Tanggapan Terhadap Dominggus Elcid Li, PhD
DOMINGGUS Elcid Li, PhD (DEL), dalam tulisannya Metamorfosis Perbudakan: Kasus NTT yang ditayangkan oleh IndoPROGRESS, tampak sengaja menjadikan persoalan perdagangan manusia NTT sebagai “persoalan teknik” semata yang terlepas dari sejarah perjuangan kelas masyarakat NTT. Menjadikan perdagangan manusia sebagai persoalan teknik, walaupun menggunakan data-data dan fakta historis, tulisan DEL tetap kelihatan bersifat ahistoris, sebab data dan fakta sejarah itu, di tangan kepenulisan DEL, lebih berfungsi sebagai ornamen intelektual yang tak berdaya dan nihil makna untuk menjelaskan secara meyakinkan[1] persoalan perdagangan manusia NTT hari ini.[2] Karena keterbatasan penjelasan yang diutarakan DEL inilah, saya termotivasi untuk menjelaskan fakta perdagangan manusia di NTT sebagai “persoalan ekonomi politik” melalui pembacaan terhadap data dan fakta sejarah untuk menjelaskan persoalan perdagangan manusia NTT hari ini. Dengan menggunakan lensa pendekatan ekonomi politik, saya mencoba menyibak fakta perdagangan manusia NTT yang terus berulang sejak jaman feodalisme hingga hari ini sebagai akibat dari kesenjangan ekonomi politik di sektor agraria yang sudah membatu sejak jaman feodalisme hingga di era kapitalisme kini.
Teknikalisasi Permasalahan Persoalan Perdagangan Manusia
Teknikalisasi permasalahan merupakan upaya untuk menjelaskan sebuah persoalan sosial ekonomi sebagai masalah teknik semata sembari melucuti “aspek-aspek politiknya menjadi gejala non-politis”.[3] Dalam koridor teoritik seperti ini, DEL, dengan pengaruh teori modernis yang kuat, memahami persoalan perdagangan manusia NTT sebagai persoalan teknik semata, seperti yang dijelaskan oleh Li (2012).[4]
Dalam kaitannya dengan persoalan perdagangan manusia NTT, DEL menulis demikian:[5]
[F]aktor pendorong (push factors) […] antara lain kemiskinan, tekanan perubahan iklim, korupsi aparat negara, dan kekeringan, [dan] faktor-faktor penarik (pull factors) […] berasal dari kondisi eksternal antara lain: terlalu longgarnya PPTKIS terkait liberalisasi undang-undang ketenagakerjaan, kebijakan pemerintah lebih menekankan pada hak bermigrasi dan kurang menekankan pada hak bermigrasi dengan selamat, kebutuhan tenaga low skilled labor yang tinggi dari negara maupun provinsi tetangga yang beralih ke sektor industri dan jasa. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang merupakan turunan dari Protokol Palermo, hingga kini belum fasih digunakan oleh para aparat dalam sistem peradilan di NTT. Solusinya, selain menambah biaya untuk penanganan kasus perdagangan orang, pemahaman detil teknis[6] tindak pidana perdagangan orang perlu dipahami oleh polisi, jaksa dan hakim. Tanpa pemahaman atas detil indikator perdagangan orang, kasus yang diproses juga sangat minim. Tahun 2016, kasus yang ditangani Polda NTT sekitar 60-an kasus atau hanya sekitar 6,7% dari jumlah kasus yang ditangani polisi. Sedangkan kasus yang diproses kejaksaan jelas lebih kecil atau kurang dari 1% yang dari yang tercatat di suratkabar. Tentu yang mendapatkan sanksi menggunakan UU TPPO juga semakin kecil lagi. […] Ketika dijadikan Perda (Peraturan Daerah), substansi undang-undang tindak perdagangan orang pun luput menjadi pembahasan, sebab fokus utama hanya pemalsuan dokumen dan diksi dominan yang dipakai berasal dari Undang-Undang Ketenagakerjaan. Rekomendasi baru tiba di level pemalsuan administrasi yang merupakan salah satu elemen dalam perdagangan orang. Hal ini sangat mungkin dilakukan jika prinsip partisipatoris multi pihak dilaksanakan dalam pembuatan Perda, dan tak hanya mendengarkan suara dominan PPTKIS.
