Pembelaan Marx Terhadap Perempuan Tertindas

Print Friendly, PDF & Email

Anggota perempuan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Rakyat (SR). Di tengah-tengah adalah tanda, dengan tulisan tangan, “ “P.K.I” and “S.R” Bersama simbol komunis palu arit. (Foto diambil di Marx-Engels Forum di Berlin).


TAMPAKNYA masih banyak yang beranggapan bahwa Karl Marx sama sekali tidak peduli dengan persoalan perempuan. Dalam masalah pertentangan kelas, sebagai contoh, seakan-akan yang dimaksud kelas buruh adalah laki-laki. Dalam analisa Marx mengenai sejarah perkembangan masyarakat, seakan-akan tidak ada pembagian kerja secara gender dalam masyarakat. Maka terkesanlah bahwa teori-teori Marx itu maskulin. Pada kenyataannya, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab Marx mempunyai perhatian terhadap perempuan sebagai individu dalam peranannya di keluarga, yang kemudian menjadi rujukan bagi feminisme Marxis dan feminisme Sosialis.

Memang benar, bahwa selama hidupnya Marx tidak pernah menulis sebuah buku atau jurnal yang didedikasikan khusus untuk membahas perempuan. Meski tidak berarti Marx abai terhadap problem perempuan. Cukup banyak peneliti dan ilmuwan sosial yang mengakui bahwa ada periode tertentu di mana Marx banyak membahas tentang gender dan keluarga. Dalam tulisannya pada awal sampai pertengahan 1840an (awal kariernya) dan dari 1879 sampai 1883 (akhir kariernya), Marx melontarkan gagasan fundamental yang merefleksikan bagaimana seorang Marx melihat problem perempuan. Tulisan ini akan membahas beberapa karya Marx yang ditulis pada awal dan akhir kariernya sekait dengan maalah gender dan keluarga.

 

Problem Gender Dalam Keluarga Borjuasi

Di mulai dari karya yang pertama, yaitu Economic and Philosophical Manuscript of 1844, yang diakui sebagai karya pertama yang mengelaborasi secara sistematis masalah-masalah ekonomi politik dari sudut pandang materialisme dialektis dan komunis. Walaupun hanya selayang pandang, namun analisis Marx terhadap problem gender dalam karya ini cukup berharga. Di sana Marx berpendapat bahwa posisi perempuan bisa digunakan untuk mengukur perkembangan masyarakat secara umum. Masyarakat merupakan kumpulan individu perempuan dan laki-laki yang harus mencapai perkembangan sejalan sebagai masyarakat. Hubungan individu dan masyarakat bersifat dialektis, di mana perkembangan individu menjadi indikator perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat menciptakan kondisi-kondisi untuk perkembangan penuh individu. Di bawah kapitalisme, perkembangan individu itu ditentukan oleh relasinya dengan produksi, lantas bagi kelas pekerja –termasuk perempuan—nilai mereka dipandang tidak berharga. Khusus mengenai posisi perempuan, menurut hemat Marx, harus mampu mencapai perkembangan sebagai individu berdasarkan siapa diri mereka, dan bukan berdasarkan kategori status sosialnya.

Dalam karyanya bersama Friedrich Engels, The Holy Family (1845), Marx menunjukkan fakta mengenai bagaimana posisi individu perempuan kelas pekerja dihargai atau dinilai kaum borjuasi. Ia mengupas novel karya Eugène Sue, Les Mystères de Paris, yang menceritakan kisah Fleur de Marie seorang pekerja seks miskin, yang kemudian berhasil ‘diselamatkan’ oleh seorang pangeran (bangsawan rendah) dari Jerman. Pangeran itu menitipkan Fleur de Marie pada seorang perempuan yang saleh dan seorang pastor yang setiap hari menyadarkannya tentang perilaku tidak bermoral yang telah dijalaninya selama ini. Di bagian akhir buku diceritakan bahwa Fleur de Marie pada akhirnya ‘bertobat’ menjadi biarawati dan meninggal beberapa waktu kemudian. Dalam karyanya ini, Marx mengritik bentuk moralitas yangg abstrak, yang sesungguhnya tidak akan bisa dicapai oleh manusia, karena manusia bukanlah semata-mata makhluk spiritual yang bisa dengan mudah mengesampingkan kebutuhan jasmaninya. Marx menggarisbawahi keterbatasan pilihan yang dimiliki oleh Fleur de Marie karena kemiskinannya, sehingga ia menjadi pekerja seks sebagai pilihan terbatas yang bisa dilakukannya untuk mencukupi kebutuhan jasmaninya. Marx berpendapat bahwa Fleur de Marie itu bahkan lebih manusia daripada sebagian besar orang dalam masyarakat borjuasi pada masa itu, karena ia seseorang dengan vitalitas, energi, keceriaan, elastisitas karakter (vitality, energy, cheerfulness, elasticity of a character)[1] Walaupun ia hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi disebabkan oleh kehidupannya sebagai kelas pekerja (nonborjuis). Dalam hal ini Marx melontarkan kritik tajamnya terhadap penindasan perempuan yang terjadi dalam masyarakat kapitalis. Pada saat yang sama Marx menunjukkan keberpihakannya terhadap kondisi buruk yang dialami oleh perempuan kelas pekerja –yang dalam hal ini adalah pekerja seks.

