Ilustrasi oleh Nobodycorp
SEMUA kisah cinta yang agung selalu memuat penderitaan. Taruhlah, misalnya, Romeo and Juliet, kisah roman tragedi gubahan Shakespeare yang terkenal itu. Roman yang asal mulanya dari Italia tersebut diadaptasi ke banyak kebudayaan. Cerita ini berakhir dengan kematian tragis.
Kedua insan tersebut tidak harus saling mencintai. Mereka terjerat pada sekat-sekat sosial dimana mereka terlarang untuk saling berhubungan. Tidak banyak pilihan. Namun toh mereka memilih mencintai dan melanggar sekat-sekat itu. Disitulah letak keagungannya yang mempesona. Tidak heran begitu banyak kebudayaan mengadopsi cerita ini sebagai miliknya. Saya mengenal roman tragis semacam itu dalam bentuk pentas Drama Gong Sampek Engtay yang sering saya tonton pada masa kecil saya.
Uniknya, selalu saja cinta yang menderita itu lahir dari hubungan kekuasaan. Dalam masyarakat feodal, misalnya, mereka yang tidak berdarah biru dilarang mencintai aristokrat. Kelas elit harus memelihara keunggulannya dengan cara melakukan pembatasan genealogis. Hanya aristokrat yang berhak mengawini aristokrat. Kejumawaan kelas elit ini terpelihara dengan baik karena ditopang oleh penguasaan mereka terhadap sumber ekonomi terpenting, yakni: tanah.
Bagaimana kekuasaan menghancurkan hubungan cinta dua insan berbeda latar belakang juga muncul pada tetralogi roman Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya menggambarkan dengan sangat menawan bagaimana percintaan antara Minke dan Annelies dihancurkan oleh negara kolonial hanya perbedaan rasial. Annelies, gadis keturunan Indo-Jawa, masuk ke dalam golongan (ras) Eropa yang terlarang bercinta dengan pribumi (sekalipun seorang aristokrat) seperti Minke.
Kita membayang kisah cinta seperti ini hanya hidup di cerita novel atau film. Namun, tema cinta yang dibikin menderita oleh kekuasan ini toh terkadang muncul dalam hidup sehari-hari kita. Tidak peduli sekarang sudah abad ke-21.
***
Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimkan sebuah pidato pembelaan (pledoi) di pengadilan. Ini adalah pledoi yang tidak biasa untuk sebuah kasus hukum yang biasa. Kasusnya adalah dakwaan terhadap seseorang bernama Fidelis Arie Sudewarto. Dia dituduh melakukan kejahatan karena cintanya terhadap istrinya.
Kasusnya mulai sejak dia ditangkap 19 Februari 2017 karena kedapatan menanam 39 batang pohon ganja (cannabis sativa). Adakah dia menanam pohon larangan itu untuk dijual atau dikonsumsi sendiri? Ternyata tidak. Dia menanamnya sebagai cintanya kepada istrinya, Yeni Riawati, yang ditemukan menderita penyakit syringomyelia. Dia nekat menanam tanaman yang oleh digolongkan negara sebagai narkotika tersebut karena menemukan bahwa ekstrak ganja ternyata mampu memberikan perbaikan pada kesehatan istrinya. Untuk itulah Fidelis ditahan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Tragedi ini bermula pada tahun 2013 ketika istri Fidelis mengandung anak kedua. Kaki kanannya tiba-tiba tidak dapat digerakkan. Penyakitnya itu datang dan pergi. Hingga Januari 2016, keadaan Yeni semakin parah dan kemudian diketahui bahwa dia menderita syringomyelia. Penyakit ini menyerang tulang belakang Yeni karena adanya kista yang tumbuh disana. Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi. Namun kondisi Yeni sudah terlalu lemah untuk dioperasi.
Keadaan ini tidak membuat Fidelis, seorang pegawai negeri di Pemda Kab. Sanggau, menyerah. Dia melakukan riset secara online dan mendapati bahwa penyakit istrinya bisa disembuhkan dengan memberikan minyak yang mengandung ekstrak ganja. Dia juga berhubungan dengan berbagai pihak di luar negeri dan melakukan percobaan-percobaan untuk membikin sendiri minyak ekstrak ganja tersebut.
Fidelis merawat sendiri istrinya. Kabarnya, perawatan secara intensif itu membuahkan hasil. Keadaan istrinya membaik. Namun usahanya itu terhenti ketika petugas dari BNN menangkapnya karena menanam ganja. Petugas BNN juga memindahkan istrinya ke rumah sakit. Tiga puluh dua hari kemudian, istri yang amat dicintainya itu meninggal dunia.
