Urban, Upah dan Keluarga!

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Akurat.co

 

INDONESI awal abad 21 sedang bergerak menuju ‘revolusi’ urban. Tidak ada fakta tunggal untuk mendefinisikan fenomena urban ini. Merujuk pada Henri Lefebvre (2003), gejala urban berkorelasi dengan transformasi menuju kota industri. Gejala ini mengubah relasi produksi, yakni tenaga produksi dengan perusahaan-perusahaan bisnis, dalam wujud upah. Selain itu juga mengubah relasi reproduksi, yakni tenaga produksi dengan keluarga. Bagaimana perubahan-perubahan itu tampak dalam pergerakan waktu di sebagian Indonesia? Lantas apa konsekuensi perubahan-perubahan itu? Tulisan ini hanya bersifat deskriptif sebagai kajian “awal” menuju studi urban and everyday life. Namun tak ada salahnya untuk disajikan dalam rubrik UMI.

 

Mulanya Keluarga Urban Perkebunan

Pembahasan tentang keluarga (family) tidak akan saya pertentangkan dengan rumah tangga (household), di mana definisi keluarga bertolak dari hubungan perkawinan dan darah keturunan, sedangkan rumah tangga adalah hal sebaliknya, bisa terdiri dari berbagai anggota yang mempunyai jalinan keakraban untuk memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup sehari-hari. Mengenai definisi keluarga, akan saya pergunakan pendapat Creed (2000), yang mengkaji tentang “nilai’ keluarga dalam sejarah, dengan mengambil contoh Eropa, Amerika Latin, Asia dan Amerika Serikat (AS). Ia menyatakan bahwa relasi antar seks, darah keturunan, perkawinan dan tempat tinggal yang selama ini menjadi basis dalam mendefinisikan keluarga hanyalah artikulasi reproduksi sosial. Tetapi making a family di mulai dengan kegiatan ekonomi sehari-hari yang tak pernah berakhir, dan terdapat pengalaman di dalamnya yang berhubungan dengan proses menciptakan suatu kehidupan. Creed dipengaruhi oleh kecenderungan studi keluarga dekade 1980-an yang menempatkan keluarga sebagai variable dependent terhadap kapitalisme dan state. Meski pun di dalam keluarga itu terdapat cultural commitment antara anggota-anggota yang merupakan proses adaptasi keluarga di tengah dinamika kapitalisme global dan state.

Dengan merujuk pada definisi Creed itu, saya menggunakan istilah keluarga untuk menempatkan institusi di mana perempuan dibentuk sebagai agensi ekonomi global. Pembentukan agensi itu tentu tidak terjadi dalam 1001 malam dan biasanya mempunyai rentangan dengan masa lalu di mana kapitalisme global itu ditumbuhkan. Di Indonesia, pertumbuhan kapitalisme global di mulai sejak pedagang dari Eropa datang ke Maluku untuk mencari rempah-rempah dan ke Nusa Tenggara Timur untuk mencari kayu cendana (Parimartha, 2004). Tetapi institusionalisasi perdagangan internasional itu barulah dikerjakan oleh VOC pada abad 17 ketika Batavia dibangun sebagai Pusat (Lohanda, 2007; Taylor, 2009). Perubahan corak produksi masyarakat ke dalam kapitalisme global ini memengaruhi perubahan-perubahan karakter keluarga dan ekonomi domestiknya.

Perubahan-perubahan corak produksi di Indonesia bagian barat berbeda dengan di Indonesia bagian timur, dan hal memengaruhi model, struktur, dan fungsi keluarga. Tetapi seberapa banyak pun variasi model keluarga tersebut, saya sependapat dengan Tilly & Scott (1987), bahwa datangnya ekonomi uang dan kerja upahan adalah faktor yang signifikan mengubah model keluarga.

