Apakah Gerakan Pembebasan Perempuan? Memaknai Aksi Sosial Perlawanan Perempuan Lokal

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: http://ppagra.blogspot.com

 

BAGAIMANA kita memaknai aksi perempuan lokal yang kesadarannya terbentuk bukan karena mengikuti pelatihan gender atau studi feminisme atau menjadi bagian dari program pemberdayaan perempuan yang dikerjakan oleh NGO-NGO “perempuan”? Para perempuan yang saya maksudkan ini adalah mereka yang membangun aksi perlawanan karena kepentingan yang material, yaitu propertinya yang mencakup sarana bermukim (reproduksi) dan sumber mata pencaharian (produksi) dicaplok untuk kepentingan bisnis ataupun aneka macam pembangunan. Para perempuan itu melawan karena kepentingan kelasnya sebagai petani dibabat habis. Namun banyak yang meragukan bahwa aksi perlawanan perempuan lokal itu dapat dikategorikan sebagai gerakan perempuan, sebab tidak berhubungan dengam kepentingan gender perempuan. Benarkah?

 

Apakah Aksi Perempuan Lokal?

Aksi-aksi perempuan lokal sebenarnya sejak masa kolonial cukup lumayan frekuensi dan intensitasnya. Sebagai contoh, aksi yang dilakukan buruh perempuan perkebunan gula di Semarang pada 1926, yang disebut aksi caping kroprak (caping adalah penutup kepala dari bambu yang biasa dipakai petani perempuan, dan pada saat aksi itu digunakan oleh buruh perempuan). Aksi itu dipimpin oleh Munasiah dan Sukaesih, yang kemudian keduanya ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Boven Digul. Khusus tentang Sukaesih, ia adalah saksi pembantaian perlawanan petani di Garut melawan pemerintah colonial, yang populer disebut Peristiwa Cimareme 1919. Aksi-aksi perempuan lokal –yang dipimpin perempuan—itu sebenarnya belum banyak dimunculkan sebagai aksi sosial gerakan perempuan. Tampaknya baru sedikit orang yang telah mengangkatnya, seperti Titiek Kartika yang menulis Perempuan Lokal vs Tambang Pasir Besi Global,[1] yaitu aksi perempuan petani di Penago (Bengkulu) melawan bisnis penambangan pasir besi. Selain itu Siti Maemunah, Dewi Candraningrum, dan beberapa aktivis perempuan lainnya telah mengangkat dan menulis tentang perlawanan perempuan di Kendeng, Jawa Tengah, maupun di Molo, Timor Barat.

Lalu apakah aksi perempuan lokal? Barangkali yang dapat kita tandai adalah karakternya. Karakter pertama tentang lokasi geografis, untuk di Indonesia saat ini aksi perlawanan perempuan lokal itu banyak terjadi di rural area. Kedua, aksi perlawanan perempuan itu tidak teroganisir melalui sebuah organisasi petani (kecuali di beberapa tempat), melainkan terjadi secara “spontan”. Ketiga, mereka menggunakan tubuhnya sebagai barikade untuk berhadapan dengan pasukan tentara, polisi ataupun laskar paramiliter (preman). Keempat, masalah yang mereka perjuangkan berhubungan dengan apa yang disebut oleh penganut human-geography dengan istilah place (Henri Levebfre menyebutnya produksi ruang, yaitu bahwa ruang itu tidak kosong melainkan dikreasi untuk keberlangsungan hidup sosial) untuk keberlangsungan proses reproduksi sosial (masyarakat).

Penelitian untuk mengangkat dan menuliskan aksi-aksi perempuan kelas pekerja di lokal-lokal seperti itu seharusnya menjadi tindakan sosial, yaitu semua orang dapat mengangkatnya dan menuliskannya secara deskriptif. Mengapa “deskriptif” karena kita memerlukan gambaran empirik, kedetilan cerita seperti adanya. Dengan begitu kita berharap memperoleh gambaran nyata “harian” tentang modus akumulasi primitif yang berlangsung cukup “permanen” (berkelanjutan) di lokal-lokal seluruh Indonesia. Cerita akumulasi primitif yang “permanen” itu sekaligus menggambarkan perlawanan lokal “permanen”, yang menjadi cerita “harian” tentang apa yang disebut gerakan kelas pekerja.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa aksi perempuan kelas pekerja di lokal-lokal itu perlu diangkat, ditulis dan dimaknai sebagai gerakan perempuan? Menurut Susan Blackburn[2] gerakan perempuan di Indonesia sejak pra-kemerdekaan sampai dewasa ini terhegemoni oleh gagasan emansipasi perempuan kelas menengah kolonial (Eropa) yang dibawa masuk ke Hindia Belanda melalui Politik Etis. Hal ini memengaruhi cara pandang emansipasi lebih terfokus pada problem perempuan kelas menengah ketimbang perempuan kelas pekerja. Itu sebabnya, aksi perempun lokal tidak banyak diperbincangkan dan ditulis menurut skema gerakan perempuan yang selama ini kita baca.

