Sumber ilustrasi: Akkadium.com
LESBIAN, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) atau orientasi seksual yang dianggap “menyimpang” tersebut akhir-akhir ini marak diperbincangkan di Indonesia. Tidak hanya diskusi yang diadakan oleh akademisi saja yang mewarnai wacana pro dan kontra terhadap orientasi seksual “liyan” ini, kriminalisasi hingga persekusi gencar dilakukan oleh kelompok-kelompok konservatif maupun aparatus negara.
Pernyataan sejumlah pejabat negara terhadap kelompok LGBT, seperti yang dilansir Republika beberapa waktu yang lalu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), M. Nasir menegaskan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) tidak boleh masuk ke dalam kampus. Menurut laporan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 2015 hingga 2017, telah terjadi setidaknya 9 kasus diksriminasi terhadap kelompok LGBT di dalam institusi pendidikan.
Anggapan lain yang dipopulerkan adalah LGBT bukanlah bagian dari budaya Indonesia. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mujahid dari Partai Gerindra mengatakan bahwa Indonesia, “yang berbasis pada jutaan atau ribuan etnis budaya” tidak mentolerir perilaku seks sesama jenis. LGBT, menurut Sodik, datang dari budaya asing. Berdasarkan pandangan yang ahistoris inilah banyak terjadi kriminalisasi terhadap LGBT.
Komentar para pejabat ini telah mendapat kritikan yang keras dari berbagai kalangan. Tidak sedikit wacana tandingan yang kemudian dimunculkan, salah satunya dengan menunjukkan fakta bahwa praktik-praktik seksual yang kini dikategorikan dalam istilah payung LGBT sudah ada sejak lama. Ada banyak bukti antropologis yang menunjukkan homoseksualitas, homoerotika, hingga gender non-biner (di luar perempuan dan laki-laki) diterima oleh berbagai masyarakat di Nusantara. Masyarakat Bugis yang mengenal lebih dari dua jenis kelamin beserta perannya masing-masing di dalam struktur masyarakat, adalah contoh yang paling sering kita dengar.
Namun, benarkah keberadaan mereka mampu merepresentasikan kehidupan yang adil bagi LGBT di era modern ini? Sejauh mana praktik-praktik seksual setempat di masyarakat Bugis bisa digunakan sebagai rujukan untuk menunjukkan bahwa keragaman seksual adalah hal yang wajar? Di sisi lain, kita harus jeli bahwa praktik-praktik setempat tersebut, hari ini maupun di masa lalu, tidak bisa lepas dari jeratan salah satu sistem dominan di dunia yang sudah berlangsung dan mengakar selama ribuan tahun, yaitu Patriarki.
Di Indonesia wacana seksualitas yang dominan hari ini ditanamkan melalui berbagai institusi seperti sekolah atau lembaga keagamaan, dan akhirnya melahirkan konformitas. Usaha-usaha untuk mengonstruksi konsep gender inilah yang menyebabkan tekanan pada masing-masing individu untuk menyesuaikan diri dengan norma atau peran gender yang dianggap normal oleh masyarakat, sehingga mengakibatkan wacana gender atau orientasi seksual tertentu terpinggirkan. Dampak dari globalisasi juga memberikan tantangan tersendiri bagi keberadaan kelompok LGBT pada masyarakat tradisional, khususnya tradisi mereka yang telah eksis sebelum kedatangan agama Islam yang kini dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Keberadaan lima gender di dalam masyarakat Bugis memiliki posisi yang penting sebelum Islam datang pada tahun 1600. Penting untuk memahami keberadaan mereka secara historis, bagaimana peran-peran mereka mengalami pergeseran karena gesekan dan tekanan dari berbagai macam aspek, dst. Penelitian yang ditulis oleh Sharryn Graham Davies dalam bukunya Gender diversity in Indonesia: sexuality, Islam and queer selves (Routledge, 2010) cukup memberikan gambaran akan berbagai macam problem yang dihadapi oleh kelompok LGBT tradisional.
Klasifikasi Gender di Bugis
Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita pelajari lima klasifikasi gender pada masyarakat Bugis. Yang pertama adalah Bissu, atau pemuka agama Bugis kuno pra-Islam yang berperan sebagai penasehat, pengabdi, dan penjaga Arajang (benda pusaka keramat). Kata Bissu berasal dari kata Bugis “mabessi” yang berarti bersih.
