Kredit foto: www.arah.com
SEBELUMNYA saya harus minta maaf terlebih dulu pada pembaca, sebab sampai sejauh ini belum bisa menyajikan perdebatan penting diskursus Islam yang kiranya penting segera dilakukan analisa evaluatif, seperti: pertama, perdebatan mengenai Islam dan materialisme. Kita bisa memulainya dengan melakukan pembacaan kritis pidato Tan Malaka yang mengatakan, ‘Di hadapan Tuhan saya muslim, di hadapan manusia saya komunis’.[1] PJuga penjernihan teoritik atas ‘Islam Komunis’ Haji Misbach, untuk menggali lebih jauh bagaimana relasi Islam dan materialisme secara ontologis, epistemologis dan aksiologis; kedua, perdebatan di seputar pandangan intelektual Islam Indonesia terhadap konsepsi negara integralistik yang idealis-patriarkis-feodalistik. Mengingat, pandangan Hegelian yang menjadi fundamen konsepsi integralistik di Indonesia terlanjur dianggap sebagai wahyu yang kedap sejarah dan otomatis benar. Dari sana kita juga bisa memperdebatkan kembali relasi Islam, masyarakat dan negara, dengan menggugat cara pandang yang terlanjur dianggap final dengan melakukan penerimaan tanpa syarat atas konsepsi integralistik yang patriarkis dan feodal.
Sayangnya kita belum memulainya. Masalahnya sederhana, entah mengapa saya selalu tergoda untuk turut berkomentar atas berbagai persoalan yang tengah aktual dan menjadi pembicaraan publik. Maka kali ini, kita akan mencoba mengajukan diskursus alternatif pada pembacaan Islam Politik dengan jalan purifikasinya, sekaligus mencari jalan perjuangan bagi kaum muslim di abad dua satu, abad kosmopolitanisme.
Perlunya Mengevaluasi Pendekatan Kulturalis
Diskursus Islam Indonesia hari ini nyaris seragam, tak ubahnya nyanyian yang diputar berulang-ulang pada tiap hajatan pernikahan atau khitanan, yakni membaca Islam Politik secara kulturalis, dengan menampik ekonomi politik dan melepasnya dari persoalan penetrasi modal dan hegemoni negara. Tak heran energi intelektual Islam habis hanya untuk membahas hal ihwal Islam Politik dengan mengabaikan kondisi objektif ketertindasan rakyat di bawah negara kelas. Kalau sudah demikian, pernyataan yang sering keluar biasanya begini, ‘mereka menjadi ekstrimis, intoleran, anti keragaman, karena mereka membaca pesan Al-Qur’an dan Hadis secara tekstualis. Atau dengan gampang menyebut mereka sebagai ‘kumpulan kaum gagal paham atau pahamnya gagal’. Dalam bahasa lain, ungkapan seperti itu setara dengan menganggap mereka sebagai kerumunan orang tolol atau cacat mental.
Saya tak bermaksud mengatakan bahwa pembicaraan mengenai Islam Politik sebagai keliru. Sama sekali tidak. Justru membicarakannya dalam konteks pergumulan sosial politik abad dua satu sangatlah penting sebagai ikhtiar menjernihkan posisi Islam, yang dari berbagai sisi dituding sebagai biang kekerasan. Jadi, yang perlu digugat bukan pada konten diskursusnya. Melainkan pada soal metodologi, pendekatan, atau cara bacanya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, gugatan kita tercermin dalam pertayaan: bagaimana kita seharusnya membacanya?
