Pendisiplinan Perempuan Dalam Doksa Ekstrimisme Agama

Print Friendly, PDF & Email

BELAKANGAN ini diskursus radikalisme Islam telah mempublik, terutama setelah pagelaran aksi “411”, “212”, atau aksi-aksi atas nama bela Islam lainnya pada saat Pilgub DKI 2016 lalu. Namun demikian, saya tidak akan menggunakan istilah ‘radikalisme agama’ karena istilah itu telah mereduksi pengertian radikalisme yang positif sebangun dengan terorisme atau ekstrimisme. Sebaliknya, saya ingin menggunakan istilah yang lebih familiar di kalangan akademisi yang menstudi fenomena-fenomena keberagamaan yang ‘keras’ ini, yakni Islamisme atau Islam Politik. Jelasnya, terlepas dari berbagai kepentingan politik yang menciptakan dan menunggangi aksi-aksi atas nama Bela Islam itu, mungkin kita melewatkan adanya praktik sehari-hari yang berlangsung “tanpa terasa” di dalam keluarga, kampung, berbagai institusi –termasuk sekolah– dalam mendisiplinkan (tubuh) perempuan muslim.

Mengenai pendisiplinan perempuan dan Islamisme ini, saya terinspirasi dari Pengajian Ramadan yang diselenggarakan di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) di Cirebon, yang saya ikuti belum lama berselang, tentang Feminisme dan Radikalisme Islam. Narasumber pengajian itu ialah KH Husen Muhammad (yang juga komisioner Komnas Perempuan) dan dihadiri cukup banyak para perempuan dari Cirebon dan Jakarta. Saya mencatat curahan hati peserta dalam forum tersebut –dan cukup mengejutkan—adalah mengenai pengucilan sosial bagi perempuan –meskipun berjilbab– di Jakarta yang dipandang tidak segaris dengan gagasan islamisme. Pengucilan sosial perempuan ini saya pandang sebagai kelanjutan dari pendisiplinan perempuan yang dalam praktik yang terjadi sehari-hari dalam kompleks pemukiman dan tempat kerja –setidaknya di Jakarta-Depok.

Dalam pengajian itu, saya tertarik pada tesis KH Husen Muhammad, bahwa perempuan menjadi korban terdepan dari ekstrimisme agama (dalam hal ini Islam) karena perempuan ditafsirkan sebagai “sumber kesialan”, meski tafsir ini ambigu. Di satu pihak perempuan dijadikan obyek kesenangan (seksual), dan di lain pihak perempuan dijadikan obyek kemarahan (pelampiasan) terhadap sesuatu yang dipandang sebagai “musuh bersama”.

Bagaimana perempuan ditafsirkan sebagai “sumber kesialan”? Saya akan mengajak pembaca menyingkap sumber kesialan itu pada praktik pendisiplinan tubuh perempuan, terutama perempuan muslim, untuk menciptakan identitas “islamis” bagi gerakan tersebut.

 

Sumber Masalah: Keterasingan dan Krisis

KH Husen Muhammad menjelaskan bahwa sumber ekstrimisme agama berasal dari praktik penindasan dalam kapitalisme global. Tetapi sebagaimana gejala yang sekarang terjadi, rupanya reaksi terhadap penindasan diekspresikan ke dalam berbagai bentuk pemikiran keagamaan –antara lain Islam (sebagai catatan: pemikiran keagamaan adalah tafsir atas agama, bukan agama itu sendiri). Islamisme merupakan salah satu varian dari gerakan yang bereaksi terhadap penindasan, namun perhatian mereka malah bukan pada kondisi manusia yang tertindas itu sendiri. Mereka hendak mengubah masalah hancurnya martabat manusia dengan kembali kepada “kebenaran” epistemologis, yaitu ketunggalan atas pemaknaan teks (Al Quran dan Hadist) sebagaimana yang terjadi pada masa khilafah dan syariat.