Kedua, Oroane, yang artinya pria atau lelaki. Biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan. Ketiga, Makkunrai atau perempuan. Makkunrai kerap kali dituntut untuk bersikap feminin, jatuh cinta dan bersedia menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami.
Keempat, Calalai, yaitu perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki. Calalai biasa juga disebut perempuan maskulin/tomboy. Kelompok ini mengacu pada orang yang ditugaskan perempuan saat lahir tetapi mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam masyarakat Bugis. Yang terakhir atau kelima adalah Calabai, laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Calabai umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil peran seorang perempuan heteroseksual dalam masyarakat Bugis.
Dari lima klasifikasi di atas, tampak jelas bahwa heteronormativitas (anggapan bahwa heteroseksual adalah orientasi yang benar dan dianggap normal sehingga orientasi seksual di luar heteroseksual dipandang menyimpang) dan patriarki berperan menentukan “fungsi” gender yang dimainkan perorangan dalam struktur masyarakat. Laki-laki heteroseksual (baik yang terlahir secara biologis sebagai laki-laki dan memiliki penis maupun yang dibesarkan menjadi laki-laki; Calalai) atau perempuan heteroseksual (baik yang terlahir secara biologis sebagai perempuan dan memiliki vagina atau yang dibesarkan sebagai perempuan; Calabai) masih beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang berbeda. Pekerjaan domestik pun masih dimonopoli perempuan dan siapapun yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan serta memiliki ekspresi gender feminin. Masyarakat Bugis sendiri sebenarnya tidak mengenal kata gender; klasifikasi hanya menandai jenis kelamin yang akan absen secara konseptual. Contohnya bisa kita lihat dari bagaimana Bissu diposisikan sebagai perpaduan antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat Bugis menganggap bahwa Bissu dapat menjadi perantara untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau Sang Pencipta, karena bagi mereka Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan. Sehingga hanya orang yang terlahir setengah laki-laki dan setengah perempuan yang dapat dirasuki dewa supaya bisa terhubung dengan Sang Pencipta.
Menjadi seorang bissu bukan hal yang mudah. Mereka harus menahan diri untuk tidak berperilaku yang condong terhadap jenis kelamin tertentu. Walaupun demikian, ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan bissu sendiri tentang apa yang menentukan seseorang agar dapat menjadi bissu. Bagi Haji Yamin, bissu harus terlahir dengan alat kelamin setengah laki-laki dan setengah perempuan (i.e interseks). Ketika seorang bissu tumbuh dewasa, ia mulai berperilaku seperti perempuan (memiliki ekspresi gender yang feminin). Menurutnya, bissu tidak boleh memiliki penis yang berfungsi.
Haji Yamin sendiri lahir dengan alat kelamin interseks, yaitu variasi karakteristik kelamin yang membuat seseorang tidak dapat diidentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan. Baginya hanya orang yang lahir dengan alat kelamin interseks yang benar-benar mampu menjadi seorang bissu. Pendapat lain mengatakan bahwa bissu adalah gabungan antara laki-laki dan perempuan sehingga biasanya yang menjadi bissu adalah calabai walaupun tidak semua calabai dapat menjadi seorang bissu. Bissu tidak boleh menggunakan atribut yang identik dengan jenis kelamin tertentu. Ia merepresentasikan ekspresi androgini, salah satunya dengan tidak mengalami menstruasi. Beberapa orang menjadi bissu setelah menopause. Perempuan yang masih menstruasi dianggap akan membahayakan dan dapat merayu laki-laki. Mereka menilai bahwa menstruasi adalah hal yang kotor, dan karena itu pula bissu perempuan sangat sulit untuk ditemukan.
