Kredit ilustrasi: http://www.sumbarsatu.com
MERUJUK pada rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni debt to GDP ratio, yang berada di kisaran 27 persen (di bawah 60 persen sebagaimana diatur dalam pasal 12 UU No.17/2003), dalam berbagai kesempatan pemerintah meyakinkan publik bahwa utang pemerintah meskipun terbilang besar, yakni sekitar Rp 3.600 triliun, namun diklaim masih aman dan terkendali.
Untuk menunjukkan bahwa kondisi utang pemerintah masih sangat sehat dan aman, pemerintah membandingkanya dengan Negara-negara lain yang perekonomiannya telah maju meskipun utangnya besar, bahkan debt to GDP ratio melampaui batas aman yang ditetapkan oleh IMF dan Bank Dunia.
Beberapa Negara yang sering dijadikan pembanding diantaranya: Jepang dengan total utangnya mencapai Rp 143.000 triliun dan rasio utang terhadap PDB sebesar 227,2 persen; begitu pula dengan Singapura yang total utangnya sebesar Rp 743.000 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 105,5 persen; atau juga Amerika Serikat, dengan total utang sebesar Rp 170.000 triliun, dan debt to GDP ratio berada di level 101,5 persen.
Namun membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju tidak-lah tepat, karena struktur ekonominya sangat jauh berbeda (tidak apple to apple). Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 50 persen ditopang oleh konsumsi (baik konsumsi pemerintah maupun rumah tangga), sementara negara-negara tersebut mengandalkan produksi (ekspor) sebagai sumber utama pertumbuhannya.
Amerika dan Jepang meskipun debt to GDP ratio sangat tinggi, namun kedua negara memiliki kemampuan men-generate cash dalam bentuk devisa/valas sangat besar yang bersumber dari ekspor. Di samping itu mata uang kedua negara menjadi mata uang dunia yang masuk dalam SDR (Special Drawing Right) IMF (International Monetary Fund). Demikian bila harus melunasi utang-utangnya, kedua negara hanya tinggal mencetak uang, paling resikonya nilai tukar mata uang negara itu akan melemah atas mata uang negara lain, tapi tidak akan membuat Amerika Serikat bangkrut.
Begitu pula dengan Singapura, meski matanya tidak masuk dalam SDR, namun negara itu memiliki kemampuan men-generate cash dalam bentuk devisa/valas sangat besar yang bersumber dari ekspor. Sebagai negara maju, pertumbuhan Singapura bergantung pada produksi—dari ekspor. Kondisi sangat jauh berbeda dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang pertumbuhan ekonominya bergantung pada konsumsi.
Penerapan debt to GDP ratio sendiri diadopsi dari standar yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia). Bank Dunia merumuskan bahwa kondisi debt to GDP ratio yang aman adalah 21 persen– 49 persen, sementara IMF menetapkan batas aman utang antara 26 persen – 58 persen.
Namun, sudah sejak lama, debt to GDP ratio dikritik banyak kalangan ekonom, karena dinilai bukan sebuah perbandingan yang logis. Rasio hutang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utang-utangnya, padahal keberadaan utang justru terletak pada kemampuan pemerintah melunasi kewajibannya.
PDB merupakan output atas seluruh unit usaha yang ada dalam wilayah negara tertentu, yang tidak berbentuk cash, melainkan hanya merupakan perhitungan semata. Definisi PDB menurut BPS (Badan Pusat Statistik) adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB dirumuskan dalam persamaan:
PDB = C+ G + I + (X-M)
Karena hanya merupakan perhitungan semata, maka PDB tidak dapat dijadikan ukuran pembanding rasio utang pemerintah. Jika rasio utang/PDB rendah tidak berarti bahwa negara memiliki kemampuan yang tinggi untuk melunasi utang-utangnya, sebab PDB sendiri tidak berbentuk cash.
Sementara dalam berbagai teori ekonomi keuangan, kemampuan melunasi utang (jangka pendek maupun jangka panjang) dinilai dari rasio keuangan pengutang, baik rasio likuiditas maupun rasio solvabilitas.
Current Ratio
Dalam literatur ekonomi keuangan, kemampuan suatu perusahaan untuk melunasi semua kewajibannya yang harus segera dipenuhi (utang jangka pendek) digambarkan dengan rasio likuiditas. Rasio likuiditas umumnya, dibagi atas: Current Ratio, Quick Ratio dan Cash Ratio. Namun pada artikel pendek ini, hanya akan dibahas tentang Current Ratio, yaitu kemampuan satu unit usaha/perusahaan membayar utang-utangnya yang dinilai dari perbandingan antara aktiva lancar dan utang lancar.
