Kredit foto: Cypri Dale
TINJAUAN Periodik Universal (UPR) atas Indonesia di Dewan HAM PBB baru saja selesai (03/05/17). Pemerintah Indonesia yang diwakili delegasi besar yang dipimpin Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM menampilkan pertanggungjawaban HAM Indonesia selama 5 tahun terakhir (sejak UPR 2012) dengan penuh kepercayaan diri diplomatik. Penegakan HAM di Papua menjadi isu sentral, demi menanggapi semakin intensifnya perhatian dan keprihatinan komunitas internasional atas situasi di kawasan itu. Sejumlah negara besar sekutu dekat Indonesia mengajukan pertanyaan dan pernyataan krusial. Sementara tujuh Negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia dalam persoalan Papua justru memilih tidak hadir. Bagaimana perkembangan persoalan Papua di kancah internasional?
Litani Kesuksesan
UPR sejatinya merupakan mekanisme standar di PBB dengan tujuan untuk memperbaiki situasi HAM secara nyata di setiap negara anggota. Dalam UPR negara yang sedang direview memberikan laporan mengenai situasi HAM di dalam negeri serta pelaksanaan rekomendasi dari UPR sebelumnya. Negara-negara lain, berdasarkan observasi diplomatik serta informasi dari lembaga-lembaga HAM non-pemerintah, mengajukan pertanyaan dan rekomendasi yang harus dijalankan sebelum UPR berikutnya lima tahun mendatang.
Khusus tentang Papua, setidaknya ada empat hal yang disampaikan dalam pertanggungjawaban Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM di Dewan HAM PBB dalam UPR kali ini.
Pertama, bahwa pemerintah sedang melakukan percepatan pembangunan yang dianggap sebagai solusi atas berbagai persoalan di Papua. Dilaporkan bahwa “presiden secara teratur mengunjungi kedua provinsi ini untuk mengecek kemajuan pembangunan infrastruktur dan yang paling penting untuk secara langsung berdialog dengan orang Papua.” Terkait dengan pendidikan dan kesehatan, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indoensia Sehat, dilaporkan sebagai solusi untuk masalah di Papua. Disebutkan “ lebih dari 2,8 juta orang Papua telah menerima kartu sehat sementara 360 ribu siswa telah mendapatkan manfaat dari kartu Indonesia pintar.” Selain itu, pembangunan infrastruktur yang sedang sedang digencarkan pemerintah Indonesia dilaporkan sebagai kemajuan. Dikatakan “Pemerintah berencana membangun jalan Trans-Papua dari Merauke ke Sorong, yang terdiri dari 4325 km jalan di mana 3625 km telah selesai.” Tidak dijelaskan kaitan infrastruktur dengan penegakan HAM.
Kedua, Pemerintah Indonesia “memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ketidakadilan, termasuk dugaan pelanggaran HAM di Papua.” Sebagai buktinya disebutkan bahwa “Sebuah tim integratif di bawah Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan termasuk Komnas HAM dibentuk pada tahun 2016 untuk bekerja secara independen untuk menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM.” Apa hasil kerjanya? Dilaporkan “Tim ini menyimpulkan bahwa dari 12 laporan dugaan pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1996-2004, tiga di antaranya adalah dugaan pelanggaran HAM berat, sementara sisanya adalah kasus kriminal biasa.” Disebutkan juga bahwa “Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM tetap di Makasar. Untuk kasus Paniai, Komnas HAM telah melakukan investigasi resmi untuk kemudian diproses di Kejaksaan Agung.”
Ketiga, bahwa “Pemerintah juga telah mencabut pembatasan bagi wartawan asing untuk mengunjungi Papua.” Sebagai buktinya ditunjukkan bahwa “39 wartawan asing datang ke Papua pada tahun 2015, sebuah peningkatan sebanyak 41% dari tahun sebelumnya.” Disebutkan juga bahwa pada tahun 2017 ini sudah ada 9 wartawan asing yang mengajukan izin mengunjungi Papua dan semuanya dikabulkan pemerintah.
Keempat, bahwa Otonomi Khusus Papua dilaksanakan untuk meningkatkan tata pemerintahan lokal yang efektif dan pembangunan. Disebutkan juga bahwa “dalam kerangka Otonomi Khusus, provinsi Papua dan Papua Barat juga terus menerima jumlah anggaran paling besar, dibanding provinsi-provinsi lain yaitu 69,71 triliun rupiah atau setara dengan 2.5 milyar dollar Amerika”.