Ujiannya pun sangat berat. Misalnya dalam upacara Mappali atau upacara turun sawah yang diadakan selama tujuh hari tujuh malam untuk memperoleh hasil panen yang melimpah. Puncak dari acara tersebut adalah Ma’giri yaitu sebuah tarian ritual menusuk bagian-bagian tubuh seperti perut, pinggang atau leher menggunakan keris yang dilakukan dalam keadaan trans (sedang dirasuki oleh roh leluhur atau dewata). Jika sang Bissu terbukti kebal maka dia dianggap dapat memberikan berkat bagi masyarakat. Bissu memiliki peranan yang sangat penting dalam adat maupun struktur masyarakat Bugis, sebagaimana tercatat dalam karya sastra berbentuk teks atau kitab kuno La Galigo yang ditulis pada abad ke-13 (sebelum kedatangan Islam). La Galigo adalah kitab sakral bagi masyarakat Bugis yang berbentuk epos. Tugas-tugas bissu, menurut La Galigo, adalah menjadi keluarga raja dan bertugas menjaga Arajang (pusaka keramat), penasihat perkawinan, mendoakan kesuburan pengantin perempuan, serta tempat untuk berobat.
Bissu juga sering diminta untuk membantu menyelesaikan masalah rumah tangga. Jika seorang istri meninggalkan suaminya maka sang suami akan pergi menemui bissu untuk meminta pertolongan. Konon, dalam tiga hari tiga malam sang istri akan kembali ke rumah. Tak hanya itu, bisu juga berperan sebagai pendeta yang memberikan pemberkatan. Dalam upacara adat untuk meminta kesuburan, misalnya. Jika pasangan suami istri tidak dikaruniai keturunan maka mereka akan datang bersama keluarganya untuk meminta pemberkatan dari bissu. Bissu akan membunyikan simbal untuk membangunkan dewata kemudian menyalakan dupa untuk menuntun jalannya dewata. Dewa kesuburan tertentu kemudian merasuki bissu dan memungkinkannya untuk memberi kesuburan kepada pasangan, laki atau perempuan. Tradisi ini diduga memiliki keterkaitan dengan hijra di India yang melukai penisnya sendiri dalam ritual serupa. Hijra memiliki posisi sebanding dengan bissu dan dianggap dapat memberikan karunia berupa kesuburan, karena penisnya tidak berfungsi.
Dukun beranak laki-laki jarang sekali di Indonesia dan hanya dapat dijumpai di Bali dan di antara suku Lauje di Sulawesi Tengah, yang mana laki-laki memiliki monopoli dalam proses persalinan, beberapa bissu juga turut membantu persalinan. Dalam kitab La Galigo, dikisahkan bahwa bissu sering diminta untuk membantu proses kelahiran keluarga kerajaan dan turut serta menentukan apakah anak yang dilahirkan tersebut benar-benar keturunan kerajaan.
Dahulu kala, darah bissu digunakan untuk mempercepat kelahiran. Haji Sangke, seorang bissu sekaligus dukun beranak menceritakan pengalamannya selama lima belas tahun membantu proses persalinan. Dia mengisahkan tentang kemampuannya untuk berkomunikasi dengan dewata demi kelancaran persalinan. Sebelum menjadi dukun beranak ia mengaku mempelajari teknik-teknik tertentu agar dapat membantu jalannya persalinan. Saat ini Haji Sangke membantu dokter di puskesmas jika ada kesulitan melahirkan.
Tak hanya membantu persalinan, bissu juga selanjutnya membantu berbagai macam ritual untuk anak-anak. Salah satunya ritual khitan anak perempuan maupun laki-laki. Khitan perempuan dilakukan dengan cara mematuk paruh ayam betina ke klitoris. Khitan perempuan umumnya diterapkan pada anak yang belum akil balig. Saat ini khitan perempuan banyak ditentang oleh masyarakat karena tidak terbukti memberikan manfaat bagi perempuan dan seringkali menimbulkan cacat fisik maupun trauma psikis. Selain itu, khitan perempuan dimaksudkan untuk mengontrol seksualitas perempuan karena di dalam sistem patriarkat adalah hal yang tabu bagi seorang perempuan untuk menunjukkan hasrat seksual.
Walaupun dalam struktur masyarakat Bugis keberagaman gender ini sudah ada selama ribuan tahun, bukan berarti mereka bebas dari diskriminasi dan lantas otomatis diterima oleh masyarakat ataupun oleh keluarga. Apalagi semenjak masuknya Islam pada abad ke-17 yang ajarannya bertentangan dengan budaya tradisional Bugis.
