Dalam Tegangan Permanen: Relasi Gerakan Feminis dalam Perjuangan Kelas

Print Friendly, PDF & Email

PADA suatu hari di Hari Buruh, sejumlah aktivis perempuan (yang feminis) merancang ide untuk ikut serta dalam rally barisan buruh di Jakarta. Rencana itu disampaikan kepada panitia aksi Hari Buruh agar mendapat persetujuan. Namun demikian, panitia aksi Hari Buruh tidak menyetujui barisan feminis ini ikut serta dalam rally buruh. Setelah melakukan pendekatan berkali-kali, pada akhirnya rencana barisan feminis ini disetujui —meski tanpa kesepatakan bulat. Mengapa para feminis itu ingin bergabung dalam barisan buruh di Hari Buruh? Karena para feminis itu berupaya untuk mengampanyekan isu perempuan dalam perburuhan yang selama ini tidak tersuarakan. Tuntutan noramtif perburuhan yang dikampanyekan pada saat Hari Buruh tak mengangkat aspek kekhususan atas kondisi buruh perempuan dalam keragaman sektor kerja.

Ketika Hari Buruh tiba, barisan feminis itu mengenakan pakaian sesuai dengan peran yang disandangnya: buruh tani, buruh manufaktur, pekerja seks, PRT, buruh migran, buruh tambang, perawat, dll, dimana masing-masing pemeran mengangkat masalah-masalah yang dihadapi masing-masing sektor tersebut. Namun di lapangan, barisan feminis ini menghadapi hambatan untuk ikut serta dalam barisan buruh, karena beberapa panitia (pimpinan federasi-federasi) keberatan terhadap barisan feminis ini. Alasannya kurang masuk akal, bahwa jika para feminis ini ikut berbaris dalam barisan buruh, maka isu buruh akan terkesampingkan, apalagi tampilan para feminis itu sungguh teatrikal. Sekali lagi, setelah berdiskusi cukup alot, pada akhirnya beberapa pimpinan buruh membolehkan dengan persyaratan: tidak boleh terlalu menarik perhatian media massa dan harus berbaris di belakang barisan buruh. Tentu saja hadirnya barisan feminis ini menarik perhatian media massa.

Kejadian itu menyingkap adanya kecurigaan beberapa pimpinan buruh (yang mayoritas laki-laki) kepada gerakan feminis. Mereka menganggap gerakan feminis itu akan memecah-belah persatuan gerakan buruh dalam perjuangan kelas. Sebab, gerakan feminis itu liberal karenanya bertentangan dengan perjuangan kelas. Menurut para pimpinan buruh itu masalah perburuhan hanya satu, yaitu berhubungan dengan norma perburuhan. Sementara menurut para feminis, buruh perempuan sangat besar jumlahnya –terutama di sektor manufaktur, namun hak keperempuanannya diabaikan. Apa yang disebut hak perempuan meliputi kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan kodrat keperempuanannya (haid, hamil, melahirkan dan menyusui), beban menggunakan alat kontrasepsi (menanggung urusan keluarga berencana), beban pekerjaan sebagai ibu rumah tangga untuk memulihkan dan mereproduksi tenaga kerja (pengasuhan anak, pengadaan makanan, merawat suami dan anggota keluarga yang sudah tak produktif, dll), ancaman kekerasan seksual, dan lain sebagainya. Persisnya, beban ganda perempuan sebagai labour dan mother sering tak diperhitungkan sebagai bagian dari eksploitasi di bawah kapitalisme.

Pertanyaannya adalah mengapa ada tegangan antara gerakan buruh –yang direpresentasikan oleh pimpinan buruh—dan gerakan feminis –yang direpresentasikan oleh aktivis perempuan? Apakah hal itu merupakan suatu kebetulan yang terjadi di Jakarta?

