Kredit foto: Bekasi Urban City
KITA telah mengenal lama istilah Masyarakat Madani yang mulai diperbincangkan banyak kalangan sebagai profil masyarakat idaman. Masyarakat yang ada ketika massa Rasululloh SAW memimpin berbagai macam ummat yang didalamnya terdapat rasa saling menghargai, toleransi, dan kerukunan antar perbedaaan keyakinan.
Masyarakat madani adalah kontruksi bahasa yang islami dengan mengacu pada kata al-din yang umumnyaa diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu dalam pengertian al madinah yang artinya kota. Maka terjemahan masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.[1] Nurcholish Madjid melihat bahwa masyarakat madani identik dengan masyarakat yang mempunyai peradaban mulia, yang mempunyai karakteristik antara lain: semangat pluralisme, tingginya sikap toleransi, tegaknya prinsip demokrasi.[2] Pesan kerukunan, perdamaian, dan keadilan yang menjadi spirit masyarakat madani mencerminkan bahwa peradaban yang progresif adalah peradaban yang dapat mengakomodir berbagai perbedaan yang menjadi sunnatullah (tradisi Allah dalam ketetapannya sebagai Rabb).
Piagam madinah sebagai manifestasi dari mayarakat madani ini juga dianggap sebagai konstitusi nasional tertulis pertama di dunia. Meskipun sebelumnya, sudah ada dokumen sejenis seperti hanya Samuel di dalam Tanakh atau Perjanjian Lama, Artha-sastra oleh Kautilya dan Manusmurti dalam tradisi Hindunisme, namun semua tulisan tersebut hanyalah bentuk saran kepada raja atau ratu dan tak satupun memiliki kewenangan menjadi konstitusi nasional.[3]
Dalam kajian Barat, Nabi Muhammad dipandang sebagai primus inter pares (yang utama di antara yang setara) dan maksud dari undangan kaum anshar pada masa itu tidak untuk mengubah status quo dari hubungan kekuasaan dalam madinah yang melampaui pengakuannya sebagai nabi yang mampu memberikan keputusan atas nama Allah, sehingga suku-suku Arab Madinah, dan akhirnya seluruh Jazirah Arab dapat menerima aturan Nabi yang sangat cermat dan karismatik.[4] Di Indonesia sendiri, Masykur Hakim mengenalkan istilah masyarakat madani pada tanggal 26 Septrember 1995, ketika Anwar Ibrahim menjabat sebagai menteri keuangan dan wakil perdana menteri Malaysia.[5] Walau wacana tentang masyarakat madani masih dalam perdebatan, namun beberapa kalangan ada yang berpendapat bahwa masyarakat madani adalah persamaan dari kata civil society (masyarakat sipil).[6]
Masyarakat madani adalah cerminan dari kebertuhanan kita dengan menggelorakan nilai-nilai kemanusaiaan universal. Bukti dari ketuhanan kita harus dapat tercurahkan dengan mengaktualisasikan diri kepada kerja-kerja perbaikan peradaban. Mengutip apa yang dikatakan Cak Nur:
“tapi meskipun perjuangan manusia menyempurnakan jati dirinya itu berpedoman kepada Tuhan dan menuju kepada-Nya, namun tidaklah beararti untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk kepentingan diri manusia sendiri. Karena itu ia harus mengaktualisasikan diri dalam sikap hidup yang menempatkan diri sebagai bagian dari kemanusiaan universal, dan dengan nyata menunjukkan kepeduliannya kepada kehidupan manusia yang lain. Maka kesimpulannya, dari semuanya ialah, bahwa nilai ketuhanan merupakan wujud tujuan dan makna hidup kosmis dan eksistensial manusia, dan nilai kemanusian merupakan wujud makna hidup terestrial hidup manusia itu.”[7]
Dalam menyongsong hadirnya konsep masyarakat Madani untuk Indonesia berperadaban, kita juga harus memperhatikan berbagai langkah praksis dan sektor-sektor lain untuk menjadi lahan dakwah dan proses dimana spirit masyarakat madani dapat tumbuh dalam jantung peradaban manusia. Langkah-langkah ini dapat kita lakukan dengan :
Pertama, menghadirkan Tuhan di ruang-ruang publik. Masyarakat madani yang terkenal atas sikap toleransi dan saling menghargai ini harus mampu memformulasikan gagasannya di ruang-ruang publik. Sehingga di ruang publik inilah kebenaran bukan milik salah satu kaum yang dominan, tapi kebenaran hadir dan menjadi milik kita bersama. Untuk melahirkan ruang publik yang sehat ini, maka masyarakat harus melakukan tindakan, yakni keterlibatan seluruh elemen masyarakat baik yang berada di pinggiran, tengah, atau ujung pusaran kekuasaan haruslah menjadi bahan pertimbangan dari berbagai keputusan yang dihasilkan.
