Bangunan warga desa Tiberias yang diduga dirusak karyawan PT Malisya Sejahtera. Kredit foto: http://www.mongabay.co.id
KONFLIK agraria ternyata masih terus terjadi di negeri ini. Setelah kasus PT. Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng mencuat, kini perlawanan rakyat terhadap kapitalisme juga terjadi di Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Konflik di sini bahkan dalam skala yang lebih parah, berujung pada perlawanan rakyat Vs PT. Melisya Sejahtera dengan menggunakan TNI dan Polisi serta buruh perusahaan setempat untuk melakukan tindakan represif terhadap para petani dan rakyat biasa di desa ini.
Konflik agraria yang terjadi di sana telah menjadi tragedi yang menggugah rasa kemanusiaan kita. Betapa tidak, pada 2 Mei 2017 aparat kepolisian dan TNI serta buruh pekerja yang berada di pihak borjuis, melakukan tindakan represif terhadap para petani yang melakukan perlawanan terhadap perusahaan tersebut.
Dalam beberapa media dikatakan bahwa aparat (TNI-Polisi) memasuki rumah-rumah warga sambil mendobrak paksa pintu-pintu rumah mereka, lalu menangkapi beberapa petani yang diduga melakukan perlawanan terhadap PT. Melisya Sejahtera. Bukan hanya ditangkap, para petani ini dianiyaya, dipukul hingga wajah mereka memar. Dalam keadaan yang penuh ketakutan, warga melarikan diri menggunakan perahu. Ada juga yang lari ke hutan sambil dikejar-kejar dengan tembakan oleh aparat.
Masyarakat yang mencoba melarikan diri ditembaki dengan gas air mata sehingga banyak dari pihak anak-anak di bawah umur yang berjatuhan di halaman-halaman rumah dan jalan raya desa Tiberias. Dalam sebuah video yang diunggah di Facebook, seorang ibu rumah tangga mengatakan bahwa hingga kini anak-anak mereka belum pulang ke desa dari persembunyiaan karena mereka trauma dengan tindakan aparat keamanan yang tidak manusiawi dan tidak bermoral. Tindakan terhadap anak-anak yang dilakukan oleh aparat ini sejatinya bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2 bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat ini juga bertentangan denga UUD 1945 Pasal 28G sebagaimana dalam ayat “(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia…” Atas dasar inilah sehingga kita sebagai mahasiswa menolak tindakan represif yang dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian terhadap para petani Desa Tiberias yang melakukan perlawanan terhadap kapitalis PT. Melisya Sejahtera.
Kepolisian juga telah menyeleweng dari ketentuan UUD 1945 Pasal 30 Ayat 4 bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Yang Kepolisian lakukan justru bertindak semena-mena dan otoriter terhadap masyarakat desa Tiberias.
Mengenai keterlibatan TNI dalam melakukan operasi militer terhadap masyarakat di sana, tindakan mereka telah juga menyeleweng dari ketentuan UU TNI No. 34 Tahun 2004 Pasal 7 Ayat 3 yang dengan tegas menyatakan “Oprasi militer selain perang di dalam membantu kepolisian atau pun dalam mengatasi keamanan dalam negeri hanya bisa dan boleh dilakukan jika ada dalam keputusan politik negara”. Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf menyatakan bahwa yang dimaksud ‘keputusan politik negara’ dalam Pasal 7 Ayat 3 di atas adalah ‘Keputusan Presiden’ dengan pertimbangan ‘DPR’. Tidak bisa dan tidak boleh TNI terlibat dalam operasi dalam negeri selain operasi perang kalau tidak ada keputusan presiden (ILC, 17/5/2016).
Dari regulasi yang jelas di atas, yang menjadi pertanyaan adalah keterlibatan TNI dalam kasus di Desa Tiberias, Presiden manakah yang memerintahkan mereka untuk terlibat dalam penanganan kasus tersebut? Atau secara tidak langsung hal ini mengindikasikan bahwa pihak TNI di sana telah melakukan operasi sepihak tanpa keputusan presiden dan DPR. Jika demikian, maka TNI setempat jelas-jelas telah melakukan tindakan sama seperti tindakan mereka pada zaman Orde Baru.