Hukum negara sama sekali tidak memberikan ampun kepada Fidelis. Ketua BNN Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Waseso mengatakan bahwa tidak ampun untuk Fidelis. “Penyembuhan itu kan harus melalui medis. Kata siapa itu menyembuhkan. Itu kan katanya. Penelitian secara medisnya kan belum ya. Itu jangan alat pembenaran sehingga ada keinginan beberapa kelompok masyarakat atau LSM agar ganja dibebaskan Salah satunya caranya itu seolah untuk pengobatan. Buktinya apa?” katanya.
Kekuatiran Budi Waseso adalah bahwa kasus Fidelis akan dipergunakan sebagai pembenaran legalisasi ganja. Beberapa negara memang sudah melegalisasi pemakaian ganja baik sebagai pengobatan atau semata-mata sebagai sarana rekreasi dan relaksasi. Untuk negara-negara yang melegalisasi ganja, pemakaian ganja kurang lebih sama seperti pemakaian tembakau dan alkohol.
Di negara konservatif seperti Indonesia, ganja dianggap sebagai representasi dari kerusakan moral. Negara dimana 64,9% penduduk laki-laki dewasanya perokok ini mengharamkan ganja. Indonesia mengolongkan ganja sebagai bagian dari Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) yang terlarang.
***
Tanggal 19 Juli lalu, Fidelis menyampaikan nota pembelaan atas tuduhan menanam ganja yang terlarang itu. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Fidelis hukuman lima bulan penjara dan denda Rp 800 juta subsider satu bulan penjara. Hukuman ini tentu berat untuk seorang pegawai negeri sipil. Disamping itu dia memiliki tanggungan dua anak.
Sebagaimana layaknya pengadilan, Fidelis diberi kesempatan untuk membela diri. Alih-alih menggunakan kesempatan untuk membela diri, Fidelis memakai kesempatan itu untuk menulis surat untuk istrinya tercinta, Yeni Riawati.
Namun justru disanalah letak kekuatan Fidelis. Kepada Majelis Hakim dia menjelaskan bagaimana dia ditangkap dan tidak mendapat kesempatan untuk menjelaskan kepada istrinya apa yang sesungguhnya terjadi. Saat ditangkap, petugas BNN dan kepolisian memberinya kesempatan untuk kembali ke rumahnya.
Disana dia langsung menemui istrinya. Fidelis mencium kedua pipi istrinya dan merapikan rambutnya dengan tangan. Dia menangis. Istrinya terbangun dan bertanya-tanya, “Kenapa Papa menangis?” Dia berusaha tersenyum. Sambil menahan air mata, dia menjelaskan bahwa petugas BNN akan menggantikannya merawat istrinya. Dia mengusap air mata di pipi istrinya. Namun hatinya hancur lebur.
Bagian terpenting dari nota pembelaan Fidelis adalah suratnya kepada istrinya yang sudah tiada itu. Berikut adalah petikan surat tersebut:
“Mama, banyak hal yang ingin Papa utarakan kepada Mama. Tetapi, Papa tidak ingin membuat Mama menjadi khawatir. Mama harus tetap semangat agar segera sembuh. Papa tahu selama ini Mama sudah letih dan putus asa karena sakit yang Mama derita tidak kunjung sembuh, padahal sudah berganti-ganti rumah sakit, sudah memakan bermacam-macam obat dari dokter, pergi ke berbagai pengobatan alternatif, dan minum obat-obatan herbal. Namun, semua itu tidak membuat Mama menjadi lebih baik, malahan hanya menguras habis semua tabungan yang sudah susah payah kita kumpulkan bersama. Rencana kita untuk mengecat rumah pun harus kandas lagi, padahal semenjak kita berhasil membangun rumah sederhana kita secara bertahap, kita belum pernah mengecatnya, bahkan sampai atapnya ada yang bocor, Papa pun belum bisa memperbaikinya.
Papa tak ingin Mama menjadi sedih. Yang penting Mama harus sembuh dulu. Tentu Mama masih ingat doa yang selalu kita selipkan di saat kita berdoa rosario bersama-sama:
“Tuhan kami serahkan segalanya kepada-Mu. Tunjukkanlah kami jalan selangkah demi selangkah menuju kebaikan-Mu agar semuanya menjadi indah pada waktunya.”
