Penyerbuan kantor YLBHI. Kredit foto: Tirto
PENGEPUNGAN terhadap gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mewarnai linimasa kita pada hari-hari belakangan ini benar-benar sebuah pukulan yang menyakitkan bagi pergerakan sosial di Indonesia. Saya yang tidak hadir langsung ke lokasi kejadian mengikuti detik-detik penyanderaan di gedung LBH Jakarta dari whats app grup gereja merasa terpukul dan sempat merasa kehilangan harapan untuk beberapa saat. Berbagai elemen gerakan yang terlibat, baik sebagai peserta, panitia, atau sekedar berafiliasi, di-cap sebagai pendukung PKI. Tersebar pamflet elektronik yang bertuliskan beberapa nama-nama aktivis dan organisasi-organisasi yang disebut sebagai pendukung “seminar bela PKI”, sebuah seminar yang (menurut pamflet tersebut) memiliki tujuan untuk membangkitkan PKI lagi. LBH Jakarta sendiri, dihadapkan pada wacana pembubaran yang diusulkan oleh seorang Jenderal. Maka datanglah gelombang persekusi terhadap gerakan-gerakan alternatif.
Bagi seorang Kristen, persekusi bukan hal yang asing dialami di dalam sejarah perkembangannya. Bahkan bisa dibilang Kekristenan dibangun di atas sisa-sisa persekusi terhadap sebuah gerakan Messianik yang dipimpin oleh Yesus dari Galilea. Yesus sendiri berakhir dengan hukuman salib yang diwarnai dengan cemoohan-cemoohan penduduk Palestina kala itu. Gerakannya bubar dan para murid kocar-kacir seperti ayam kehilangan induk. Lantas sebagai seorang Kristen, terutama yang dekat dengan pergerakan, apa yang harus dilakukan menghadapi gelombang persekusi yang ramai terjadi pada hari-hari ini?
Ironisnya, konflik terbesar yang dihadapi Yesus bukanlah dengan Imperium Romawi, namun dengan masyarakat yang menjadi rahim perjuangannya. Yesus harus mengalami penolakan besar-besaran dari komunitas-komunitas Yahudi, terutama kaum Farisi. Di kampung halamannya sendiri, seperti yang tertulis di dalam Injil Markus, Yesus mengalami penolakan dari warga yang tersinggung oleh karena ada seorang tukang kayu berani-beraninya memberi materi ajaran di sinagog. Yesus juga mengalami penolakan di kota-kota seperti Betsaida, Kapernaum, dan Dekapolis (Mat. 11:23, Luk. 10:13-15). Secara umum, komunitas Yahudi menolak ajarannya karena menganggap Yesus adalah seorang nabi palsu (false prophet)[1].
Konflik ini memuncak dengan ditangkapnya Yesus untuk diadili di Sanhedrin, pengadilan agama Yahudi, dimana ia diinterogasi sembari dihina dan dicaci-maki sebelum dijatuhkan vonis (Luk. 22:54). Pengadilan tersebut tidak berhasil menemukan bukti-bukti pelanggaran dan kejahatan yang dituduhkan kepada Yesus, bahkan sampai harus menggunakan saksi palsu (Mat. 14:55-59). Keputusan untuk membawa Yesus ke hadapan Pontius Pilatus, otoritas Imperium Roma di Palestina, setelah Yesus dianggap mengafirmasi tuduhan penistaan (Luk. 22:67). Di pengadilan Pontius Pilatus, Yesus dituduh mengaku sebagai “Raja orang Yahudi”, sebuah klaim yang merupakan tantangan kepada otoritas Roma. Yesus dijatuhkan hukuman penyaliban dan diharuskan memikul salib-nya dimana Ia dicaci-maki di sepanjang jalan menuju bukit Golgota.
Yesus mengklaim berbicara atas nama Tuhan, naskah-naskah, dan karya-karya orang Israel seperti orang-orang Farisi kala itu. Ia juga menghargai simbol-simbol Judaisme dan dianggap penganut agama yang sangat saleh. Lantas apa yang memunculkan persekusi orang-orang Yahudi terhadap Yesus Kristus? Gerakan Yesus lebih bersetia pada kenyataan yang direpresentasikan oleh simbol-simbol Judaisme, bukan lambang-lambang kesalehan dan ke-Judaisme-an yang dijunjung tinggi orang-orang Farisi. Pergerakan yang dilakukan Yesus tidak terobsesi pada pakaian-pakaian yang diperbolehkan, hari-hari yang disucikan, atau makanan-makanan yang suci. Yesus tidak terfiksasi pada upaya untuk menjadi orang yang paling saleh atau menjadi orang yang paling Yahudi. Cara Yesus memaknai ke-Yahudi-an ini membuat kedua faksi ini memiliki perbedaan yang radikal[2]. Inilah yang menjadi asal-usul persekusi Yesus.
Yesus sebenarnya tidak seutuhnya menentang secara diametral gerakan-gerakan Judaisme lain di masanya seperti kaum Farisi atau kaum Essenes. Bagi Yesus, secara mendasar identitas Israel sebagai umat pilihan Allah tidak pernah berdasar pada status ontologis yang merujuk pada identitas kebangsaan. Yang dibawakan oleh Yesus adalah sebuah tawaran alternatif untuk memahami Judaisme. Yesus membawakan cara alternatif untuk menceritakan kisah Israel dan melaksanakan tugas-tugas orang yang terpilih. Dengan kata lain, Yesus menawarkan agenda politik alternatif, sebuah strategi, taktik, dan agenda yang segar untuk mewujudkan cita-cita Israel.