Lebih jauh DEL juga menulis bahwa:[7]
Berdasarkan data yang dikumpulkan BPS, rata-rata anak di NTT hanya bersekolah hingga SMP kelas satu. Angka putus sekolah tertinggi berdasarkan jenjang institusi pendidikan… Rendahnya pendidikan, dan tingginya angka low skilled labor tidak bisa dilepaskan dari tren menurunnya kualitas pendidikan di NTT. Faktor lain yang berkontribusi terhadap semakin menurunnya kualitas pendidikan di NTT adalah kualitas guru, keberadaan guru, dan ketersediaan bahan ajar. […] Dengan kondisi semacam ini, anak-anak NTT amat rentan terhadap penipuan yang berujung pada perdagangan orang dan tingginya angka pekerja anak.
Pada dua kutipan ini, dapat dilihat bahwa bahwa, dalam imajinasi DEL, persoalan perdagangan manusia NTT dapat dan akan diatasi bila terdapat perbaikan teknis pada tata kelola pemerintahan, khususnya bagi institusi penegak hukum (polisi, jasa dan hakim),[8] dan institusi yang terlibat dalam urusan ketenagakerjaan di Indonesia. Selain itu, DEL juga berspekulasi bahwa jika pendidikan bermutu diselenggarakan di NTT, maka persoalan perdagangan manusia NTT dapat ditanggulangi. Dengan argumentasi demikian, DEL memilih untuk lebih berfokus pada bagaimana ketidakcakapan teknis birokrasi pemerintahan dan rendahnya kapabilitas massa rakyat NTT daripada bagaimana praktik-praktik pemiskinan yang secara struktural menyebabkan massa rakyat NTT mudah terseret dalam arus perdagangan manusia.
Dengan fokus analisis yang demikian, solusi untuk mengatasi persoalan perdagangan manusia di NTT dalam imajinasi intelektual DEL adalah melakukan perbaikan teknis, seperti memperkenalkan penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance) dan mengembangkan kecakapan teknis (capacity building) seperti yang pernah diperkenalkan oleh para peneliti LIPI dalam buku Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Permasalahan dan Kebijakan,[9] yang pernah saya kritisi dalam tulisan yang lain.[10] DEL, dengan demikian, sengaja menghindari persoalan kesenjangan ekonomi politik yang mengakar sejak lama dalam kehidupan masyarakat NTT dalam analisis intelektualnya. Padahal, persoalan kesenjangan ekonomi politik ini, terutama dalam bidang agraria, merupakan akar permasalahan dari persoalan kemiskinan dan perdagangan manusia yang dialami oleh mayoritas (keluarga) para pertani di NTT hari ini.[11] Hal inilah yang luput atau secara sengaja dihindari oleh DEL dalam menjelaskan persoalan perdagangan manusia NTT hari ini.
Perdagangan Manusia Sebagai Persoalan Ekonomi Politik
Menurut Li, yang dimaksudkan dengan persoalan ekonomi politik adalah “persoalan menyangkut penguasaan alat-alat produksi, serta struktur hukum dan kekuasaan yang menopang berlangsungnya ketimpangan sistem.”[12] Untuk memahami hal ini, perdagangan manusia NTT sebagai persoalan ekonomi politik mesti didudukkan dalam kerangka historis di mana persoalan ekonomi politik itu terkristalisasi dalam kehidupan masyarakat NTT.