Dalam konteks mengangkat aksi perlawanan perempuan lokal itu, saya mengambil contoh tentang aksi petani perempuan di Desa Sukamulya, dalam melawan penggusuran tanah mereka untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Peristiwa ini terjadi sekitar 2 Agustus–16 November 2016. Adapun deskripsi tentang aksi perlawanan dan profil seorang petani perempuan yang ikut dalam aksi itu ditulis oleh Nurul Bahrum Ulum dari Lembaga Fahmina Cirebon, yang secara intensif berdialog dengan para petani perempuan di Sukamulya.

 

Petani Perempuan Membangun Barikade Desa

Dalam penggusuran lahan untuk proyek pembangunan, perempuan seringkali menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Hal itu juga dialami oleh para ibu petani di Sukamulya pada saat melakukan aksi menghadang orang-orang yang akan menggusur tanah dan rumah mereka. Tentu saja kemudian terjadi bentrok antara para ibu dan aparat kepolisian.

Kekerasan diawali saat para petani perempuan sedang tandur (menanam padi) sawahnya masing-masing. Tiba-tiba datang ribuan polisi yang sontak membuat kaget para petani dan bertanya-tanya ada apa gerangan? Salah seorang petani perempuan bernama Nung, memberanikan diri menjumpai polisi dan meminta kejelasan maksud dan tujuan di balik datangnya ribuan polisi itu ke sawah. Ternyata mereka akan mengukur tanah milik warga untuk pembangunan BIJB. Para petani perempuan yang saat itu sedang tandur jelas menolak. Karena mereka tidak merasa ada pemberitahuan, sosialisasi, musyawarah, pengukuran luas tanah dan rumah terlebih dahulu sebelum ada tindakan yang disebut pembebasan lahan. Lantas para ibu petani itu mengajak polisi untuk bermusyawarah terlebih dahulu di Balai Desa. Namun polisi menanggapi ajakan para ibu itu dengan berbaris membuat benteng. Tindakan para polisi itu membangkitkan reaksi balik di kalangan ibu-ibu, yaitu mereka memobilisasi diri dan terkumpul sebanyak 500 ibu-ibu membuat barikade untuk melindungi desa mereka. Polisi meminta para petani perempuan itu agar tidak menghalangi petugas untuk mengukur tanah bagi kepentingan pembangunan bandara. Para petani perempuan menolak mundur selama tawaran mereka untuk bermusyawarah menyangkut pembebasan property mereka tidak diindahkan. Karena para ibu petani ini tampak kokok pendiriannya, maka polisi mengeluarkan ancaman untuk menembak mereka.

Para perempuan yang membuat barikade itu terdiri dari perempuan muda sampai nenek-nenek. Mereka berjajar tanpa gentar dengan tangan kosong menghadapi ribuan polisi yang membawa banyak senjata. Rupanya rasa takut dan nyawa melayang dikalahkan oleh semangat yang membara untuk tetap mempertahankan ruang hidupnya, yakni tanah, rumah tinggal dan keseluruhan bangunan sosial yang menciptakan proses berlangsungnya reproduksi sosial. Mereka memperkuat barisan sembari melantunkan shalawat berharap keselamatan. Lalu polisi menembakkan senjata gas air mata ke atas langit yang kemudian turun lagi ke tanah, sebagai tanda peringatan sekaligus ancaman agar barikade perempuan itu membubarkan diri. Tragisnya petani perempuan mengira gas air mata itu kembang api, sehingga mereka tidak mengantisipasi dengan mempersiapkan odo untuk ditorehkan di sekitar mata, air dan handuk kecil. Akibatnya apa yang disangka kembang api itu menimbulkan bencana bagi barikade itu, mata mereka perih, sesak napas, dan lain sebagainya. Namun, barikade para petani perempuan itu dengan semangat menyala tetap berbaris. Perih dan sesak yang dirasakan tak menjadi halangan untuk terus melakukan perlawanan. Sementara para petani perempuan yang sudah nenek-nenek berjalan tertatih-tatih dan terjungkal-jungkal jatuh menghindari tembakan. Tentu saja polisi tak peduli dengan kondisi nenek-nenek itu. Sebaliknya, barisan polisi itu dengan gencar menembakkan gas air mata langsung tertuju pada tubuh para petani perempuan. Ada yang terkena punggungnya, kepalanya, dan bahkan payudaranya.