Natur gerakan alternatif yang sangat mudah berbenturan dengan status quo, disadari mengandung resiko yang sangat besar dan diungkapkan oleh Yesus dalam khutbah di bukit:
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. (Mat. 5:11)
Alih-alih dipahami sebagai sebuah kesalehan yang masokis atau merayakan penderitaan, pernyataan ini secara tradisi dipahami sebagai sebuah peringatan[3]. Ayat ini adalah semacam sebuah disclaimer bahwa pengikut Kristus akan menghadapi celaan, fitnah, dan penganiayaan. Yesus hanya menjanjikan jalan yang ditawarkannya adalah sejalan dengan ortodoksi Judaisme, namun tidak menjanjikan bahwa keanggotaan dalam gerakannya akan memberikan jalan mulus menuju kebahagian layaknya gerakan new age. Sebaliknya, tekanan akan muncul dari sekte-sekte Judaisme lain yang lebih mapan seperti Farisi. Berbahagialah karena engkau di jalan yang benar, namun jangan berharap jalan tersebut adalah jalan yang mulus dan aman dari begal.
Pernyataan semacam ini juga muncul lagi di dalam surat Paulus kepada jemaat di Filipi:
Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku. (Fil. 1:29-30)
Surat ini adalah surat yang ditulis Paulus ketika ia mendekam di tahanan sekitar tahun 59-60 M atau tahun ke-6 setelah suksesi Kaisar Nero ke tahta Imperium Roma. Paulus mengirimkan surat ini untuk menyatakan hormat, menunjukkan kekaguman, serta mendiskusikan isu-isu seputar bahaya-bahaya yang mengancam gereja-gereja. Di dalam kutipan yang dicantumkan di atas, Paulus memberikan penekanan bahwa mendapatkan status yang tinggi (dalam konteks ini, menjadi pengikut Kristus) mengandung bahaya yang besar.
Dasar dari iman Kristen adalah menerima Kristus sebagai Raja dari dunia, bukan Kaisar atau tokoh-tokoh agama lokal. Posisi ini sudah secara otomatis menolak keabsahan posisi Kaisar yang kala itu menjadi penguasa tertinggi sebuah imperium raksasa yang membentang dari Britania sampai Assyiria. Yang dijanjikan dalam posisi ini bukan lah surga dan kebahagian yang jauh di sana, namun hanya seonggok kebenaran. Silakan berbahagia karena telah berada di jalan yang benar. Namun di jalan ini, datanglah kerja-kerja serta bahaya-bahaya yang berat. Menjadi Kristen berarti juga berterima untuk hidup di dalam bahaya.
Dalam sejarah, gerakan-gerakan politik alternatif selalu mengandung marabahaya. Gerakan kaum tani dan Thomas Müntzer, sebuah gerakan tani untuk merebut otonomi serta secara radikal menolak otoritas Vatikan dan kompromi Luther dengan kaum bangsawan, harus berakhir dengan pembantaian terhadap 100.000 lebih simpatisannya. Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht kehilangan nyawanya di tangan freikorps saat terjadi pemberontakan Spartakus (spartakusaufstand). Atau bisa kita lihat Widji Thukul yang menghilang tanpa jejak karena aktivitas politiknya melawan Orde Baru. Daftar nama tokoh-tokoh yang harus membayar begitu mahal untuk perjuangannya menyuarakan dan mengupayakan cita-cita politik alternatif bisa menjadi sangat panjang. Begitu juga yang terjadi dengan organisasi-organisasi serta yang mengalami berada dalam bahaya paska pengepungan gedung YLBHI tanggal 17 September yang lalu.
Namun kekristenan tidak meminta kita untuk menyongsong bahaya dan kematian secara heroik dan menjadi martir. Pun juga orang Kristen tidak diminta untuk, seperti tuduhan filsuf cum penyair Friedrich Nietzsche kepada kekristenan, jatuh ke dalam moralitas budak; tenggelam dalam haru-biru ketertindasan dan status sebagai korban sambil menyimpan dendam pada para penindas namun tidak berbuat apa-apa dan mengharapkan pertolongan ghaib. Karena seperti petuah Yesus dalam khutbah di atas bukit, bahaya itu keniscayan. Janji eskatologis juga bukan sesuatu yang secara ajaib muncul tiba-tiba dan memulihkan semua luka dan membawa kebahagiaan di atas piring perak. Mereka yang merintangi kita pada dasarnya tidak punya kewajiban (Metafisis), dan juga keinginan, untuk membukakan jalan pada kita. Maka evaluasi strategi dan rekonsolidasi adalah pilihan yang sangat perlu dilakukan oleh gerakan-gerakan yang terancam persekusi.
“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat. 10:16)
Penulis adalah Jemaat Gereja Komunitas Anugerah Salemba dan salah satu pengasuh diskusi Rabuan
————
[1] Berger, David; Wyschogrod, Michael. 1978. Jewish and “Jewish Christianity”. New York: KTAV Publishing House.
[2] Wright, N.T.1996. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress Press
[3] Pernyataan semacam ini juga muncul dalam teks perjanjian lama tepatnya di dalam Nyanyian Debora (Hak. 5.31)