Di NTT, sejarah perdagangan manusia telah berlangsung baik dalam masyarakat feodalisme maupun masyarakat kapitalisme, yang dipicu oleh ketimpangan struktur sosial dan ekonomi, terutama yang dialami oleh para hamba atau budak.[13] Parimartha (2002)[14] menulis bahwa di NTT, sejak abad 19, bahkan sebelum kedatangan Belanda,[15] “nampaknya sistem sosial masyarakat yang menunjukkan adanya perbedaan tajam antara kelompok penguasa dan penduduk biasa, […] kurang adanya ketentuan hukum yang dapat mengatur keadilan, kejadian perang-perang antara kerajaan, memberikan tempat yang subur tumbuhnya perbudakan dan perdagangan budak.” Ketimpangan struktural sosial dan ekonomi seperti ini telah menyebabkan penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap para hamba atau budak dan keturunannya, yang pada akhirnya berujung pada komodifikasi manusia NTT sejak lama. Dalam struktur sosial dan ekonomi yang timpang ini, yang terjadi sejak zaman feodalisme di NTT, menurut laporan Bekkum (1946), di zaman dulu, di Flores, NTT, seorang hamba dihargai dengan dua ekor kerbau di pantai selatan Flores (Aimere), tetapi di daerah pedalaman Ngada lebih mahal, yakni seorang hamba dihargai enam ekor kerbau. Masyarakat Manggarai yang membutuhkan hamba sering membeli hamba di Aimere dan Ngada untuk diserahkan sebagai upeti kepada kesultanan Bima. Tentang pembayaran upeti ini, menurut laporan Freijss, sebagaimana dikutip oleh Bekkum (1946), “sebelum tahun 1815, Bima lebih berkuasa dari pada kemudian; pada waktu itu mungkin sampai 2000 orang hamba setahun di ekspor. Menurut sultan Bima, Ia berhak menerima 3-4000 hamba setiap tahun.”[16]
Ketimpangan struktural di NTT ini disebabkan terutama oleh ketiadaan dan kesenjangan kepemilikan tanah.[17] Sebab, tuan (gae), pemegang kasta sosial tertinggi dalam masyarakat Flores, NTT, (Ngada) merupakan “pemilik tanah dan kekayaan yang dibagikan kepada masyarakat dari kasta yang lebih rendah”.[18] Sementara itu, para hamba, sebagaimana ditulis Forth (2001),[19] tidak memiliki “hak independen atas tanah”. Karena tidak memiliki hak atas tanah, para hamba tidak memiliki hak sosial, kultural, agama, ekonomi dan politik.[20] Ketiadaan hak atas tanah yang dialami oleh parah hamba dan kaum miskin di NTT membuat nilai kemanusiaan mereka terhempas,[21] setaraf dengan komoditi yang bisa ditukar dan diperdagangkan baik di era feodalisme maupun kapitalisme di NTT.
Dengan menjelaskan persoalan perdagangan manusia NTT sebagai persoalan ekonomi politik, saya telah menunjukkan bahwa perdagangan manusia NTT terjadi sebagai akibat dari ketimpangan struktural, terutama di sektor agraria, yang sudah membatu sejak jaman feodalisme di NTT. Pengulangan fakta perdagangan manusia di NTT bukan terutama disebabkan oleh watak tamak korporasi dan birokrasi pemerintahan dan kinerja penegak hukum yang kurang melek kemampuan teknis, tetapi lebih disebabkan oleh kesenjangan ekonomi politik dalam sektor paling penting bagi mayoritas masyarakat NTT, yakni sektor agraria. Akar persoalan perdagangan manusia NTT bukan merupakan persoalan teknis, tetapi persoalan ekonomi politik. Karena itu, implikasi politik terhadap penyelesaian terhadap persoalan ini bukan melalui pembenahan teknis sebagaimana saran DEL, melainkan melalui sebuah gerakan politik.
