Kredit ilustrasi: https://miettha.wordpress.com
Dunia Kekinian: Aku Membeli, Maka Aku Ada!
DUNIA saat ini menuntut kita untuk selalu meng-update segala informasi yang berhubungan dengan barang-barang konsumsi yang menghiasi jalanan kota, mall, televisi, media sosial, bahkan sekolah. Kita hidup di dunia yang sedang bergerak maju dan progresif dalam membuat citra akan dunia yang fantastis sebagai gaya hidup yang menjadi idaman setiap orang. Semua orang di dunia ini tentunya menginginkan hidup layaknya artis Joseph Gordon-Levitt, Katy Parry, Leonardo DiCaprio, Scarlett Johansson, ataupun seperti artis Indonesia layaknya Chico Jericho, Bunga Citra Lestari, Isyana Sarasvati, Chelsea Islan, Reza Rahadian, ataupun Raisa.
Kita sedang mengalami ledakan konsumsi yang tidak akan kita saksikan pada 71 tahun lalu ketika Indonesia sedang mengalami peristiwa Revolusi Nasional. Kita sekarang hidup di era yang menuntut kita untuk selalu membeli dan mengonsumsi barang, dimana industri menjadi panglima dan tuhan tertinggi. Menurut Jean Paul Baudrillard, konsumsi adalah sebuah perilaku aktif dan kolektif, ia merupakan sebuah paksaan, sebuah moral. Singkatnya, konsumsi merupakan sebuah institusi. Ia adalah keseluruhan nilai, yang fungsinya adalah integrasi kelompok dan kontrol sosial.
Sekarang ini, konsumsi menjadi institusi, seperti yang dikatakan Émile Durkheim, sebagai sistem yang mempunyai aturan-aturan sosial yang bersifat kolektif dan memaksa siapapun untuk tunduk terhadap kebiasaan suatu masyarakat. Kebiasaan masyarakat abad 21 adalah mengonsumsi, menikmati produk, masturbasi imajinasi barang, pemujaan terhadap produk, dan berfantasi dengan iklan.
Konsumsi Sebagai Demokrasi dan Persamaan Hak Bagi Mahasiswa
Ketika kita melihat iklan produk handphone yang diperankan oleh Chico Jericho yang mengenggam sebuah ponsel bermerek “Xiaomi” dengan penampilan kelas menengah-= atas dan bergaya layaknya CEO perusahaan besar, kita langsung merasa ingin tahu tentang produk yang diiklankan dan mencari tahu kelebihan maupun kelemahan produk Hp tersebut melalui Google. Kita terbius oleh iklan dan berfantasi akan memilikinya. padahal produk itu hanya kita lihat di layar kaca. Namun, kita seperti berada langsung melihatnya. Sihir iklan dan didukung kecerdikan pakar marketing dalam merekrut artis papan atas untuk menjadi brand produknya membuat anak-anak muda, terutama mahasiswa, semakin penasaran untuk sesegera mungkin membelinya.
Kita juga pernah melihat iklan jilbab muslim yang diproduksi oleh Zaskia Mecca dan Dian Ayu yang menjadi begitu populer, dengan gaya hijab modern ala perempuan khas metropolitan dan memanfaatkan ayat-ayat agama untuk menjual produknya yang terbukti sukses besar dalam meraup keuntungan. Pasar utama hijab ini adalah kalangan anak muda dan mahasiswi perkotaan.
Ketika masuk di lingkungan kampus, kita akan disuguhkan pemandangan khas iklan dan brand-nya para artis yang dikonsumsi oleh mahasiswa. Dari ujung kaki sampai rambut semuanya meniru gaya artis dan iklan televisi. Berpenampilan menarik dan gaya hidup kelas menengah atas menjadi pemandangan yang kita lihat setiap hari. Dari sepatu Adidas, Nike, New Balance dengan harga yang cukup mahal, namun tetap laris manis di pasaran. Dari pembersih muka yang diiklankan oleh Al-Ghazali dan Chelsea Islan, kita semua mengonsumsinya. Dari merek baju distro seperti Nimco, Starcross, Frogstone, kita pun juga mengonsumsinya.
Konsumsi bukan hanya soal membeli barang dan memakainya, ia bernilai sosial dan politis. Ia menentukan cara kita berinteraksi dan hidup di lingkungan sosial kita. Konsumsi merupakan perilaku yang sulit untuk ditolak oleh siapapun. Ia membangun sistem, organisasi, jaringan kerja, aturan, nilai, norma, dan hukum. Mahasiswa yang mengonsumsi produk-produk artis ini bukannya tidak sadar bahwa ia diperdaya oleh iklan, namun ia menginginkan eksistensi sosial dan menunjukkan citra diri bahwa ia merupakan seseorang yang mempunyai selera yang tinggi terhadap segala hal menyangkut barang-barang yang ia beli. Sekarang kita sudah tidak mengenal perbedaan antara artis dan mahasiswa. Kedua kategori sosial ini melebur menjadi satu, yang membedakan hanyalah profesinya saja. Mahasiswa yang tingkat perekonomiannya sebenarnya tidak menentu (masih mengandalkan kiriman uang orang tua) merasa bahwa ia pun bisa bergaya seperti artis papan atas. Ia bebas memilih dan itu merupakan persamaan hak. Bahwa yang boleh membeli produk mahal bukan hanya kelas menengah atas, namun mahasiswa pun boleh membelinya.
