Judul Buku: Teks-teks Kunci Filsafat Marx
Penulis: Karl Marx
Penyunting & Penerjemah: Martin Suryajaya
Penerbit: Resist Book
Tahun terbit: 2016
Jumlah hlm.: 198 + x
MENGAPAbuku-buku Kiri digemari? Karena kegunaan kandungannya. Kita memilih menyisihkan sedikit uang membeli buku-buku Kiri sebab kita tahu, buku Kiri punya kandungan yang banyak gunanya. Kita membeli buku-buku Kiri bukan karena kita telah pasrah dicekoki doktrin orang Kiri, melainkan pertama-tama sebab buku-buku Kiri memiliki kandungan yang mencerminkan kenyataan. Dari kandungan yang berangkat dari kenyataan inilah kita lantas mendapat aspek fungsionalnya; kita belajar untuk berpikir rasional, peka pada sejarah dan perubahan, serta memiliki sensitivitas sosial. Buku Kiri, singkatnya, digemari sebab ia membantu banyak orang.
Resensi ini akur dengan pengandaian di atas. Namun, resensi ini akan melihat buku Kiri tidak hanya dari kandungannya, dari pandangan-pandangan dan kegunaan ajarannya, melainkan lebih dari forma-nya—dari teks berikut kerja-kerja yang membentuk teks tersebut. Tentu tidak semua kerja-kerja yang ada di belakang produksi buku ini bisa saya kemukakan. Saya, misalnya, tidak mengetahui siapa yang menjilid buku ini (Halo). Untuk mereka yang dibelakang layar, saya hanya bisa menghaturkan rasa hormat dan terimakasih sebesar-besarnya. Namun di luar itu, resensi ini berangkat dari harapan agar buku-buku Kiri kelak tidak lagi dibeli sekadar sebab kandungannya Kiri, melainkan juga sebab kualitas pengerjaannya ahli. Kiri dan ahli. Itulah moto resensi buku berikut ini.
Teks-teks Kunci: Penerjemahan dan Penyuntingan
Buku yang akan didiskusikan di sini adalah buku berjudulTeks-teks Kunci Filsafat Marx. Seperti yang sama-sama diketahui, Karl Marx tidak menulis karyanya dalam bahasa Indonesia. Ia menulis dalam bahasa Jerman di abad ke-19. Buku Teks-teks Kunci Filsafat Marx bisa ada sebab seseorang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemah itu adalah Martin Suryajaya, seorang penulis filsafat. Kalau kebetulan Anda belum mengenal atau belum pernah membaca buku-buku Martin, mungkin pergaulan Anda cukup tertutup (sekadar komentar). Dalam buku ini Martin tidak menerjemahkan teks-teks Marx dari bahasa Jerman. Sebagai gantinya, ia menggunakan setidaknya delapan edisi kepustakaan berbahasa Inggris yang luas digunakan dalam diskusi-diskusi pemikiran Marx di tingkat global. Pembaca yang sering memperhatikan daftar pustaka dari tulisan-tulisan yang terbit di jurnal ternama seperti Historical Materialism, misalnya, pasti tidak asing dengan sumber-sumber terjemahan ini. Daftar lengkap sumber terjemahannya adalah sebagai berikut
- Marx-Engels Collected Works (London: Lawrence Wishart), 50 jilid
- Early Writings, terjemahan Rodney Livingstone dan Gregor Benton (London: Penguin)
- Early Texts, terjemahan David McLellan (Oxford: Basil Blackwell)
- Political Writings, suntingan David Fernbach (London: Penguin), 3 jilid
- Grundrisse, terjemahan Martin Nicolaus (London: Allen Lane)
- Theories of Surplus-Value (Moscow: Progress Publishers), 3 jilid
- Capital Vol. I , terjemahan Ben Fowkes (London: Penguin)
- Marx-Engels Selected Works (Moscow: Foreign Languages Publishing Huse), 2 jilid[i]
Edisi Marx-Engels Collected Works (London: Lawrence Wishart, 50 jilid) adalah terbitan tulisan-tulisan Marx-(Friedrich) Engels yang paling lengkap di dunia berbahasa Inggris saat ini. Jadi, meski tidak menerjemahkan dari bahasa Jerman, sekurangnya terjemahan dalam buku Teks-teks Kunci Filsafat Marx membawa kita pada level yang sama pada tingkat rata-rata kepustakaan Marx di dunia.