Dalam konteks NTT, gerakan politik ini diarahkan untuk membangkitkan kesadaran politik massa rakyat NTT bahwa mereka memiliki hak atas tanah airnya sendiri dan memastikan dirinya bisa hidup layak dengan tanah yang berkecukupan. Gerakan politik ini juga mesti diarahkan untuk melawan agenda kapitalisme yang sedang merampas tanah-tanah (land grabbing) di NTT untuk kepentingan akumulasi kapital, baik dalam bidang pertanian, peternakan, pariwisata dan pertambangan.[22] Yang tidak kalah penting adalah bahwa gerakan politik ini juga harus menyasar untuk membangkitkan kembali gerakan politik pada tahun sebelum 1965, yang dipelopori oleh mayoritas para guru dan politisi revolusioner yang lebih menerima agenda politik PKI, termasuk politik agraria PKI, di NTT.[23]
Intisarinya, sumber daya ekonomi, politik dan sumber daya manusia yang telah hilang dalam sejarah NTT ini sejak jaman feodalisme hingga hari ini harus direbut kembali, terutama sumber daya guru-guru bermutu dan aktivis progresif-revolusioner yang dibantai dan dipenjarakan pasca 1965, yang entah secara langsung atau pun tidak langsung didukung oleh gereja Katolik dan Protestan di NTT.[24] Perebutan kembali seperti ini tidak saja terjadi melalui medan aksi progresif-revolusioner di jalan dan di wilayah di mana praktik-praktik pemiskinan oleh kelas berkuasa dan bermodal terjadi, tetapi juga melalui medan intelektual dalam membentuk wacana dan ideologi yang tepat sasar untuk mengarahkan gerakan politik membungkam sebab terdalam dari persoalan kemiskinan dan perdagangan manusia NTT. Antara kerja aksi dan kerja intelektual sama-sama penting dan harus disenyawakan dan diselaraskan untuk kepentingan membentuk blok historis gerakan politik yang membebaskan seperti yang ditegaskan oleh Gramsci (1971).[25]
Atas pertimbangan bahwa kerja intelektual dalam sebuah gerakan politik pembebasan, saya, dalam tulisan ini, sudah berusaha untuk meluruskan cita-cita intelektual pembebasan masyarakat NTT dari kungkungan sejarah perdagangan manusia yang dikerjakan oleh DEL. Sebab, bagi DEL, massa rakyat petani NTT yang terlempar dari sektor agraria dan mencari pekerjaan non-pertanian yang membanjiri kota-kota di Indonesia dan luar negeri adalah hal yang wajar dan seharusnya terjadi demikian. Tanpa menjadikan perdagangan manusia NTT sebagai persoalan ekonomi politik, DEL seolah menegaskan bahwa massa rakyat petani yang tidak memiliki tanah yang cukup mesti didorong untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian melalui migrasi. Hanya saja menurut DEL, yang perlu dilakukan adalah bahwa migrasi penduduk ini ditangani melalui kebijakan teknis yang baik agar tidak terjerumus dalam human trafficking, yang menurut data yang dipaparkannya sebanyak 1.118 dari total 20.025 orang yang ditangani pada tahun 2014-2015.[26]
Asumsi implisit DEL ini persis seperti yang pernah ditulis dalam laporan World Development Report 2008: Agriculture for Development (WDR), seperti yang dikutip Li (2009),[27] yang menegaskan bahwa “para petani kecil yang tidak mampu bersaing dalam berproduksi seharusnya keluar dari sektor pertanian” dan bermigrasi untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian demi peningkatan kesejahteraan mereka. Tetapi, Li (2009) berkesimpulan bahwa asumsi WDR ini tidak selalu benar dalam kenyataan, sebab banyak petani yang terlempar dari sektor pertanian yang timpang di kampung halaman mereka justru mengalami nasib yang lebih buruk di tempat kerja di luar sektor pertanian. Tesis Li (2009) ini didukung oleh Breman (2009) bahwa migrasi di negara-negara Asia lebih banyak melahirkan problem sosial dan ekonomi daripada solusi bagi para keluarga petani. Sebab, banyak petani di Asia yang mengalami apa yang Breman (2009) sebut “a form of distress migration.”[28] Breman (2009) menilai bahwa rekomendasi Bank Dunia bahwa migrasi adalah jalan keluar terbaik bagi penderitaan petani tak bertanah atau bertanah kecil di negara-negara berkembang tidak terkonfirmasi dalam temuan penelitiannya di Indonesia dan India. Karena itu, upaya DEL yang hanya ingin melakukan pembenahan teknis dalam kaitan dengan persoalan perdagangan manusia NTT, tanpa mempedulikan persoalan ekonomi politik di sektor agraria di NTT, merupakan tindakan yang secara sengaja ingin mengulangi kesalahan sejarah yang terjadi di banyak negara di Asia seperti India, Indonesia, Thailand, dan China.[29]***
