Benarkah Komunisme Bangkit Lagi?

Print Friendly, PDF & Email

Menghapus September. Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

MINGGU 17 September 2017, sekitar pulul 21:00 WIB Jakarta heboh karena berita penyerangan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat, oleh ratusan masa dari berbagai Organisasi Kemasyarakatan. Dalam press rilisnya, YLBHI mengisahkan masa yang datang mengepung kantor YLBHI, meneriakkan ujaran kebencian, menyampaikan sejumlah tuduhan, hingga memaksa masuk, melempari batu, dan melaukan sejumlah upaya provokasi. Penyerangan ini merupakan puncak dari respon masyarakat terhadap isu sensitif bahwa YLBHI mengadakan sejumlah kegiatan mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masih menjadi partai terlarang di Indonesia. Terhadap isu tersebut, direktur YLBHI, Asfinawati, dalam press rilis menegaskan bahwa sama sekali tidak ada kegiatan demikian; bahwa LBH-YLBHI adalah rumah bagi masyarakat miskin buta hukum dan tertindas, semua kelompok mengadu dan meminta bantuan hukum. Sesuai semangat LBH, prinsip negara hukum dan kode etik profesi dan bantuan hukum, semua didampingi tanpa pandang bulu, tidak memandang suku, agama, ras, keyakinan politik, golongan dll. LBH mendampingi juga korban-korban yang distigma 65, mereka yang sama sekali tidak berafiliasi dengan PKI tapi jadi korban kemudian.

 

Isu Komunisme

Isu tentang Komunisme sering dicampuradukkan dengan pemikiran kiri yang memiliki nafas kritis membela lapisan sosial yang lemah dan tertindas. Faktanya, terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, selalu muncul upaya politisasi tentang “Bahaya Komunisme”. Kemudian selalu muncul mobilisasi massa sebagai bentuk respon penolakan, yang tidak jarang mengakibatkan jatuhnya korban tidak bersalah. Singkatnya, orang gagal menerjemahkan apa itu gerakan kiri dan apa itu komunisme atau bisa lebih buruk lagi bahwa gerakan massa dimobilisasi kelompok kepentingan tertentu dengan motif politik tertentu. Dengan kata lain ada aktor politik yang secara sistematis menggerakkan masa, menyebarkan kebencian, dan memprovokasi untuk kepentingannya.

 

Benarkah Komunisme Bangkit Lagi?

Pertanyaan ini mungkin paling tepat mewakili rasa ingin tahu kita semua tentang eksistensi komunisme di Indonesian hari ini. Juga mewakili kecemasan kita terhadap komunisme yang katanya lahir kembali di tanah air. Sebagian besar pasti cemas, mengingat besar dan dalamnya doktrin Anti-Komunisme yang ditanamkan selama periode Orde Baru. Dengan kata lain, sangat sulit membawa kembali gerakan komunisme aktif ke Indonesia dalam wajah apapun. Sisa dari ide komunisme masih tertinggal di buku-buku dan masih menjadi bahan diskusi banyak pihak dalam atmosfer akademik pun dalam diskusi warung kopi. Padahal bila menilik sejarah sedikit ke era Soekarno, cita-cita NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis) cukup mewakili betapa Pancasila merupakan rumah bersama setiap orang, terlepas dari pilihan ideologi politik yang diyakininya.

Kasus Penyerangan LBH-YLBHI adalah satu dari banyak contoh mujarabnya isu anti-komunis di Indonesia. Dalam banyak cara, orang sukses menjual kebencian terhadap PKI sebagai senjata ampuh provokasi untuk kepentingan tertentu. Semestinya, bila kita dalami semangat dasar LBH-YLBHI tentu saja didasari semangat perjuangan kemanusiaan sebagaimana tertuang dalam sila kedua Pancasila; Kemanusiaan yang adil dan Beradab. Cita-cita tegaknya Kemanusiaan berdasarkan Keadilan dan Keberadaban diperjuangkan melalui pendampingan kelompok-kelompok minor, orang-orang miskin tertindas, korban diskriminasi dan kesewenang-wenangan penguasa, tanpa memandang Suku, Agama, Ras, atau Golongan (SARA) tertentu. LBH tentu saja tunduk pada aturan hukum dan Kode Etik Profesi dalam bingkai Negara Republik Indonesia.

 

Mengapa Isu Komunis ‘Laris’?

Josua Oppenheimer, sutradara film dokumenter “Jagal” dan “Senyap”, menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia, terutama yang merasakan langsung peristiwa Gerakan 30 September 1965, masih ada dalam ‘euforia’ kemenangan perang melawan komunisme dan pendukungnya. Situasi masyarakat yang demikian dihadapkan pada kebangkitan kesadaran Kemanusiaan yang kian subur akhir-akhir ini, Pendukung gerakan peduli kemanusiaan mencoba memperjuangkan kemanusiaan tanpa sekat apapun. Hal tersebut tentu berlawanan satu sama lain.

Pada 2005, seiring dengan meningkatnya kesadaran Global akan HAM dan bangkitnya pemerintahan demmokratis di Negeri ini, Negara Indonesia pun memutuskan untuk turut merativikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Semua itu menambah konsekuensi kian bertambahnya keharusan normatif bagi Negara untuk semakin menjunjung tinggi HAM.

Kehadiran kembali diskusi dan pembahasan mengenai Gerakan 30 September dan dampak lanjutannya hari ini, dengan berbagai macam tuntutannya, harus dilihat dalam kerangka perjuangan kemanusiaan. Bahwa di balik euforia ‘kemenangan perang’ melawan komunis dan PKI, terdapat tragedi kemanusiaan yang besar, tragis, dan memilukan hati. Jutaan jiwa bangsa Indonesia dibantai atas nama kebencian ideologis, jutaan anak tak bersalah harus menanggung derita kehilangan orang tua dan bertumbuh dalam ‘cap’ bekas tahanan politik. Banyak orang tak bersalahpun dihukum karena diafiliasikan dengan PKI. Semua hal tersebut tidak harus ditutupi atau menjadi ‘tabu’ untuk dibahas atau didiskusikan, sebab masalah-masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia, sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’.

 

Siapa yang Berkepentingan?

Ada banyak kemungkinan untuk menjelaskan siapa yang berkepentingan di balik bangkitnya isu Komunis. Apalagi, isu ini muncul jelang Pemilihan Kepala Daerah serentak pada 2018, Pemilihan Umum legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Berulangkali label komunis diberikan kepada rezim penguasa saat ini. Presiden Joko Widodo sendiri dicap sebagai keturunan PKI dan pendukung partai terlarang tersebut. Media sosial menjadi corong pembentukan opini dan kebencian terhadap presiden. Menjadi semakin parah ketika salah seorang politisi senior Gerindra, secara berani dan gamblang menyebut PDI-Perjuangan sebagai PKI. Semua masih terperangkap dalam bingkai kemungkinan, mungkin saja isu tersebut diciptakan untuk mengutungkan penguasa, atau sebaliknya dikemas oleh lawan politik guna menggulingkan Presiden Joko Widodo dan PDI-Perjuangan dalam Pemilu mendatang. Sebab, pada peristiwa politik tertentu selalu ada upaya-upaya politisasi tentang bahaya komunisme, sehingga cenderung menciptakan mobilisasi sosial yang dapat menimbulkan korban-korban tidak berdosa.

 

Akhirnya…….

Pada akhirnya kita sampai pada ajakan untuk menghargai kemanusiaan dalam semangat Pancasila. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama Sila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.***

 

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, angkatan 2014

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.