[P]ada akhir tahun 2015, dokter berhasil memastikan penyakit yang Mama derita. Dokter mengatakan bahwa Mama menderita penyakit Syringomyelia. Penyakit ini tergolong langka. Satu-satunya cara untuk mengobatinya adalah dengan operasi. Namun, kondisi Mama sudah sangat lemah.
Papa kemudian mengumpulkan informasi dari berbagai sumber tentang penyakit Mama. Salah satu informasi yang Papa dapatkan berasal dari situs Worldwide Syringomyelia and Chairi Task Force. Papa menghubungi pendirinya dan berkenalan dengannya. Namanya Beth Nguyen. Dia tinggal di Northwest Georgia, Amerika Serikat. Dia menjelaskan seluk-beluk penyakit syringomyelia kepada Papa. Dia juga mengajarkan dan memberi panduan untuk merawat dan mengetahui perkembangan penyakit syringomyelia secara sederhana.
Beth pernah menjelaskan bahwa penyakit yang telah ditemukan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu ini belum ditemukan obatnya sampai sekarang. Tindakan penyedotan cairan dan pemasangan shunt cateter melalui jalan operasi hanya membuat penderita merasa nyaman pada jangka waktu tertentu. Cairan itu akan datang kembali dan shunt cateter-nya harus diganti lagi dengan operasi. Papa tidak ingin membuat Mama menjadi putus asa karena penyakit Mama tidak dapat disembuhkan total melalui tindakan medis.
Berbekal pengetahuan yang Papa dapat dari Worldwide Syringomyelia and Chairi Task Force, Papa bisa merawat dan mengetahui kondisi Mama. Kondisi Mama semakin menurun. Mama semakin sulit untuk menelan makanan, walaupun makanan Mama sudah Papa blender. Kedua kaki Mama semakin kaku. Mama bahkan tidak bisa merasakan saat dipijit atau saat kaki Mama Papa bersihkan. Kekakuan itu bahkan sudah menjalar ke tangan kiri Mama. Tangan Mama menjadi terlipat dan tidak dapat digerakkan. Keringat di sebelah kanan tubuh Mama juga tidak berhenti. Urin di selang kateter semakin sering membawa gumpalan berwarna putih sampai akhirnya kateter itu tersumbat. Mama pun semakin jarang Buang Air Besar (BAB), kadang hingga sampai dua minggu. Mama semakin sulit untuk tidur. Kalaupun bisa tertidur, itu hanya sebentar sekali. Mama mudah terkejut dan terbangun. Mama selalu menolak kalau diajak bicara. Papa menjadi sangat sedih. Padahal, luka-luka di tubuh Mama terus bertambah dan semakin besar serta dalam. Perawat yang setiap hari datang ke rumah mengobati luka Mama pun sampai kehabisan akal dan bingung karena luka-luka itu tidak kunjung sembuh.
Di dalam kegalauan, Papa terus berupaya untuk menyembuhkan Mama. Papa akhirnya menemukan artikel di sebuah web blogger yang ditulis oleh Christina Evans. Dia adalah seorang ibu dengan dua orang anak yang tinggal di Delta British Colombia, Canada. Sejak tahun 2013, dia telah didiagnosa menderita penyakit syringomyelia. Selama beberapa tahun, dia menderita karena syringomyelia yang dideritanya. Bahkan, obat-obatan dari dokter dengan dosis maksimum yang dikonsumsinya tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Kemudian, dia beralih pada pengobatan menggunakan ekstrak ganja. Semenjak menggunakan ekstrak ganja, hidupnya kembali normal. Ia bisa mengurusi keluarga dan dapat bekerja di salah satu studio yoga.
Papa tidak percaya begitu saja. Bagaimana mungkin ganja yang selama ini dikenal sebagai perusak malah bisa menjadi obat? Setelah Papa berhasil berkomunikasi dengan Christina Evans melalui akun facebooknya dengan nama “Fighting Syringomyelia with Cannabis Oil”, ternyata Christina Evans menggunakan ekstrak ganja setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter yang merawatnya. Salah satu di antaranya adalah dari dokter di Fraser Medical Clinic di Canada. Kandungan obat yang terdapat di dalam ekstrak ganja ini kemudian mempertemukan Papa dengan banyak ilmuwan yang telah meneliti khasiat ganja sebagai obat. Dr. Raphael Mechoulam dari Hebrew University of Jerusalem, Israel, Dr. Vincenzo Di Marzo dari Endocannabinoid Research Group Italy, Dr. Christina Sanchez dari Compultense University di Madrid, Spanyol, Dr. Kirsten Müller-Vahl, MD dari Hannover Medical School (MHH), Germany, Dr. Donald P. Tashkin dari University of California, Amerika Serikat, Dr Aymen I Idris, MSc, PhD dari University of Edinburgh, Inggris, dan masih banyak peneliti lain yang menjelaskan bahwa ganja memang berpotensi untuk mengobati penyakit yang sulit atau bahkan tidak bisa ditangani oleh obat-obatan medis seperti kanker, Alzheimer, epilepsi, diabetes, schizophrenia, parkinson, arthritis, asma, bahkan HIV/AIDS.