Penulis adalah Peneliti di Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
—————–
[1]Apalagi, tulisan DEL memang agak susah untuk dipahami karena aliran ide kurang terstruktur secara baik, dan terpencar-pencar secara kurang logis dari satu paragraf ke paragraf yang lain dan dari satu sub ke sub yang lain, atau di dalam paragraf itu sendiri. Juga beberapa pertanyaan yang diajukan DEL tidak sempat atau tidak mampu dijawab oleh DEL sendiri dalam tulisannya. Hal inilah yang membuat pembaca, sekurang-kurangnya saya, agak frustrasi setelah membaca tulisannya. Di sini, saya mengajak pembaca untuk hanya memeriksa paragraf ke 4 dalam tulisan DEL sebagai berikut: “Apakah perbudakan merupakan hal yang biasa? Jawaban etisnya ‘tentu tidak’. Bagaimana mungkin perbudakan tetap eksis dalam waktu yang berbeda, dan dalam ruang yang sama? Dan manusia yang berbeda yang mewarisi DNA para leluhurnya tidak mampu membedakan antara ‘tenaga kerja’ dan ‘perdagangan orang’ (human trafficking). Padahal, perdagangan orang ini lah yang biasa disebut sebagai perbudakan moderen (modern slavery). Dalam kajian sosiologi, orang menyebut perbedaan perspektif ini menjelaskan kontradiksi kelas tergambar yang tampak lewat perspektif yang dipakai.” Paragraf ini susah dipahami secara logis, sebab tidak ada hubungan antara pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan kalimat penjelasan dan kesimpulannya. Dalam kalimat terakhir, DEL menulis sebuah kalimat kompleks yang berbelit-belit, hampir tanpa arti yang jelas, dan tidak memiliki hubungan dengan kalimat-kalimat yang lain sebelumnya. Saya menyadari bahwa ketidakjelasan dan ketidaklogisan dalam menulis sebuah paragraf seperti ini pernah dilakukan oleh siapa pun, bahkan oleh para pakar sekalipun yang telah meraih gelar akademis PhD seperti DEL. Namun, hal seperti ini tidak boleh ditolerir secara terus menerus, dan perlu “ditegur” untuk perbaikan dan perubahan di masa yang akan datang, seperti yang pernah Adam (2006) lakukan untuk tim penulis buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sebagai berikut: “Logika yang dipakai dalam kalimat untuk sampai ke sebuah kesimpulan juga nyaris tidak jelas, kalau tidak mau dibilang tidak masuk akal. Salah satu contohnya terdapat pada halaman 282 dan 283. Untuk jelasnya, di sini dikutip bagian yang dapat mengecoh kesimpulan itu: [Pada tanggal 16 Juni 1959, Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (PNI) Suwirjo, mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno (yang ketika itu sedang berada di Jepang dalam rangka perjalanan keliling dunia), agar Presiden Soekarno mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Sekretaris Genderal Central Comite Partai Komunis Indonesia (CC-PKI) D.N. Aidit mengirim surat kepada Fraksi PKI di Konstituante yang berbunyi, “Harap diketahui bahwa politbiro CC-PKI hanya membenarkan anggota-anggota fraksi menghadiri sidang pleno Konstituante jika hal itu terpaksa diadakan dengan cara untuk membubarkan diri.” Dalam waktu-waktu yang kritis itulah, di mana keadaan ketatanegaraan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, adanya pemberontakan yang ditumpangi intervensi tertutup kekuatan besar asing, dan dimana partai-partai sebagai keseluruhan memperlihatkan impotensinya, Presiden Soekarno dan TNI sebagai kekuatan politik diharapkan dapat mengatasi kemacetan nasional.] Uraian ini tidak jelas maksudnya, selain itu juga sulit dimengerti keterkaitan sebab-akibatnya. Malah salah-salah dapat ditafsirkan bahwa tulisan ini ingin menekankan PKI punya peranan besar dalam mengembalikan bangsa Indonesia ke UUD 1945 dan bagaimana pada waktu itu ABRI telah disusupi dan dikuasai PKI. Kesimpulan ini bisa muncul karena ketidakjelasan antara apa hubungan surat Ketua PNI dan surat Aidit di satu pihak dengan pernyataan Soekarno dan munculnya TNI sebagai kekuatan nasional di pihak lain.” Lihat, Adam, AW. 2006. Sejarah, Nasionalisme dan Kekuasaan. Dalam Hadiz & Dhakidae, D. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta dan Singapore: Equinox, 2006, hlm. 286-287.