Dalam The German Ideology (1846) yang juga ditulisnya bersama Engels, mereka mengamati tentang pembagian kerja secara gender yang mengarah pada penindasan terhadap perempuan dan anak-anak (yang dilakukan oleh “bapak” atau patriakh). Laki-laki berkuasa atas perempuan karena memperoleh hak istimewa untuk menguasai properti, yaitu kekayaan, istri dan anak-anaknya. Perempuan menjadi ekuivalen dengan kekayaan, dan kemudian menjadi hak milik pribadi laki-laki, atau dengan kata lain menjadi budak laki-laki. Perbudakan atas perempuan akan menciptakan kontradiksi dalam keluarga kelas pekerja, dan pada gilirannya menjadi bibit antagonisme yang mengancam tahap perkembangan masyarakat. Selain itu Marx dan Engels juga mengritik konsep keluarga borjuasi yang terbentuk berdasarkan boredom and money as the binding link[2] (hubungan yang saling mengikat antara kebosanan dan uang), dan konsep keluarga borjuasi ini merupakan fondasi dalam keberlangsungan kapitalisme.

Di bawah sub-judul “Private Property and Communism” (dalam The German Ideology), dipercaya sebagai pernyataan terkuat Marx tentang hubungan gender dan emansipasi manusia, bahwa ‘the immediate, natural, and necessary relation of human being to human being is also the relation of man to woman’[3], (hubungan manusia dengan manusia yang alami, juga merupakan hubungan antara laki-laki dan perempuan). Dalam pernyataannya itu, Marx menekankan hubungan antara perempuan dan laki-laki bisa dijadikan dasar penilaian perkembangan masyarakat. Penggunaan istilah ‘alami’ oleh Marx dalam menjabarkan pembagian kerja secara seksual telah menuai banyak kritik dari para feminis. Seakan-akan Marx meneguhkan bahwa penindasan di dalam relasi pembagian kerja secara seksual itu alamiah. Padahal pengunaan istilah alamiah itu, menurut Marx, merujuk pada ‘spontanitas’ atau sesuatu yang tidak direncanakan, dan bukan berkaitan dengan kekodratan.

Pada 1846, terbit artikel Marx berjudul Mirror of Society yang membahas tentang bunuh diri. Artikel ini sebenarnya sebagian besar berisi terjemahan dari esai yang ditulis Jacques Peuchet dari bahasa Perancis ke Jerman, yang kemudian ditambahkan dengan pemikiran Marx tentang penindasan di dalam keluarga dalam masyarakat borjuasi. Tiga dari empat kasus bunuh diri yang dilakukan perempuan dalam esai tersebut disebabkan oleh penindasan yang dialaminya sebagai anggota keluarga borjuis. Kasus yang pertama, melibatkan seorang istri yang dikurung dalam rumah oleh suaminya yang pencemburu, dan juga disiksa secara fisik dan seksual. Kasus kedua, tentang seorang perempuan yang telah bertunangan dan pada suatu hari ia menginap di rumah tunangannya itu. Sekembali dari rumah tunangannya itu, perempuan itu mendapat hujatan orang tuanya yang sangat merendahkan harga dirinya. Orang tuanya mempersoalkan anak perempuannya yang belum menikah, tetapi telah menginap di rumah tunangannya. Karena depresi atas perlakuan orang tuanya, ia pun bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam sungai. Kasus yang terakhir adalah seorang perempuan muda yang tidak mendapatkan izin untuk aborsi setelah dipaksa berhubungan badan dengan suami tantenya. Marx menuliskan secara jelas rasa simpatik yang mendalam atas nasib buruk yang dialami perempuan-perempuan dalam keluarga borjuis tersebut.

Dengan mengambil fakta-fakta tentang perempuan keluarga borjuasi itu, Marx menandaskan bahwa kesetaraan dalam relasi gender merupakan hal yang penting dalam pengembangan masyarakat. Maka model keluarga borjuasi harus mengalami transformasi yang bebas dari penindasan berdasarkan gender.