Sumber seluas ini sepertinya difungsikan untuk dua hal. Pertama, sebagai bahan komparatif dua sumber terjemahan sekaligus untuk satu teks yang sama. Misal, untuk teks Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat [hlm. 40-54] Martinmenggunakan dua sumber terjemahan dari edisi Marx-Engels Collected Works dan Early Writings. Kedua, untuk membantu menyusun teks-teks yang diterjemahkan secara kronologis (1835-1875). Yang terakhir ini bisa membantu pembaca sekilas mengetahui riwayat intelektual Marx. Sebagai contoh, jika memperhatikan kronologi tulisan-tulisan Marx maka kita bisa tahu kalau Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat yang di abad ke-20 lalu berpengaruh hebat dalam tradisi ‘Marxisme Barat’ nyatanya adalah catatan-catatan tahun pertama perkenalan Marx dengan ilmu ekonomi-politik.
Hampir semua teks-teks yang dianggap ‘kanon’ Marxisme seperti Ideologi Jerman, Manifesto Partai Komunis, Kata pengantar untuk Sumbangan bagi Kritik atas Ekonomi-politik atau jilid pertama Kapital ikut diterjemahkan dalam buku ini. Sebagai tambahan, disertakan pula teks-teks pinggiran seperti Kemasa-bodohan Politik, Ikhtisar Negaraisme dan Anarki karya Bakunin, atau Kritik atas Program Gotha. Penerjemah bahkan mengikutsertakan juga beberapa bagian dari teks yang jarang terdengar, semisal Permenungan Seorang Pemuda akan pilihan Profesinya, Catatan Disertasi tentang Filsafat Alam Demokritos dan Epikuros, atau Surat Marx kepada L. Kugelmann.
Poin pertama; buku ini bersandar pada sumber-sumber terjemahan yang dapat diandalkan. Tapi, bagaimana dengan kualitas penerjemahannya? Setahu saya, syarat menjadi penerjemah yang baik minimal mesti menguasai dua bahasa yang bersangkutan; mengenal dasar-dasar etimologi dan semantik; memahami prinsip-prinsip penerjemahan. Sebagai tambahan, penerjemah yang baik konon juga harus mengenal materi ilmu yang ia terjemahkan serta akrab dengan budaya menulis yang berlaku dalam konteks si penulis asal. Untuk kasus Marx yang berambisi melakukan revolusi ilmu sampai dengan masanya, dua syarat terakhir jadi sangat penting. Penerjemah harus memiliki pemahaman yang kurang-lebih utuh akan bangunan teoretis Marx. Walau menyimpan ambisi literer yang besar, bagaimanapun tulisan-tulisan Marx banyak ditujukan untuk kepentingan edukasi politik. Oleh sebab itu, ketepatan penyampaian gagasan asli sangat penting dalam penerjemahan teks-teks Marx. Masalah ketepatan atau ketidak tepatan dalam penyampaian gagasan Marx lah yang hemat saya merupakan ukuran utama keberhasilan sebuah penerjemahan teks-teks Marx. Dalam konteks itu, kualitas umum dari terjemahan di dalam buku ini dapat direpresentasikan dari potongan teks Menuju Kritik atas Filsafat Hukum Hegel berikut. Pertama, versi berbahasa Inggris dari MECW vol. 3, hal 23-24;
“[…] Hegel transforms the predicates, the objects, into independent entities, but divorced from their actual independence, their subject. Subsequently the actual subject appears as a result, whereas one must start from the actual subject and look at its objectification. The mystical substance, therefore, becomes the actual subject, and the real subject appears as something else, as an element of the mystical substance. Precisely because Hegel starts from the predicates of the general description instead of from the real ens(ὑποκείμενον, subject), and since, nevertheless, there has to be a bearer of these qualities, the mystical idea becomes this bearer. The dualism consists in the fact that Hegel does not look upon the general as being the actual nature of the actual-finite, i.e., of what exists and is determinate, or upon the actual ens as the true subject of the infinite.”
Sebelum membaca terjemahan atas paragraf ini, saya lumayan bingung dengan potongan teks di atas. Padahal dalam teks ini Marx melancarkan kritiknya terhadap pengertian Hegel mengenai ‘kedaulatan’. Saya baru mendapat kejelasan setelah membaca terjemahan di TTKFM, hal. 27 berikut;
“[…] Hegel membuat predikat, objek, menjadi entitas yang mandiri, tetapi hal itu diceraikan dari kemandiriannya yang nyata, yakni subjeknya. Sesudah itu, subjek sesungguhnya justru dihadirkan sebagai hasil, padahal kita semestinya berangkat dari subjek yang nyata dan memeriksa objektivikasinya. Substansi mistik, karenanya, menjadi subjek aktual, sementara subjek yang sesungguhnya nampak sebagai sesuatu yang lain, sebagai suatu momen dari substansi mistik. Oleh karena Hegel tidak berangkat dari keberadaan aktual (hupokeimenon, subjek), melainkan dari predikat-predikat dengan ciri universal, dan sebab wahana untuk ciri tersebut mesti ada, ide mistik memainkan peranan sebagai wahana tersebut. Dualisme Hegel mengemuka dalam kegagalannya untuk melihat yang-universal sebagai hakikat nyata dari kenyataan yang terhingga, dari apa yang ada dan punya ciri-ciri tertentu, atau melihat keberadaan yang nyata sebagai subjek sesungguhnya dari yang-tak hingga.”