[2]Dominggus Elcid Li (2017), Metamorfosis Perbudakan: Kasus NTT. Diakses 28 Maret 2017 (https://indoprogress.com/2017/01/metamorfosis–perbudakan–kasus–ntt/).
[3]T.M. Li, Hery Santoso dan Pujo Semedi (Penerj.), The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri, 2012, hlm. 13-14.
[4]Ibid.
[5]Li, Metamorfosis Perbudakan: Kasus…
[6]Frase ini di-italic-kan oleh saya.
[7]Li, Metamorfosis Perbudakan: Kasus…
[8]Dominggus Elcid Li (2014), Pejabat Kepolisian dalam Rantai Perdagangan Manusia. Diakses 28 Maret 2017 (https://indoprogress.com/2014/08/pejabat-kepolisian-dalam-rantai-perdagangan-manusia/).
[9]G. Wuryandari (Ed.), Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Permasalah dan Kebijakan. Jakarta: LIPI Press, 2014.
[10]E.Y.S. Tolo (2016), Akumulasi Melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores, Jurnal Sosiologi Masyarakat Universitas Indonesia 21 (2), hlm. 174-204.
[11]Ibid.
[12]Li, The Will to Improve…, hlm. 22; Lihat juga, James Ferguson, The Anti-Politics Machine: “Development,” Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho. Cambridge: Cambridge University Press,1990.
[13]P. Arndt, Nama, Paulus Sabon (Penerj., 2005), Agama Orang Ngada: Dewa, Roh-roh Manusia dan Dunia. Maumere: Candraditya, 1924; P. Arndt. Nama, Paulus Sabon (Penerj., 2003. Agama Asli di Pulau Alor. Maumere: Candraditya, 1951; W.V. Bekkum, M. Agus (Penerj., 1974), Sejarah Manggarai (Warloka-Todo-Pongkor). Unpublished manuscript, 1946; Maribeth Erb (2006), Between Empowerment and Power: The Rise of the Self-Supporting Church in Western Flores, Eastern Indonesia, Journal of Social issues in Southeast Asia 21 (2), hlm. 204-229; Maribeth Erb, The Manggaraians: A Guide to Traditional Lifestyles. Times Editions: Singapore, 1999; Maribeth Erb, “Kebangkitan Adat di Flores Barat: Budaya, Agama dan Tanah.” Hlm. 269-299 dalam Adat dalam Politik Indonesia. Disunting oleh James S. Davidson et al. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010; J.L Gordon, “The Manggarai: Economic and Social Transformation in an Eastern Indonesia Society.” Disertasi, Cambridge, Massachusetts: Harvard University, 1975.
[14]I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915. Jakarta: Penerbit: Djambatan – KITLV, 2002.
[15]P. Tule, “We are Children of the Land: A Keo Perspective, dalam Thomas Reuter”, Hlm. 211-236 dalam Sharing the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the Austronesian World, disunting oleh Thomas Reuter. Australia: Australian National University Press, 2006; Lihat juga, Bekkum, Sejarah Manggarai…
[16]Bekkum, Sejarah Manggarai…
[17]S. Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio. Maumere: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 1992; G.V. Klinken, The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930an-1980an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2015; E.Y. S. Tolo (2014), Land Grabbing dan Reforma Agraria Indonesia. Majalah Basis. No.01-02, Tahun 63, Yogyakarta; Tolo, Akumulasi Melalui Perampasan…, hlm. 174-204.