Kisah Haji Mappaganti sebagai seorang calabai dapat menjadi contoh. Sejak kecil ia sudah merasakan kecenderungan menjadi calabai. Ia senang mengenakan pakaian perempuan dan bermain dengan mainan anak perempuan. Ekspresi gendernya yang feminin membuat orang tuanya geram. Ia sering dipukuli dan dipaksa untuk bertingkah lebih maskulin meskipun pada akhirnya usaha tersebut tidak berhasil. Bagi Haji Mappganti, ada kekuatan yang tidak dapat ia kendalikan sehingga membentuk subjektifitas gendernya.
Kisah tiap individu dalam perjalanan menentukan gendernya bisa bervariasi. Maman, seorang calalai mengaku dibesarkan sebagai anak laki-laki sejak lahir. Bagi Maman bukan hanya faktor x yang membuatnya menjadi calalai tetapi juga pola asuh orang tua yang membesarkannya sebagai laki-laki. Maman mempunyai delapan saudara perempuan dan orang tuanya sejak dulu menginginkan anak laki-laki. Senasib dengan Maman, Elli memiliki kisah serupa. Ia mempunyai enam kakak laki-laki sedangkan Ibunya sejak dulu begitu menginginkan kelahiran seorang anak perempuan. Walhasil, Elli dibesarkan sebagai perempuan, didandani dan diperlakukan seperti anak perempuan. Baik Elli, Maman dan Haji Mappaganti mengaku bahwa mereka merasakan faktor x (mereka menyebutnya demikian karena kesulitan untuk menjelaskan dengan gamblang dan jelas apa yang mereka rasa) yang juga berpengaruh terhadap subjektifitas ekspresi gender mereka. Elli sendiri menegaskan bahwa faktor x dan pola asuh orang tuanya saling memengaruhi, jika tidak ada faktor x maka tidak mungkin ia dapat menjadi calabai dan begitu juga sebaliknya.
Di dalam sistem patriarkat terdapat dua wacana dominan terkait ekspresi gender, yaitu feminin dan maskulin. Tentu wacana tersebut juga berdampak terhadap keseharian kelompok gender non-biner tradisional. Tidak seperti wacana gender kontemporer, bagi seorang calalai satu-satunya contoh ekspresi gender yang mereka ketahui adalah maskulinitas. Pandangan hitam-putih tentang ekspresi gender di Indonesia memainkan perannya di sini. Perempuan yang ekspresi gendernya tidak sesuai dengan tuntutan “ideal” masyarakat dianggap seorang calalai karena tidak ada tempat untuk perempuan yang memiliki ekspresi gender maskulin. Pandangan ini menimbulkan problem tersendiri bagi calalai dan calabai yang menikahi satu sama lain.
Kisah Ance dan Wawal bisa sedikit menggambarkan bagaimana peran gender tradisional dan heteronormativitas masih mengakar dengan kuat di dalam masyarakat Bugis. Ance adalah calalai dan Wawal adalah calabai. Sebagai calalai, Ance diharapkan untuk berperan sebagai suami dan Wawal sebagai calabai dibebankan tugas sebagai istri. Mereka berdua menikah karena dua perempuan atau dua laki-laki tidak dapat menghasilkan keturunan. Pada awalnya pernikahan mereka baik-baik saja. Wawal mengerjakan “tugasnya” sebagai istri seperti membersihkan rumah dan memasak sedangkan Ance bekerja sebagai petani. Perlahan-lahan masalah muncul ke permukaan. Wawal menjadi malas dan tidak ingin mengerjakan perannya sebagai istri. Wawal ingin Ance mengerjakan pekerjaan domestik sekaligus mengurus anak dan bekerja untuk menafkahi keluarga. Akibatnya Ance mendapatkan beban kerja ganda.
Ance frustasi karena baginya calalai haruslah meninggalkan “pekerjaan feminin” dan mengerjakan pekerjaan yang maskulin. Bagi Ance, memasak adalah pekerjaan perempuan dan seharusnya seorang calalai tidak mengerjakan pekerjaan domestik. Konstruksi peran gender tradisional masih dominan dan membentuk suatu pemahaman bagaimana peran suami-istri seharusnya dijalankan. Wacana keluarga heternormatif-produktif masih memengaruhi calalai dan calabai yang menikah. Sekalipun dalam tataran ekspresi gender mereka mendobrak norma yang ada dengan bertukar peran, tetapi pada akhirnya mereka masih terjebak nilai-nilai keluarga patriarkal, yaitu keluarga terdiri dari perempuan dan laki-laki, berorientasi pro-kreasi dan membagi tugas dalam rumah tangga berdasarkan jenis kelamin.
