SEBELUMNYA izinkan saya menjelaskan latar belakang saya dan posisi saya dalam pilkada DKI ini.
Saya Evi Mariani, wartawan Cina peranakan yang mendukung Tionghoa untuk keluar dari beban sejarah kami yang pergerakannya dibatasi di ekonomi dan dagang sejak zaman Belanda. Tahun 1998 saya telah membuat satu buletin bernama Langkah Bergerak (unduh PDF) yang mendorong partisipasi Tionghoa di politik Indonesia. Politik dalam hal ini tidak hanya politik elektoral tetapi juga “Politik” yang lebih luas, termasuk menjadi aktivis lingkungan, HAM, demokrasi, menjadi pengacara publik, dosen, guru, atau wartawan seperti saya.
Dalam pilkada ini saya dikenal sebagai salah satu pengkritik Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok karena saya menolak penggusuran paksa dan reklamasi, yang dilakukan bukan demi kepentingan publik. Dengan data dan pengetahuan yang saya dapatkan setelah hampir dua tahun menjadi redaktur desk perkotaan (Jabodetabek) di sebuah harian nasional, saya termasuk golongan yang cukup vokal. Belakangan, saya juga dikenal sebagai pengkritik “Ahoker” yang cukup keras, terutama Ahoker yang mendukung penggusuran dan reklamasi.
Apakah dengan mengkritik Ahok maka saya serta merta menjadi pendukung Agus Harimurti atau belakangan Anies Baswedan? Tidak. Mengapa? Karena yang saya anggap menjadi masalah dari pilkada ini adalah sikap-sikap mengidolakan politisi dan polarisasi antar pendukung yang menjauh dan mengeras. Saya tidak ingin mengkritik Ahok dan Ahoker dengan menjadi “Ahoker” yang lain. Saya tegas menolak penggusuran paksa dan reklamasi yang bukan untuk kepentingan publik. Saya mendukung keadilan ruang dan partisipasi publik yang tulus di Jakarta dan di mana saja. Lagipula KTP saya Tangerang Selatan.
Terakhir, sebelum masuk ke substansi kritik atas tulisan bli Made Supriatma, seorang penulis terpandang dan teman diskusi yang baik di Facebook, saya hendak mengatakan pada orang-orang yang menolak Ahok karena dia Cina dan Kristen untuk tidak memanfaatkan tulisan saya ini sebagai pembenaran dari kecupetan kalian. Tidak ada sedikitpun kesamaan ideologi antara saya dan kalian—saya tidak akan mau nongkrong minum kopi dengan kalian. Kalau saja saya masih berdoa, saya akan berdoa setiap hari agar hakim memutuskan Ahok tidak bersalah baik dalam dakwaan penistaan agama maupun dalam tuduhan menimbulkan keresahan di masyarakat. Saya harap dia bebas karena dia telah meminta maaf beberapa kali.
Kritik pertama saya pada tulisan tersebut, juga pada redaksi IndoPROGRESS, sebuah situs yang saya hormati karena perspektif kirinya, adalah penggunaan foto seorang perempuan memegang “Kita tidak lupa perkosaan Mei 98”. Tentu saya juga tidak lupa, tidak akan pernah lupa. Tapi ketika foto itu diletakkan dalam konteks pilkada, maka ia menjadi penyederhanaan yang hampir-hampir bisa dikatakan fearmongering atau menakut-nakuti. Maksudnya? Saya harus diam di rumah saja selepas pilkada ini? Mencurigai semua orang yang tampak garis keras pembenci Ahok sebagai pelaku kekerasan? Sebagai perempuan Tionghoa, itu reaksi pertama saya ketika melihat fotonya. Kaget.
Lalu masuk ke serentetan argumen tentang betapa buruknya kampanye tim lawan-lawan Ahok, terutama Anies. Terlalu dramatis dan emosional meski saya setuju banyak hal terutama meningkatnya sentimen anti-Cina. Namun bagian itu menjadi masalah karena kritik terhadap cara-cara kotor tersebut secara “convenient” menutup mata pada fakta bahwa kedua belah pihak memainkan isu sektarian, keduanya menyeret masuk agama ke politik elektoral terpanas sepanjang sejarah. Ini problematik karena dengan menghilangkan Ahok dan timnya dari gambaran besar kekacauan pilkada sama dengan mengatakan kampanye Ahok baik-baik saja.
Di luar kartu ras dan agama yang terus menerus dimainkan oleh tim Ahok (resmi ataupun tidak), kampanye Ahok mengandung propaganda bahwa penggusuran adalah manusiawi dan reklamasi akan menjadi penyelamat lingkungan. Kampanye Ahok, termasuk menuduh warga Jakarta yang tidak menyukainya sebagai orang yang tidak rasional, bodoh, dan anti-kebhinekaan. Belum lagi video tim resmi Ahok yang juga menggunakan kerusuhan dalam imajinasi visual warga Jakarta dan meromantisir peran serta Tionghoa di masyarakat dalam bentuknya yang kelewat sederhana dan stereotyping (atlet, anak SD hormat bendera).