[18]H. Muda, “The Supreme Being of the Ngadha People in Flores (Indonesia): Its Transcendence and Immanence.” Disertasi PhD, Rome: Pontifica Universita Gregoriana, 1986, hlm. 49.
[19]G. Forth, Dualism and Hierarchy: Processes of Binary Combination in Keo Society, Oxford Studies in Social and Cultural Anthropology. Inggris:Oxford University Press, 2001, hlm. 70.
[20]Forth, Dualism and Hierarchy: Processes…; Tolo, Akumulasi Melalui Perampasan…
[21] Arndt, Agama Orang Ngada…; Arndt, Agama Asli di Pulau Alor…
[22]Tolo, Akumulasi Melalui Perampasan…; C.J.P. Dale, Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik. Labuan Bajo: Sunspirit Books, 2013; C.J.P. Dale (2016), Emancipatory Democracy and Political Struggles in Post-Decentralization Eastern Indonesia. Development 58.1, hlm. 31-41; M. Regus, (2011), Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT, Masyarakat: Jurnal Sosiologi16(1), hlm. 1-28.
[23]Klinken, The Making of Middle Indonesia…
[24]O.G. Madung dan J.M. Prior, (Eds.) Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascapristiwa 1965-1966. Maumere: Ledalero, Litbang STFK Ledalero, 2015; G.V. Klinken (2015), Pembunuhan di Maumere, Jurnal Ledalero 14 (1), hlm. 9-33; M. Kolimon dan L.Wetangterah (eds.), Memori-Memori Terlarang Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur. Kupang: Yayasan Bonet Pinggupir, 2012; M. Kolimon (2015), Pelaku Mencari Kesembuhan, Jurnal Ledalero 14 (1), hlm. 34-59. D. Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia, 2003; J.M. Prior (2011), The Silent Scream of a Silenced History, Exchange 40, hlm. 117-143, 311-321.
[25]A. Gramsci, Selection from the Prison Notebooks. New York: International Publisher, 1971.
[26]Data dari Peneliti IRSGC, Randy Banunaek, justru lebih mencengangkan seperti yang ditulis oleh Rambu (2017) sebagai berikut: “berdasarkan data IRSGC tahun 2014 terdapat 1.021 korban perdagangan orang dengan korban indikasi perdagangan orang yang dipekerjakan di perkebunan kelapa sawit mencapai 235 orang. 108 korban atau 18 persen dari total korban perdagangan orang adalah anak-anak. Sementara di tahun 2015, terdapat 1.004 korban perdagangan orang dengan 242 korban terindikasi perdagangan orang di perkebunan kelapa sawit. 89 orang atau 19 persen dari 1.004 korban perdagangan orang adalah anak-anak.” Lihat, B. Rambu (2017), NTT Provinsi ‘Budak.’ Diakses 28 Maret 2017 (http://www.victorynews.id/ntt-provinsi-budak/).
[27]T.M. Li (2009), Exit from Agriculture: A Step Forward or A Step Back Ward for the Rural Poor?, The Journal Peasant Studies 36: 3, hlm. 630.
[28]J. Breman, ‘The Great Transformation in the Setting of Asia’, a paper delivered on the occasion of the award of the degree Doctor Honoris Causa on the 57th Anniversary of the International Institute of Social Studies, The Hague, The Netherlands, 20 October 2009, hlm. 18.
[29]Li, Exit from Agriculture…; Breman, The Great Transformation….; Ye, J., Wang, C., Wu, H., He, C., & Liu, J. (2013), Internal migration and left-behind populations in China, Journal of Peasant Studies, 40(6), hlm. 1119-1146; P. F. Kelly (2011), Migration, agrarian transition, and rural change in Southeast Asia: Introduction, Critical Asian Studies, 43(4), hlm. 479-506.