 

Bagai Perkawinan Tak bahagia

Cukilan kisah di Hari Buruh itu menggambarkan sesuatu yang yang terjadi pada ranah praktis, yang berkaitkelindan dengan ranah teoritik. Tegangan itu dinyatakan oleh Heidi I. Hartmann[1] sebagai cermin ketidakbahagiaan dalam relasi intim antara Feminisme dan Marxisme. Hartmann mengatakan demikian:

Marxisme dan Feminisme dikiaskan perkawinan suami dan isteri dalam tradisi adat Inggris, dimana Feminisme adalah satu hal dan Marxisme adalah lain hal. Usaha untuk mengintegrasikan semacam itu membuat kami tidak merasa nyaman karena mereka menyamakan gerakan perjuangan feminis ke dalam perjuangan yang lebih “besar” melawan kapitalisme. Untuk mengakhiri kiasan itu, kita akan berupaya menyehatkan perkawinan atau bercerai

Dalam kata pengantar buku Women and Revolution, Lydia Sargent menjelaskan mengapa Harmann mengungkapkan ketidakbahagiaan relasi Marxisme dan Feminisme tersebut. Menurutnya, Marxisme dan Feminisme telah berkawin dalam revolusi secara empirik yakni di masa Revolusi Bolshevik 1917. Setelah Revolusi Bolshevik, Aleksandra Kollontai, yang mengepalai bidang kesejahteraan –termasuk urusan khusus perempuan—membuat program jaminan sosial untuk meringankan beban keiburumahtanggaan yang diemban para perempuan kelas pekerja. Namun kesuksesan itu tak dapat direalisasikan oleh negara-negara yang merupakan jaringan dari komintern (komunis internasional). Lagipula di Sovyet sendiri apa yang telah diperjuangkan Alexandra Kollontai itu mengalami kemunduran.

Pada dekade 1960an sejalan dengan kebangkitan gerakan Kiri Baru di kalangan kaum muda –terutama mahasiswa—gerakan feminis mesra kembali dengan gerakan Kiri Baru. Namun demikian kemesraan itu tak berumur panjang karena para feminis menghadapi dua hambatan: pertama, pada tataran praktis, yaitu masalah kerja bersama dengan aktivis laki-laki dalam urusan sehari-hari, contohnya mengenai siapa yang membersihkan segala hal yang berantakan di sekretariat; siapa yang menulis leaflet dan siapa yang mengetiknya; siapa yang memimpin rapat dan siapa yang mencatat; siapa yang mendapat keuntungan dalam relasi berdasarkan seksual dan siapa yang terugikan. Betti Friedan menegaskan bahwa dalam gerakan Kiri Baru, kaum perempuan sibuk membersihkan dan menata rumah gerakan, memasak makan malam untuk aktivis gerakan (yang laki-laki), pendeknya aktivis perempuan bagaikan isteri atau kekasih yang melayani aktivis laki-laki[2].

Kedua, dalam tataran teori. Contohnya siapa yang memimpin dalam revolusi (perempuan atau laki-laki?), siapa yang dibebaskan oleh revolusi (perempuana atau laki-laki), dan siapa yang mengurus rumah pada saat revolusi sedang berkobar (laki atau perempuan?). Kenyataannya kaum Marrxis menjawab pertanyaan pertama dengan merujuk pada masalah kedua, bahwa kelas buruh (yang bias buruh laki-laki kulit putih) adalah sokoguru (yang memimpin) revolusi. Sedangkan perempuan mengurus rumah tangga ketika revolusi meletus atau mengurus hal-hal sebagaimana kerja sekretaris: mengetik, mengarsip, menerima telpon, menyediakan makanan, menjadi perawat kesehatan fisik dan psikis, dan jika berada di garis depan hanya sebagai penggembira. Dengan kata lain, perempuan tak lebih sebagai obyek penindasan berdasarkan relasi seksual dan gendernya dalam revolusi atau perjuangan kelas[3].

Dua persoalan praktis sehari-hari dan teoritis yang diabstraksikan oleh Hartmann dan Sargent (termasuk juga Betty Friedan), saya kira bukan bias pengalaman kulit putih di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Para feminis yang berada di Asia –termasuk Indonesia—mengalami pula kejadian serupa selama dalam masa gerakan kemerdekaan, dan bahkan pada dewasa ini. Apa yang saya gambarkan dalam peringatan Hari Buruh di atas, sejatinya mencerminkan bagaimana kondisi sehari-hari mengenai relasi gerakan buruh dan feminisnya –termasuk juga relasi dalam serikat buruh. Sementara dalam tataran teoritis meruncing perdebatan apakah faktor reproduksi di dalam rumah tangga (sebagai situs penindasan perempuan) memiliki prioritas dalam perjuangan kelas? Sebab hal yang menjadi dasar perjuangan kelas adalah pertentangan di dalam relasi produksi –antara buruh vs majikan—dan bukan pertentangan di dalam relasi reproduksi. Sementara perjuangan feminis mempersoalkan seksualitas dan kontradiksi di dalam reproduksi, seperti dominasi patriakh (bapak/suami) terhadap anggota keluarga yang perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, nenek dan bibi.