Sejarah kerja upahan di Indonesia dapat dilihat di Sumatera Timur (Breman, 1997), di lokasi industri perkebunan kolonial di Deli, Serdang, Langkat, Asahan pada akhir abad 19. Perusahaan-perusahaan perkebunan milik pengusaha Belanda itu memobilisasi petani dari Jawa, yakni petani miskin yang ekonomi desanya bangkrut karena politik tanam paksa, untuk dipekerjakan sebagai kuli di perkebunan tersebut. Mereka disebut kuli kontrak karena sebelum diberangkatkan ke lokasi perkebunan dibuatkan ‘kontrak kerja’ yang berisi tuan kebun harus memberi upah kuli, dan kuli harus melakukan kerja dengan sebaik-baiknya (faktanya tidak ada kontrak kerja hitam di atas putih). Dengan ini sebuah babak baru di mulai, kuli-kuli itu meninggalkan keluarganya untuk suatu kerja upahan pada perusahaan multinasional[1].

Pada masa industri perkebunan awal ini, pengusaha kolonial belum tertarik untuk mendatangkan kuli perempuan (Breman, 1997; Stoller, 1983) Kalaulah mereka ini ada, jumlahnya terlalu sedikit dan tidak dianggap sebagai tenaga kerja. Perempuan yang ikut ke dalam perkebunan biasanya ikut suaminya dan mereka ini, menurut Broersma, (dalam Breman, 1997) tidak disukai oleh tuan kebun. Perempuan isteri kuli ini dituduh suka menghasut suaminya untuk meninggalkan perkebunan setelah kontrak selesai dan mencari lokasi lain untuk kembali sebagai petani sayuran atau tukang. Selama ikut suami di dalam perkebunan, isteri dan anak-anak kuli kontrak itu tidak dibayar, dan mereka mencari ulat tembakau, menggaru tanah dan ikut “menggantung” daun tembakau pada tali-tali pengeringan. Kegiatan perempuan dan anak-anaknya yang tak dibayar ini sebenarnya menguntungkan perusahaan.

Menurut Ann Stoller (1983), menjelang akhir abad 19 didatangkanlah perempuan-perempuan muda dari Jawa ke Sumatera Timur untuk memenuhi kebutuhan seksual kuli laki-laki. Mereka juga menjadi kuli perkebunan dengan upah yang telah dipotong 50% dan sangat kurang untuk memenuhi keperluan hidupnya. Jika sedang tak ada pekerjaan untuk kuli perempuan, tuan kebun enggan membayarnya. Pada 1930an, jumlah kuli perempuan yang didatangkan dari Jawa meningkat, yakni mencapai 30% (Gedenkboek DPV, 1929, dalam Beman). Perkebunan kopi menyukai tenaga kerja perempuan muda, biasanya untuk memetik biji kopi dan upahnya berdasarkan jumlah biji kopi yang dipetiknya. Upah itu turun jika hasil panen buruk, dan upah naik jika hasil panen bagus. Cara pengupahan murah ini ditemukan oleh perkebunan kopi dalam diri tenaga kerja perempuan. Upah kuli perempuan hanya 11 sen sehari, sedangkan kebutuhan makan di warung-warung di Medan pada masa itu mencapai 13 sen/hari. Maka, sekali lagi, kuli perempuan harus mencari tambahan uang untuk menyambung hidup dengan melacur. Sekali pun tenaga kerja perempuan dilindungi oleh “ordonansi kuli” untuk tidak bekerja yang berat, tetapi menurut Van den Brand, kuli perempuan itu dipekerjakan untuk memecah batu, mengangkat kerikil dari sungai, dsbnya. Tegasnya, tulis Van den Brand di antara kuli laki-laki, kuli perempuanlah yang paling sengsara di perkebunan.