Tanggapan Diplomatik
Menariknya sebagai tanggapan atas laporan Indonesia, sejumlah negara justru menyampaikan berbagai pertanyaan dan pernyataan sederhana; yaitu kenyataan pelaksanaannya secara konkret dan bagaimana langkah-langkah pemerintah itu berkontribusi pada penyelesaian masalah HAM yang masih terus terjadi di Papua.
Pemerintahan Swiss misalnya mempertanyakan “Kemajuan apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam implementasi rencana yang sudah diumumkan oleh Menkopolhukam pada bulan Mei dan Oktober 2016 untuk menginvestigasi dan menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua seperti kasus Paniai, Wasior, dan Wamena?”
Sambil mempertanyakan hal tentang penyelesaian kasus-kasus HAM, Pemerintah Jerman menyoroti pembatasan jurnalis di Papua. Ditanyakan “langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk memperbaiki situasi kerja bagi para jurnalis yang bekerja pada persoalan-persoalan terkait HAM dan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk menghapus larangan untuk memberitakan persoalan-persoalan West Papua, termasuk pernyataan untuk membuka akses bagi jurnalis asing ke West Papua?”
Hal senada ditanyakan pemerintah Mexico menyoroti masalah pembela HAM dan Jurnalis, dan mempertanyakan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk “untuk menghentikan intimidasi dan represi terhadap para pembela HAM, jurnalis, dan LSM di Papua Barat?”
Sementara itu, Pemerintah Belanda yang menyambut baik perhatian dan seringnya kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua, mempertanyakan “apa saja yang sudah menjadi hasil dari dari hal-hal itu di bidang hak asasi manusia?”
Selain pertanyaan-pertanyaan tentang konkret pelaksanaan, sejumlah Negara juga menyampaikan rekomendasi krusial yang mengimplikasikan bahwa sebenarnya mereka tidak percaya pada litani kesuksesan yang disampaikan Pemerintah Indoensia.
Pemerintah Amerika Serikat, Australia, Austria, dan New Zeland secara khusus menyoroti kasus-kasus penangkapan aktivis dalam aksi damai serta pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Delegasi Amerika Serikat menyebutkan, “Kami juga sangat prihatin dengan pembatasan kebebasan untuk berbicara dan berkumpul secara damai termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat di mana telah terjadi penangkapan besar-besaran terhadap demonstrasi/aksi-aksi yang dilakukan secara damai, juga pembatasan terhadap simbol-simbol lokal.” Sementara delegasi Australia, “merekomendasikan agar Indonesia mengintensifkan seluruh usaha untuk menghormati dan menegakkan kebebasan berekspresi dan beragama serta berkepercayaan dan mencegah diskriminasi berdasarkan apa pun termasuk orientasi seksual dan identitas gender.
Bahkan sejumlah Negara menghendaki investigasi lebih lanjut tentang kondisi konkrit situasi HAM di Papua, dengan merekomendasikan dikirimnya Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) ke Papua. Pemerintah Jerman dan Belgia meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berkespresi dan Berkumpul. Sementara Mexico meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus bidang Hak Masyarakat Asli ke Papua.
Menariknya, negara-negara itu sebenarnya merupakan sekutu dekat Indonesia yang selain memiliki hubungan ekonomi yang kuat, juga biasanya bersikap lunak. Kenyataan bahwa mereka secara eksplisit menyebut persoalan Papua dalam UPR menunjukkan meningkatnya keprihatinan pada tidak kunjung membaiknya situasi di Papua. Selain itu, melalui pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan mereka, serta melalui jawaban-jawaban Indonesia yang cenderung menyembunyikan realitas, persoalan-persoalan di Papua semakin diketahui negara-negara anggota PBB di Dewan HAM. Semakin sulit bagi Indonesia untuk menganggap masalah di Papua hanya sebagai masalah dalam negeri saja.
Tujuh Negara Pasifik Absen
Sementara itu Negara-negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia tentang Papua, justru memilih untuk tidak hadir saat UPR Indonesia di Dewan HAM. Dalam dunia diplomatik, tidak hadir, apalagi tidak hadir secara kolektif, adalah sebuah statement diplomatik yang keras dan penuh makna. Tujuh negara ini dalam Sidang Umum PBB di New York tahun lalu menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi di Papua; dan menghendaki dikirimnya tim pencari fakta (fact-finding-mission) internasional ke Papua. Selain itu, mereka menegaskan perlunya mengangkat hak atas penentuan nasib sendiri (the right for self-determination) sebagai solusi jangka panjang bagi Papua.
