PADA tahun 1996, seorang cendekiawan Amerika Serikat bernama Jack Miles, mendapatkan penghargaan Pulitzer untuk kategori Biografi. Dalam bukunya, God: A Biography, Miles bertanya, “Dapatkah hidup Allah ditulis?” Ia ada di mana-mana, dalam sesembahan bahkan makian, dan sepertinya manusia juga tidak asing dengan eksistensi maupun non-eksistensinya. Siapa sih Allah itu? Bisakah Allah “dikenal” seperti kita mengenal Hamlet? Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian menuntun Miles untuk merinci, membongkar, dan “mengkritik” Allah sebagai protagonis dalam teks Kitab Perjanjian Lama (Hebrew Bible). “Allah” dalam pembacaan Miles adalah tokoh yang berkonflik dengan dirinya sendiri, Allah dengan segala dramanya: heroik, layaknya sebuah epos.
Tentu saja karya Miles mendapatkan banyak kecaman. Bagi para pembaca awam sekaligus jemaat sehari-hari, pembacaan Alkitab dalam tradisi kritik sastra seperti ini terlihat ndakik-ndakik, tidak praktis (tidak bisa meningkatkan keimanan), dan menimbulkan kebingungan soal fiksi versus kebenaran Alkitab. Analisis Miles sepertinya mereduksi keilahian Allah sekadar sebagai dramatis personae. Ditambah lagi, meskipun cara Miles dalam membaca Kitab Perjanjian Lama ini bukan sesuatu yang baru,[1] metodologi analisis seperti ini pun mendapatkan kritik dari pengkaji Alkitab lainnya. Salah satu pemikir penting dalam kajian Alkitab, James Kugel, mengkritik analisis pembacaan Alkitab sebagai sastra. Alkitab adalah teks, namun “operasi analisis sastra tidak diperuntukkan untuk teks apapun yang muncul”.[2] Kugel kemudian mengajukan pertanyaan sederhana, adakah sajak di dalam Alkitab dan berargumen bahwa dalam sastra Ibrani, sajak baru secara konsisten hadir sebagai fitur gaya berpuisi pada abad ke lima atau enam oleh seorang penulis Palestina bernama Yannai. Terlepas dari kritik tersebut, pendekatan kritik sastra terhadap Alkitab, khususnya dalam lingkup kesarjanaan modern (khususnya Bahasa Inggris), terus mengalami perkembangan. Berbagai tarikan dan diskusi panjang soal Alkitab tidak lagi berputar di sekitar metodologi dan hermeneutika dalam pembacaan Alkitab saja, namun juga menghasilkan pembahasan-pembahasan baru termasuk penarikan Alkitab ke dalam teori-teori (misal pascamodernitas, pascakolonialisme, dan atau feminisme).
Jika teori dan kritik sastra membantu para akademisi untuk memahami Alkitab beserta segala elemennya, bagaimana dengan para awam, yang menggunakan Alkitab sehari-hari untuk peneguhan keyakinan, dapat mengakses (sebagian) kompetensi tersebut tanpa dituduh sebagai “pemberontak” dan sejenisnya? Seberapa penting jemaat awam membaca Alkitab secara “kritis”, dan seberapa mendesak pembacaan kritis ini berubah menjadi—menggunakan istilah Roland Boer—“pembacaan revolusioner”?
Di dalam pengalaman saya bergereja (Protestan Pantekosta) sejak sekolah minggu, saya ragu ada perkembangan di level jemaat dalam pemahaman atau kompetensi literasi terhadap Alkitab ini. Tentu tidak semua harus menjadi teolog atau pengkaji Alkitab, namun narasi-narasi pembacaan Alkitab pada umumnya cukup otoritatif. Anjuran membaca Alkitab tiap hari tidak diikuti dengan keterbukaan untuk mempertanyakan. Saya sendiri sempat mengalami ketakutan mendekati Alkitab, dan akhirnya membaca Alkitab secara harafiah tanpa kemampuan untuk melakukan pembacaan yang bernas. Adanya perubahan cara membaca ini pun akhirnya dipengaruhi oleh berbagai faktor (misal privilise pendidikan).
Dalam salah satu bab buku Rescuing the Bible (2007), Roland Boer, dengan merujuk pada pemikiran Ernst Bloch, berpendapat bahwa pembacaan Alkitab adalah “skandal bagi orang miskin dan kebodohan bagi orang kaya” (scandal for the poor, folly for the rich). Artinya, Alkitab mampu dijadikan instrumen bagi penguasa untuk melakukan apapun yang dia suka termasuk menindas, namun ia pun dapat digunakan untuk melakukan gerakan. Dimulai dari pembacaan politis terhadap Alkitab, di mana Alkitab dilihat tidak sebagai teks netral dan menjadi wilayah pertarungan ideologi maupun politik, maka interpretasinya pun adalah pertarungan bagi siapapun yang mengklaim Alkitab. Boer kemudian melanjutkan bahwa pertarungan interpretasi ini dapat mengkontstruksi “mitos politik” untuk gerakan karena Alkitab adalah salah satu sumber untuk visi dan gambaran utopia dengan kadar keraguan teologis (mempertanyakan sosok penyelamat) secukupnya.[3]
Namun pembacaan revolusiner ini, menurut pandangan saya, juga tidak serta merta berhasil dilakukan. Alasannya, tidak berbeda dari kesulitan insiatif adalah karena perkembangan interpretasi Alkitab yang heterogen. Pembacaan politis juga tidak bisa hadir secara tunggal karena jemaat pun memiliki tradisi membaca individual maupun komunal yang berbeda. Buku How to Read a Bible (2007) karya James Kugel, meskipun bukan soal politik, menjadi salah satu contoh kompleksitas ketika satu interpretasi dengan interpretasi lain dipertemukan. Di satu sisi, pengurutan kisah satu per satu dari Kitab Kejadian bersama dengan dua interpretasinya memperkaya pemahaman pembaca, namun di sisi lain, ada usaha-usaha persuasif untuk pada akhirnya memilih interpretasi mana yang lebih meyakinkan.[4] Pembacaan politik Alkitab pun tidak berbeda: interpretasi politik terhadap Alkitab mampu menjadi revolusioner bagi jemaat awam juga tergantung dari seberapa meyakinkannya interpretasi tersebut di hadapan jemaat.
Sepertinya saya tidak menjawab apapun dalam tulisan ini karena saya hanya ingin menekankan bahwa tradisi pembacaan Alkitab pun membutuhkan usaha-usaha persuasif, dan tentu perlu ada pemahaman bahwa pun keengganan awam mendekati Alkitab secara lebih sekuler bisa menjadi bumerang politik.***
Penulis adalah Pengasuh diskusi selasaan Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba
———-
[1] Tidak sedikit para pemikir pendahulu Kristen pun melakukan pembacaan terhadap Alkitab dengan kegairahan, yang bisa kita sebut, sastrawi, artinya mereka memberi perhatian pada keindahan bunyi, rima, dan suara dari kata-kata yang tertulis. Santo Agustinus, misalnya, adalah salah satu teolog berpengaruh dari abad keempat yang memiliki ketertarikan khusus terhadap cara membaca Alkitab karena keindahan bunyi suara kata-kata. Ia menyukai cara membaca sambil bersuara (seperti membaca puisi) ketimbang membaca diam (Lihat Alberto Manguel, A History of Reading, (Vintage, 1996), hal. 58-63.
[2] James Kugel, “On the Bible and Literary Criticism”, Prooftexts, Vol. 1, No. 3 (September 1981), hal. 217-236.
[3] Roland Boer, Rescuing the Bible (Blackwell, 2007), hal. 128-132
[4] Kugel mengajak pembacanya menaruh perhatian pada interpretasi kuno