Model keluarga kuli kontrak adalah keluarga yang terlepas dari ikatan keluarga besar di kampung asalnya. Itu artinya juga terlepas dari hubungan produksi agraris “keluarga besar” dan bergeser ke dalam hubungan agrobisnis milik perusahaan. Sama halnya dengan pengerahan tenaga kerja perempuan muda untuk menjadi kuli perkebunan itu juga memisahkan mereka dari ikatan keluarganya. Kuli perempuan ini lalu menjadi individu yang bebas dari ikatan keluarga. Kebanyakan tidak pernah kembali ke desanya, tetapi kemudian berkawin dengan sesama kuli dan tinggal di Suamtera Timur. Keluarga-keluarga kuli kontrak ini merupakan model keluarga dengan karakter ekonomi upahan, yakni keluarga yang anggotanya tersebar dalam kerja upahan —laki-laki dan perempuan diserap ke dalam perkebunan. Model keluarga seperti ini disebut Tilly dan Scott (1987:63) sebagai keluarga ekonomi upahan (the family wage economy).

Tilly dan Scott (1987) mengkaji perubahan keluarga di Perancis dan London pada akhir abad 19 yang dibentuk sistem kerja upahan. Sistem ini berada dalam industrialisasi yang mencerabut perempuan dan laki-laki dari rumah tangga dan tanahnya untuk dimasukkan ke dalam pabrik-pabrik dan perusahaan. Hubungan perempuan dan laki-laki dengan perusahaan merupakan hubungan tenaga kerja dan upah. Perusahaan mengambil tenaga kerja buruh dan buruh memperoleh upah. Kerja upahan ini mengubah secara signifikan model keluarga dan relasi perempuan dan laki-laki di dalamnya seturut munculnya pembagian kerja secara seksual (laki-laki pencari upah, perempuan mengurus rumah tangga –sekalipun juga mencari upah). Pusat kerja produktif, menurut Tilly dan Scott (1987), tidak lagi di rumah tangga melainkan berpindah ke kawasan industri yang berada di kota, hutan, maupun pedesaan. Karakter industri ini hanya membutuhkan tenaga kerja muda, sedangkan bagi perempuan yang menikah tidak lagi digunakan oleh perusahaan dan kemudian tinggal di rumah mengurus anak dan suaminya.

Kerja upahan secara signifikan mengubah karakter keluarga yang tak lagi mempunyai properti dan juga secara dramatis mengubah makna tentang kerja. Makna kerja dalam keluarga ini bukan didefinisikan oleh kebutuhan rumah tangga akan tenaga kerja, melainkan didefinisikan oleh kebutuhan rumah tangga terhadap uang untuk membeli pangan, termasuk sewa pondokan. Sehingga, atas dasar kebutuhan terhadap uang untuk hidup, seluruh anggota keluarga kerja upahan (termasuk anak-anak) mempunyai kewajiban mencari uang. ( Tilly dan Scott, 1987:104)

 

Melonggarnya Ikatan Keluarga Urban

Pada awal 1970an dalam observasinya Jellinek (1994) mencatat ada empat model keluarga di Jakarta. Pertama, adalah keluarga inti (nucleur family) yang terdiri dari bapak, ibu dan anak, dimana suaminya kerja upahan di luar rumah, sedangkan isterinya sembari mengurus anak juga mencari kerja upahan di sekitar rumah –menjadi buruh cuci, berjualan nasi/kue, dll. Kedua, keluarga besar yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak yang sudah kawin namun menetap di situ dan berbagi uang untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga besar tersebut. Ketiga, keluarga tidak utuh, hanya ada nenek dan cucu karena bapak dan ibu bekerja di luar Jakarta. Dan keempat, pondokan yang dihuni laki dan perempuan yang meninggalkan keluarga mereka di desa untuk mencari kerja upahan di kota (pola barak di perkebunan). Sekali lagi, model keluarga ini dibentuk oleh relasi-relasi produksi dan reproduksinya.