Tesis KH Husen Muhammad yang terpenting di sini adalah bahwa sumber ekstrimisme agama berpangkal pada penindasan kapitalisme global. Buah dari penindasan di bawah kapitalisme telah dikatakan Marx, menciptakan keterasingan (alienasi) manusia yang bersumber pada keterasingan atas apa yang dikerjakan oleh manusia tersebut. Di bawah kapitalisme orang bekerja bukan untuk merealisasi dirinya, melainkan untuk mendapatkan upah agar dapat melangsungkan hidup. Akibat keterasingan ini, manusia menjadi terasing dari produk yang dihasilkan oleh tangan dan keringatnya, yang kemudian menghilangkan makna martabat dan harga diri serta relasi-relasi sosialnya sebagai manusia. Contoh itu banyak kita jumpai dalam masyarakat. Para artis yang di panggung dipuja-puja massanya, hanya sempat menikmati sesaat popularitsnya saat di panggung, namun di dalam rumah dan kamarnya dia terasing dari produk kerjanya. Sebab, ia telah menjadi komoditas yang diatur oleh managemen bisnis. Ia bukan dirinya. Itu sebabnya banyak artis populer yang bunuh diri maupun jatuh ke dalam pelukan narkoba. Begitu pula dengan rakyat pekerja –buruh, tani, pedagang eceran– mereka dipaksa untuk memproduksi barang dan jasa tetapi bukan dalam kehendak bebasnya untuk memproduksi barang dan jasa tersebut. Akibatnya, mereka kehilangan harga dirinya sebagai buruh, petani maupun pedagang eceran dan kerapkali menafsirkan kondisinya itu sebagai nasib yang diberikan Tuhan kepadanya.

Bagi para perempuan, makna keterasingan itu bukan hanya dalam konteks kerja produksi, melainkan juga kerja reproduksi. Dalam kerja reproduksi (biologis maupun sosial), para perempuan mengalami keterasingan atas kerjanya karena apa yang dia kerjakan harus mengikuti skema dan standar kapitalisme. Para perempuan harus mempunyai anak, mengasuh dan mendidiknya sesuai dengan standar kapitalisme. Standar kapitalisme diterapkan di dalam sistem pendidikan, misalnya dengan sistem ranking atau indeks prestasi, sekolah dengan kualifikasi internasional atau akreditasi A, dan lain sebagainya. Bagi anak-anak yang mampu mengikuti kualifikasi kapitalis itu, akan terseleksi sebagai tenaga kerja pada perusahaan kapitalis dengan upah tinggi. Mungkin para ibu ini merasa bangga bahwa dirinya berhasil mengentaskan anaknya menjadi “orang”, tetapi sebenarnya ia terasing dari apa yang dikerjakannya, sebab para ibu hanya menjadi tangan-tangan untuk mempersiapkan tenaga baru bagi kapitalis. Lantas bagi para ibu yang merasa tidak berhasil membesarkan anak sesuai dengan standar kapitalisme merasa kehilangan harga dirinya sebagai ibu. Selain itu keterasingan perempuan, menurut hemat saya, juga bersumber pada tubuhnya yang tak dimilikinya lagi. Tubuh perempuan bukan didefinisikan oleh perempuan si pemilik tubuh, melainkan oleh berbagai ideologi yang berupaya untuk menjadikannya sebagai alat perubahan dalam menciptakan identitas baru.

Hilangnya martabat dan harga diri baik laki-laki maupun perempuan dalam konteks keterasingan itu akan melahirkan penanda-penanda krisis sosial maupun personal. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan –termasuk kekerasan seksual—merupakan penanda krisis, dimana perempuan dipergunakan sebagai sasaran pelampiasan atas “kemarahan” laki-laki yang mengalami keterasingan. Kiranya, gerakan islamis juga menggunakan perempuan sebagai sasaran “kemarahan” atas krisis dengan cara membelenggu perempuan yang diasumsikan sebagai “setan-setan yang harus didisiplinkan”.