Kedua, menghadirkan interaksi dengan melakukan diskursus dengan pihak terkait atau berbagai elemen yang ada untuk melahirkan kebijakan yang adil mulai seperti penentuan undang-undang sampai pada kebijakan lokal dan nasional. Kosa-kata agama-agama tidak dapat lagi dijadikan rujukan tunggal dalam mendesain suata konstitusi melainkan menjadi salah satu referensi dari berbagai cara bernalar dan berfikir warga negara “citizenship” yang rasional dan mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat banyak tanpa memihak pada salah satu golongan saja. Sehingga bagi kelompok yang melanggar berbagai kesepakatan akan mendapatkan vonis atau bahkan sanksi sosial baginya.
Ketiga, dalam mengakomodir dan menyelesaikan berbagai persoalan, harusnya pemerintah lebih bersifat netral dan cukup menjadi fasilitator dalam mimbar-mimbar dialog dan penyelesaian masalah. Penggerak dialog lintas agama harus dapat menghadirkan ruang kesetaraan dalam berpendapat dan berargumen untuk terus dibudayakan bukan justru dihalang-halangi. Hal seperti ini yang dapat menghindari adanya konflik sosial yang berdasarakan latar belaknag teologis.[8] Seperti halnya Hans Kung juga mengenalkan kita tentang etika global dalam ucapannya : “No survival without a world ethic. No world peace without peace between the religions. No peace between the religions without dialogue between the religions”.[9]
Keempat, demokrasi yang telah kita pilih harus dapat merepresentasikan corak politik majemuk dan universal. Demokrasi tidak mungkin melahirkan politik tunggal melainkan memfasilitasi perbedaan hak dan sikap politik individual. Dengan demokrasi kita harus terus menggelorakan aktivitas esensial demokrasi itu sendiri. Robert Dahl, seperti dikutip Merphin Panjaitan menerangkan tentang essensi demokrasi itu diantaranya, kompetisi politik (politik contestation), partisipasi politik (political participation), dan penjaminan hak berpolitik (civil liberties).[10] Ketiga hal ini harus menjadi nafas bagi kehidupan demokrasi masyarakat berperadaban.
Kelima, masyarakat madani sebagai masyarakat pembelajar tentu tidak pernah mengesampingkan peran penting pendidikan dalam mentransfer paham toleransi pada setiap perbedaan sejak sedini mungkin. Pendidikan sebagai proses penyadaran tentu menjadi sarana solutif dalam menyiapkan pemahaman inklusif para generasi muda dalam memandang perbedaan yang ada. Karena dalam membumikan paham multikulturalisme juga membutuhkan kampanye yang terstruktur. Salah satunya adalah melalui penanaman ideologis melalui pendidikan dan berbagai wacana keilmuan yang diajarkan di sekolahan. Kita tidak bisa lagi menggunakan pendekatan konvensional dimana semua sumber belajar menjadi hak kuasa guru. Guru seakan menjadi Nabi yang memberikan dogma-dogma dan tidak membuka ruang diskusi dan dialog sebagai sarana belajar peserta didik memahami perbedaan. Dalam hal ini pendidikan agama hanyalah sekedar pengetahuan normatif yang disuguhkan guru. Harusnya pelajaran agama memiliki porsi lebih untuk tidak sekedar menjelaskan agama sebagai pemilik kebenaran mutlak, tapi juga agama sebagai salah satu aktor penting melahirkan peradaban yang harmonis. Pendidikan agama harus menjadi tempat tumbuh suburnya nilai-nilai pluralisme, bukan sekadar kewajiban-kewajiban dan cara-cara beragama menurut agama masing-masing saja yang diajarkan, tapi juga pendidikan moral tentang bagaimana menghargai dan mengakui perbedaan. Seperti yang dinyatakan Zuly Qodir: “konflik sosial keagamaan dapat diminimalisasi ketika antar internal umat beragama bersedia untuk memahami kehadiran orang lain yang berbeda. Bahkan bukan saja menghargai tetapi sekaligus mengakui (recognize) atas kelompok lain yang berseberangan dengan keyakinan kita”.[11] Pendidikan juga harus menghadirkan spirit egaliterianisme. Sebagaimana pemikiran Freire bahwa pendidikan membawa kita kepada prinsip pluralitas yang hendak membangun masa depan dengan penuh solidaritas dan mempunyai nilai egaliterianisme.[12] Jadi, dengan lebih memerhatikan peran pendidikan yang lebih holistik dan mengajarkan berbagai nilai-nilai perbedaan semanjak kecil akan menjadi langkah persuasif kita dalam menyiapkan generasi yang mampu membawa pesan kerukunan kelak.
Akhirnya, untuk menghadirkan masyarakat madani dalam mencapai cita-cita Indonesia berperadaban dan menjaga stabilitas nasional ini bukanlah hanya sekedar tugas para pengambil kebijakan, tokoh, agama, ataupun para orang tua. Membangun masyarakat madani adalah representasi dari nilai kebertuhanan kita. Agama tidaklah pernah mengajarkan kita tentang kebencian dan penindasan. Agama hadir dengan kritis dan profetis untuk memberikan kembali spirit kasih sayang untuk menjadi dasar dan pijakan menjalin kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah kebhinnekaan.***
Penulis adalah Pendamping Program Keluarga Harapan KEMENSOS RI, Anggota Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika
———–
[1] M. Dawam Raharjo. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas menengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka LP3ES, hal. 146
[2] Nurcholish Madjid.“Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan” dalam Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah.1999, hal.21
[3] Muhammad Hamidullah. 1968. First Written Constitution of the World. Lahore: SH. Muhammad Ashraf Publisher, hal. 5-6
[4] W. Montgomery Watt. 1953. Muhammad at Mecca. Oxford: Clarendon Press, hal. 238
[5] Masykur Hakim. 2003. Model Masyarakat Madani. Jakarta: Inti Media, hal: 14-15
[6] Fahmi Huwaidi. 1996. Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani. Bandung: Mizan. hal, 295
[7] Nurcholish Madjid. 1992. “Islam, Doktrin dan Peradaban”. Jakarta: Paramadina, Hal. 35-36
[8] Zuhairi Misrawi. 2007. Al-Quran Kitab Toleransi, Jakarta: Fitrah, hal. 232
[9] Hans Kung. 1990. Global Responsibillity in Search of a New World Ethic. New York: Crossroad, hal. Xv.
[10] Merphin Panjaitan. 2013. Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilu 2014. Jakarta: Permata Aksara, hal.124
[11] Azyumardi Azra dkk. 2015. Fikih Kebhinnekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Jakarta: Mizan, hal. 232
[12] Peter M. Lichtenstein. 1985. Radical Liberalism and Radical Education: A Synthesis and Critical Evaluation of Illich, Freire and Dewey, dalam American Journal of Economics and Sociology, Vol. 44, No 1.