Memasuki awal 1970an, perubahan ekonomi Indonesia didorong pola relokasi industri barang negeri kapitalis ke negeri Dunia Ketiga. Pabrik-pabrik farmasi, garmen, tekstil, otomotif, susu, perawatan tubuh, kosmetika, dll, dibangun di sepanjang Jalan Raya Jakarta-Bogor, Tangerang, Bekasi, Jakarta Utara dan Timur, Karawang. Serupa juga di Ungaran (Kabupaten Semarang), Solo, Surabaya, Maros dan Makassar, Medan, Bandung dan Batam. Tenaga kerja Dunia Ketiga dijual murah dan nrimo, yang hal itu melekat pada diri perempuan dan sungguh signifikan dengan jenis kerja yang ada di pabrik tersebut. Pada awal dekade 1980an, terjadi booming perempuan muda keluarga tani yang yang mempunyai ijazah melamar kerja ke pusat-pusat industri tersebut. Perempuan muda ini merupakan lulusan SLTP dan SLTA yang tak lagi trampil kerja pertanian.[2]

Tilly & Scott (1987) mengatakan bahwa relasi buruh-buruh perempuan tersebut dengan keluarganya menjadi longgar. Perempuan buruh ini independen di tempatnya yang baru –kota urban– dan tentu tidak memiliki kewajiban mengurus rumah tangga orang tuanya. Kalau mereka pulang dengan membawa uang atau barang minta diakui sebagai aset keluarga. Independensi perempuan muda ini tidak dapat dilarang oleh orang tuanya karena mereka mempunyai uang dan mengirimkan sebagian uangnya pada orang tuanya. Maka terjadi perubahan pandangan dimana tenaga kerja upahan lebih tinggi nilainya ketimbang kerja pertanian yang tidak menghasilkan uang secara langsung.

Di kawasan industri di kota yang telah disebutkan tadi, terbentuk masyarakat buruh pabrik yang tinggal di rumah kontrakan. Buruh perempuan itu dapat menyewa kamar-kamar atau rumah sepetak yang merupakan bisnis baru bagi penduduk setempat dan membayarnya tiap bulan. Di kawasan industri ini, buruh perempuan dan laki-laki menikah dan membentuk keluarga kerja upahan di kawasan industri serta membentuk susunan masyarakat kota urban (Tilly & Scott, 1984). Ketika buruh perempuan dan laki menikah, mereka integrasikan upah masing-masing sebagai upah bersama. Kelak jika anak-anak mereka sudah besar dan bekerja di pabrik pula, anak-anak itu terkadang memberikan sebagian upahnya kepada orang tuanya.

Susunan keluarga kerja upahan di urban pada akhir abad 20, umumnya di Indonesia, juga merupakan penataan program keluarga berencana sejak awal 1970an untuk membentuk nucleur family (empat orang).[3] Sekali pun jumlah anggota keluarga kerja upahan dibatasi empat orang, nyatanya upah suami dan isteri tidak mencukupi kebutuhan hidup itu setiap bulannya. Sebuah penelitian tentang kehidupan buruh perempuan di Ungaran pada 1990an[4] mengungkapkan ada banyak buruh perempuan –terutama yang sudah menikah– menyambung kekurangan uang dengan cara kerja sambilan. Apa yang disebut kerja sambilan buruh perempuan meliputi, berjualan penganan di tempat kerja, membuka warung kelontong di rumahnya, menjahit, dll, dan juga utang.

Creed (2000) menyebut integrasi upah suami-isteri (dan anak-anak) keluarga upahan ini dengan istilah domestic economies. Dalam dorongan kekuatan ekonomi global sejak 1990an, domestic economies keluarga upahan ini mempunyai dua variasi: (1) keluarga buruh (kerja upahan) dan keluarga pedagang kecil-kecilan; (2) keluarga tani dan agribisnis kecil-kecilan. Pada umumnya perempuan (isteri) dari keluarga kerja upahan berdagang kecil-kecilan untuk menambah upah suaminya yang tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Maka dari itu mencari upah yang besar merupakan obsesi keluarga kerja upahan saat ini. Obsesi itu seakan dijawab oleh keluarnya kebijakan kerja upahan di luar negeri pada awal 1980an[5], sehingga terutama perempuan (dan laki-laki) dari desa, melintasi kota-kota urban pergi ke negara pusat kerja upahan domestik (buruh migran domestik).