Dalam konteks itu, ketidakhadiran mereka dalam forum UPR setidaknya memiliki dua makna. Pertama, bahwa mereka tidak percaya kepada laporan Indonesia yang cenderung menyampaikan laporan lip-service demi menutup kenyataan. Kedua, mereka hendak mendorong solusi Self-determinasi seperti yang dikehendaki oleh rakyat Papua sendiri.
Menariknya, sembari absen dalam forum UPR di Komisi Tinggi HAM PBB di Geneva, negara-negara Pasifik ini melakukan langkah diplomatik khusus tentang Papua dalam pertemuan Dewan Menteri Perhimpunan Negara-negara Afrika, Caribean, dan Pacific (ACP) di Brussels pada hari yang sama (3 Mei 2017). Tujuh negara Pasifik ini menyampaikan peryataan yang keras mengutuk berbagai pelanggaran HAM oleh Indonesia di Papua. Mereka menyoroti berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami orang asli Melanesia/Papua: penangkapan peserta aksi damai, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan tanpa proses hukum, dll. Disebutkan bahwa melalui program pemindahan penduduk, “lebih dari dua juta orang Indonesia telah menduduki Papua”, dengan “jumlah yang sudah melampaui orang asli”. Mereka juga menyoroti ketimpangan ekonomi, di mana penduduk Indonesia “menguasai ekonomi di kota besar dan kecil, dan di pesisir, serta di area tambang dan perkebunan”. Mereka juga mengungkap penguasaan dan pendudukan yang didukung oleh Negara dalam apa yang disebut ‘penguasaan kolonial yang serupa aparteid’ yang akan lambat laun ‘menghilangkan orang Papua sebagai bangsa’, sambil ‘bangsa-bangsa lain berdiri menyaksikan begitu saja”.
Selain menyoroti persoalan pendudukan Indonesia di Papua, yang secara tegas disebut sebagai kelanjutan kolonialisme, negara-negara Pasifik itu juga menyoroti perjuangan orang Papua dalam melanjutkan perjuangan dekolonisasi yang belum tuntas. Untuk itu mereka mengajak Negara-negara anggota ACP untuk mendorong resolusi jangka panjang dengan mendukung hak self-determinasi politik bagi West Papua.
Disampaikan dalam forum bangsa-bangsa ACP, pernyataan seperti itu memiliki resonansi yang kuat. ACP adalah persatuan bangsa-bangsa yang seluruh anggotanya adalah bekas negeri-negeri jajahan, yang mencapai kemerdekaan mereka pada waktu atau bahkan setelah proses dekolonisasi Papua gagal pada era 1960an. Dengan demikian Negara-negara Pasifik ini mengkonsolidasi politik dekolonisasi, sebuah jalan yang membawa mereka menuju bangsa merdeka, dalam diplomasi internasional terkait Papua.
Tampaknya, dinamika yang didorong oleh Negara Pasifik ini, yang sekarang sudah sedang meluas ke Asia, Carriben dan Pasifik (ACP), dapat membawa dinamika baru pada persoalan Papua di kancah internasional pada waktu mendatang. Selain jalur penegakan HAM yang seperti berlangsung selama ini, agenda self-determinasi dan dekolonisasi dapat menjadi dinamika baru di forum-forum antar-bangsa.
Jokowi meninjau pembangunan infrastruktur jalan Trans Papua
Pembangunan Gaya Kolonial
Sambil berjanji (lagi) untuk mengusut secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan menyangkal bahwa sekarang masih ada pelanggaran HAM yang baru (termasuk pelarangan kebebasan berekspresi, diskriminasi rasial, kekerasan terhadap pembela HAM, praktik penyiksaan), percepatan Pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur, menjadi semacam pembelaan utama Indonesia di Papua di forum UPR.
Cerita pembangunan ini diulang-ulang dalam forum-forum PBB setiap kali persoalan Papua dibicarakan. Ini menjadi semacam inti kebijakan nasional Indonesia atas masalah Papua.
Presiden Jokowi sendiri di Jayapura pada Mei 2015 menegaskan bahwa “politik kita di Papua adalah politik pembangunan, politik kesejahteraan”. Ketika ditanya tentang persoalan di masa lalu, termasuk persoalan pelanggaran HAM, pencaplokan sumber daya, dan konflik sejarah, Presiden menegaskan “Tutup! Tutup! Kita mesti melihat ke depan”.