Menghadapi tembakan gas air mata itu, para petani perempuan hanya memiliki 2 senjata, yaitu shalawatan dan tubuhnya. Setelah shalawatan tak mempan, 3 petani perempuan nekad membuka bajunya hingga telanjang bulat. Kini mereka menjadikan tubuhnya yang telanjang sebagai ungkapan tentang totalisasi perlawanan. Dengan itu mereka berharap polisi akan menghentikan tembakan dan bersedia diajak untuk musyawarah. Rupanya ungkapan perlawanan total itu tidak menghentikan polisi berhenti menembak. Bahkan kemudian para polisi itu menyerbu barikade perempuan dan mengejar mereka hingga Balai Desa. Jeritan para perempuan dan anak-anak sambil berlarian menggema di udara Desa Sukamulya.

Namun kisah perlawanan para perempuan itu tidak mengusik pemerintah untuk kemudian melakukan dialog dan musyararah dengan petani Sukamulya. Dalam hari-hari selanjutnya, keluarga-keluarga petani itu malah menghadapi intimidasi dan ancaman. Alih-alih perempuan dan anak-anak dilindungi, pemerintah justru membiarkan penganiayaan, kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi terhadap kaum perempuan itu berlangsung. Dampak psikis dan fisik dirasakan betul oleh kaum perempuan di Sukamulya. Secara fisik mereka mengalami gangguan pernafasan selama 3 bulan akibat tembakan gas air mata, kulit terasa perih dan mata terasa copot, belum lagi ibu muda yang tengah hamil 8 bulan keguguran akibat lari terbirit-birit saat dikejar polisi. Secara psikis, mereka mengalami trauma cukup mendalam dan sampai saat ini membuat para perempuan yang militan itu bungkam dalam ketakutannya.

Dalam kebungkaman para petani itu, penggusuran berjalan cepat. Keluarga-keluarga petani harus “merelakan” rumah dan lahan prtanian mereka digusur oleh alat-alat berat, dan mereka menerima ganti-rugi sepihak yang tak sebanding dengan nilai dari seluruh properti yang mereka miliki. Pun mereka kebingungan harus mencari dan membeli tanah baru untuk tempat bermukim.

 

Barikade petani perempuan Sukamulya. Kredit foto: www.seruni.org

***

Wati (warga Sukamulya pindahan dari Bantarjati) merupakan contoh tentang kondisi keluarga petani yang mengalami penggusuran di Desa Sukamulya. Sebelum berpindah ke Sukamulya, Wati mengalami penggusuran di Desa Bantarjari pada 2014, untuk pembangunan Bandar Internasional Jawa Barat. Jadi dia berpindah tempat dari yang tergusur menuju tempat yang pada akhirnya tergusur pula.

Wati termasuk bagian dari barikade ibu-ibu petani di Sukamulya. Ia berusaha keras mempertahankan rumahnya di atas tanah 12 bata. Perasaan hancur dan bingung tak tahu akan pindah kemana dihadapinya sekarang. Sementara pihak pembangun Bandara Internasional Jawa Barat hanya membeli tanah tempatnya bermukim, tanpa menjamin relokasi ke tempat yang setara seperti kehidupan sebelumnya. Kondisi itu diperparah oleh permainan mafia pembebasan lahan, dimana pihak pembangun bandar Internasiona Jawa Barat tidak secara langsung membeli tanah kepada warga, tetapi melalui calo tanah. Calo-calo ini berkeliaran melakukan intimidasi kepada warga petani agar mereka segera melepas tanahnya dengan harga murah. Tentu saja calo-calo tanah itu akan menjual kepada pihak pembangun bandara dengan harga yang mereka tentukan, dan calo itu mendapat keuntungan besar. Menurut cerita Wati, ada calo tanah warga Desa Bantarjati yang sekarang kaya raya mendadak (membangun mini market, membeli sawah dan membeli mobil) dan sudah pindah dari Bantarjati. Biasanya calo-calo tanah dari luar akan membangun kerjasama dengan calo dari desa itu sendiri untuk mengintimidasi warga agar segera melepas tanahnya.

Saat tetangganya di Bantarjati sudah banyak yang melepas tanahnya, Wati  sengaja mengulur waktu. Sebenarnya ia ingin tetap mempertahankan tanahnya sendiri, atau memperoleh ganti-rugi yang bisa untuk membeli tanah dan dan membangun rumah barunya. Apalagi, dia seorang janda yang harus menghidupi 5 anak, dan masih harus mengurus ibunya yang kini berusia 80 tahun. Makanya Wati bersikeras untuk memperoleh jaminan mendapatkan harga jual yang layak untuk membeli pemukiman baru dan untuk melindungi anggota keluarganya.