 

Tubuh Perempuan Sebagai Arena Pendisiplinan

Kembali pada tesis KH Husen Muhammad bahwa perempuan menjadi korban terdepan oleh ekstrimisme agama –dalam hal ini Islam. Kiranya perempuan-perempuan yang mengalami krisis dan keterasingan merupakan sasaran utama untuk menciptakan identitas ekstrimis. Bagi perempuan rakyat pekerja, yang sebagai konsumen kapitalis hidup dalam jeratan hutang, diarahkan untuk hidup “menyerahkan diri pada jihad untuk membela Tuhan”, sebagai bentuk harapan akan pembebasan dari segala beban hidupnya tersebut. Sementara bagi perempuan kelas menenagah atas, bahkan artis, yang tidak mengalami kesulitan nafkah, namun kehilangan orientasi hidup, maka doksa (nilai-nilai yang didoktrinkan sebagai kebenaran tanpa perlu dibuktikan) “menyerahkan diri pada jihad untuk membela Tuhan” kiranya memberikan makna akan kekosongan jiwanya yang mengalami keterasingan. Doksa inilah yang tanpa terasa telah menundukkan perempuan, sebelum tubuh perempuan itu didisiplinkan melalui berbagai cara.

Setuju atau tidak setuju, saya akan membaca realitas pendisiplinan tubuh perempuan muslim melalui kacamata Pierre Bordieau mengenai arena (field). Arena yang dimaksudkan Bordieau adalah latar yang dimukimi oleh agensi (dalam konteks ini yang saya maksudkan adalah perempuan), dimana masing-masing agensi dilokasikan berdasarkan posisi sosialnya dan saling berkompetisi untuk duduk sebagai pemangku aturan (the ruler). Dalam arena tersebut, posisi sosial perempuan dalam masyarakat Indonesia secara umum dilokasikan di bilik belakang (Bhs Jawa: koncowingking), yang diatur oleh pemangku aturan yang dilokasikan di bilik depan. Penempatan perempuan di bilik belakang menandaskan dirinya di bawah subordinasi kekuasaan –baik secara simbolis maupun aktual— pemangku aturan. Perempuan, baik miskin atau kaya, telah hidup dalam struktur sosial yang subordinatif dan hal itu memudahkan dirinya untuk ditundukkan melalui doksa-doksa berdasar tafsir agama. Itulah mengapa perempuan selalu dijadikan garda terdepan bagi perubahan nilai-nilai baru.

Dalam pandangan feminis yang menafsirkan konsep Bordieau, arena itu dapat dimaknakan ke dalam tubuh perempuan. Tubuh perempuan sebagai arena, selama ini telah menjadi ajang kompetisi berbagai aturan untuk dikenakan kepadanya. Apa yang disebut aturan, baik dalam rupa tidak tertulis maupun dalam bentuk aturan resmi yang diproduksi oleh parlemen/pemerintah untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka tubuh perempuan sebagai arena (dalam posisi tubuh perempuan yang telah mengalamai subordinasi dalam struktur sosial berdasarkan gender) pada dasarnya menjadi ajang kontestasi berbagai ideologi yang dioperasionalkan dalam bentuk peraturan (regulasi).

Bagi kapitalisme, tubuh perempuan adalah arena pemasaran barang konsumsi, sejak dari fashion, kosmetik, mode tubuh, mode kulit, dan sebagainya. Kapitalisme menciptakan identitas “modern”, “kekinian”, “fashionable” bagi tubuh perempuan yang mengikuti trend barang konsumsi. Tubuh perempuan kemudian didisiplinkan melalui iklan yang didengungkan tiap menit melalui berbagai media komunikasi. Pendisiplinan sehari-hari untuk menciptakan karakter baru ini disebut Bordieau dengan istilah habitus. Habitus merupakan peristiwa dan tindakan harian namun di dalamnya terdapat unsur pendisiplinan yang tidak kentara dirasakan sebagai pemaksaan. Habitus selalu menggunakan doksa. Apa yang kemudian terjadi? Tiba-tiba saja, dalam sebuah komunitas, apabila Anda sebagai perempuan tidak mengikuti kecenderungan mode, menjadi tidak “kekinian”. Akibatnya, Anda akan merasa malu atau minder, seperti Siti Nurbaya di abad milenium.