Mama, bagaimana Papa harus menjelaskan semua ini kepada Mama? Ketika Papa berusaha mencari izin dan dispensasi agar bisa mendapatkan dan menggunakan ganja untuk mengobati Mama, tidak ada satu pun yang dapat membantu Papa. Penggambaran ganja yang begitu buruk tanpa didukung hasil penelitian ilmiah begitu kuat di negeri kita, bahkan ganja menjadi tanaman nomor satu yang dilarang penggunaan dan pemanfaatannya.
Mama, di antara hembusan napas Mama yang semakin hari semakin sulit, membuat Papa akhirnya memutuskan menggunakan ganja untuk mengobati Mama. Sebab di dunia ini, cannabinnoid hanyalah ditemukan pada tanaman ganja. Steep Hill Laboratory yang salah satu laboratoriumnya berada di Denver, Colorado, Amerika Serikat menjelaskan bahwa unsur kimia yang sama dengan canabinnoid juga ditemukan pada tubuh manusia yang berfungsi sebagai reseptor cannabinoids. Jorge Cervantes yang tinggal di Israel dan Edward Rhosental dari Amerika yang dua-duanya berprofesi sebagai ahli tanaman holtikultura menegaskan bahwa cannabinoid yang baik digunakan untuk pengobatan adalah yang berasal dari bunga ganja yang dirawat secara khusus. Beruntung Papa bisa mendapatkan bimbingan untuk merawat tanaman ganja secara organik dari sepasang suami istri, John dan Amanda Seckar, yang tinggal di Washington D. C, Amerika Serikat. Papa juga dibantu oleh Emily Grand, seorang botanical steel di Kanada yang memilihkan lampu agar klorofil A dan klorofil B pada tanaman dapat bekerja secara maksimal.
Papa juga mendapatkan panduan dari Rick Simpson untuk mengekstrak ganja dengan proses moserasi yang sangat sederhana dan dapat dilakukan sendiri di rumah, melakukan proses dekarbolisasi untuk mengubah tetrahydrocannabivorin menjadi tetrahydrocannabinoid sebagai zat psikoaktif yang berfungsi sebagai obat analgesik, antibakteri, antikanker, antispasmodic, appetit stimulant, bronchodilator, neuroprotective, dan bone stimulant.
Mama, Papa masih ingat di awal bulan Januari 2017, ketika Papa terbangun dari tidur di antara buku-buku, sambil memegang tablet Lenovo di samping tempat tidur Mama, Papa mendengarkan Mama menyanyikan lagu “Pelangi Sehabis Hujan”. Papa sungguh bahagia bisa mendengarkan Mama bernyanyi kembali setelah Papa mencampurkan minjak ganja pada makanan atau minuman Mama, menambahkan beberapa lembar daun ganja pada telur omelet kesukaan Mama, serta membuatkan Mama jus alpukat susu bersama daun dan bunga ganja segar. Dr. Rachna Patel yang berprofesi sebagai The Medical Marijuana Expert di San Fransisco, California mengatakan bahwa susu mampu mengikat cannabinoid dengan baik dan meningkatkan penyerapan protein. Itu sebabnya tubuh kita hampir tidak mungkin mengalami overdosis ganja karena kelebihan cannabinonoid akan disimpan di dalam lemak tubuh.