 

Tegangan Analisis: Gender vs Kelas

Bertolak dari rasa ketidakbahagiaan itu, gerakan feminis kemudian berupaya mendefinisikan persoalan penindasan dan pembebasan perempuan sebagai unit analisa yang otonom dan persoalan kelas. Dekade 1970an merupakan masa dimana para feminis sangat produktif dalam “menemukan” konsep-konsep yang operasional untuk mencari penjelasan tentang penindasan perempuan. Menurut pengamatan saya, dasawarsa itu menghasilkan konsep yang meneguhkan otonomi perempuan, yaitu, pertama, personal is political untuk memaknai yang privat (hal-hal yang dikaitkan dengan kerja domestik, termasuk membersihkan sekretariat, penyiapan konsumsi, dll) sebagai sesuatu yang politis. Kedua, penemuan tentang konsep patriarki sebagai sumber penindasan perempuan, yang akarnya berasal dari sistem patrilineal –dimana garis keluarga mengikuti garis bapak, dan bapak mengontrol atas seluruh anggota keluarga. Ketiga, penemuan tentang konsep gender untuk menyingkap relasi gender yang timpang dalam struktur sosial masyarakat. Relasi gender itu terstruktur dengan menempatkan posisi laki-laki dominan atas perempuan, yang hal itu dipandang seakan-akan sebagai sesuatu yang alami.

Implikasi ketiga “penemuan” tersebut secara praktis dan teoritis berdiri sendiri dan selalu berhubungan dengan kapitalisme. Namun demikian di kalangan feminis itu sendiri muncul beragam pandangan ketika mengabstraksikan perihal praktis, yaitu kerja perempuan, reproduksi, keluarga dan seksualitas. Perbedaan itu melahirkan keragaman “ideologi” di dalam gerakan feminis itu sendiri.

Feminis radikal memandang patriarki (sistem yang berbasis pada patriakh/bapak) sebagai sumber masalah penindasan perempuan. Dengan demikian, penganut feminis radikal tidak memandang kapitalisme sebagai sumber masalah. Sementara feminis sosialis mendefinisikan sumber penindasan perempuan terdapat pada patriarki dan kapitalisme, di mana masing-masing merupakan sumber masalah yang berdiri sendiri namun di antara keduanya dapat saling memanfaatkan. Adapun feminis Marxis memandang sumber masalah utama pada kapitalisme, namun di dalam kapitalisme itu beroperasi sistem patriarki[4].

Baik feminis radikal maupun sosialis menggunakan perspektif personal is political untuk menyingkap hal yang privat dan selama ini tersembunyi di balik dominasi sesuatu yang publik (ekonomi, politik, dll). Feminis radikal menggunakan konsep gender sebagai unit analisa dalam membedah relasi kuasa dalam sistem patriarki. Sedangkan feminis sosialis, di satu pihak menggunakan konsep gender untuk menganalisa ketimpangan dalam relasi kuasa berdasarkan seksual, dan di lain pihak menggunakan konsep kelas dalam menganalisa kelas pekerja perempuan di bawah kapitalisme (dikenal dengan sebutan teori sistem ganda). Adapun feminis Marxis menggunakan konsep kelas yang memanfaatkan relasi kuasa berdasarkan seksual untuk menganalisa problem kelas pekerja perempuan di bawah kapitalisme. Maka perpaduan konsep gender dan kelas, juga ras, merupakan unit analisa yang dipergunakan oleh feminis sosialis dan Marxis (juga feminis radikal) untuk menyingkap situasi kelas pekerja perempuan yang tersembunyi di balik dominasi analisa kelas.[5]