Mengapa pendekatan kulturalis harus digugat, minimal dipertanyakan? Setidaknya ada dua: pertama, pendekatan kulturalis hanya mereproduksi apa yang sudah berulangkali dibicarakan di era 70-an hingga 90-an. Kedua, keterbatasan pendekatan ini terletak pada caranya melihat persoalan eksklusifisme dan intoleransi semata persoalan mental-psikologis, sehingga tak mampu menjelaskan kondisi material yang memungkinkan bangkitnya Islam politik. Misalnya, mengapa kelas lumpen proletar di perkotaan, meski sama-sama mengusung formalisme beragama, lebih tertarik memilih bergabung di FPI ketimbang di PKS atau HTI? Mengapa kelas menengah terdidik lebih memilih bergabung di PKS ketimbang di FPI? Atau begini, mengapa ide-ide pemurnian Islam aswaja dan syari’atisasi Indonesianya ala FPI berkembang di kalangan lumpen proletar, tapi tidak di kalangan mahasiswa? Sebaliknya, mengapa ide pembangunan negara Islam ala Ikhwan al-Muslimin semacam PKS lebih berkembang di kalangan kelas menengah terdidik, tapi tidak di kalangan lumpen proletar perkotaan? Ada juga yang menarik untuk dilihat. Berbeda dengan FPI yang hanya berkembang di basis-basis lumpen proletar perkotaan seperti Jakarta, dan PKS yang berkembang di kampus-kampus yang menjadi basis kelas menengah terdidik, HTI bisa dengan mudah diterima di kalangan lumpen proletar maupun kelas menengah terdidik. HTI bisa bercokol tak hanya di kantong-kantong kaum miskin perkotaan, tapi juga di kampus-kampus dan pelosok pedesaan. Padahal tingkat absurditasnya di atas PKS dan FPI. Secara realis, apakah yang memungkinkan semua ini?
FPI dan PKS, meski secara teologis dan organisasional, sulit bertemu (FPI Aswaja, sedangkan PKS wahabi) tapi keduanya lebih mudah bersimbiosis karena imajinasi politiknya hampir serupa: syari’atisasi Indonesia. Sementara HTI jauh lebih absurd dan rumit. Mereka tak cukup dengan formalisasi Islam di bawah payung negara bangsa. Lebih dari itu, mereka ingin membangun sebuah imperium, sebuah kerajaan Allah di bumi. Meski demikian, fakta yang tak bisa dibantah saat ini adalah seluruh kekuatan Islam politik yang melekat di dalam tubuhnya, purifikasi Islam yang eksklusifis dan intoleran, tengah melakukan konvergensi politik melalui sentimen sebagai sesama beragama Islam yang tengah dizalimi oleh kekuatan-kekuatan anti Islam.
Walaupun tak bisa diabaikan peran penting kartel, dan militer di dalamnya, namun yang pasti, melalui komodifikasi Islam sebagai pihak yang disudutkan atau dalam bahasa yang tengah populer ‘dizalimi’, terbukti mampu menyatukan mereka.
Intinya, saat ini kita perlu penjelasan mengenai naiknya Islam Politik, lebih dari sekedar pembacaan kulturalis sebagai langkah awal untuk menghadapinya. Tepat pada titik ini, yang perlu digaris bawahi adalah konstruksi sosial Islam Politik tidaklah tersusun dari satu kelas, melainkan terdiri dari lintas kelas, juga tidak tersusun dari identitas teologis yang tunggal, melainkan dari beragam cara pandang teologis dengan kadar imajinasi politik yang berbeda-beda. Kemudian apa yang menyatukan mereka, selain oleh desakan sosial politik dari luar Islam? Tak lain adalah kerinduannya pada ‘kemurnian Islam.’ Melalui kemurnian itulah, mereka menganggap Islam bisa dikembalikan kejayaannya sebagai pemimpin bagi umat manusia. Suatu umat pilihan yang menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Menjadikan Islam sebagai obor kebenaran dan polisi moral bagi dunia.
Uniknya, kelas di sini hanya berfungsi sebatas sebagai penanda bahwa satu kelompok memperoleh habitatnya di kelas tertentu tapi tidak di kelas lainnya. Dengan ini, kelas tak pernah menjadi hambatan utama mereka untuk bersimbiosis. Hambatan utama mereka untuk bersimbiosis dan membangun konvergensi politik adalah pandangan teologis masing-masing kelompok. Nah, desakan dari luar Islam lah yang menjadikan alasan utama mereka untuk membangun konvergensi politik. Meski dengan catatan hanya yang dianggap sebagai sesama sunni saja yang berada dalam konvergensi.
Nanti, yang tersisa hanyalah dua blok Islam, antara yang berjuang menuju keotentikan atau pemurnian Islam dan yang tidak. Konflik-konflik di Timur Tengah sedikit banyak dipicu oleh kecenderungan klaim siapa yang paling sah sebagai juru bicara Islam, sesudah dikondisikan oleh perebutan sumber-sumber minyak para kapitalis global.
Pendeknya, dari apa yang sudah dibahas di muka, dalam kondisi normal mereka tak bisa saling bertemu satu sama lain. Hanya dalam situasi daruratlah mereka bisa saling mendekat dengan menjadikan Islam [terzalimi] sebagai simpulnya.
Sekilas Kondisi Islam di Indonesia
Kondisi di Indonesia, jauh dari apa yang terjadi di Timur Tengah. Jadi ungkapan bahwa Indonesia akan di-Syuriah-kan, tidak bermaksud mengecilkan—hanyalah ungkapan hiperbolik yang mengabaikan kondisi objektifnya. Tanpa sebuah pra kondisi yang diciptakan oleh kepentingan ekonomi dan politik militer, kelas komprador dan rezim kapitalis global, kecil kemungkinan krisis sosial berlatar agama terjadi di Indonesia.
Pertanyaannya: mengapa orang-orang terdidik yang terlatih dengan berpikir logis bisa menjadi ekstrimis, eksklusif dan intoleran pada keragaman? Kalangan terdidik yang mengimajinasikan sebuah imperium Islam sebagai juru selamat sekaligus jawaban atas krisis politik dan ekonomi di Indonesia atau di belahan dunia Islam lainnya, tidak muncul dari ruang hampa, tapi dipicu oleh kondisi-kondisi objektif ketertindasan kaum muslim oleh penetrasi modal dan hegemoni negara yang dianggap oleh mereka sebagai kepanjangan tangan rezim ekonomi global yang didominasi oleh kaum kafir. Di sinilah letak kekeliruannya. Mereka menarik persoalan ketertindasan umat Islam sebagai akibat dari dominasi kafir.
Pada tahap awal sebenarnya sudah benar bahwa ada kondisi objektif ketertindasan kaum muslim oleh penetrasi modal dan hegemoni negara, yang tak lain adalah susunan dari para oligarki yang berperan sebagai komprador. Namun mereka salah dalam menarik kesimpulan. Dari persoalan kelas tiba-tiba melompat menjadi persoalan identitas. Sehingga, sudah bisa diterka, mereka sebenarnya tidak menyelesaikan persoalan yang menimpa kaum muslim dan seluruh rakyat Indonesia dari kondisi ketertindasannya. Sederhana saja. Bagi mereka kapitalisme kafir haruslah diganti dengan kapitalisme Islam. Pemerintahan harus dipimpin oleh orang Islam, lebih-lebih yang menjadikan formalisasi Islam sebagai platform politiknya. Alih-alih menjadi jalan pembebasan, Islam politik hanya hendak mengubah sirkulasi kekayaan di tangan kaum yang dianggap kafir karena beda agama, ke tangan konglomerat Islam. Pada titik ini mereka tak jauh beda dengan kelompok Islam pada umumnya, yang tak pernah merasa punya urusan dengan kapitalisme.
Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah, yang sesungguhnya tak mempunyai agenda politik kerakyatan, dan agenda pembebasan dengan melawan tuan-tuan kapitalis, selain hanya menjaga konstruksi politik elit oligarki berjalan dengan aman tanpa menimbulkan guncangan, turut serta menyumbang bagi suburnya Islam Politik serta mempercepat proses pengerasannya. Kasus penggusuran Ahok contohnya. Absennya suara NU dan Muhammadiyah dalam membela rakyat yang tergusur, entah disadari atau tidak, telah menjadi justifikasi para korban gusuran untuk turut serta menganggap Ahok sebagai kafir jahat. Bahkan secara umum di Jakarta, mengapa NU dan Muhammadiyah secara organisasional tidak terlalu berkembang, karena keduanya tidak hadir sebagai kesadaran kelas para pekerja informal yang tersisih oleh pembangunan. Meski sebenarnya FPI juga tidak memberi jawaban atas kerumitan hidup yang menimpa para lumpen proletar di Jakarta.
Di Banyuwangi, dan Kendal juga menunjukkan gejala serupa. Tabiat Islam moderat yang mengabaikan persoalan-persoalan ketimpangan melalui pandangan teologis yang menempatkannya untuk selalu di tengah, yang bisa juga diartikan sebagai dukungannya pada stabilitas semu, memicu kekecewaan, yang bisa menjadi ladang subur tumbuhnya Islam Politik jika saja masyarakat di sana tak mendapatkan cara pandang Islam alternatif yang mampu menjadi teman seperjuangan mereka. Pengurus NU di tingkat kabupaten menutup mata pada berbagai persoalan yang membelit jamaahnya. Kasus kriminalisasi petani Surokonto Wetan di Kendal, maupun dukungan politik pengurus NU kabupaten Banyuwangi pada eksploitasi Gunung Tumpang Pitu, menjadi contoh vulgarnya.
Kecenderungan Islam moderat pada ekonomi kanan (kebijakan neoliberal), sikap politiknya yang kompromis pada kekuasaan, dukungannya pada stabilitas semu, serta keberjarakannya dengan massa rakyat, menempatkannya tak lebih sebagai penjaga oligarki dan tidak menawarkan alternatif bagi kebuntuan perjuangan rakyat secara umum.
Kredit foto: http://tosterpandory.pl
Horor Kemanusiaan
Agenda pemurnian Islam yang melakat pada tubuh Islam Politik yang eksklusif dan intoleran makin membahayakan dan menjadi anomali abad dua satu yang secara identitas berciri: ‘hybrid and cosmopolite’.
Ide tentang purifikasi dan otentisitas ini selalu menjadi horor bagi kemanusiaan. Upaya mencari dasar segala dasar identitas suatu kelompok terbukti menjadi ancaman bagi dunia.
Ide ini absurd karena mengimajinasikan suatu tatatan sosial yang murni dari segala residu yang tak dikehendakinya karena diaggap mengancam kemurnian. Cara kerjanya sama dengan para penambang emas, dimana untuk mendapatkan emas murni harus terlebih dahulu melakukan pengayakan (baca: penyingkiran) unsur-unsur, partikel-partikel yang menyebabkan ketidakmurnian emas. Cara pandang keberislaman semacam ini tak hanya mengancam Islam sendiri tapi juga tatanan dunia yang makin kosmopolit dan terbuka, yang memungkinkan terjadinya persentuhan dan saling silang antar identitas etnis, kebudayaan, dan agama. Demi mengubah dunia menjadi seragam, prasyarat purifikasi adalah penyingkiran. Inilah horornya.
Padahal secara historis, Islam lahir dari dialektika dan kontradiksi sosial di jazirah Arab. Untuk mencapai masa yang dianggap gemilang, Islam harus meminjam pengetahuan pada peradaban Zoroastrian (Sassanian) di Timur, serta Yunani di Barat, yang telah mencapai puncak renaissans kebudayaan jauh sebelum datangnya Islam. Sehingga pada masa itu, ketika Barat masih dinaungi awan gelap mitologi, bahasa Arab telah menjadi satu-satunya bahasa sains internasional yang hanya bisa ditandingi oleh bahasa Yunani. Secara geografis, Kebudayaan Islam menjadi jembatan antara Barat dan Timur, yang membentang antara Kristianisme di Barat dan Budhisme di Timur. Sedangkan dari urutan kesejarahan, peradaban Islam menjadi jembatan antara Yunani dan Barat modern.
Ilmu pengetahuan Islam mengalami kemajuan yang mengesankan melalui orang-orang jenius dan kreatif dari beragam suku bangsa. Ibn Sina, al-Ghazali, al-Biruni, at-Thabari, Nasiruddin, Abu al-Wafa, al-Battani, dan Omar Khayyam adalah orang-orang Persia; Al-Kindi adalah orang Arab; al-Khawarizmi adalah orang Khiva; al-Farghani adalah dari Tarsoxiana (Yordania); al-Farabi meski tercatat sebagai orang Turki, ia berasal dari Khurasan; dan az-Zarkali (Arzachel), al-Bitruji (Albetragius), Ibn Rusyd (Averroes adalah orang Arab-Spanyol.
Sebab yang menjadikan Islam mampu menghasilkan ilmu pengetahuan begitu banyak dalam waktu yang singkat, menurut Mehdi Nakosten karena watak dasar skolastisisme Islam yang bersifar kreatif dan dinamis di satu sisi, tetapi reaksioner dan finalistik di sisi lainnya. Terdapat beberapa orang khalifah dan para crusader Islam yang anti ilmu pengetahuan sehingga membakar perpustakaan-perpustakaan dan membungkam para cendekiawan. Sementara di tempat lainnya justru bangga menjadi penyalin dan penyadur buku untuk dijadikan perpustakaan besar dan menjadikannya sebagai pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum. Sedemikian, melalui penjelasan Nakosten, kita bisa menyimpulkan, sesungguhnya tegangan antara ortodoksi dan heterodoksi akan selalu aktual dalam agama, yang biasanya didorong oleh agenda purifikasi dalam agama. Di masa keemasan peradaban dan kebudayaan Islam, ortodoksi dan ide pemurnian agama yang anti dengan kebudayaan bisa ditekan sedemikian rupa, sehingga Islam mampu tampil sebagai kekuatan kreatif nan progresif dengan menyerap berbagai sumber pengetahuan dari berbagai kebudayaan sebelumnya.[2]
Namun perkaranya tak sesederhana dulu. Kebetulan saja Amir yang berkuasa mencintai pengetahuan, maka penerjemahaan, dan peneilitian bisa berjalan dan perpustakaan-perpustakan didirikan dengan megah di pusat-pusat kota. Kondisi sebaliknya akan terjadi jika Amirnya berbeda.
Sejarah pembangunan peradaban Islam yang gemilang di masa skolastik Islam membuktikan, juga seluruh sejarah dunia, bahwa kemajuan dimungkinkan oleh adanya keragaman identitas dan saling silang kebudayaan, bukan dengan jalan memurnikan Islam sehingga segala-galanya dipandang sebagai ancaman. Bahkan Islam sendiri lahir dari kondisi historis tertentu yang dialektis.
Penutup: Jalan Inklusif dan Konvergensi Antar Agama Menuju Pembebasan
Pembangunan peradaban dan kebudayaan yang berciri Islam hari ini, harus ditarik pada konsekuensi terjauhnya, dengan memaknainya secara inklusif, sosialis dan humanis. Ia harus dibangun berbareng dengan ciri kebudayaan komunitas lainya di dunia ini, bukan dengan cara menarik diri dari pergumulan atau mengisolasi diri dari persentuhan dengan entitas kebudayaan lainnya.
Peradaban dan kebudayaan berciri Islam sungguh-sungguh terwujud ketika kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan dijunjung tinggi dan menjadi fundamen utamanya. Kaum muslim mesti sadar, meski dalam sebagian besar kelompok masyarakat di dunia perbudakan telah dihapuskan beriringan dengan terbitnya paham humanisme pasca abad kegelapan, namun di lain pihak, jutaan buruh dan petani yang tampaknya bebas, tapi sebenarnya berada dalam mata rantai penghisapan kapitalisme: tanah garapan yang makin terkonsentrasi di segelintir pemodal yang menyebabkan makin sempitnya lahan garapan, mengakibatkan kemiskinan di pedesaan di negara-negara selatan, khususnya di Indonesia. Di tengah gegap gempita pembangunan kapitalistik, jutaan buruh teraniaya dan jutaan petani[3] mati kelaparan di tengah ladangnya sendiri. Maka selain agenda pembebasan penting kiranya keberislaman yang inklusif sebagaimana terang dalam prosa pendek sufi Agung, Jalaludin Rumi yang berjudul “Dia Tidak di Tempat Lain” menjadi semangat spiritulalisme Islam di abad dua satu:
Salib dan umat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji. Dia tidak di Salib. Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda kuno. Tidak ada tanda apa pun di dalamnya. Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah, dan ke Kandahar aku memandang. Dia tidak di dataran tinggi maupun dataran rendah. Dengan tegas, aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan). Di sana cuma ada tempat tinggal (legenda) burung Anqa. Aku pergi ke Ka’bah di Makkah. Dia tidak ada di sana. Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosof, Dia ada di luar jangkauan Avicenna. Aku melihat ke dalam hatiku sendiri. Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya. Dia tidak di tempat lain.”[4]
Sedemikian, ide pemurnian harus ditampik, dengan mendorong perlunya keberislaman yang inklusif serta membebaskan. Setiap anak manusia berhak memahami dan menginterpretasi agama melalui pengalaman dan caranya sendiri-sendiri. Kaum muslim tak perlu meradang melihat filsuf Ludwig Feuerbach memandang agama sebagai sublimasi keinginan manusia ketika mengalami kegagalan dan kemalangan dalam hidupnya; psikolog Sigmund Freud memandang agama tak lebih sekedar pelarian manusia; atau sosiolog Auguste Comte dengan ide positivistiknya memandang agama sebagai fase paling rendah peradaban manusia yang entah kapan, tidak bisa tidak, akan digantikan oleh fase lainnya yang lebih tinggi yaitu fase metafisis, yang juga akan lekas diganti dengan fase paling tinggi yakni fase positifis. Pada tahap ini, ia mengatakan, ateisme sebagai perjalanan final dalam pembentukan peradaban manusia.
Sudah menjadi hukumnya dunia, kesadaran seseorang selalu dimungkinkan oleh realitas di luarnya, maka itu kesadaran manusia tak pernah seragam, selalu berbeda-beda, karena manusia selalu dalam situasi diterminasi oleh realitas di sekitarnya, sekaligus berupaya mengubahnya. Jika tidak, sejarah otomatis berhenti.
Itulah sebabnya mengapa kaum muslim harus bahu membahu, bersama umat agama lain serta kaum ateis melawan penghisapan yang menyebabkan ketimpangan dan malapetaka sosial. Pasca Kristendom, manusia tak boleh lagi ditempatkan sebagai budak Klerik. Manusia adalah ‘subjekt der Geschichte’ sebagaimana diungkapkan Marx. Karena itu ia sendiri yang menentukan baik buruknya dunia.
Ide pemurnian, perasaan benci, dan memusuhi identitas yang berbeda hakikatnya melawan hukum dunia yang sejak semula berbeda. Jalan kebaikan tak hanya ada dalam Islam, tapi dalam seluruh tradisi agama-agama dunia.
Sebelum saya sudahi, pembicaraan yang bisa jadi tidak berfaedah ini dengan satu cerita.
Saya mempunyai pengalaman berharga tentang kebenaran yang datang dari suara yang lain, yakni dalam momen perjumpaan dengan para pendeta pejuang pembebasan kaum tani di Tulangbawang, Lampung. Bagi saya, mereka tak ubahnya Yesus yang mengalami Allah sebagai Abba, yakni orang tua yang mengasihi dengan tanpa syarat[5], sehingga mampu melawan rasa takut, ragu, egoisme yang bersemayam dalam diri mereka untuk berani membela kaum papa, apapun agama dan etnisnya. Dengan meneladani Yesus menantang dan menjebol formalisme tradisi yahudi sekaligus melawan kekejian Pilatus dengan jalan cintanya. Para pendeta ini membela para petani yang teraniaya dengan jalan cintanya. Dengan kekuatan cinta tanpa batas itulah daya perlawanan terbit dari dalam diri mereka. Mereka telah menjelma sebagai teman seperjuangan para petani yang teraniaya, di tengah kaum muslim (moderat) yang gamang membela saudaranya.[6] Bersama merekalah Islam seharusnya memupuk persaudaraan dan membangun konvergensi perjuangan pembebasan seluasnya-luasnya bagi rakyat apapun agama dan etnisnya.
Purifikasi apapun bentuknya adalah ancaman bagi umat manusia dan agama. Naudzubillah mindzalik***
Bogor, 6 Juni 2017
———
[1] Melalui pidatonya di Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922, Tan Malaka menentang tesis Lenin yang diadopsi pada Kongres Kedua, mengenai perlunya satu “perjuangan melawan Pan-Islamisme”. Ia mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih positif mengingat apa yang diperjuangan partai Komunis dan Pan Islamisme sama-sama melawan imperialisme di tanah jajahan seperti di Hindia Belanda. Pidato Tan Malaka selengkapnya bisa dibaca di https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1922-PanIslamisme.htm
[2] Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
[3] Mengikuti definisi Susan George, yang dimaksud sebagai petani di sini adalah sekumpulan orang yang melakukan kegiatan berladang yang menghasilkan agrikultur kecil yang dibantu peralatan sederhana dan menggunakan tenaga kerja yang berasal dari keluarga mereka sendiri. Umumnya hanya menghasilkan bahan pangan untuk konsumsi pribadi. Lih. Susan George, Pangan Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan, (Yogyakarta: Insist Press, 2007), hal. 17.
[4] Annemarie Schimmel, Akulah Api, Engkaulah Angin: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, (Jakarta : PT. Mizan Pustaka, 1992), hal. 4
[5] Mat 11:25; Mrk 14:36; Yoh 11:41.
[6] Mengenai perjuangan kemanusiaan para pendeta GKSBS, saya tulis dalam catatan berjudul ‘Aku Lihat Wajah Yesus dalam Iman Islamku: Catatan Perjumpaan dan Pejuangan Pendeta Muda GKSBS’.