Semenjak Papa mulai intensif memberikan Mama ekstrak ganja, Mama juga mulai lancar berkomunikasi kembali. Kita jadi sering berbagi cerita kembali. Mama banyak mengingat kenangan-kenangan yang pernah kita lalui bersama. Bagaimana kita bertemu pertama kali dan mulai dekat di saat perkuliahan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatur waktu dari padatnya jadwal perkuliahan agar dapat pergi ke gereja bersama-sama pada hari Minggu pagi dan mengikuti pendalaman iman di Kanisius Yogyakarta pada sore harinya. Bagaimana galaunya kita ketika Papa tidak ada uang untuk membayar uang praktikum di jurusan mekatronika yang sangat mahal pada waktu itu dan akhirnya Papa memutuskan berhenti kuliah karena tidak memiliki biaya. Perjuangan kita pun terus berlanjut. Mama bercerita betapa sedihnya Mama setelah kita hidup bersama di Kalimantan karena harus meninggalkan Papa untuk melanjutkan kembali pendidikan bahasa Inggris di Magelang.
Setelah Papa memberikan Mama ekstrak ganja, Papa tidak perlu lagi membeli Sanoskin Oxy seharga Rp320.000,- untuk obat luka Mama yang satu botolnya hanya bisa dipakai 3 – 4 hari. Mama tidak perlu minum aprazolan atau zypas agar Mama bisa tidur, tidak perlu minum ulsafate sulcralfate agar Mama tidak muntah dan bisa menelan makanan, tidak perlu minum Dulcolax atau injeksi di anus agar Mama bisa Buang Air Besar (BAB). Mama tidak perlu meminum obat-obat kimia yang ternyata tidak efektif menyembuhkan Mama. Cukup dengan ekstrak ganja, Papa sudah bisa melihat senyuman di wajah Mama lagi.
Mama, Papa jadinya banyak menghemat uang. Papa bisa membelikan sepeda kecil untuk Samuel. Mama belum pernah lihat kan, betapa lincahnya Samuel mengendalikan sepedanya? Papa sebenarnya ada merekam videonya, tapi Papa belum sempat menunjukkannya kepada Mama. Semenjak Mama tidak dapat memberikan Air Susu Ibu (ASI) untuk Samuel karena Mama sakit, Samuel tetap tumbuh menjadi anak yang sehat dan aktif. Saat akan tidur di malam hari, dia hanya perlu mencari sebotol dot berisi teh manis dan sebuah boneka sapi hitam putih yang buntutnya sudah butut. Mama tau nggak, boneka itu sebenarnya hanya hadiah dari salah satu produk makanan anak-anak yang dibelikan budenya. Samuel dapat tidur nyenyak dan terlelap bersama boneka sapi kesayangannya itu.
Mama, Samuel sekarang juga sudah bisa makan sendiri. Dia duduk di lantai sambil memangku piringnya, memasukkan sesuap demi sesuap nasi ke dalam mulutnya. Mama pasti akan tertawa kalau melihat pipinya yang belepotan karena nasi yang menempel ke mana-mana.
Tanggal 28 Mei 2017 yang lalu, Samuel berulang tahun yang ketiga. Papa tidak tahu, siapa yang menemaninya. Papa masih mengurusi obat untuk Mama, sedangkan Mama pun sudah tak bisa lagi menemani Samuel.
Budenya bilang sama Papa kalau Samuel sudah bisa bernyanyi:
Daddy Finger, Daddy Finger, where are you?
Here I am, here I am. How do you do?
Mommy Finger, Mommy Finger, where are you?
Here I am, here I am. How do you do?
Mama, sebenarnya ada sesuatu hal yang ingin Papa sampaikan sewaktu Mama dibawa oleh teman-teman dari BNN ke rumah sakit. Namun, Papa khawatir kalau Papa berterus terang waktu itu akan membuat Mama menjadi shock. Beberapa bulan belakangan itu sebenarnya Papa telah mengobati Mama menggunakan ekstak ganja yang Papa olah sendiri. Papa tidak tahu bagaimana cara mendapatkan izin atau dispensasi untuk dapat menggunakan ganja sebagai obat. Pada waktu itu, sebenarnya Papa sudah ditahan oleh pihak BNN. Papa pun kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang bisa Papa lakukan untuk menolong Mama. Usaha Papa untuk memberikan panduan perawatan syringomyelia kepada dokter yang merawat Mama pun ditolak oleh dokter yang merawat Mama. Katanya mereka sudah punya SOP sendiri untuk menangani pasien, padahal Papa berharap panduan itu dapat menjadi tambahan referensi mereka untuk mengobati Mama. Papa hanya bisa pasrah.