Wati mendapatkan ganti rugi yang jauh lebih kecil dari nilai tanah dan rumah yang dimilikinya. Tanhanya seluas 12 bata itu dihargai Rp 400 ribu/bata, dengan alasan lokasi tanahya berada di tengah sawah. Adapun tanah yang berada di pinggir jalan dihargai 700 ribu/bata. Dengan demikian, Wati memperoleh ganti rugi hanya Rp 4.800.000,-. Wati dihadapkan pada situasi jual dedet (Bhs Sunda: jual dedet, artinya mau silahkan, kalau tidak akan digusur tanpa mendapatkan apa-apa). Dengan uang Rp 4.800.000,- Wati hanya cukup untuk membeli tanah 4 bata saja di Desa Sukamulya. Lalu dia mengumpulkan uang dengan menjadi buruh tani dan mengelola tanah ibunya untuk membangun saung-saungan (rumah yang sangat sederhana) hingga menghabiskan sekitar Rp 60.000.000,- Hasil jerih payah membangun kehidupan di Sukamulya itu kini digusur kembali. Wati benar-benar kebingungan dan tak tahu harus pindah kemana lagi ketika Desa Sukamulya juga digusur.

 

Memaknai Aksi Perempuan Lokal

Belajar dari pengalaman para ibu yang membuat barikade Desa Sukamulya itu, ada satu persoalan yang menimbulkan perdebatan di kalangan aktivis feminis secara umum. Pertanyaan itu, pertama, apakah aksi spontan (dan kemudian hancur sama sekali) semacam aksi petani perempuan di Sukamulya itu dapat dikategorikan dalam gerakan perempuan? Kedua, bukankah aksi itu tanpa kesadaran mengenai ketidakadilan gender, persisnya bukan menyoal problem gender perempuan? Gerakan perempuan yang dimaksudkan di sini adalah gerakan yang mempersoalkan segala hal tentang ketidakadilan terhadap gender perempuan, dan tentu saja pendukung atau anggota kelompoknya diutamakan perempuan yang posisinya dalam ketidakadilan itu.

Saya tidak sependapat dengan argumen bahwa aksi perlawanan perempuan lokal itu tidak mempersoalkan problem ketidakadilan gender perempuan. Soalnya adalah apa yang selama ini dipandang sebagai isu gender perempuan terbatas pada realitas yang kelihatan (visible), seperti perkosaan, penganiayaan isteri, angka kematian ibu, kesehatan reproduksi, peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen, akses terhadap pendidikan yang belum adil bagi anak perempuan, dll. Sementara terdapat realitas yang tidak kelihatan (unvisible) mengenai kepentingan perempuan (sebagai wujud adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan) yang mendorong para perempuan kelas pekerja melakukan perlawanan. Lalu apakah realitas yang tidak kelihatan dari aksi melawan penggusuran tanah di Sukamulya?

Ketika para perempuan di Sukamulya sedang menanam padi lalu datanglah aparat keamanan dan alat-alat besar, maka para ibu spontan membuat tindakan bersama, yaitu mengajak musyawarah, dan ketika hal itu gagal, maka mereka membaut barikade desa. Ada poin penting di sini bahwa para ibu petani itu protes karena tidak diikutsertakan dalam musyawarah menyangkut urusan ruang mukim (place) mereka. Ruang mukim bagi para perempuan adalah wahana untuk memperoleh sumber nafkah sekaligus untuk melangsungkan proses reproduksi sosial, yang dalam pembagian kerja secara seksual dan sosial diletakkan di atas pundak perempuan. Para perempuan petani itu mencari nafkah sekaligus menyediakan pangan, mengurus semua kebutuhan anggota keluarga dari anak, suami sampai orang tua mereka yang telah lansia, merawat rumah, merawat lingkungan, merawat relasi-relasi sosial dalam berbagai wujudnya sehingga place itu hidup. Maka penggusuran ruang mukim (dalam semua kasus) di Sukamulya itu punya muatan kepentingan gender perempuan.

Memang bagi perempuan kelas pekerja mereka tidak memisahkan urusan mencari nafkah (produksi) dengan reproduksi sosialnya. Artinya perempuan kelas pekerja mencari nafkah bukan untuk kesenangan pribadinya, melainkan untuk kepentingan keberlangsungan sosial, yaitu anggota keluarga dan relasi-relasi sosialnya agar tetap hidup. Maka cara memandang aksi perempuan kelas pekerja harus dengan menggunakan analisis yang interseksional antara pembangian kerja secara seksual dan sosial dalam masyarakat (gender role), masalah seksualitas perempuan, dan posisi kelasnya sebagai rakyat pekerja yang sebagian proses reproduksi sosialnya tergantung pada alam. Dengan demikian, kita tak mungkin memisahkan problem gender perempuan dengan problem kelasnya.***

           

—————-

[1] Titiek Kartika, Perempuan Lokal Vs Tambang pasir Besi Global, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2014)

[2] Susan Blackburn, Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern, (Jakarta: Kalyanamitra, 2010). Pendapat Blacburn ini juga dikutip oleh Titiek Kartika dalam Perempuan Lokar Vs Tambang Pasir, hal 16

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.