Dalam hemat saya, pendisiplinan tubuh perempuan dalam politik agama atau dalam kerangka islamisme belakangan ini serupa dengan apa yang dilakukan kapitalisme terhadap tubuh perempuan. Islamisme sebagai ideologi berupaya untuk merebut tubuh perempuan dari gagasan tradisi lokal maupun modern melalui mekanisme pendisiplinan sehari-hari. Dalam konteks Indonesia, pendisiplinan tubuh perempuan diawali dengan habitus pakaian, yaitu jilbab dan cadar sebagai busana identitas perempuan muslim. Gejala itu sudah terlihat sejak dekade 1980an dan mencapai suatu kondisi faktual pada dekade 2000an –dimana jilbab dan cadar sebagai pakaian perempuan muslim telah menjadi kebenaran. Barangkali bukan pada pakaian itu sendiri masalahnya, namun pada konteks pendisiplinan tubuh perempuan melalui pakaian. Sebagaimana doksa yang dikhotbahkan kapitalisme bahwa jika Anda tidak mengikuti fashion terbaru akan dikatakan tidak “kekinian”, tampaknya demikian pula doksa dalam kerangka ekstrimisme ini bahwa jika Anda tidak berjilbab atau bercadar maka Anda bukan “muslimah”.

Apa yang menarik bahwa pendisiplinan tubuh perempuan dalam kerangka islamisme setelah reformasi dan otonomi daerah, telah menyusup ke dalam arena kebijakan negara. Desentralisasi rupanya membuka peluang terbitnya peraturan daerah (Perda) untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Perda-perda itu diperasionalkan kepada perempuan sebagai persyaratan-persyaratan adminsitratif, antara lain untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), bahkan disertai sanksi bagi yang melanggarnya. KH Husen Muhammad sebagai komisioner Komnas Perempuan menceritakan bahwa pada 2012 terdapat 282 peraturan daerah yang tersebar di 100 Kabupaten/Kota dan 28 Provinsi yang memberangus hak-hak perempuan. Perda-perda tersebut mengatur tubuh perempuan melalui pakaian, pembatasan ruang gerak dan waktu perempuan (aturan jam malam bagi perempuan) dan kriminalisasi pekerja seks. Yang menarik bahwa Jawa Barat dan Sumatera Barat (peringkat pertama dan kedua) merupakan provinsi yang paling giat di Indonesia dalam memproduksi aturan yang mendisiplinkan tubuh perempuan. Kemudian sangat mengejutkan, menurut KH Husen Muhammad, telah terjadi kenaikan 100 persen atas produksi Perda-perda pada 2017, yaitu sebanyak 412 Perda. Sungguh luar biasa, dalam tempo 4 tahun telah terjadi kenaikan produksi Perda pendisiplinan perempuan muslim sebesar 100 persen! Pendisiplinan tubuh perempuan tidak hanya berupa peraturan daerah, namun juga undang-undang yang berlaku secara nasional. Contohnya UU Pornografi/Pornoaksi dan UU Perkawinan, menurut penilaian KH Husen, berdimensi satu agama (Islam), sementara agama dan adat di Indonesia itu beragam.

Penyelusupan gagasan pendisiplinan perempuan ke dalam undang-undang maupun peraturan daerah ini seringkali luput dicermati oleh publik, namun tanpa terasa aturan-aturan itu tiba-tiba menjadi rujukan sehari-hari dalam mengatur perempuan. Tanpa disadarinya, para perempuan muslim mengikutinya sebagai kebenaran tunggal, sebagai doksa, lalu perilaku dan cara pandangnya pun berubah sesuai dengan doksa yang dipeluknya. Ini ironis. Sebab, pendisiplinan perempuan muslim justru tidak sejajar dengan tujuan reformasi untuk mendemokratiskan cuaca politik yang otoritarian terhadap perempuan.