Siapa lagi yang bisa merawat Mama di rumah sakit, selain Yuven anak kita yang pertama. Papa tidak bisa membayangkan bagaimana Yuven harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menyuapi Mama sambil berkonsentrasi untuk membaca buku-buku pelajaran yang dibawanya. Di saat teman-temannya bisa belajar di rumah dengan tenang untuk menghadapi Ujian Nasional SMP, Yuven hanya bisa bermimpi dapat belajar bersama orang tuanya. Semenjak Mama sakit di tahun 2013, dia sudah harus terbiasa ditinggal berminggu-minggu oleh Papa karena Papa harus membawa Mama berobat dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain, dari kota yang satu ke kota yang lain. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang menurut undang-undang dikategorikan masih di bawah umur bersama adiknya yang masih balita? Bagaimana hancur hatinya ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ibunya tidak lagi dapat bertahan hidup setelah selama 32 hari dirawat di rumah sakit, sementara ayahnya harus mendekam di penjara?
Mama, betapa besar kasih karunia yang diberikan Tuhan kepada keluarga kecil kita. Tuhan memberikan dua orang anak yang begitu tabah untuk melepas kepergian Mama di saat Papa harus menjalani proses hukum. Di saat Papa sudah tidak lagi mempunyai uang untuk menyewa pengacara, Tuhan pun mengutus orang-orang hebat dari Firma Hukum Ranik, Marcelina, dan Rekan untuk mendampingi Papa. Mereka bahkan tidak pernah absen mendampingi Papa di setiap persidangan, padahal mereka harus berangkat dari Pontianak ke Sanggau dan kembali ke Pontianak lagi. Sering mereka juga harus menyewa penginapan, tetapi mereka tidak pernah meminta imbalan sepeser pun.
Mama, Tuhan juga menunjukkan kebesaran-Nya melalui media sosial dan media massa. Banyak yang mendoakan Mama dan berharap agar Papa bisa segera dibebaskan. Hal ini ternyata juga menjadi salah satu pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam menjatuhkan tuntutannya. Papa bersyukur karena Jaksa Penuntut Umum begitu bijaksana dengan menjatuhkan tuntutan lima bulan penjara terhadap Papa. Hal ini tentu saja akan membuka peluang besar untuk dapat mempertahankan status Pegawai Negeri Sipil Papa. Akan tetapi, Papa juga khawatir jika nanti vonis dijatuhkan kepada Papa dan status Papa berubah menjadi narapidana, tentu saja hal ini akan mengganggu masa depan karir Papa sebagai Pegawai Negeri Sipil karena pada kegiatan-kegiatan tertentu, seorang Aparatur Sipil Negara tidak boleh cacat di mata hukum. Bagaimana juga dengan kedua buah hati kita? Pasti mereka akan merasa minder dan malu karena papanya adalah seorang narapidana atau mantan narapidana ketika Papa bebas nanti.
Mama, Papa minta maaf karena hanya bisa berterus terang melalui surat ini. Kita tidak lagi bisa bersama di dunia ini. Kita tidak lagi bisa berbincang tentang hidup ini atau bertengkar tentang rencana esok hari. Sesaat sebelum peti jenazah Mama ditutup, betapa Papa harus menguatkan diri karena tidak lagi mendengar hembusan napas Mama. Kebersamaan dan cinta kasih kita selama ini, akan menjadi harta karun yang tak ternilai untuk Papa. Selamat jalan, wahai istriku. Doa dan cintaku selalu menyertaimu.
***
Pada kasus Fidelis ini, lagi-lagi kita menemui kekuatan cinta sekaligus ketidakberdayaannya ketika berhadapan dengan kekuasaan. Fidelis berhadapan dengan kekuatan yang hendak mengatur semua hidup manusia didalamnya. Kekuatan ini adalah kekuatan yang tidak pandang bulu. Kekuatan yang sejenis juga menghancurkan cinta Romeo pada Juliet, Sampek pada Engtay, atau Minke pada Annelies.
Benar belaka bahwa kisah tragis ini telah memperlihatkan keagungan dan keindahan cinta. Namun, dalam keseharian, kita juga perlu hidup praktis yang jauh dari romantisme. Kita perlu keadilan. Kita butuh kepatutan – mereka yang sungguh-sungguh bersalah dihukum.
Hanya dengan cara demikian kita bisa bertanya: adilkah semua perlakuan dari negara terhadap Fidelis Arie Sudewarto? Tidak adakah sedikit saja celah kemanusiaan untuk dia yang dihukum hanya karena mencari kesembuhan untuk istri yang amat dicintainya itu?
Hendaklah mereka yang memiliki nurani berbicara! ***