Saya berharap ada Alldo Felix Januardy di sana, seorang pengacara Tionghoa di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang leher dan kepalanya diserang aparat karena membela warga tergusur. Saya berharap ada Veronica Koman di sana, seorang Tionghoa dan pengacara publik yang setia membela hak-hak rakyat Papua juga buruh pabrik Bekasi. Saya berharap ada akademisi perkotaan Tionghoa Rita Padawangi yang rela bolak-balik Singapura-Jakarta untuk ikut dalam suka-duka warga Bukit Duri yang tergusur dari Jakarta Selatan. Saya berharap premis negara Pancasila dalam video ini diwujudkan dalam imaji-imaji yang tidak dominan Tionghoa.
Made dan IndoPROGRESS menemukan alasan untuk menyeret memori kerusuhan Mei 1998 pada kekalahan Ahok karena ada ancaman pendukung Ahok diperkosa dan banyak sentimen anti Cina di jalanan. Saya sepakat dengan penelitian CSIS Christine Tjhin dalam wawancaranya dengan The Guardian tahun lalu. Christine mengatakan bahwa meski fenomena Ahok menunjukkan bahwa orang Tionghoa masih jadi korban kambing hitam dan “stereotyping”, terlalu dini untuk mengatakan kerusuhan Mei 1998 akan berulang.
“Keadaan sekarang sangat berbeda dengan Mei ’98. Perekonomian masih tumbuh dan berada di jalur yang benar, dengan fokus utama pada pembangunan infrastruktur, terutama di daerah yang sebelumnya terbengkalai. Situasi politik pada dasarnya masih stabil meski terjadi drama-drama pra-pemilu. Kehadiran aparat keamanan lebih terasa dan mudah diakses. Dan yang lebih penting lagi, masyarakat sekarang lebih sulit dipancing oleh agenda-agenda [politik] rasial,” kata Christine dalam wawancaranya di bulan November 2016, setelah aksi Bela Islam besar-besaran yang pertama pada 4 November mendatang.
Saya setuju ada banyak faktor yang mengarah ke kerusuhan Mei 1998 dan menyederhanakan faktor-faktor itu hanya akan membuat warga Tionghoa semakin takut dan curiga. Sentimen anti-Cina saja tidak cukup membuat kerusuhan dengan skala semengerikan itu. Saya masih optimis bahwa ada silent majority yang belajar dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan kota lain, juga belajar dari kerusuhan lain seperti di Tanjungbalai, Poso, Ambon. Dalam skala optimisme 1 hingga 10, optimisme saya mungkin 8, dan saya sadar dalam situasi ini banyak yang mungkin ada di kisaran skala 4.
Namun sebagai Cina peranakan saya tidak naif, saya sadar betul setiap hari saya hidup dengan virus sentimen anti-Cina yang tidak pernah mati-mati. Apakah setiap hari saya harus hidup dalam ketakutan dan kalau saya menolak takut maka artinya saya tidak menghormati ketakutan warga Tionghoa yang lain? Tidak. Saya lebih optimis saja.
Mengenai ancaman perkosaan, urbanis Elisa Sutanudjaja, seorang Tionghoa yang juga vokal mengkritik penggusuran, reklamasi dan banyak kebijakan gubernur lainnya, telah diancam diperkosa di media sosial oleh seseorang yang tidak suka ia mengkritik Ahok.
Saya kira ancaman-ancaman ini adalah bukti bahwa perempuan di Indonesia yang vokal dan berani masih rawan diancam dengan kekerasan seksual. Alih-alih mengatakan ini tanda-tanda akan ada perkosaan seperti bulan Mei 1998, bukankah lebih baik memikirkan bagaimana caranya agar laki-laki Indonesia yang misoginis mendapat hukuman? Dan jangan lupa, laporan-laporan tim pencari fakta kerusuhan Mei (termasuk Sandyawan Sumardi dan Sri Palupi yang bersama saya melawan penggusuran) menunjukkan ada kekuatan besar sistematis dan pengorganisasian yang sangat rapi dalam kasus pemerkosaan tersebut.
Kritik yang lain adalah mengenai pernyataan Made berikut ini:
Namun di sisi yang lain, saya juga melihat ada kebanggaan di kalangan masyarakat keturunan Cina. Paling tidak ada satu yang mewakili mereka untuk menduduki jabatan publik di negeri ini. Pejabat ini, Ahok, bekerja dengan baik. Mayoritas rakyat yang dilayani mengatakan bahwa mereka puas dengan kerja gubernurnya.
Dan ini:
Pemilihan gubernur DKI Jakarta tidak sekedar tentang Ahok. Untuk golongan etnis Cina, pemilihan ini merupakan ujian terhadap persepsi bahwa suku Cina adalah penduduk asing di negeri ini. Ahok, dengan segala kekurangannya yang patut dikritik, sudah membuktikan bahwa dia mampu menjadi pelayan publik. Dia memiliki ketrampilan manajerial yang selama ini sudah terbukti berhasil membangun bisnis di kalangan orang Cina.
Dua pernyataan tersebut, yang tidak disertai oleh argumen lain mengenai mengapa kawan-kawan Tionghoanya Made atau Tionghoa lain yang dia kenal mendukung Ahok, hanya menyederhanakan keturunan Cina menjadi satu suara, bahwa mereka mendukung Ahok karena Ahok Cina dan bagi kepentingan mereka sendiri, “pejabat yang baik”. Made menyederhanakan kelompok Tionghoa sebagai bagian dari statistik yang menganggap Ahok sebagai gubernur baik-baik saja. Made mengakui bahwa Ahok juga bermasalah, namun sekaligus mengatakan Ahok terbukti menjadi pelayan publik. Publik yang mana? Publik yang saya temui di Kampung Pulo, di Bukit Duri, Pasar Ikan, Kampung Tongkol, Muara Angke dan bahkan beberapa orang Tionghoa di Pluit yang memprotes jalan layang Podomoro, tidak merasa terlayani dengan baik.
Mereka merasa tidak didengarkan bahkan mereka semua difitnah dan tentu saja saya sebut fitnah karena tidak ada buktinya (saya hafal semua fitnahan Ahok bagi masing-masing kelompok tersebut, mulai dari pereklamasi sungai, maling tanah negara, sarang TBC, hingga percaya feng shui).
Maka dengan tulisan ini Made menyederhanakan kelompok Tionghoa sebagai suatu kelompok seragam yang menaruh harapan besar pada satu orang saja, yaitu Ahok, sebagai tokoh Tionghoa terbaik masa kini. Dan Ahok dinilai tokoh yang baik karena kemampuan manajerial selayaknya banyak pengusaha Tionghoa.
Dengan memberi porsi kecil pada kesalahan Ahok (mulai dari ideologi pembangunannya yang mirip Soeharto, sifatnya yang luar biasa self-centered, hingga program-programnya yang tidak menyentuh isu-isu substansial kebhinekaan meski dia sadar betul besar sekali harapan orang pada dirinya) maka Made telah meramalkan kiamat partisipasi politik Tionghoa-Kristen, karena menurut Made , “Ahok yang adalah kader terbaik politik Tionghoa saja gagal karena dia Cina dan Kristen” apalagi kader lain.
Saya punya beberapa kenalan Tionghoa yang kritis terhadap Ahok. Mereka sendiri adalah tokoh politik yang berkomentar begitu Ahok kalah: Kita harus banyak melahirkan pemimpin yang lebih baik dari Ahok. Saya sepakat dengan pernyataan ini.
Sebagai penutup saya hendak kembali ke awal tulisan, pada cita-cita saya mengenai partisipasi politik Tionghoa di Indonesia. Bagi saya pribadi “pemimpin Tionghoa yang lebih baik dari Ahok” adalah seorang pemimpin, apapun sukunya, yang bukan saja bekerja untuk “publik” terpilih saja tapi juga melindungi yang lemah.
Bagi saya Ahok tidak banyak berbeda dari Sutiyoso. Identitas Tionghoa serta kekristenan Ahok tidak bisa membuatnya jadi jauh lebih baik dari Sutiyoso, yang juga adalah raja gusur dan menerbitkan izin prinsip reklamasi. Seperti Sutiyoso, Ahok juga dekat dengan Agung Sedayu dan Agung Podomoro, dua raksasa properti di Jakarta. Bahkan Ahok pernah menjadi staf ahli Sutiyoso ketika ia menjadi gubernur.
Selepas pilkada Jakarta putaran pertama, saya telah menulis untuk The Jakarta Post bahwa partisipasi politik Tionghoa harus lebih dari datang ke TPS untuk mencoblos Ahok. Mereka harus juga membela yang lemah apapun rasnya.
Di halaman belakang buletin sederhana yang terbit pasca-kerusuhan 1998, saya menyerukan pada sesama Tionghoa: Berhenti Jadi Korban! Tidak ada orang bebas selama ada penindasan. Terhadap siapapun, Cina atau bukan. Agitasi ini adalah penyikapan Langkah Bergerak atas semua bentuk politik rasial.
Saya menaruh harapan pada golongan Tionghoa muda untuk keluar dari jebakan sindrom korban. Saya optimis karena saya melihat semakin banyak orang Tionghoa yang bekerja bagi sesama. Dalam menekuni pekerjaannya mereka tidak terus menerus mengingat dan mengingatkan semua orang bahwa dirinya adalah Tionghoa. Jadilah bagian dari masyarakat yang berempati bukan karena kita Tionghoa dan punya beban pembuktian, tetapi karena kita memang percaya sebagai manusia membela yang lemah adalah syarat bagi dunia yang lebih baik.***
Evi Mariani, editor The Conversation Indonesia. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di https://medium.com/@evimariani