Kristenisasi dan Islamisasi, atau Apa Tugas Kita Hari Ini?

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Media Indonesia

 

PADA 28 Januari 2018 lalu, sebuah kegiatan sosial jemaat Gereja Santo Paulus di Bantul, Yogyakarta, dihentikan oleh sejumlah orang dengan menuding kegiatan tersebut sebagai upaya kristenisasi masyarakat sekitar gereja. Berbagai bentuk kekerasan dan intimidasi atas nama agama terhadap kelompok masyarakat tertentu, khususnya kelompok minoritas, makin hari makin sering terjadi. Apa yang terjadi di Bantul hanya salah sebuah contoh kecil dari berbagai kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

Pada tahun 80-an dan 90-an, desas desus tentang kristenisasi sangat kencang dibicarakan oleh umat Islam Indonesia, bahkan menjadi tema ceramah yang sangat digemari kaum muslim kala itu. Ustad Zainudin MZ, salah seorang dai dengan kemampuan retorika yang bagus, yang dijuluki sebagai “dai sejuta umat” karena memiliki banyak sekali pendengar setia yang mengikuti ceramah-ceramahnya di kaset yang diproduksi secara massal, atau mendengarnya di berbagai jaringan radio yang memutar ceramahnya secara rutin, menjadi ikon atau juru bicara Islam dalam menolak kristenisasi, atau setidaknya menjadi rujukan dalam membicarakan kristenisasi. Salah satu penggalan ceramahnya yang terkenal adalah anjuran agar kaum muslim tidak menggadaikan imannya dengan Supermi, salah satu merek mie instan paling terkenal kala itu. Zainudin, dan saya kira banyak dai yang lain, mencurigai kaum Kristen telah memanfaatkan kemiskinan untuk tujuan penyebaran agama Kristen.

Ketika masih remaja, sekira usia anak SMP, saya sendiri juga sangat senang mendengarkan ceramah Islam yang membicarakan isu kristenisasi. Pernah suatu ketika, kegiatan peringatan hari besar Islam di gelar di lapangan kecamatan Mojowarno Jombang yang persis di sebelahnya berdiri megah sebuah rumah sakit Kristen, dan tak jauh dari rumah sakit juga terdapat gereja komunitas Kristen Jawa GKJW Mojowarno. Seperti pada umumnya kegiatan Islam yang mampu memobilisasi ribuan umat, kegiatan tersebut dihadiri oleh ribuah umat Islam dari berbagai desa di kecamatan Mojowarno dan sekitarnya. Dalam sesi ceramah, dengan suara lantang yang digemakan melalui pengeras suara yang diletakkan di tiap sudut lapangan, seorang kiai mengecam kristenisasi berkedok bantuan ekonomi. Buat saya kala itu, dan tentu saja ribuan umat Islam yang hadir, menganggap sang kiai sebagai orang berani dan pejuang Islam, lebih-lebih telah berani menyampaikan ceramahnya di dekat situs dan di tengah-tengah komunitas umat Kristen di kabupaten Jombang.

Meski ayah saya seorang kiai desa yang berpikiran terbuka dan inklusif, yang kerap khotbah dan berceramah dari masjid ke masjid, dari desa ke desa, namun saya lebih percaya pesan Zainudin MZ ketimbang ayah sendiri. Ayah saya sendiri, sepengetahuan saya, tak pernah tertarik dengan isu atau desa-desus mengenai kristenisasi, apalagi memang di lingkungan keluarga tak pernah membahas soal kristenisasi, sebab ayah saya sendiri pembaca setia tulisan Romo Mangunwijaya dan sangat mengagumi sosok dan perjuangannya.

Kesenangan saya terhadap isu kristenisasi belum kunjung reda sampai ayah saya memperkenalkan dengan pikiran-pikiran ke-Islaman Cak Nur dan Gus Dur yang inklusif. Dan benar-benar hilang kecurigaan saya terhadap kristenisasi ketika menginjak SMU, wabil khusus setelah mendengar perjuangan Romo Mangunwijaya di Yogyakarta. Perlahan saya menganggap kristenisasi, demikian juga Islamisasi, kalaupun ada, sebagai gejala biasa saja dalam keberagamaan dan bahkan telah melekat dalam hampir semua agama, khususnya agama-agama yang sering dikelompokkan sebagai agama langit, seperti Islam dan Kristen. Kalaupun ada kristenisasi, maka juga ada islamisasi. Bahkan penolakan terhadap kristenisasi selalu dimungkinkan oleh semangat islamisasi. Jadi, menolak kristenisasi dengan membiarkan islamisasi merupakan standar ganda dan sikap beragama yang naif. Melarang orang lain menyelanggarakan ibadah di dalam rumah, namun membiarkan ceramah-ceramah agama Islam melalui pengeras suara dari masjid, atau melalui acara Islam yang hampir tiap hari muncul di televisi, sama saja dengan menampar diri sendiri. Bukankah justru umat Islam paling sering menggunakan rumah untuk menyelanggarakan Ibadah baik yang sifatnya individual dan dalam skala kecil maupun sifatnya massal dalam skala besar, seperti majelis-majelis taklim yang di selenggarakan dari rumah ke rumah?.