Kritik terhadap keluarga borjuis kembali muncul pada salah satu karya Marx dan Engels yang paling terkenal, yakni Manifesto of the Communist Party (1848). Tulisan ini memang didedikasikan sebagai pegangan sekaligus panduan bagi gerakan sosialis saat itu, namun kita bisa menemukan pembahasan tentang gender dan keluarga yang cukup signifikan di dalamnya. Di situ dipaparkan bahwa perkembangan teknologi alat-alat rumah tangga menyebabkan berkurangnya pekerjaan domestik, sehingga waktu perempuan itu dialokasikan untuk bekerja di pabrik. Hal ini menguntungkan bagi pemilik modal, karena perempuan pada saat itu memang dibayar jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki hanya karena mereka adalah perempuan. Namun pada sisi lain, Marx juga menyuguhkan analisis positif tentang peningkatan peran perempuan dalam pekerjaan di luar rumah, yang dapat mengarah pada perubahan relasi gender dalam keluarga kelas pekerja. Dengan mendapatkan gaji seperti halnya laki-laki, perempuan mempunyai pengaruh dalam lingkup keluarga karena mereka juga menyumbang untuk kesejahteraan keluarga. Hal ini berdampak pada suami atau laki-laki karena mereka tak lagi berani bertindak semena-mena atau memperlakukan perempuan sebagai budak belaka. Dengan demikian, segi positif dari perempuan bekerja di luar rumah adalah menciptakan “a higher form of the family”[4], (bentuk keluarga yang lebih tinggi), di mana perempuan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki.

Kemudian di penghujung kariernya, Marx terlihat semakin lantang dalam posisinya sebagai pemikir yang menggunakan analisis gender dan keluarga. “Programme of the Parti Ouvrier,” (1880), yang ditulis Marx bersama Paul Lafargue dan Jules Guesde, menunjukkan secara jelas pandangan Marx tentang bagaimana perempuan harus mendapatkan haknya, “that the emancipation of the productive class is that of all human beings without distinction of sex or race[5], (bahwa emansipasi kelas produktif adalah bagi semua manusia tanpa perbedaan jenis kelamin atau ras). Pendapat itu ditulis sendiri oleh Marx di bagian pendahuluan karya tersebut. Pada zaman Marx hidup, konsep emansipasi yang ia lontarkan itu terbilang revolusioner.

 

Egalitarian: Syarat Perkembangan Masyarakat!

Ulasan karya-karya Marx yang mengandung analisis gender dan keluarga ini mungkin tidak lagi revolusioner jika dilihat dari kacamata pembaca abad 21. Namun, setidaknya, sudah cukuplah bagi kita untuk menyatakan bahwa Marx tidak meneguhkan kemarjinalan perempuan. Pada masa itu, Marx justru berupaya untuk membebaskan perempuan dan menanamkan jiwa revolusioner ke dalamnya agar tidak menjadi korban penindasan. Jiwa revolusioner itu sesungguhnya tidak akan pernah menjadi sesuatu yang usang, karena selama penindasan terhadap perempuan masih ada, maka perlawanan itu juga berlangsung. Selain itu, kritik Marx terhadap keluarga borjuis, jika kita refleksikan dalam situasi sekarang ini, bisa menuntun kita untuk membangun keluarga yang tidak hanya mendasarkan hubungan berdasarkan uang, kekayaan, atau gaji individu. Pun tidak membangun keluarga berdasarkan relasi gender yang timpang, melainkan pada kemanusiaan yang mendasarkan kehidupan keluarga pada kasih sayang dan kemesraan.

Runyamnya, jika kita melongok ke dalam keluarga-keluarga rakyat pekerja dewasa ini, terutama di kota-kota besar, mereka justru berupaya untuk merujuk pada konsep keluarga borjuasi yang dipandangnya sebagai “kebenaran”. Akibatnya, relasi gender yang tidak egaliter lantas menjadi model di dalam keluarga rakyat pekerja. Contoh yang aneh adalah mengenai perempuan mencari nafkah. Sampai saat ini masih cukup banyak perempuan rakyat pekerja yang bercita-cita menjadi “ibu rumah tangga saja” (tidak bekerja mencari nafkah) sebagaimana isteri-isteri dalam keluarga borjuasi. Tetapi ada banyak perempuan rakyat pekerja yang terpaksa harus mencari nafkah karena upah kerja yang diterima suami mereka tidak pernah mencukupi pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Kembali pada tesis Marx, jika model keluarga borjuasi yang relasi gendernya tidak egaliter itu membuat tahap perkembangan masyarakat menjadi cacat, maka adanya keluarga rakyat pekerja yang merujuk pada konsep keluarga borjuasi itu akan memperparah kecacatan perkembangan masyarakat. Di bawah kapitalisme kecacatan perkembangan masyarakat (berkembang dalam ketimpangan berbasis gender dan penindasan perempuan) runyamnya dieksploitasi untuk kepentingan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Contohnya upah dan kesempatan karier terbatas bagi perempuan, adanya beban ganda bagi perempuan, dan sebagainya.***

 

Dhianita Kusuma Pertiwi adalah seorang penulis lepas, dan Ruth Indiah Rahayu adalah pengasuh rubrik Umi

 

—————

[1] Marx dan Engels 1956, h. 225

[2] Marx dan Engels 1998, h. 195

[3] Marx 2004, h. 103

[4] Karl Marx 1976, h. 621

[5] Karl Marx di David Fernbach, ed., 1992, h. 376.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.