Hubungan sesama jenis sendiri di kalangan gender non-biner tradisional bukanlah hal yang asing meskipun tetap tabu untuk dibicarakan. Akan tetapi, heteronormativitas masih menjadi bayang-bayang yang menghambat sekaligus mengontrol pandangan masyarakat bugis maupun di kalangan gender non-biner tradisional sendiri. Khususnya pandangan masyarakat terhadap hubungan antara calalai dan perempuan. Banyak rumor beredar tentang betapa pentingnya calalai menggunakan dildo atau vibrator untuk berhubungan seksual. Yulia, seorang calabai ketika diwawancarai mengatakan bahwa hubungan antara calalai dan perempuan adalah perbuatan yang berdosa, sedangkan ia tidak mempermasalahkan hubungan antara calabai dan seorang laki-laki. Yulia mengatakan bahwa tidak mungkin calalai dapat berhubungan seksual dengan perempuan karena mereka tidak memiliki alat (penis), sedangkan sesama calabai bisa berhubungan seksual karena mereka memiliki penis. Hubungan seksual masih heteroseksis (hanya dapat dilakukan oleh pasangan heteroseksual) dan dianggap eksklusif milik laki-laki.
Posisi calalai dalam masyarakat Bugis memiliki problemnya tersendiri. Calalai mengalami berbagai macam diskriminasi dan stereotip yang melekat pada mereka. Sebenarnya, hubungan sesama jenis masih dianggap sebagai penyakit oleh masyarakat Bugis. Calalai yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki pasangan sesama jenis dipandang sebelah mata, karena bagi masyarakat kebahagiaan perempuan hanya bisa didapatkan melalui perkawinan heteroseksual, melahirkan anak dan membangun keluarga.
Lima Gender dan Kedatangan Islam
Selain modernisasi, kedatangan Islam di Sulawesi Selatan pada awal tahun 1600an membawa persoalan tersendiri bagi kelompok gender non-biner tradisional. Banyak adat Bugis Kuno yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, salah satunya terkait dengan keberadaan bissu. Agama Islam sering dijadikan sebagai justifikasi sentimen anti-bissu.
Pada kisaran tahun 1950–1960, sentimen terhadap bissu semakin memuncak ketika gerakan Islamis menguat. Pada awal 1960an, Tentara Islam Indonesia menjadikan bissu sebagai target operasi mereka dan mengakibatkan banyak bissu yang terbunuh. Gerakan DII/TII (Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia) yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia menjadi salah satu dalang pembunuhan tersebut.
Tahun 1966 menjadi puncak penderitaan para bissu. Operasi Toba (Operasi Taubat) yang diprakarsai oleh kelompok konservatif pengusung purifikasi agama menuntut agar praktik-praktik adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dilarang. Upacara adat diberhentikan dengan paksa dan atribut yang menyertainya dibakar dan dibuang ke laut. Bissu diburu dan dikejar, hingga lari ke hutan-hutan. Bissu yang tertangkap dipaksa untuk bekerja di ladang dengan maksud mengubah mereka menjadi laki-laki maskulin dan heteroseksual. Jika menolak, mereka bisa dibunuh. Salah seorang bissu bernama Sanro Makgangke dipenggal dan kepalanya dipertontonkan di hadapan publik.
Puluhan tahun telah berlalu, tetapi bukan berarti dalam masyarakat Bugis modern mereka sudah tidak didiskriminasi lagi. Doktrin agama Islam yang saat ini dipeluk oleh mayoritas warga Sulawesi, memberikan pengaruh yang signifikan kepada padangan masyarakat terhadap bissu, yang lantas dianggap musyrik karena menganut konsep kepercayaan yang berbeda.
Bukan hanya tradisi seksual yang berubah. Andi Mankgo, seorang ahli adat mengungkapkan bagaimana dulu masyarakat terbiasa mengonsumsi tikus sawah dan kemudian menghentikan konsumsi tersebut, karena dalam pandangan Islam tikus haram untuk dikonsumsi. Jaman dahulu mereka memiliki banyak kuil-kuil kecil (tempat untuk beribadah) namun karena bertentangan dengan agama Islam maka kuil-kuil tersebut terpaksa dihancurkan.
