Potret perkebunan sawit di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai. Kredit foto: LifeMosaic
Catatan: penulis akan mengetengahkan serial eksplorasi tentang Masyarakat Urban dan The Everyday Life, yang di dalamnya menampakkan problem-problem berbasis gender. Selama ini cerita tentang The Everyday Life dalam Masyarakat Urban nampak dipandang biasa dan kurang menarik, tetapi penulis termasuk yang menyetujui pada pandangan bahwa problem berbasis gender dan kelas, baik di ranah struktur basis maupun supra-struktur, dibentuk dalam aktivitas sehari-hari. Semoga eksplorasi ini ada gunanya bagi pembaca!
Dominasi Waktu Industri Terhadap Waktu Kosmos
Kita dapat melongok kehidupan petani dan buruh perkebunan di Bualemo yang bergerak perlahan. Orang berjalan kaki atau naik sepeda motor dengan perlahan menuju ladangnya atau perkebunan sawit milik sebuah perusahaan pada pagi hari. Namun apa yang disebut pagi bukan merujuk pada jam tangan buatan manusia, kecuali anak-anak sekolah. Ada yang berangkat ke ladang pukul 08.00, ada yang menggembala sapi atau kerbau pada pukul 10.00, dan ada yang berangkat ke perkebunan sawit pada pukul 05.00 pagi. Pada saat siang, petani, peternak, kembali ke rumah untuk makan dan beristirahat (waktu santai). Dekripsi tentang istirahat meliputi menonton TV (terutama perempuan dan anak), minum di kedai kopi (bagi laki-laki), tidur, ngobrol, dan lainnya. Bagi buruh perkebunan sawit, belum tentu memiliki waktu santai pada siang hari, karena sangat tergantung jam biologis pohon kelapa sawit. Saat panen buah sawit waktu kerja bisa mencapai 24 jam, atau saat penyemprotan pupuk waktu kerja bisa mencapai 15 jam/hari. Tetapi pada saat tertentu, buruh perkebunan ini bisa mempunyai waktu santai yang panjang, dan beberapa di antaranya (terutama perempuan) mengisi waktu senggang dari produksi ini dengan berjualan makanan. Adapun pada malam hari, sekitar pukul 19.00, masyarakat Bualemo lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di rumah bersama keluarga (private life) di depan TV dan persiapan untuk tidur. Tak ada industri hiburan yang menjual hiburan pada malam hari, seperti karaoke atau lainnya, maka pada malam hari manusia dan alam berada dalam kesenyapan untuk pemulihan diri.
Masuknya perusahaan sawit di Bualemo berkonsekuensi pada penambahan tumpukan aktvitas buruh dan petani di sekitarnya. Perkebunan yang luas dan jumlah pohon yang ratusan ribu jumlahnya, membutuhkan tenaga kerja dalam skala besar dan waktu yang dapat melebihi norma waktu kerja (8 jam/hari). Aktivitas mengurus perkebunan kelapa sawit dapat meliputi sejak penanam bibit di dalam polybag, menyiram pohon bibit, menanam pohon bibit pada tempatnya, sampai penyemprotan pupuk dan panen dan membawa ke pabrik CPO (cruel palm oil) menciptakan pembagian kerja yang kompleks dan berbasis gender. Ada pekerjaan laki dan perempuan di dalam perkebunan sawit. Tetapi buruh dan petani di Bualemo masih mempunyai lahan untuk ditanami tanaman pangan atau mempunyai ternak kambing atau sapi. Itu artinya aktivitas mereka bertambah-tambah sebagai petani dan juga sebagai buruh. Terkadang muncul pembagian kerja secara gender dalam keluarga, di mana isteri dan anak perempuan bekerja di perkebunan sawit sebagai penyemprot hama, anak-anak bekerja sebagai penanam benih dalam polybag, sedangkan suami atau bapak tetap mengerjakan pekerjaan pertanian di lahan miliknya sendiri.
