Kredit ilustrasi: Putu Deoris
CATALONIA (Catalunya), sebuah komunitas otonom dalam Kerajaan Spanyol, baru-baru ini membuat heboh dunia dengan penyelenggaraan referendum pada 1 Oktober, 2017 lalu. Sebelumnya wilayah yang terdiri dari empat propinsi ini lebih dikenal publik Internasional karena sepak bolanya, terutama klub kebangaannya FC. Barcelona. Siapa tak kenal klub El-Barca, dengan ciri permainan sepak bola indah tiki-taka, yang membuat mereka merajai berbagai gelar pada pentas Liga Spanyol dan kompetisi internasional. Namun referendum pada awal Oktober itu telah membuat Catalonia menjadi topik dunia di luar isu sepakbola. Hasil referendum yang di gelar 1 Oktobr 2017 menunjukkan bahwa 90 persen dari 2,26 Juta orang memilih merdeka dari Spanyol.
Kegembiraan masyarakat Catalonia tak terbendung. Mereka tumpah ruah ke jalan-jalan merayakan hasil kemenangan fantastis itu. Berbeda dengan ekspresi warga Catalonia, pemerintah Spanyol terus melakukan menuver politik untuk mengagalkan hasil referendum itu. Raja Spanyol Felipe VI, menyerukan persatuan nasional untuk mengagalkan hasil referendum tersebut. Tak lama setelahnya. Mahkamah Konstitusi Spanyol yang memerintahkan dilakukannya pembekuan Parlemen Catalonia. Suhu politik makin seru, seseru duel el-clasico Barcelona melawan Real Madrid.
Referendum Catalonia Wujud People Power dan Demokrasi Vs Persatuan
Meski hasil referendum Catalonia belum diakui oleh pemerintah Kerajaan Spanyol dan rezim internasional PBB, referendum Catalonia telah membumi. Pesan politik sukses terkabarkan hingga ke seluruh pelosok dunia. Referendum menanamkan berbagai pesan kepada masyarakat dunia, khususnya bagi masyarakat yang sedang berjuang menuntut demokrasi dan keadilan, referendum Catalonia itu memberi nyawa tambahan, membangkitkan semangat, dan harapan untuk perjuangan baru.
Di Eropa, isu referendum pada abad 21 ini bukan hal tabu di praktikkan. Mekanisme referendum telah menjadi mekanisme politik dan hukum yang sudah dipraktikkan sebelumnnya, misalnya dalam kasus gerakan Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Kesuksesan referendum Catalonia dan Kurdi tentu menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Uni Eropa karena efek Catalonia akan diikuti juga oleh masyarakat Eropa lain yang memperjuangkan hak politik mereka di dalam negara merdeka yang sudah ada, bahkan masyarakat internasinal yang sedang memperjuang demokrasi, keadilan serta penentuan nasib sendiri.
Seperti di lansir situs berita www.voiindonesia.com pada 07/10/2017 Pejabat Komisi Uni Eropa Guenther Oettinger, menyatakan bahwa perlu adanya penghentian gencatan senjata antara Spanyol dan Catalonia. Guenther mengkhawatirkan adanya perang saudara dan yang lebih penting lagi adalah adanya “Efek Catalonia yang akan memicu gerakan separatis lain di Eropa”.
Referndum Catalonia, referendum Kurdi, Brexit di Inggris menunjukan realitas politik yang dinamis pada abad 21 saat ini. Mengapa? Jika sebelumya aspirasi demokratis masyarakat dunia yang memperjuangkan hak-hak mereka hanya bisa dijawab dengan kompromi politik, saat ini situasinya sudah berbeda. Bahwa gerakan rakyat yang masif (people power) yang selama ini terkungkung, terintimidasi dengan kekuasan militer, hukum negara tidak lagi memaksa rakyat bersepakat, apalagi tunduk mengikuti kehendak mereka. Rakyat bisa mencapai kedaulatan penuh jika gerakan rakyat yang massif terus di bangun.
Relefansi Referendum Catalonia dan Papua
Apa relasi referendum Catalonia dan Papua? ini pertanyaan menarik dan menggelitik. Bagi banyak orang, persamaannya secara kasat mata adalah sama-sama punya klub sepak bola yang merajai liga di negaranya masing-masing. Barcelona merajai liga spanyol, Persipura merajai liga Indonesia. Jika mencermati dinamika politik Catalonia dan Papua, ada kemiripan tetapi juga ada perbedaan.
Dari sisi kesamaan isu, keduanya tengah menjadi isu domestik tetapi juga isu internasional yang cukup serius menarik perhatian banyak pihak. Catalonia berhasil menggerakan masyarakat menuju referendum nasional, sementara Papua mendorong gerakan petisi (The People of West Papua Petition). Petisi ini berisikan keinginan masyarakat Papua untuk untuk merdeka dari NKRI, yang pada pamungkasnya disimbolkan melalui atraksi Swim for west Papua dan berhasil menaikkan isu Papua di tingkat internasional.