Current Ratio bertujuan memberikan informasi tentang kemampuan aktiva lancar dalam menutup utang lancar. Aktiva lancar meliputi kas, piutang dagang, efek, persediaan, dan aktiva lainnya. Sedangkan utang lancar terdiri atas utang dagang, utang wesel, utang bank, utang gaji, dan utang lainnya yang segera harus dibayar. Current Ratio dirumuskan dalam persamaan;
Apabila current rationya 1:1 atau 100 persen, maka berarti aktiva lancar dapat menutupi semua utang lancar. Demikian perusahaan dapat dikategorikan sehat karena aktiva lancarnya berada di atas jumlah utang lancarnya. Semakin besar aktiva lancar dibandingkan utang lancar, maka semakin tinggi kemampuan perusahaan menutupi kewajiban jangka pendeknya.
Debt Ratio
Rasio keuangan lainnya yang digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajibannya adalah rasio solvabilitas. Ada dua jenis rasio solvabilitas yaitu Total Debt to Total Assets Ratio (Debt ratio) dan Debt To Equity Ratio. Namun pada kesempatan ini, hanya akan dibahas tentang debt ratio.
Debt ratio merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aktiva. Dengan kata lain, seberapa aktiva perusahaan dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva. Debt ratio dirumuskan dalam persamaan;
Semakin kecil rasionya maka semakin tinggi tingkat keamanannya (solvable), atau juga dapat diartikan porsi utang harus lebih kecil terhadap aktiva.
Debt to ratio banyak dijadikan acuan oleh para kredior dan lembaga pemeringkat internasional dalam menilai peringkat utang satu negara (sovereign credit rating). Tahun lalu lembaga pemeringkat S&P’s memberikan peringkat utang Indonesia BB- (double B minus), yang mengindikasikan adanya kemungkinan risiko kredit dalam sejumlah instrumen investasi Indonesia (Surat Utang Negara dan Sukuk Negara) maupun pembiayaan terhadap proyek-proyek Pemerintah.
Rasio Utang Terhadap Penerimaan
Merujuk pada dua pendekatan rasio keuangan di atas, maka penilaian kemampuan pemerintah melunasi utang-utangnya, lebih tepat bila membandingkan utang pemerintah (plus bunga) dengan penerimaan negara (penerimaan pajak dan non pajak).
Berdasarkan data kementerian keuangan, rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara (pajak dan bukan pajak), cenderung meningkat setiap tahunnya. Jika 2011 rasionya sekitar 19,03 persen, pada 2016 rasionya meningkat mencapai 27,87 persen. Sedangkan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25 persen (2011) menjadi 32,31 persen (2016).
Rasio utang terhadap penerimaaan negara ini (pajak dan non pajak) jarang sekali dipublikasikan pemerintah, bahkan cenderung “ditutupi”. Yang lebih sering diungkap ke publik hanya rasio utang terhadap PDB, alasannya karena perintah UU No.17/2003 hanya menyangkut rasio utang terhadap PDB, bukan yang lain.
Data rasio pembayaran cicilan utang pemerintah terhadap penerimaan Negara, sesungguhnya menginformasikan dua hal kepada kita. Pertama, beban pembayaran utang pemerintah semakin meningkat. Kedua, kemampuan pemerintah dalam menghasilkan penerimaan negara (pajak dan nonpajak) untuk membayar kembali utangnya melemah. Dengan demikian, kemampuan fiskal dalam mengurangi beban utang sesungguhnya juga rendah.
Rendahnya kemampuan fiskal dalam mengurangi beban utang pemerintah juga tercermin dari indikator keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN yang terus mengalami defisit sejak tahun 2012 lalu. Ini mengindikasikan bahwa kesehatan fiskal (fiscal sustainability) dalam kondisi berbahaya.
Dalam kaitan tersebut, maka pasal 12 UU No.17/2003 harus menegaskan bahwa rasio utang pemerintah diukur berdasarkan penerimaan negara, bukan berdasarkan PDB. Rasio utang terhadap PDB, bukan saja tidak dapat menjelaskan kemampuan pemerintah dalam melunasi kewajibannya, tetapi juga hasil analisisnya tidak layak dipakai sebagai pedoman pengambilan keputusan, karena tidak menggambarkan apapun tentang kondisi keuangan negara.***