Sebaliknya jika kita melongok ke dalam aktivitas masyarakat urban Jakarta yang masyarakat urbannya telah mencapai kondisi sepenuhnya sebagai pekerja upahan –baik kelas white collar maupun blue collar[1], maka aktivitas hidup mereka seturut jam kerja industri manufaktur, jasa dan keuangan. Jakarta dan kota-kota yang mengelilinginya (Tangerang-Bogor-Bekasi) merupakan contoh aglomerasi kota (pengelompokan wilayah-wilayah sebagai kota) yang terstruktur menjadi pusat dan pinggiran. Jakarta dirancang sebagai pusat yang mengemudikan perencanaan, strategi pasar, adminsitrasi dan pemutaran uang aneka industri, sedangkan Tangerang-Bogor-Bekasi ditata sebagai kawasan produksi (pabrik) dan pemukiman yang dibangun oleh pengembang bisnis property. Makanya pada saat pagi berdasarkan waktu industri yang fix, yaitu sekitar pukul 06.00 para tenaga kerja berduyun-duyun menuju tempat kerja dengan menggunakan commuter line Jabodetabek, bus Transjakarta, atau kendaraan pribadi. Anda perhatikan gerak mereka sangat ritmik dan cepat untuk mengejar jam kerja industri. Mereka bergerak serentak bagai air bah dari kota ‘pinggiran’ menuju pusat kegiatan ekonomi-politik di Jakarta. Semua mengejar jam kerja industri yang secara umum dimulai pada pukul 08.00 dan berakhir pada pukul 17.00, dengan waktu istirahat selama 1 jam pada pukul 12.00. Kantor pemerintahan pun mengikuti jam industri manufaktur, jasa dan keuangan, begitu juga anak sekolah dan mahasiswa pun mengikuti ritme jam industri.
Tetapi tidak hanya itu, waktu untuk berbelanja pun mengikuti jam industri. Anda perhatikan commuter line maupun bus Transjakarta pada pukul 09.00 akan dipenuhi oleh perempuan yang bergerak menuju pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Thamrin City, Mangga Dua, dan lain sebagainya untuk berbelanja barang konsumsi sekunder dan tersier. Sementara pada pukul 07.00, mereka pergi ke pasar di sekitar rumahnya yang menjual pangan, atau mereka didatangi penjaja pangan (sayur, ikan, dll) yang berkeliling di pemukiman urban. Selain itu para perempuan urban mempunyai aktivitas rutin mengantar anak sekolah pada pukul 06.30 dan menjemput anaknya pada pukul 13.00 atau pun pukul 15.00. Lalu setiap seminggu sekali, para perempuan yang disebut ibu rumah tangga atau mempunyai kerja di dalam rumah mengikuti aktivitas pengajian sekitar pukul 10.00. Pengajian ini telah menjadi aktivitas reguler di kampung-kampung Jabodetabek. Sementara di perumahan dan apartemen, ada banyak perempuan yang bekerja di luar rumah sehari-harinya, sehingga membuat suasana lingkungan perumahan atau apartemen sepi dari aktivitas perempuan (kecuali aktivitas pekerja rumah tangga dan anak-anak yang diasuhnya).
Siang hari di Jabodetabek bukanlah waktu santai bagi private life-nya. Bagi yang bekerja waktu istirahat 1 jam hanya teralokasi untuk makan dan bagi yang beragama Islam untuk menunaikann sholat. Pada saat sore hari mereka berduyun-duyun memenuhi commuter line dan bus Transjakarta untuk kembali ke “pinggiran”, ke rumah masing-masing guna beristirahat dan bertemu dengan anggota keluarganya. Tetapi ada banyak yang menghabiskan saat petang sampai malam untuk mengisi waktu santai dan private life dengan bersenang-senang (plessure time) di coffee shop, resto, atau rumah karaoke, terutama bagi perempuan lajang dan laki-laki (lajang maupun berkeluarga). Begitu pula saat weekend, masyarakat Jabodetabek telah mempraktikkan aktivitas plesiran bersama anggota keluarga ke mal, pegunungan atau pantai, dan tujuan wisata lainnya. Maka malam dan weekend bukan merupakan waktu istirahat bagi masyarakat Jakarta, karena malam dan weekend adalah waktu industri jasa dan hiburan mendenyutkan ritme kerjanya. Artinya pada saat sebagian orang melakukan aktivitas plesiran, ada orang lain yang melakukan aktivitas kerja mencari nafkah. Itulah yang disebut waktu industri di Jakarta tidak mengikuti waktu kosmos sebagaimana yang masih berlaku di Bualemo.
Dengan membandingkan tumpukan aktivitas dan waktu masyarakat urban di Bualemo dan Jakarta, tampaklah bahwa semakin lanjut fase urbanisasi di suatu daerah memperlihatkan aktivitas dan waktu industri bergerak menuju dominasi terhadap aktivitas dan waktu kosmos. Dengan kata lain, aktivitas manusia yang natural tersubordinasi ke dalam aktivitas manusia yang industrial.