Seperti hal yang dialami Catalonia, dimana pemerintah Spanyol tidak mengakui hasil referendum, hal yang sama juga terjadi pada gerakan Petition For West Papua. Pemerintah Indonesia mengklaim Petisi yang di sampaikan Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) hanyalah berita bohong (hoax) semata. Pemerintah, melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, juga telah melakukan lobi dan diplomasi untuk mengagalkan gerakan Papua dan secara khsusus mencegah penyerahan petisi kepada PPB.
Di dalam negeri pemerintah merespon isu Papua dengan berbagai bentuk, mulai dari diskusi antara petinggi negara, akademisi, unsur LSM dan lain-lain intens dilakukan. Diskusi-diskusi ini kemudian memunculkan satu wacana baru yaitu menghidupkan kembali konsep yang dulu di tolak sendiri oleh negara yaitu dialog Jakarta Papua yang di prakarsai oleh JDP. Namun, format dialog kali ini sedikit berbeda. “Dialog kali ini diistilahkan dengan sebutan “Dialog Sektoral” Dialog yang lebih spesifik kepada bidang tertentu, sebagai contoh mendialogkan masalah pendidikan, masalah kesehatan untuk mencarikan solusi untuk masalah-masalah tersebut agar tercipta perubahan sektoral/ perubahan pada bidang tersebut”.
Wacana dialog sektoral sudah mulai berkembang di tengah masyarakat Papua, dan hal ini membuat masyarakat Papua bingung dan bertanya-tanya. Di Papua ini tidak ada gerakan yang menuntut dialog, kok tiba-tiba Jakarta menawarkan dialog sektoral? Bukankah dialog sebelumnya yang digagas JDP dan LIPI akhirnya mubazir karena Pemerintah SBY Kala itu merasa dialog tidak perlu lagi, dialog adalah memangil para pemimpin gereja, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan ke Istana merdeka untuk menyampaikan sejmlah persoalan. Lalu bentuk dialog lain adalah hadirnya UP4B.
Format dialog yang mengakomodir aspirasi kelompok oposisi ini tidak dihiraukan sehinga terus terjadi tuntutan yang berujung benturan rakyat dan aparat hingga mengakibatkan pelangaran HAM. Apa urgensi sesungguhnya yang mendorong dialok sektoral ini? Apakah kondisi pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat yang makin terpuruk dimasa otsus (otonomi khusus) ini yang menjadi landasan urgensi dialog? Entahlah. “Ataukah proses internasionalisasi isu Papua yang sedang memuncak yang mendorong adanya upaya diplomasi domestik dengan mendorong dialog sektoral untuk perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan, ekonomi dll?
Jika dialog sektoral yang sedang diwacanakan dilandasi karena realitas politik Papua yang sedang mendunia, maka metode atau pendekatan ini bisa diklaim tidak menyelesaikan masalah Papua. Sebab dialog sektoral skalanya hanya akan menghasilkan program, bukan regulasi yang mengikat, seperti hasil Kongres Papua II Tahun 2000, yang berhasil mendorong negara memberikan kewenangan penuh berupa Otsus yang pada kenyataannya kewenangan itu tidak berfungsi penuh. Lagi-lagi pendekatan yang salah masih terus dilakukan. Pemerintah pusat tengah mengabaikan relitas politik di Papua bahwa ada persoalan sejarah, ideologi dan HAM yang tidak diakui oleh pemerintah.
Pemerintah pusat di Jakarta masih terus berpegang pada defenisi atau sudut pandang bahwa akar masalah Papua sesunguhnya adalah masalah kesejahteraan (masalah makan, minum, masalah alokasi uang, otonomi khusus dll). Sudah waktunya pemerintah mengubah cara pandang, atau pendefinisian terhadap masalah Papua.
Bahwa yang harus didengar kemauannya adalah kelompok oposisi di Papua, bukan Pemerintah Daerah, bukan DPRP & DPRPB, yang selama ini masih mempersoalkan masalah sejarah Pepera, HAM, dll. Jika kelompok oposisi ULMWP meminta dialog segi tiga antara Indonesia dan ULMWP dan pihak ketiga, maka pemerintah perlu melakukan pendekatan kepada ULMWP bukan pemerintah daerah.
Jika pemerintah menyepelekan, maka bukan tidak mungkin gerakan massa (people power) masyarakat Papua dan solidaritas internasional akan mendorong mekanisme internasional berupa referendum untuk penyelesaian masalah Papua. Dan hingga saat ini, referendum masih menjadi mekanisme politik dan hukum yang tersedia untuk untuk penyelesaian masalah Papua.***
Penulis adalah direktur Papua Research And Strategy Pusat Study Keadilan Pembangunan