Umat Islam Indonesia harus lebih dewasa dan berani mengajukan kritik ke dalam ketimbang mengurusi , mencampuri, apalagi menganggu kegiatan tetangga sebelah, jika kehidupan sosial beragama ingin tenteram dan berlangsung secara sehat dan dewasa. Dalam banyak kajian dan riset menunjukkan, perpindahan agama dari kalangan Islam abangan atau kejawen menjadi Kristen, kalaupun ada, khususnya dalam kasus Jawa, bukan disebabkan oleh maraknya kegiatan sosial gereja, atau kegiatan keagamaan Kristen yang diselenggarakan di rumah, tapi disebabkan kekecewaan teramat sangat pada pembantaian komunis, atau diduga komunis pada tahun 65-66. Pasca peristiwa paling keji dalam sejarah Indonesia tersebut, banyak orang, khususnya keluarga korban pembantaian, berbondong-bondong meninggalkan Islam. Sebab sebagian besar korban pembantaian adalah umat Islam KTP, atau Islam abangan yang umumnya kaum miskin di pedesaan.

***

Gejala mengajak atau memengaruhi orang lain untuk memeluk iman yang kita yakini akan tetap tumbuh subur selama keberagamaan masih dijalankan secara eksklusif melalui semangat klaim diri paling benar (truth claim). Tak bisa dipungkiri, tendensi semua agama mengklaim dan memosisikan dirinya sebagai paling benar, sekaligus sebagai satu-satunya jalan keselamatan, se-inklusif dan terbuka agama tersebut. Maka memberi tafsir baru atas kebenaran dan jalan keselamatan dalam agama mutlak diperlukan di abad yang membutuhkan lebih besar solidaritas pada masyarakat luas yang menjadi korban penghisapan kapitalisme dan menanggung beban ketimpangan sosial ketimbang kebencian antar agama.

Penyerangan dan permusuhan agama yang disebabkan oleh rasa curiga dengan adanya kristenisasi seperti dalam kasus di Bantul Yogyakarta, makin tidak relevan dengan tuntutan zaman dan merupakan tanda kemunduran beragama dan kebudayaan manusia. Saat ini, dengan kemudahan akses yang didukung teknologi informasi yang makin canggih, seseorang bisa dengan leluasa berinterkasi dengan orang lain dari kebudayaan dan agama lain. Batas-batas teritorial dan geografis tak lagi menjadi sekat yang bisa menghalangi seseorang dalam berinteraksi. Dengan demikian semangat keberagamaan yang eksklusif semakin tertolak oleh zaman itu sendiri dan sekaligus ancaman bagi kebudayaan manusia.

Meski demikian, dalam batas-batas tertentu kebencian atas dasar ras, etnis dan agama dalam satu dekade ini telah menjadi tren global dan makin menguat di berbagai belahan dunia. Gejala populisme Islam seperti di Indonesia dan belahan dunia Islam lainnya, dan Trump-isme di Amerika, merupakan satu tanda gejala dimana eksklusifisme, dan kebencian tengah mewabah, menjadi ancaman sekaligus tantangan, tak hanya di Indonesia, tapi juga global.

Namun, mengenai pentingnya mendorong tumbuhnya keberislaman yang inklusif dan terkait dengan semangat islamisasi yang makin menguat belakangn ini, kaum muslim perlu kembali menengok catatan sejarah Islam.

Dalam sejarah ekspansi imperium Islam, sebagaimana diulas dengan baik oleh W. Montgomery Watt dalam karyanya The Influence of Islam on Medieval Eroupe, menunjukkan bahwa sejak awal, yang menjadi sasaran jihad, kalau bisa dikatakan demikian, adalah suku-suku pagan penyembah berhala di Arabia, dengan meminta mereka memilih antara Islam atau pedang. Pilihannya dua, ingin selamat dengan memeluk Islam atau mati melalui pedang. Namun demikian, perlakuan semacam itu tidak terjadi pada orang-orang Yahudi, Kristen, dan Zoroaster, atau pemeluk-pemeluk kepercayaan relijius lain yang mengaku monoteis, karena agama-agama tersebut, meski secara teologis dianggap menyimpang dan tidak lagi murni monoteisnya, oleh kaum muslim dianggap sebagai saudara Islam. Mereka yang dianggap sebagai mendapat perlakuan berbeda. Kaum muslim menganggap agama-agama tersebut sebagai serumpun yang berakar dari Ibrahim dan memperlakukan para pemeluknya secara berbeda.

Bahkan jihad, yang merupakan kata benda dari kata Jahada yang berarti berjuang atau “mengamankan tujuan khusus”, yang secara secara spesifik telah diasosiasikan dengan berperang melawan orang-orang kafir, bahkan dimaknai sebagai perang suci, pertama-tama bukan didorong oleh kehendak untuk mengkonversi penduduk agama-agama Kristen, Yahudi, dan Zoroater, melainkan oleh motif politik dan ekonomi, yakni ketundukan mereka di bawah pemimpin muslim dengan status sebagai warga negara yang dilindungi, yang dalam kategori fiqih politik disebut sebagai kafir dzimmi (orang kafir yang dilindungi). Selama mereka mengakui penguasa muslim dengan membayar pajak dan menerima aturan-aturan yang ditetapkan penguasa, mereka tidak boleh dilukai atau dibunuh. Di sini pajak berfungsi dua, sebagai pajak itu sendiri atau pengakuan ketundukan pada pihak penguasa, juga sebagai imbalan pada perlindungan yang telah diberikan pihak penguasa terhadap mereka. Mereka secara kolektif disebut sebagai ahl al-dzimma, dan secara individu disebut dzimmi.

Dengan status kafir dzimmi, mereka hanyalah menjadi warga negara kelas dua yang tidak mendapatkan hak-hak politik yang setara dengan kaum muslim, seperti tidak bisa menduduki jabatan strategis atau menjadi tentara. Tak hanya itu, bahkan mereka tak boleh menikahi para wanita-wanita muslim. Namun mereka diberi kebebasan beragama di bawah pimpinan agama mereka seperti uskup. Dengan demikian, para ahl al-dzimma hanya mendapatkan hak-hak yang sangat minimalis, yakni kebebasan beragama, dan tidak mendapatkan perlakuan yang kasar dari pihak penguasa.

Meski secara keberagamaan mereka dilindungi oleh penguasa muslim, namun karena tak memperoleh kemudahan dan kedudukan yang setara dengan kaum muslim, dan agar terbebas dari wajib pajak, banyak dari mereka kemudian secara pragmatis, dan juga cara untuk menghindari kondisi tertekan dan serba terbatas, memilih untuk masuk Islam. Anehnya kaum muslim sendiri tidak terlalu menggubris dengan banyaknya perpindahan ahl dzimmi ke dalam Islam. Bahkan di penghujung abad ketujuh, perpindahan agama tersebut tidak mendapatkan dukungan pihak penguasa Islam yang merasa resah, karena akan mengurangi jatah pemasukan pajak dan akan menjadi beban negara dengan membengkaknya anggaran belanja negara. Sederhana saja, bagi penguasa, semakin banyak kalangan ahl al-dzimmi yang masuk Islam, sama saja dengan mengurangi jatah pajak dan menambah beban negara.

Padahal bila dibandingkan dengan para penguasa sebelumnya, mereka membayar pajak jauh lebih sedikit ketimbang penguasa-penguasa sebelumnya. Kondisi ini menjadi sebuah kebanggaan dan kehormatan para penguasa Islam bisa melindungi mereka. Dengan ini nyaris tidak pernah kita dengar adanya suatu mobilisasi kebencian atas dasar rasial dan agama yang disponsori oleh pihak penguasa muslim pada masa itu.

Catatan sejarah seperti di muka, meski tak lagi memadai atau tak lagi relevan sebagai ukuran zaman sekarang dengan mempertahankan klasifikasi warga negara berdasar agama, namun setidaknya ada dua hal penting yang ingin saya sampaikan. Pertama, fakta sejarah tersebut memberi gambaran bahwa para penguasa Islam pada masa itu, meski tidak ideal, bahkan belum bisa dikatakan adil—apalagi bila diukur dengan kondisi saat ini—namun tidak memperlakukan secara kasar para kafir dzimmi, dan melidungi hak-hak keberagamaannya. Bahkan, tidak segan-segan melakukan hukuman keras bagi kalangan Islam yang berani mengganggu kebebasan beragama mereka. Kedua, ekspansi imperium Islam lebih didorong oleh motif ekonomi dan kekuasaan ketimbang motif agama. Dengan demikian, cerita-cerita lisan yang sering kita dengar dari para dai yang mengatakan bahwa ekspansi Islam didorong oleh motivasi agama terbantahkan. Misalnya, cerita yang seringkali direproduksi para dai adalah kisah penaklukan Spanyol di bawah pimpinan seorang Jenderal bernama Thariq bin Ziyad, yang di Barat dikenal dengan nama Gibraltar pada tahun 711, sebagai kehebatan tentara Islam dalam “berjuang di jalan Allah” adalah ahistoris. Sebab motif utamanya adalah memperoleh harta rampasan dan kekuasaan yang berarti makin besarnya imperium Islam. Bahkan, lebih dari itu, ketika melakukan ekspansi dan penaklukan ke berbagai wilayah yang kemudian menjadi wilayah imperium Islam, bagi para pasukan Islam yang sebagian besar orang gurun Arabia, aksi-aksi penaklukan seperti itu dianggap sebagai serangkaian tradisi penaklukan di dalam kebudayaan nomaden di Arabia yang saling menaklukkan antar suku di kalangan mereka sendiri. Namun tentu saja dalam ekspansi imperium Islam, dilakukan dengan lebih beradab dengan menjaga ketat hukum perang dengan tidak boleh merusak rumah ibadah, dan tidak boleh menyerang atau melukai para orang tua, ibu-ibu dan anak-anak.

Seperti telah banyak dicatat dalam sumber-sumber sejarah baik, di kalangan Islam maupun para penulis Barat (seperti Montgomery Watt), setelah serangkaian penaklukan yang dilakukan, pada satu dan dua abad sesudahnya, kaum muslim menjadi duta kebudayaan dan peradaban paling tinggi pada masa itu, yang terbentang dari Atlantik di Barat hingga gurun Afganistan di Timur.

Setelah melakukan satu atau lebih ekspedisi penaklukan, negeri-negeri baru yang ditaklukkan akan menjadi sekutu dan dilindungi. Para tentara Islam yang merupakan orang-orang Arab, setelah bergerak jauh meninggalkan pusat kota Damaskus dan terlalu jauh untuk kembali ke negaranya, mereka biasanya mendirikan kota-kota pemukiman (camp-cities), yang kelak menjadi pusat-pusat peradaban dan kebudayan baru yang memberi pengaruh besar pada perkembangan pengetahuan melintasi berbagai benua.

***

Apa yang bisa kita petik dari catatan sejarah yang dikemukakan oleh Watt? Sekali lagi, meski tidak ideal dan tak lagi memadai sebagai model perjuangan Islam hari ini, setidaknya pada masa perdana Islam di masa Nabi dan berlanjut hingga masa ekspansi Islam yang jauh lebih luas sesudahnya, kebebasan beragama selalu dijunjung tinggi. Dan motif ekonomi dan politik selalu berada di garda depan, ketimbang motif agama. Agama hanya berfungsi sebagai legitimasi atas berbagai serangkain penaklukan. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun, untuk ukuran zaman itu harus kita akui sudah sangat maju, dan telah memberi sumbangan besar bagi kebudayaan dan pengetahuan dunia yang hingga sekarang kita rasakan. Pertanyaannya, bagaimana dengan umat Islam hari ini? Apa yang akan kita sumbangkan pada perubahan dunia agar menjadi lebih baik? Terus menaruh curiga pada agama lain, terus mengumbar kebencian pada kelompok lain, atau bahu membahu mengulurkan tangan persaudaraan pada, tak hanya yang dianggap sebagai agama serumpun, tapi semua agama di dunia?

Sekarang setelah beranjak dewasa, saya merasakan perih ketika mengingat masa dimana ribuan umat Islam dengan mudah dimobilisasi hanya untuk membahas kecurigaan adanya kristenisasi di dekat komunitas Kristen itu sendiri. Apakah saya hendak mengatakan kristenisasi tidak ada? Ya tentu saja kristenisasi itu ada. Begitupun dengan Islamisasi, bahkan yang terakhir jauh lebih massif dan vulgar. Saya sekarang berandai-andai, mencoba menempatkan diri saya di posisi kaum Kristen, dan mencoba merasakan apa yang warga Mojowarno rasakan, atau jemaat Gereja Santo Paulus Bantul rasakan, bagaimana perasaan mereka yang terus dicurigai, bagaimana rasanya seandainya saya menjadi minoritas? Bukankah memilih agama apapun itu hak semua manusia, dan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “tak ada paksaan dalam beragama”? mengapa kita sekarang justru memaksa?

Sekarang kebangkitan agama mesti diperjuangkan dengan cara lain yang sama sekali berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Sekarang harus lebih maju ketimbang sebelumnya. Jika sejarah mencatat umat Islam dulu hanya memperlakukan dengan baik agama-agama abrahamik saja, itupun masih menempatkan mereka sebagai warga negara kelas dua, maka umat Islam hari ini harus memperlakukan semua agama dengan baik, bahkan bagi mereka yang memilih untuk tidak beragama, menghormati semuanya sebagai warga dunia dan sebagai sesama manusia yang mempunyai kewajiban menjaga kehidupan bersama-sama. Wallahua’lam.***

 

Bogor, 2 Maret 2018

 

Kepustakaan:

  1. Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Eroupe, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.