Problem Gender Dalam Aktivitas dan Waktu Masyarakat Urban
Ketika aktivitas natural manusia tersubordinasi ke dalam aktivitas manusia yang industrial, kaum perempuan mempunyai beban untuk menyangga kontradiksi di dalamnya.
Di Bualemo perempuan buruh perkebunan bangun antara pukul 04.00,lalu melakukan aktivitas bagi dirinya seperti mandi dan sholat, menanak nasi (untuk lauk-pauk seringkali beli pada malam kemarin, hingga pada paginya tinggal dipanasi), merendam pakaian kotor (pakaian seluruh anggota keluarga), membuatkan kopi bagi suami, sekiranya tidak sempat menyiapkan sarapan buat anak sekolah, maka sang ibu akan memberi uang jajan sekitar Rp 10.000,-. Setelah urusan rumah tangga selesai, sang ibu mempersiapkan diri menuju tempat kerja di perkebunan sawit (ada yang berjalan kaki dan ada yang diantar suaminya dengan sepeda motor).
Bagi perempuan petani bangun antara pukul 04.00-05.00, mereka mandi dan sholat, kemudian melakukan seluruh aktvitas domestik, seperti menanak nasi, menyiapkan sarapan untuk anak sekolah, membuatkan suaminya kopi, mencuci pakaian, mengantar anak sekolah, belanja ke warung untuk membeli lauk pauk mentah, memasak, dan pekerjaan ini rampung sampai pukul 09.00. Apabila ada pekerjaan ladang, mereka akan berangkat pukul 07.00, hingga pekerjaan domestik tersebut dikerjakan sepulang dari ladang sekitar pukul 11.00. Pada siang hari, perempuan petani mengumpulkan kayu bakar atau kelapa-kelapa kering, atau apapun dari sekitar rumah dan pekarangannya untuk keperluan rumah tangga. Pada sore hari mereka memasak dan turut serta memasukkan ternak ke dalam kandangnya. Bagi buruh perkebunan, sepulang dari kerja pada sore atau petang hari, mereka akan membeli lauk-pauk matang di warung untuk makan malam anggota keluarganya. Setiba di rumah, pada malam hari pun mereka akan mencuci pakaian yang telah direndam tadi pagi dan menjemur pada keesokan harinya. Seluruh aktivitas perempuan di Bualemo masih mengikuti waktu kosmos, kecuali bagi buruh perkebunan akan mengikuti waktu indsutri pada saat musim panen atau penyemprotan pupuk keapa sawit.
Tansformasi tenaga kerja menjadi buruh ini membuat datangnya tukang kredit barang beroperasi di Bualemo. Kredit barang mengandaikan kemampuan seseorang untuk membayar secara reguler, dan dengan menjadi buruh perkebunan para perempuan itu mempunyai upah reguler. Tetapi bagi perempuan non-buruh, pada akhirnya mereka memburuh apa saja atau mencari uang kontan setiap harinya guna dapat membayar kredit tersebut. Gejala perempuan mendapat upah ini menghidupkan modus kreditan untuk barang konsumsi (manufaktur) untuk rumah tangga dan tubuhnya. Sirkulasi perdagangan dan belanja konsumsi ini membuat masyarakat (terutama perempuan dan anak remaja) urban Bualemo bercorak modern, dengan tas, pakaian dan sepatu yang sama dengan orang “kota”. Para perempuan ini mengonsumsi slimming tea atau berbagai obat pelangsing dan pemutih muka –agar wajah mereka seputih orang kota. Baik perempuan petani maupun buruh perkebunan merasa kulit dan wajahnya dan karena itu dimodernkan dengan memutihkan wajah tersebut. Distribusi barang manufaktur modern melalui cara kredit telah mendorong para perempuan mencari uang kontan, entah dengan menjadi buruh atau berdagang di sekitar rumah dan tetangganya
Adapun para laki-laki di Bualemo melakukan aktivitas produktif tanpa aktivitas reproduktif di dalam rumah tangganya. Sebaliknya, mereka mendapat pelayanan dari isteri atau anak perempuannya. Oleh sebab itu laki-laki di Bualemo mempunyai waktu santai pada siang, sore dan malam hari, dan mereka dapat habiskan waktu santai itu untuk tidur atau ngobrol di warung dengan teman-temannya. Dalam waktu kerja, waktu santai pun mereka dapat menikmati kesenangan merokok. Merokok boleh saya katakan sebagai private life untuk membagun identitas diri kelaki-lakiannya. Para perempuan boleh menghemat uang untuk belanja, tetapi para laki-laki tak akan mau menghemat uang untuk tidak membeli rokok. Secara keseluruhan laki-laki di Bualemo masih mengikuti waktu kosmos, kecuali bagi buruh perkebunan sawit pada saat panen mereka dapat bekerja selama 24 jam –mengikuti waktu industri. Para laki-laki itu –termasuk buruh perkebunan— berorientasi untuk membeli DVD dan loud speaker besar. Mereka akan memutar musik ndangdut keras-keras untuk menikmati waktu santai dan private life dari musik ndangdut yang berkumandang dari barang miliknya sendiri. Selain itu memiliki motor yang merupakan hal penting bagi dirinya untuk mobilitas apapun. Untuk dapat memiliki barang-barang ini, mereka mengambil kreditan, sekalipun seringkali terjadi para isteri yang kemudian membayar cicilan kreditannya.
Sekarang mari kita bandingkan dengan masyarakat urban di Jakarta. Laki dan perempuan secara umum telah menjadi pekerja upahan entah di pabrik atau di kantor bank. Waktu untuk kerja, waktu santai dan private life telah sepenuhnya diatur oleh waktu industri manufaktur, jasa dan keuangan. Mereka bahkan harus mengorbankan waktu kosmosnya, seperti menstruasi bagi perempuan demi mengikuti waktu industri. Sementara jarak antara tempat kerja dan rumah yang mencapai 20-30 km menambah aktivitas bernama perjalanan, dan aktivitas ini menambah waktu dalam siklus harian para perempuan Jakarta, sehingga waktu untuk santai dan private life berkurang, Tetapi jangan cemas, pesoalan itu menciptakan pengembangan industri jasa, sebagai contoh industri pelayanan belanja (Anda memesan barang atau makanan dan dapat diantar oleh Go-Send ke tempat kerja Anda), berdirinya mal dan supermarket yang mendekati tempat kerja (bukan pemukiman) sehingga sepulang kerja Anda dapat pergi ke mal untuk mendapatkan kebutuhan private life, keperluan domestik keluarga maupun menikmati waktu santai. Waktu untuk santai bersama anggota keluarga adalah weekend, sebab pada saat weekday pun anak-anak sibuk dengan sekolah, mengikuti ekskul dan les ini itu. Selepas itu semua, waktu santai dan privat life anak-anak adalah bermain play station, gadget dan televisi untuk main game ini dan itu. Industri untuk memproduksi game bagi anak-anak berkembang luar biasa. Sementara laki-laki atau ayah/suami mereka selain bekerja untuk menghasilkan uang, lalu sepulang dari kerja menghabiskan waktu santai di coffee shop, bar, ataupun night club, untuk menikmati aneka minuman (termasuk yang beralkohol) dan seks ketimbang makanan. Para laki-laki urban ini tidak mempunnyai beban mengurus keperluan rumah tangga dan anak, oleh sebab itu mereka dapat menikmati waktu santai dan private life lebih lama dan leluasa ketimbang perempuan.
Perempuan urban di Jabodetabek menyangga kontradiksi antara waktu industri dan kosmos, antara aktivitas kerja mencari nafkah dan privat life-nya dengan menindas waktu kosmos dan privat life-nya, yaitu merasakan perubahan hormonal (yang membuat tubuhnya tidak nyaman) dirinya saat menstruasi, saat kehamilan dan saat menyusui. Industrialisasi telah meniadakan kenaturalan perempuan, sehingga dalam perkembangan urbanisasi yang semakin kompleks, kenaturalan perempuan terhisap dan tersubordinasi ke dalamnya. Selain itu faktor jarak dalam ruang urban yang memisahkan tempat kerja dan rumah tinggal membuat kerja ganda perempuan antara mencari nafkah dan mengurus rumah tangga menjadi beban perempuan urban. Dengan kata lain, perempuan urban di Jakarta beban gandanya semakin berat dibandingkan perempuan di Bualemo (di Bualemo jarak antara tempat kerja dan rumah hanya berjarak 1-5 km). Sedangkan waktu kosmos dan privat life perempuan di Bualemo belum sepenuhnya tersubdornasi oleh waktu industri sebagaimana perempuan di Jakarta.
Persoalan yang penting untuk menjadi bahan eskplorasi selanjutnya adalah apakah beban-beban yang disangga perempuan urban dalam perkembangan urbanisasi itu akan meledak?***
Bagian pertama dari artikel ini bisa di baca di sini.
————–
[1] White collar untuk sebutan buruh kantoran, sedangkan blue collar sebutan bagi buruh pabrik yang mengoperasikan mesin produksi