Sebagai bagian dari politik pembangunan itu, Presiden melancarkan pembangunan infrastruktur yang masif, seperti jalan raya trans-Papua, pelabuhan laut, sungai, dan udara, dan bahkan jalur kereta api. Pada saat yang sama membentuk kawasan-kawasan industri baru berbasis pertambangan, perkebunan, dan logging. Saat ini setidaknya ada 240 ijin tambang, 79 ijin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit di Tanah Papua. Selain korporasi swasta, Pemerintahan Joko Widodo juga mendorong BUMN untuk berinvestasi. Hasilnya adalah kombinasi antara kapitalisme korporasi dan kapitalisme negara untuk eksplorasi dan eksploitasi industrial skala besar di seluruh Papua, mulai dari pesisir sampai ke belantara dan pegunungan. Untuk mendukung semua itu, pemerintah juga menguatkan infrastruktur keamanan, seperti pangkalan militer di Biak, Markas Brimob di Wamena, serta pos-pos militer dan polisi baru di sepanjang jalan trans-Papua yang sedang dibangun.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ‘politik pembangunan’ dengan berfokus pada infrastruktur, industrialisasi, dan keamanan seperti ini merupakan solusi atau justru akan memperparah persoalan hak asasi manusia dan keadilan sosial di Papua? Bukankah pembangunan semacam itu yang menghancurkan Papua selama Orde Baru, yang membuat orang Papua justru merasa dijajah? Dan apakah pembangunan seperti itu yang dikehendaki oleh rakyat Papua?
Oleh karena fokus pada proyek infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam seperti itu, di Papua Jokowi diberi gelar “Joko Daendels”. Pemimpin gereja-gereja yang sebagian besar anggotanya masyarakat asli (Kingmi, Gidi, Baptis) pada April tahun lalu mengungkap kesamaan agenda Jokowi dengan Gubernur Jenderal Kolonial Belanda Herman Willem Daendels yang membangun jalan trans-Jawa Anyer Panurukan untuk kepentingan kolonial Belanda di awal abad ke-19. Secara terus-terang mereka mengkritik bahwa Presiden Jokowi –yang enggan berdialog dengan para pemimpin politik dan rakyat Papua terkait seluruh kompleksitas masalah di Papua— sudah sedang memaksakan pembangunan infrastruktur demi eksploitasi sumber daya alam dan penaklukan masyarakat Papua.
Di Geneva, sesaat setelah UPR Indonesia tentang Papua, koalisi NGO yang peduli Papua mengeluarkan pernyataan yang mengkritik keras pendekatan ekonomi Indonesia di Papua. Koalisi itu menulis, “Dari jawaban Pemerintah, terlihat bahwa West Papua dilihat dalam konteks pembangunan ekonomi, tapi tidak secara substansial menyelesaikan masalah Papua dari sisi martabat dan HAM orang asli Papua.” Mereka juga menambahkan bahwa
“Pemerintah juga tidak trasparan dalam menjelaskan tentang mengapa masih ada jurnalis yang ditahan, disiksa dan dideportasi keluar dari West Papua pasca Presiden menyatakan bahwa West Papua terbuka untuk wartawan asing, dan Pemerintah tidak menjelaskan tentang apa yang menyebabkan lamanya penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai atau argumentasi dari Pemerintah untuk kasus Wasior, Wamena dan Paniai hanya merupakan pencitraan saja di forum UPR sesi ini, serta Pemerintah tidak menjelaskan tentang masih ada orang asli Papua yang menjadi tahanan politik, pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat dari aktivis Papua yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua.”
Filep Karma, tokoh gerakan damai yang hadir memantau UPR di Geneva meyebut laporan Indonesia penuh kebohongan. Terkait pembangunan versi Jakarta, Filep menyampaikan metafor menarik. Rakyat Papua sebenarnya ingin meminum kopi. Tetapi Indonesia memaksakan orang Papua untuk minum coca-cola, dengan alasan bahwa dalam coca-cola sudah terkandung kopi. Analogi ini kiranya tepat mengungkapkan perbedaan pandangan antara Indonesia dan Papua, baik terkait dengan masalah politik penentuan nasib sendiri maupun terkait dengan masalah pembangunan.
Barangkali masalah kopi dan coca-cola inilah yang hendak disembunyikan Indonesia ketika membatasi akses jurnalis asing ke Papua, menangkap para aktivis, dan melakukan kekerasan terhadap jurnalis dan media lokal di Papua. Namun, kendati dibungkam dengan berbagai cara, suara orang Papua sudah mulai didengar di Indonesia, Pasifik, dan di seluruh dunia.
Di forum-forum internasional seperti di PBB, sekarang dan di waktu mendatang, cerita Pemerintah Indonesia bukan lagi kebenaran tunggal.***
Penulis peneliti pada Insitut Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss