Pemandangan Sawah di Samata, Gowa. Kredit foto: Tribun Timur – Tribunnews.com
DI KABUPATEN Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel), kelas sosial petani dibedakan menjadi tiga. Kelas pertama adalah petani yang memiliki tanah sendiri. Di Gowa kelompok ini sering di sebut dengan istilah Pajama Bara’. Kelompok ini jumlahnya sangat sedikit jika di bandingkan dengan jumlah total petani yang ada di Sulsel. Pajama Bara’ ada yang mengerjakan tanahnya sendiri ada juga yang menyerahkan pada orang lain untuk di kerjakan (di garap), nanti hasilnya tinggal di bagi setelah panen.
Kelas kedua adalah petani yang tidak memiliki tanah tetapi memiliki uang. Mereka ini biasanya menyewa tanah dari Pajama Bara’. Penyewa tanah biasanya di sebut dengan Patesang Tanah, sedangkan untuk sewa menyewa tanah disebut dengan istilah Pa’tanggala’ Tanah. Pa’tanggala’ Tanah terjadi antara Pajama Bara (kelas pertama) dengan Patesan Tanah (kelas kedua yang berduit). Pajama Bara sebagai kelas petani yang punya tanah, ketika ingin meminjam uang harus menyerahkan jaminan. Di desa jaminan yang di pakai adalah sawah yang siap di garap. Setelah uang diberikan, hak mengelolah sawah sepenuhnya ada pada pemberi utang. Biasanya pemberi utang mengerjakan sendiri atau menyerahkan pada orang lain. Kadang si pemilik tanah sendiri atau orang lain selain pemilik tanah. Setelah utang dilunasi baru tanah di kembalikan ke pemilik asli.
Kelas ketiga adalah petani yang tidak memiliki tanah untuk di garap, sekaligus tidak memiliki uang untuk menyewa tanah. Kelas ini hanya punya tenaga untuk bekerja. Mereka ini pada musim tanam padi berprofesi sebagai buruh tanam padi atau disebut dengan istilah Patanang, dan saat musim panen profesinya berganti menjadi buruh panen atau di sebut dengan istilah Pasangki.
Patanang dan Pasangki, yaitu buruh tani yang hanya menggantungkan hidupnya dari Pajama Bara dan Patesang Tanah dengan cara menjual tenaganya pada saat musim tanam padi, atau buruh tani yang menukar tenaganya dengan imbalan padi saat musim panen.
Di Sulsel, petani banyak di dominasi kelas Patesang Tanah, kemudian Patanang atau Pasangki. Jumlahnya juga tidak sedikit. Data BPS 2017 tentang laporan keadaan angkatan kerja Sulsel, menunjukkan sekitar 700 ribuan Patesang Tanah dan Patanang atau Pasangki dari total 1 jutaan profesi tani di Sulsel.
Sehingga, surplus beras yang diberitakan selama ini tidak berdampak besar kepada nasib petani di Sulsel. Pasalnya, Patesang Tanah, Patanang dan Pasangki, kebanyakan menjual gabahnya pada pasar-pasar tradisional. Kalaupun ada yang sampai ke Bulog, sangat sedikit yang langsung dari petani, bisanya menggunakan perantara. Maka jika yang digemborkan soal pangan yang berlebih, baginya tidak ada efek. Toh, yang menikmati harga penjualan bukan mereka.
Mereka (Patanang dan Pasangki) hanya tahu tentang harga sewa setengah hari menjadi tukang tanam padi, yaitu sebesar Rp 75.000. Jika bekerja penuh sehari sebesar Rp 100.000. Ini sudah termasuk biaya konsumsi dengan hitungan seharian penuh. Waktu kerja yang digunakan pun bukan pakai jam kantor yang masuk pukul 08.00 pulang pukul 16.00, tetapi dari mulai pukul 06.00 pagi sudah bergegas ke sawah dan kadang pulang saat sudah gelap. Mereka memulai aktivitas dari sejak fajar menyapa di kaki laingit sampai matahari bersembunyi di perut bumi.
Lebih parah lagi jika musim tanam terjadi di musim kemarau. Beberapa yang pernah saya saksikan dan alami sendiri, di musim kemarau nyaris tidak ada waktu istrahat. Seharian penuh harus tanam padi. Patanang dan Patesan Tanah istrahat hanya sekadar untuk makan siang. Iya, cuma untuk menyuap nasi berlauk ala kadarnya. Mereka tidak punya waktu untuk bersantai, apalagi untuk menyeredup kopi dengan tembakau gulung. Soalnya, satu-satunya pengharapan sumber air hanya pada hujan, lengah sedikit sawah bisa kering.
Belum lagi jika petani salah tafsir musim hujan, sudah dipastikan hamparan ladang hanya akan jadi tempat berkeliaran anak ingusan dengan layanan sambil menuggu sore untuk menggiring sapi kembali ke kandang. Ini lagi-lagi karena soal angan petani tentang irigasi pertanian yang selalu (hanya) di iming-imingkan.
Di Pattallassang, Gowa, Patanang banyak di dominasi oleh pria/wanita yang sudah berumur 40 tahun ke atas serta anak berusia belasan tahun. Untuk pria/wanita biasanya bekerja sebagai tukang cabut Bine (Bahasa Makassar, Pabu’bu Bine, artinya Benih padi yang siap panen). Sementara anak berusia belasan tahun yang menanamnya. Tetapi kadang, ada juga yang sebagai tukang Pabu’bu Bine sekaligus sebagai Patanang. Biasanya di lakukan dengan cara membagi waktu kerjanya, sehari waktu cabut Bine, besoknya baru menanam. Upahnya tetap sama, baik sebagai Patanang maupun Pabu’bu Bine.
Saat musim panen telah tiba, profesi ini juga berganti. Jika sebelumnya menjadi Pabu’bu Bine dan Patanang Ase, di musin panen dia kembali menukar tenaganya dengan padi. Profesi ini di Pattallassang di sebut dengan Pasangki Ase, yaitu buruh tani yang bekerja saat musim panen. Profesi Pasangki banyak di dominasi oleh perempuan berusia sekitar 30-50 tahun.
Dibanding dengan Patanang Dan Pabu’bu, nasib Pasangki lebih menyedihkan lagi. Pasangki harus selalu berada di sawah, untuk menunggu sawah mana lagi yang akan di panen. Demi satu ember gabah kering yang jika di jemur, di keringkan lalu di giling cuma bisa dapat sepiring nasi, belum termasuk lauknya. Bersyukur jika yang ditemui adalah pemilik tanah yang bermurah hati, dengan ketentuan pembagian hasil panen yang lebih berpihak.
Di Gowa, jenis hitungan yang sering di gunakan bermacam-macam tergantung musim. Jika musim penghujan, hitungannya cuma di bagi dua, antara Pasangki dengan pemilik tanah. Namun jika musim kemarau hitungannya di bagi tiga, antara pemilik tanah, pemilik pompa air dan Pasangki. Takaran yang digunakan pun berbeda-beda, kadang menggunakan ember ukuran besar, kadang ukuran sedang atau kecil. Ilustrasi hitungannya seperti ini. Jika hitungannya satu lima, Lima Tawana Pataya Tanah, Se’re Napapi Tawana Pasangkia. (Lima ember untuk yang punya tanah, satu ember untuk pekerja). Format perhitungan tergantung pemilik tanah, kadang ada yang menggunakan 5:1, ada 6:1, biasanya melihat kondisi padi. Jika padi semakin baik, pembagiannya menggunakan 5:1, namun jika kondisi padi buruk pembagiannya menggunakan 6:1. Ini dilakukan untuk menarik Pasangki.
Makanya, ketika musim panen telah tiba banyak petani yang harus meninggalkan sanak saudaranya di rumah. Mereka memilih bermalam di sawah, berselimut jerami, berbantal alang-alang, di bawah dingin yang selalu menusuk tulang. Kadang saat hujan datang, mereka bersesakan di sebuah gubuk sawah yang usianya sudah setua usia Republik ini. Jika angin berhembus dari Barat, gubuk pun ikut ke Timur, jika angin berhembus dari Timur gubuk ikut menari ke Barat. Hidupnya kali ini ditentukan oleh cuaca. Jika cuaca berpihak pada mereka, sepiring nasi yang di nantikan segera datang. Namun jika sampai pagi langit belum berhenti menangis, para Pasangki Ase hanya membawa tangisan sedih. Besoknya hal serupa kembali dilakukan.
Pemilihan bermalam di Sawah bukan pilihan Pasangki. Ini dilakukan karena pemilik sawah biasanya memilih waktu malam atau subuh sebagai pilihan untuk panen dengan alasan tidak panas. Memang di sebagian wilayah pertanian di Pattallassang, berdekatan langsung dengan pemukiman penduduk, sehingga tidak menyulitkan jika ingin penerangan. Belum lagi jika saat terang bulan, pilihan untuk memilih panen malam memang salah satu pilihan yang banyak dilakukan petani di Pattallassang, Gowa Sulawesi Selatan.***
Penulis adalah penggiat Mapcorner UGM
*Tulisan ini merupakan catatan reflektif penulis selama bertahun-tahun besar dan hidup di lingkungan petani. Pengamatan yang dilakukan adalah lingkungan tempat tinggal penulis.