Demokrasi dan persamaan dalam hal mengonsumsi ini merupakan sebuah peradaban baru yang tidak kita temukan semasa negara ini masih terbelenggu kolonialisme dan imperialisme. Bahwa dulu yang boleh memakai jas dan sepatu kulit hanyalah Belanda dan golongan ningrat saja, sementara rakyat jelata dilarang memakainya karena tidak pantas bagi orang kere bergaya layaknya orang penggede. Di masa sekarang tentunya hal itu tidak akan terjadi, karena semua orang bebas memilih barang dan membelinya, tidak peduli status sosial-ekonominya, yang dipedulikan hanyalah Anda punya uang untuk membeli atau tidak! Tentunya hal ini lebih demokratis dan agak manusiawi, namun bukan waktunya kita untuk memikirkan perasan moral ini. Kita justru harus lebih berpikir rasional, mengapa gaya hidup seperti ini menjadi sistem sosial dan perilaku yang diterima oleh semua orang? Apa penyebab sebenarnya kenapa kita hidup seakan dijajah dan dieksploitasi oleh barang-barang konsumsi?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita perdebatkan dan diskusikan lebih serius, karena di sistem globalisasi dan pasca-industri ini kita berada dalam satu tatanan dunia yang bermain dengan sistem kapitalisme-industrial. Sudah jelas bahwa kepentingan utamanya adalah semangat profit dan pemupukan keuntungan semaksimal mungkin, menekankan pentingnya sistem pasar bebas, pembukaan investasi dan meminimalkan peran pemerintah dalam menjalankan sistem ekonomi di sebuah negara. Sistem ini mempunyai jaringan yang luas dan melalui pembagian kerja yang ekstrem, dari buruh yang terspesialisasi dalam beberapa unit kerja, para manajer dan tim kreatif dalam membuat sebuah produk, tim marketing yang siap memasarkan dan melakukan riset agar produknya laris manis, serta artis-artis yang sengaja disiapkan untuk menarik konsumen agar membeli, sampai pada tataran sistem pengiklanan dan industri televisi yang sangat cerdas memanipulasi kesadaran kita dengan berulang-ulang menayangkan iklan tersebut, sehingga secara tidak sadar kita telah terpengaruh oleh framing yang dibuat para aktor profesional yang bekerja di balik layar televisi.
Asumsi Teoritis dan Jalan Baru Menghapuskan Ketertindasan
Herbert Marcuse dan Baudrillard merupakan tokoh yang membahas tema konsumsi dan budaya massa. Keduanya sepakat bahwa masyarakat kontemporer telah dirusak oleh konsumsi dan eksploitasi iklan. Mereka melihat adanya sebuah sistem hidup “pragmatis” dan mudah berfantasi dengan khayalan dimana manusia seolah-olah bahagia, namun dalam kebahagiaan itu terdapat kontradiksi akan ketakutan hidup tanpa uang dan tidak bisa membeli barang. Marcuse sendiri memandangnya sebagai sistem “satu dimensi”, bahwa kita hidup sekarang seperti sudah ditentukan dan apa yang kita kerjakan merupakan rancangan dari dunia industri. Bagi Marcuse, sistem ini menimbulkan keadaan dimana seseorang memuja barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkannya. Namun, karena barang itu menjadi sebuah keniscayaan sosial dan semua orang membelinya, orang pun tidak dapat menolak bahwa ia juga menginginkan eksistensi seperti manusia yang lain. Marcuse menyebutnya sebagai “kebutuhan palsu”.
Sementara Baudrillard menganggap bahwa masyarakat kontemporer telah dieksploitasi oleh kelimpahan barang-barang. Dahulu yang dieksploitasi oleh perusahaan adalah buruh di lingkungan produksi, namun dalam perkembangan industri modern, konsumenlah yang diperbudak oleh pasar. Pasar menjadi semacam agama baru bagi masyarakat kontemporer. Ia menjelma sebagai dogma dan doktrin yang sulit ditolak, namun ketika ia dikritik, seseorang sulit untuk keluar darinya. Karena ia menjelma sebagai sistem tanpa “negasi” dari sistem yang lain. Ia berdiri tunggal, ia tidak mempunyai musuh. Ketika ada musuh, ia dengan mudah menundukkannya dengan seperangkat ideologi dan jaringan internasional yang ia punya.
Baik Marcuse dan Baudrillard, keduanya tidak memiliki alternatif pandangan untuk keluar dari penindasan ini, sementara Marxisme dan perjuangan kelas bagi mereka mempunyai banyak kelemahan asumsi teoritis. Lantas bagaimana kita akan keluar dari sistem satu dimensi ini? Atau bagaimana kita bisa melawan dogma konsumsi ini? Berkali-kali saya berpikir dan merefleksikannya namun sulit untuk mendapatkan jawaban. Ada satu jawaban yang bisa diutarakan, namun kebanyakan orang menyebutnya “utopis” karena menganggap bahwa itu sulit untuk diwujudkan. Cara itu adalah revolusi sosialis dan hal ini sudah menjadi bahan perdebatan dari banyak kalangan. Namun menurut Karl Manheinm, utopia atau fantasi berlebihan akan menimbulkan sebuah perubahan sosial. Oleh sebab itu, utopia juga bukan lagi utopia ketika hal itu dapat terwujud. Terkait ide ini, siapapun boleh berdebat dan mengkritik, namun tidak ada cara lain yang bisa dilakukan kecuali dengan mencobanya.***
Penulis adalah Anggota Colombo Studies dan PO SR Kampung Halaman