puasa. Masih banyak hal serupa yang bisa dan mungkin saja kita lakukan. Jika demikian adanya, maka patut kiranya berhati-hati dan ber-istighfar, jangan-jangan kita sedang menempuh jalan al-maghdhuubi ‘alaihim atau adh-dhaalliin.Na’udzu billahi min dzaalik.
Atau, kadang-kadang dalam setiap perjuangan dan pergerakan, kita kebingungan dalam menentukan sikap. Terkadang, hal ini terjadi karena kita tidak punya pengetahuan. Kalau pada hal yang pertama kesalah tersebab oleh abainya kita dengan pengetahuan, maka hal yang kedua ini terjadi karena kita tidak tahu. Karena kita tidak dianugerahi oleh Allah pengetahuan. Oleh sebab itu, penting bagi setiap aktivis gerakan rakyat untuk banyak tahu. Kuncinya sudah digariskan oleh Allah dalam wahyu pertama: Iqra! Bacalah! Perbanyaklah membaca, agar kita tahu dan bisa membedakan mana yang ‘benar’ dan ‘salah’. Perbanyaklah membaca agar kita tahu mana yang ‘harus dilakukan’ dan ‘harus tidak dilakukan’. “Pengetahuan” dan “Gerakan” adalah dua sisi mata uang –tak bisa terpisahkan.
Maka, jika kita bisa menghindari dua jalan ini, kita akan lebih mudah mengenali Sirath al-Mustaqiim di abad ke-21. Sirath al-Mustaqiim adalah kesadaran yang kritis untuk tidak ‘tertipu’ atas tipu-daya mereka yang ingin merampas hak-hak rakyat atas banyak dalih, tapi memberikan “kenikmatan” bagi mereka yang lain. Kesadaran kritis menjadi sandaran utama –‘niat’ dari tiap-tiap pergerakan Mungkin menempuh jalan ini sangat berat. Oleh sebab itu, Allah menyuruh klta mengamalkan dalam setiap Shalat yang kita lakukan. Bagi yang berjuang untuk rakyat, semoga bisa menempuh ‘jalan yang lurus’ itu dengan tetap konsisten melawan mereka yang ingin menggusur tanah-tanah warga. Yang berjuang di pemerintahan bisa menempuh ‘jalan yang lurus’ tanpa korupsi dan menegakkan keadilan bagi masyarakat. Yang berjuang di kampus, semoga bisa bisa menempuh ‘jalan yang lurus’ dengan pengetahuan dan teori-teori yang mencerahkan, bukan pengetahuan dan teori-teori yang hanya melegitimasi kebijakan yang salah kaprah.
Sebab, setiap aktivitas hidup kita adalah berjuang. Dan setiap perjuangan dihamparkan di atas sebuah jalan: Sirath al-Mustaqiim.
Nashrun Minallah wa fathun Qariib.***