Memikirkan Marjinalisasi Perempuan NTT

Print Friendly, PDF & Email

Potret keluarga miskin di NTT. Kredit foto: Sinar Harapan

 

PROVINSI Nusa Tenggara Timur (NTT) memasuki tahun politiknya. Akhirnya provinsi yang selalu mendapatkan predikat ‘tertinggal’ ini sekali lagi berkesempatan menentukan pemimpinnya. Selama kurun waktu satu dekade terakhir, bumi cendana dipimpin orang yang sama dengan pencapaian yang seadanya.

Namun, memahami konteks persoalan NTT tidak fokus pada ‘menyalahkan’ pencapaian pemimpin semata-mata. Terdapat begitu banyak hambatan kultural yang menyandera pembangunan NTT. Salah satunya adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kaum perempuan masih dipandang sebelah mata, dengan peran yang itu-itu saja. Merawat anak, mencuci, dan berbagai urusan ‘dapur’ lain seolah menjadi tugas utama kaum perempuan.

Hidup dalam kerangka masyarakat yang patriark menjadikan semua peran strategis diambil alih laki-laki. Klaim sebagai yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih dalam banyak hal, mengukuhkan laki-laki pada posisi-posisi penting dalam masyarakat. Penyakit yang sama diderita hampir seluruh daerah di Indonesia.

NTT boleh jadi masih ada dalam penjara feodalisme politik dengan dominasi besar laki-laki dalam hidup politiknya. Pengakuan politik terhadap hak-hak perempuan masih jauh dari harapan. Kepentingan kaum perempuan seringkali diabaikan dalam penyusunan program pembangunan. Padahal partisipasi perempuan menjadi salah satu aspek kunci dalam gagasan besar pembangunan berkelanjutan.[1]

NTT membutuhkan lebih dari sekadar kerangka konseptual pembangunan yang ‘katanya’ melibatkan perempuan. Program-program harus sengaja dirancang untuk mendorong ruang partisipasi sosial, ekonomi, politik kaum perempuan. Harapannya bukan semata-mata pada peningkatan peran perempuan, tetapi mengejar dampak dari keterlibatan perempuan untuk sebesar-besarnya kemajuan daerah.

 

Apa Yang Wajib Dipikirkan

Persoalan perempuan dalam konteks NTT didukung beberapa data dan fakta menarik. Pertama, Data BNP2TKI, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTT berdasarkan jenis kelamin didominasi kelompok perempuan. Tahun 2013 misalnya, TKI Perempuan berjumlah 2.799 orang. Tahun 2014, jumlahnya mencapai 3.306 orang. Tahun 2015, berjumlah 741 orang (sd. April 2015). Angka-angka tersebut masing-masing mengalahkan jumlah TKI Laki-laki asal NTT yang berangkat ke luar Indonesia. Mirisnya, media-media nasional terus saja memberitakan tingginya jumlah TKI asal NTT yang meninggal di luar negeri, karena penganiayaan dan sebab-sebab lainnya.

Data Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) bulan Januari sampai Desember 2015, terdapat 941 orang menjadi korban, disinyalir ada tujuh jaringan perusahaan dan perorangan yang terlibat. Tahun 2015 terdapat 1.667 TKW asal NTT yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Sementara, pada 2016, bulan Januari sampai Juli, ada sekitar 726 TKW bermasalah atau terindikasi praktik perdagangan manusia (di NTT.

Pilihan untuk mengadu nasib ke luar negeri, selain dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan, juga karena keterbatasan peran yang diperoleh perempuan NTT. Lapangan pekerjan yang terbatas terus-menerus didominasi laki-laki.

Kedua, Secara politik, jumlah Perempuan yang masuk dalam parlemen masih jauh dari harapan. Hanya enam orang perempuan yang memperoleh kursi di DPRD NTT hasil pemilu 2014. Enam orang wakil perempuan tersebut berada di antara lima puluh sembilan orang laki-laki yang terpilih. Barang belum tentu keenamnya benar-benar memperjuangkan nasib perempuan.

Rendahnya perwakilan perempuan tersebut tidak semata-mata merugikan kelompok perempuan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kepedulian perempuan terhadap isu-isu kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, antikekerasan, dan lingkungan, tidak bisa berbuah menjadi kebijakan selama mereka tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. Pengalaman hidup dan kepedulian perempuan yang khas menjadikan mereka harus memperjuangkan sendiri apa yang diinginkannya. Mayoritas laki-laki di DPRD sulit diharapkan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan sebab mereka tidak mengalami dan memahami apa yang dirasakan dan diinginkan perempuan.[2]

Demokrasi menuntut sistem perwakilan yang memungkinkan semua kelompok masyarakat terwakili. Tujuannya agar dalam pengambilan keputusan tidak ada kelompok yang ditinggalkan. Namun sejak gagasan demokrasi dipraktikkan, parlemen tidak pernah mewakili semua kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan ini menyebabkan parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang justru mendiskriminasi kelompok masyarakat yang diklaim diwakilinya.[3]

Itu artinya, jika perempuan Indonesia hanya diwakili oleh beberapa orang saja, sebanyak 101 juta lebih perempuan Indonesia terdiskriminasi oleh kebijakan DPR. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali pemaknaan demokrasi perwakilan, dengan menekankan pentingnya politik kehadiran (the political of presence), yaitu kesetaraan perwakilan antara laki-laki dan perempuan, keseimbangan perwakilan di antara kelompok-kelompok yang berbeda, dan melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan ke dalam lembaga perwakilan.[4]

Konkritnya, perempuan dan politik adalah dialektika terhadap seluruh aspek dalam hubungan dan dinamika sosial, mulai dari rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara. Paradigma bahwa politik hanya milik kalangan pemegang kekuasaan formal (dan milik laki-laki), yang mengakibatkan terjadinya proses peminggiran terhadap rakyat dan terhadap perempuan, harus segera diubah. Karena persepsi ini membuat rakyat (apalagi perempuan) merasa tidak layak dan tidak mempunyai kemampuan untuk ikut melakukan perubahan dalam proses-proses politik. Dari sinilah kita berangkat membicarakan soal partisipasi dan representasi politik perempuan.

Ketiga, Persoalan Gizi buruk dan busung lapar terus saja menjadi masalah klasik NTT dari waktu ke waktu. Desti Murdijana, direktur Eksekutif Yayasan Pikul (Pengembangan Institusi dan Kapasitas Lokal) yang memiliki kegiatan di wilayah NTT, Sulawesi Tenggara, dan Papua dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan menegaskan bahwa persoalan gizi buruk di NTT bukan semata-mata karena persoalan kemiskinan. Persoalan tersebut salah satunya disebabkan karena pengabaian hak-hak perempuan.

Benar bahwa masalah perempuan dalam konteks tersebut kurang mendapatkan perhatian. Padahal, ditemukan banyak anak yang busung lapar justru lahir dari ibu-ibu yang mengalami anemia dan sakit lain pada masa kehamilannya. Kasus busung lapar banyak ditemukan pada keluarga miskin dengan jumlah anak lebih dari tiga orang. Maka ketika fokus penyelesaian ditujukan hanya kepada anak-anak dengan persoalan gizi buruk, ibu-ibu justru diabaikan.

Tragisnya, isu kemiskinan justru terus menerus dipolitisasi dan dijadikan ‘ladang duit’ oleh banyak pihak. Isu ini memang menjadi isu yang mudah “dijual” ke lembaga donor tanpa ada usaha yang jelas tentang apa yang sudah dilakukan.

 

Perempuan Dalam Kancah Politik NTT

Perempuan dan politik adalah wacana yang menarik diperbicangkan bahkan, menjadi suatu yang politis untuk di perdebatkan. Hal ini disebabkan oleh fakta, ketika politik ditempatkan di wilayah publik, definisi, konsep, dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan di luar area tersebut. Politik didefinisikan sebagai sesuatu yang negative (politiking), afiliasi suatu partai politik, dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa, dimana laki-laki mendominasinya. Bahkan, ketika politik didefinisikan dengan perspektif baru sebagai; pembuatan keputusan yang transparan, kemampuan bernegosiasi, partisipasi dengan cakupan basis yang luas, keterbukaan terhadap perubahan, distribusi sumberdaya (kekuasaaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, dikotomi antara dunia perempuan dan dunia politik tetap berlangsung. )

Dalam konteks NTT, secara mengejutkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atas persetujuan ketua umumnya Megawati Soekarnoputri menunjuk kader perempuan Emilia Nomleni untuk maju dalam Pilkada NTT 2018. Emilia diusung sebagai calon wakil gubernur, berpasangan dengan bupati Ngada Marianus Sae.

Keputusan partai berlambang banteng tersebut mendapatkan protes dari sebagian besar kader partai. Selain memupuskan ambisi kader-kader lain untuk mendapatkan dukungan partai, keputusan tersebut dianggab merugikan partai. Sebab mengusung kandidat perempuan dalam Pilkada NTT adalah ‘judi’ besar bagi partai.

Terlepas dari apapun strategi PDIP mengusung Emilia, kehadirannya menjadi ‘angin segar’ bagi perempuan NTT. Sekurang-kurangnya perempuan NTT untuk pertama kalinya dilibatkan dalam hajatan lima tahunan tersebut dan tidak tanggung-tanggung langsung dicalonkan sebagai calon Wakil Gubernur. Harapan besar nasib perempuan NTT diserahkan kepada Emilia. Semoga bila rakyat mendukung dan Tuhan merestui, ia dapat menjadi obor penerang bagi perempuan-perempuan NTT. Jika tidak, semua persoalan di atas tetap menjadi tugas siapapun yang terpilih memimpin Nusa Tenggara Timur.***

 

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, angkatan 2014, Anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta Selatan, berasal dari Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur

 

Kepustakaan:

Anne Philips, The Politics of Presence: The Political Representation of Gender, Etnicity, and Race, Oxford: Oxford University Press, 1998

Max Regus, Diskursus Politik Lokal : Kajian Teoretik Kritis, The Insight Institute, 2015

Ramlan Surbakti, dkk, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan: Penguatan Kebijakan Afirmasi, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta

Robert A Dahl, (terj.) Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, Jilid II

 

————-

[1] Max Regus, Diskursus Politik Lokal: Kajian Teoretik Kritis, The Insight Institute, 2015, halaman 103

[2] Ramlan Surbakti, dkk, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan: Penguatan Kebijakan Afirmasi, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, halaman 2

[3] Robert A Dahl, (terj.) Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, Jilid II, halaman 89-90.

[4] Anne Philips, The Politics of Presence: The Political Representation of Gender, Etnicity, and Race, Oxford: Oxford University Press, 1998, halaman 57-85.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.