Mengenai konflik agraria antara petani dan perusahaan, hal ini berlangsung sejak tahun 2001. Latar belakang konflik tersebut, berawal ketika PT Malisya Sejahtera memperoleh HGU tahun 2001 atas tanah negara di Desa Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolmong. Saat itu, lokasi tersebut dikuasai oleh petani penggarap. HGU tersebut diterbitkan tanpa ganti rugi kepada petani penggarap, juga tanpa redistribusi tanah sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang reforma Agraria (UU no 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria). Menurut Jull Takaliuang (aktivis yang mengadvokasi kasus ini), PT Malisya Sejahtera pada saat mendapat HGU tersebut tahun 2001 belum berbadan hukum, karena akta pengesahan perusahannya tahun 2002. Lokasi objek sengketa tersebut dibiarkan oleh PT Malisya Sejahtera sampai tahun 2015.[1]
Konflik dengan warga mulai terjadi sejak PT Malisya mulai mengintimidasi dan mengusir warga dari lokasi tersebut dengan menggunakan aparat keamanan. Dalam kasus ini, sama sekali tidak ada ganti rugi kepada petani penggarap. Yang terjadi adalah pengusiran. Saat ini, sebagaimana hasil sidang pemeriksaan setempat (PS) oleh majelis hakim yg mengadili perkara tersebut, terbukti PT Malisya Sejahtera hanya menguasai lokasi sekitar 0,7 hektar dari kondisinya 177 hektar lebih.[2]
Konflik agraria antara masyarakat melawan PT. Melisya Sejatera yang dibantu aparat keamanan setempat ternyata mengundang kontroversi. Kehadiran perusahaan ini memunculkan pro-kontra di kalangan masyarakat Desa Tiberias. Sebagian masyarakat yang pro perusahaan melakukan demonstrasi pada 6 April 2017 lalu di Kantor Bupati Bolaang Mongondow. William Sirih Darea[3] menjelaskan “Sudah lama kami mendiamkan aksi anarkis dan premanisme yang dilakukan Abner cs. Mereka sudah mengganggu operasional PT Malisya Sejahtera yang mengakibatkan kami, mayoritas warga Desa Tiberias yang bekerja di PT. Malisya Sejahtera, jadi tidak bisa bekerja dengan baik. Makanya, ini merupakan aksi spontanitas warga yang selama berdiam diri. Kami sudah cukup bersabar.”
Dalam keterangan di atas kita bisa melihat bahwa telah terjadi ketimpangan terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di Desa Tiberias. Sebagaimana keterangan William bahwa ‘mayoritas warga di sana bekerja di PT. Melisya Sejahtera’, ini berarti sebagian kecil masyarakat yang tidak bekerja hanya menggantungkan penghidupan dari lahan yang sedang menjadi sengketa sebagaimana dijelaskan di atas. Petani miskin yang melakukan perlawanan terhadap perusahaan juga harus menghadapi ancaman represi aparat keamanan (TNI-Polisi) terhadap mereka.
Menanggapi aksi ‘kelompok kepentingan’ yang pro kapitalis ini, aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) Sulawesi Utara, Jim R. Tindi menyebutkan bahwa demo tersebut penuh dengan intrik, tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Dalam keterangannya Tindi menjelaskan, ”Menyikapi aksi yang di lakukan PT. Melisya beberapa waktu yang lalu dengan memobilisasi rakyat dan memanipulasi rakyat serta membenturkan rakyat satu sama lain, adalah cara-cara yang pernah di pakai Imperialis atau VOC masa lampau yang hanya memecah belah rakyat untuk kepentingan modal mereka”.[4]
Keterangan di atas merupakan wujud keprihatinan atas taktik kapitalis yang mencoba mengadu-domba antara buruh perusahaan dengan petani yang sedang melawan perusahaan. Yang cukup disayangkan dalam kasus ini adalah masih kurangnya kesadaran buruh pekerja di sini untuk sama-sama berjuang mewujudkan cita-cita proletariat untuk meruntuhkan kapitalisme. Akibat keadaan ini, buruh pekerja di perusahaan sengaja di adu domba dengan petani hanya demi kepentingan kantong-kantong elit borjuis PT. Melisya Sejahtera.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah tindakan ala orba dari segelintir aparat keamanan di sana. Perusahaan menjadikan TNI dan Polisi serta buruh setempat sebagai tameng sekaligus tongkat pemukul. Regulasi yang mengatur mereka telah disepelekan hanya demi menghamba terhadap para pemodal. Tindakan di atas merupakan tindakan otoriter ala fasis Orba. Jelaslah bahwa kasus di Desa Tiberias adalah kasus yang menyentuh konteks nasional, karena ini merupakan permasalahan agraria antara kaum kapitalis melawan rakyat pekerja yang terdiri dari para petani miskin yang menggantungkan kehidupan mereka dari lahan tersebut.***
Penulis adalah mahasiswa di Jurusan Pendidikan Sejarah, UniversitasNegeri Gorontalo (UNG)
——————-
[1] Konflik Warga Tiberias Vs PT Melisya Sejahtera di Bolmong Memanas (berita 25 Maret 2017; http://fajarmanado.com/konflik-warga-tiberias-vs-pt-malisya-sejahtera-di-bolmong-memanas/ (diakses tanggal 12 Mei 2017 {12:57}).
[2] Ibid.
[3] Lihat kronologi berita Dukung PT. Melisya Sejahtera Beroperasi, Warga Tiberias Poigar Demo ke Pemkab Bolmong (berita 6 April 2017); http://sulutaktual.com/2017/04/06/dukung-pt-malisya-sejahtera-beroperasi-warga-tiberias-poigar-demo-ke-pemkab-bolmong/ (diakses tanggal 12 Mei 2017 {13:03}).
[4] PRD Sulut Desak Polda Tangkap Otak Demo dari PT Melisya (berita 9 April 2017); http://www.suluttoday.com/2017/04/09/prd-sulut-desak-polda-tangkap-otak-demo-dari-pt-melisya/ (diakses tanggal 12 Mei 2017 {13:08}).