Petani yang dahulu kala berdoa di pohon untuk memohon hasil panen yang melimpah sekarang tidak dapat melakukannya lagi karena praktik tersebut dianggap menyembah berhala. Haji Yamin juga meninggalkan ritual Ma’giri karena melukai diri sendiri dianggap berdosa.
Namun, adat-adat tradisional bukan berarti musnah begitu saja. Modifikasi dilakukan agar ritual bisa lebih diterima struktur masyarakat Bugis yang baru—kendati menuai banyak perdebatan. Perdebatan antara dua orang bissu, Haji Yamin dan Mariani tentang pelaksanaan ritual Ma’giri bisa dijadikan sebagai acuan. Bagi Mariani ritual tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena menurutnya jika Allah tidak mengizinkan ritual tersebut maka pasti ia dan bissu-bissu lain sudah mati karena tertusuk oleh benda tajam.
Uniknya Haji Yamin mendapatkan tempat tersendiri di masyarakat Bugis dan keberadaannya diterima walau penampilannya kontras dengan pandangan Islam konservatif tentang ekspresi gender. Haji Yamin, yang berusia 70 tahun ini disegani oleh masyarakat karena ketaatannya dalam beribadah. Sehari-hari ia mengenakan peci disertai eyeliner dan lipstick. Konon katanya ia pernah naik haji sebanyak 27 kali. Namun, di saat masyarakat Bugis yang mayoritas muslim lebih bisa menerima posisi bissu/calabai, calalai masih dituntut untuk tunduk pada peran-peran gender tradisional.
Berdasarkan penuturan bapak Ahmad (nama disamarkan) yang tinggal di desa Biromaru kabupaten Sigi, bahwa sudah sewajarnya keberadaan kelompok gender non-biner tradisional dihilangkan karena mereka adalah antek PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bertujuan untuk mendirikan negara ateis. Miskonsepsi akan sejarah keberadaan peran gender tradisional ini serta tuduhan-tuduhan tidak berdasar laris-manis dikonsumsi oleh masyarakat.
Kita dapat melihat beberapa kemiripan atas diskriminasi yang dialami oleh kelompok LGBT tradisional dan kelompok LGBT modern walaupun tidak serupa. Wacana atas keberadaan minoritas orientasi seksual dan ekspresi gender non-biner sudah dieksklusikan sejak lama. Ini menunjukkan fakta bahwa eksistensi mereka sudah ada selama ratusan tahun nampaknya belum cukup untuk memperbaiki kondisi kelompok LGBT modern.
Saya yakin, para politikus yang mengatakan bahwa LGBT bukanlah bagian dari budaya Indonesia bisa jadi sudah membaca atau mengetahui eksistensi mereka dalam kerangka budaya tradisional Indonesia. Yang jadi pertanyaan, pedulikah mereka terhadap fakta tersebut? Benarkah masyarakat kita hari ini akan otomatis mengubah pikiran mereka dengan hanya membaca fakta historis ini? Kalau memang demikian, mengapa berita-berita hoax tentang kelompok LGBT di media arus utama masih populer dan mendominasi wacana tentang LGBT?
Pembacaan akan keberadaan LGBT di dalam sejarah Indonesia memang diperlukan, tetapi kita tidak bisa tebang pilih dan mengabaikan fakta-fakta historis yang ada dan menutup mata atas diskriminasi yang juga dialami oleh mereka. Perbedaan antara ruang-waktu dan relasi sosial yang terjadi di masa sekarang tentu akan berdampak atas pembacaan situasi yang ada. Fakta-fakta historis ini belum tentu dapat membuka mata orang-orang yang anti terhadap LGBT dan tentu saja tidak menggambarkan kehidupan yang adil bagi kelompok LGBT hari ini. Hal ini juga tidak serta merta membebaskan LGBT dari kontrol dan kuasa patriarki sebagai biang keladi atas penindasan yang mereka hadapi.***
Penulis adalah mahasiswi fakultas hukum dan redaktur Merah Muda Memudar.
Versi awal tulisan ini telah diterbitkan di Merah Muda Memudar. Dimuat ulang di IndoPROGRESS untuk tujuan pendidikan.