Buruh migran itu kebanyakan bekerja pada rumah tangga kaum pekerja (menengah-kaya) di Malaysia, Hongkong, Taiwan, Singapora, dengan masa kontrak dua tahun. Seperti halnya kuli kontrak perkebunan di masa kolonial, upah buruh migran domestik ini harus dibayarkan terlebih dahulu kepada agen tenaga kerja, yang terkadang sampai 5-6 bulan baru lunas. Buruh migran perempuan ini ada yang masih lajang dan sudah menikah, lalu meninggalkan keluarganya di desa untuk menjadi manusia ‘kosmopolitan’ upahan. Setiap bulan mereka mengirim uang kepada keluarganya (remittance) untuk orang tuanya, sekolah anak, memperbaiki rumah dan membiayai produksi pertanian yang diurus suami/ayahnya.

Pendeknya, kerja upahan telah mengubah apa yang disebut keluarga terpisah-pisah menurut pembagian kerja yang semakin spesifik. Model keluarga pun tidak selalu berkumpul, melainkan tersebar dan terpisah oleh jarak.

 

Problem Perempuan Dalam Keluarga Upahan

Saya kira ini masih hipotesis bahwa kerja ganda perempuan terbentuk oleh model keluarga upahan sejak transisi ke arah masyarakat urban. Kerja ganda perempuan menjadi persoalan ketika berubah menjadi beban ganda sebagai konsekuensi pertumbuhan kota urban, yaitu dalam kontradiksi pemusatan kekuatan ekonomi dan aglomerasi pemukiman keluarga. Para perempuan bergerak setiap hari menuju pusat kekuatan ekonomi untuk mencari upah, dan kemudian kembali ke tempat pemukiman keluarga mereka yang dikelompok-kelompokkan ke dalam kompleks perumahan, town house, dan lainnya, yang semakin lama semakin menjauh dari pusat kekuatan ekonomi. Kembali ke rumah keluarga bagi perempuan adalah juga kerja, yaitu kerja tak berupah. Maka berdasarkan fakta mengenai kerja dan beban ganda perempuan ini saya mempunyai hipotesis yang kedua, yaitu bahwa perempuanlah pencipta ‘revolusi’ urban dan kota!***

 

Kepustakaan:               

Breman, Jan, (1997), Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur Awal Abad 20, penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta

Creed, Gerald W, (2000), “Family Values” and Domestic Economies, Annual Review of Anthropology Vol 29, Annual Review

Jellinek, Lea, (1994), Seperti Roda Beputar, edisi terjemahan, LP3ES, Jakarta

Lefebvre, Henri, The Urban Revolution, terjemahan ke dalam Inggris oleh Robert Bononno, (London & Minneapolis: University of Minnsota Press, 2003)

Lohanda, Mona, (2007), Sejarah Para Pembesar di Batavia, Masup, Jakarta.

Parimartha, I Gde, (2002) Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, KITLV, penerbit Djambatan, Jakarta

Stoler, Ann Laura, ((1983), In The Company’s Shadow: Labor Control and Confrontation in Sumatra’s Plantation History, disertasi, Columbia University, United States

Tilly, A. Louise & Joan. W Scott, Women, Work and Family, (New Yoork & London: Routledge, 1987)

 

————

[1]   Pemilik perusahaan bukan hanya orang Belanda.

[2]   Hasil observasi kelompok belajar penelitian buruh di Institut Sejarah Sosial Indonesia pada 2008.

[3]   Dapat dibaca di dalam bukunya “People, Population, and Policy in Indonesia”, karya Terence & Valerie Hull yang terbit 2005.

[4]   Hasil penelitian Yayasan Annisa Swasti di Yogyakarta tentang buruh perempuan di Ungaran pada 1994.

[5]   Dapat dibaca pada Tenaga Kerja Wanita Indonesia: Pahlawan Devisa tanpa Perlindungan, hasil riset Kalyanamitra pada 2005.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.