 

Pendisiplinan Untuk Reproduksi Generasi Radikal

Wahana untuk mendisiplinkan perempuan terjadi di dalam institusi formal (sekolah, birokrasi, parlemen, partai politik, dll) dan kelompok sosial (keluarga, grup pengajian, grup whatshap/media sosial lainnya, grup nongkrong, grup belanja, dll). Wahana-wahana itu dipergunakan untuk membangun habitus identitas “perempuan muslimah yang soleha”.

Setelah pakaian dan pemberangusan hak-hak perempuan, kita dapat melihat pendisiplinan berikutnya, yaitu memosisikan perempuan sebagai ibu dan guru yang mereproduksi nilai-nilai “identitas baru” kepada anak-anaknya. Ibu-ibu dan para guru perempuan mereproduksi nilai ekstrimisme itu di dalam keluarga dan sekolah. Kini telah ditanamkan kepada anak-anak perempuan bahwa mereka harus mengenakan pakaian menurut identitas “muslim”, bersekolah di sekolah yang beridentitas “muslim”, belanja di toko “muslim”, bahkan tinggal di kompleks perumahan yang hanya diperuntukkan bagi “muslim”. Para perempuan pun harus bergaul dalam kelompok sosial dengan identitas “muslim”, dan banyak kasus (termasuk yang dialami jamaah Pengajian Ramadan di Institut Fahmina) para ibu tersebut dikucilkan dari kelompok tersebut, ketika dipandang tidak mengikuti aturan kelompok. Kelompok para ibu ini membentuk mekanisme sosial yang mengontrol perilaku anggotanya. Rupanya hal ini juga terjadi di dalam institusi formal, di mana bermunculan grup-grup perempuan yang mereproduksi nilai-nilai ekstrimisme agama.

Di kalangan mahasiswa perempuan, mekanisme dan kontrol sosial mengakibatkan perempuan muslim mau tak mau harus mengenakan jilbab atau cadar. Beberapa mahasiswa perempuan yang setelah lulus kemudian melepas jilbab atau cadar mendapat tekanan sosial dari grupnya tersebut, dan kemudian dikucilkan. Tekanan dan pengucilan sosial ini merupakan sanksi yang menakutkan bagi kondisi keterasingan perempuan.

Di kalangan perempuan rakyat pekerja urban, para ibu seperti diwajibkan untuk mempersiapkan anak perempuannya yang remaja untuk mengenakan cadar dan dipernikahkan pada usia muda (sudah menstruasi). Dewasa ini perempuan-perempuan itu mempunyai tugas untuk mereproduksi anak sebanyak-banyaknya dan mendidiknya sebagai generasi baru ekstrimis. Apa yang menarik? Bahwa dalam tugas reproduksi ini, doksa baru mengenai harga diri perempuan dibangkitkan. Jadi perempuan yang berharga diri adalah yang mengikuti dengan patuh semua peraturan untuk menjalankan proses reproduksi sosial islamisme. Barangkali pembangkitan harga diri perempuan yang didoksakan itu yang membuat para perempuan seperti menerima dengan sukarela untuk dijadikan korban terdepan bagi islamisme.

Dengan mencermati modus-modus ekstrimisme Islam terhadap pendisiplinan perempuan, dimana modus dalam membentuk habitus mirip dengan kapitalisme, maka pertanyaannya sekarang: tidakkah islamisme ini merupakan anak kandung kapitalisme, dimana keduanya sama-sama menjadikan perempuan sebagai sasaran perubahan untuk menciptakan identitas baru sekaligus alat untuk mereproduksi sosial bagi keberlangsungan identitas baru? Dengan kata lain, perlawanan islamisme terhadap kapitalisme tidak menciptakan gerakan pembebasan perempuan. Dan ini lebih mengerikan, ketika para perempuan digiring ke dalam rumah hanya untuk menjadi mesin beranak pinak!***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.