Tegangan antar konsep gender dan kelas seringkali terjadi ketika menganalisa tentang buruh perempuan di pabrik maupun perkebunan. Sumber tegangan itu karena tradisi sains “Barat” seringkali menempatkan konsep gender dan kelas dalam oposisi biner –sebagaimana pandangan feminis sosialis. Sebagai contoh tentang Mardiana, buruh pabrik garmen di Rancaekek, Kabupaten Bandung. Bagaimana menganalisa Mardiana? Feminis sosialis akan memprioritaskan analisa gender di atas analisa kelas, maka Mardiana lebih dipandang sebagai “perempuan” dan pada saat tertentu sebagai buruh pabrik. Sebagai perempuan, masalah gender yang dihadapinya tak selalu karena faktor kapitalisme. Namun pada sisi lain, pabrik itu sendiri telah tersegregasi berdasar gender, sehingga ketika Mardiana kerja di pabrik secara otomatis dirinya berada dalam segregasi tersebut. Feminis radikal hanya akan menganalisa Mardiana sebagai “perempuan” yang mengalami diskrimasi berdasarkan seksualitas. Adapun feminis Marxis memprioritaskan Mardiana sebagai “buruh” dan bukan sebagai perempuan. Maka analisa tentang Mardiana menurut feminis Marxis mewujud dalam diri Mardiana sebagai domestic labour (kerja ibu rumah tangga mengurus rumah) yang tak berbayar.

 

Upaya Keluar dari Tegangan: Interseksionalitas vs Unitary

Sejak dasawarsa 1990an, para feminis mulai melakukan pendekatan interseksional, yang artinya menempatkan masalah perempuan tidak berdiri sendiri atau otonom, melainkan saling berinterseksi. Maka konsep gender pun tidak dapat dipakai secara otonom ketika menganalisa tentang masyarakat, melainkan konsep gender merupakan interseksi dari konsep kelas, ras, etnik dan agama. Itu artinya ketika menganalisa Mardiana, tak hanya menggunakan analisa gender untuk melihat masalah ketimpangan upah di dalam pabrik, melainkan juga kondisi itu dikaitkan dengan posisi kelasnya sebagai kelas buruh, posisi etnisnya, posisi agamanya, dan sebagainya[6]. Hingga diri seorang Mardiana adalah narasi yang mengandung banyak lapis-lapis cerita.

Pendekatan inteseksional yang ‘multikultur” itu merupakan upaya untuk keluar dari tegangan oposisi biner antara gender dan klas. Sebab, pada kenyataannya masalah gender dipengaruhi oleh posisi kelas dan ras, bahkan mungkin agama. Dengan kata lain persoalan kelas berkaitan pula dengan masalah identitas, hingga solusi perjuangannya tak memprioritaskan antara kelas, gender maupun ras, melainkan ketiganya merupakan satu kesatuan yang serentak diperjuangkan. Kiranya agak berbeda dengan pendekatan interseksional, dari kubu feminis Marxis seperti Martha Gimenez dan Lise Vogel berupaya untuk mendobrak relasi produksi dan reproduksi dalam oposisi biner dan menyetarakan keduanya sebagai unit analisa yang saling berdialektika. Pendekatan unitaris ini juga merupakan upaya untuk mengakhiri tegangan antara problem gender dan kelas.

Dengan demikian, dalam perkembangan teori dan praktiknya, pertanyaan tentang mana yang prioritas antara perjuangan kelas atau gender, para feminis telah berupaya untuk tidak menempatkan prioritas itu dalam oposisi biner. Artinya, dalam perjuangan kelas itu sekaligus melakukan perjuangan untuk melawan ketidakadilan berdasarkan gender. Problem gender hidup dalam kontradiksi pokok pertentangan kelas, karena watak kapitalisme itu sendiri adalah patriarki. Dalam praktiknya, terutama dalam kehidupan organisasi kiri, memperjuangkan keduanya secara sinergis memang tidak mudah. Selalu ada tegangan yang harus diselesaikan secara terpilah namun berkesinambungan. Tetapi bukan berarti tidak mungkin jika terdapat aturan organisasi yang terpimpin.***

[1] Heidi I. Hartmann, “The Unhappy Marriiage of Feminism and Marxisme: Toward A More Progressive”, dalam Women and Revolution: A Discussion of the Unhappy Marriage of Marxism and Feminism, edited by Lydia Sargent, (Montreal: Black Rose Books, 1981)

[2] Lydia Sargent, (ed), Women and Revolution: A Discussion of the Unhappy Marriage of Marxism and Feminism, (Montreal: Black Rose Books, 1981)

[3] Lydia Sargent, (ed), Women and Revolution, ibid

[4] Lydia Sargent, (ed), Women and Revolution, ibid

[5] Lydia Sargent, (ed), Women and Revolution, ibid

[6] Shirley A. Jackson, Routledge International Handbook of Race, Class and Gender, (NY: Routledge, 2015)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.