Hegel artinya memaknai ‘kedaulatan’ sebagai “predikat, objek…entitas yang mandiri” sebab ia berangkat dari “yang-universal” atau “predikat-predikat dengan ciri universal”. Kritik Marx, pengertian akan ‘kedaulatan’ semestinya tidak “diceraikan dari kemandiriannya yang nyata, yakni subjeknya” sehingga pengertian ‘kedaulatan’ dapat dilihat sebagai “hakikat nyata dari kenyataan yang terhingga”. Ide, esensi, atau ‘roh’ negara yang disebut Hegel sebagai ‘kedaulatan’ mesti dilihat sebagai konsepsi ideal atas masyarakat sipil dan keluarga; penyusun “keberadaan aktual (hupokeimenon, subjek)” dari ‘kedaulatan’. Begitulah, berkat terjemahan atas teks di atas akhirnya saya bisa menjawab pertanyaan mengapa konsepsi ideal atas masyarakat sipil & keluarga ini mewujud dalam bentuk ‘kedaulatan’ negara, serta mengapa Marx akhirnya berhenti jadi ‘filsuf’ dan mulai sibuk dengan ekonomi-politik.
Buku ini berhasil menerjemahkan dan menyampaikan gagasan-gagasan Marx sesuai dengan intensi aslinya. Karena merasa terjemahan buku ini bagus, saya bolak-balik memakai buku ini sebagai alat konsultasi jika ada pertanyaan-pertanyaan, baik dari pengalaman sehari-hari atau kawan sepergaulan yang belum kunjung jernih jawabannya. Terjemahan buku ini berkali-kali membantu menerangkan kalimat-kalimat, atau paragraf-paragraf dalam tulisan Marx yang awalnya sulit dimengerti. Paragraf di atas, dan banyak sekali bagian-bagian lain dalam buku ini, berkali-kali membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi satu waktu tanpa sengaja saya menemukan jejak kekeliruan penerjemahan di paro paragraf kelima “Kata Pengantar Edisi Pertama” dari teks ‘Kapital, Jilid I’. Teks edisi Penguin yang dipakai sebagai sumber menulis seperti ini;
“To prevent possible misunderstanding, let me say this. I do not by any means depict the capitalist and the landowner in rosy colours. But individual are dealt with here only in so far as they are the personifications of economic categories, the bearers [Träger] of particular class-relations and interst. My standpoint, from which the development of the economic formation of society is viewed as a process of natural history, can less than any other make the individual responsible for relations whose creature he remains, socially speaking, however much he may subjectively raise himself above them”[ii].
Diterjemahkan menjadi;
“Untuk menghindari kesalahpahaman, izinkan saya mengatakan hal ini. Saya sama sekali tak bermaksud menggambarkan kapitalis dan tuan tanah dalam warna-warna yang cerah. Akan tetapi, individu-individu ditangani di sini sejauh mereka merupakan personifikasi dari kategori-kategori ekonomi, wahana [Träger] hubungan dan kepentingan kelas yang tertentu. Titik pijak saya—yang melaluinya perkembangan formasi ekonomis masyarakat dilihat sebagai suatu proses sejarah alam—menjadikan individu bertanggung-jawab pada hubungan-hubungan yang diperankannya secara sosial, betapapun ia secara subjektif meninggikan dirinya di atas masyarakat”.
Menurut saya terjemahan yang digaris bawahi di atas keliru. Mestinya “menjadikan individu kurang bertanggung jawab pada hubungan-hubungan yang diperankannya secara sosial”, atau pengalih bahasaan kalimat yang intinya menekankan minimnya peran individu-individu dalam analisis Marx di Kapital. Arti penting dari paragraf di atas ialah Marx justru mau menerangkan bahwa dalam analisisnya “individu-individu ditangani…sejauh mereka merupakan personifikasi dari kategori-kategori ekonomi, wahana [Träger] hubungan dan kepentingan kelas yang tertentu.” Bukannya individu-individu, melainkan kepentingan, perjuangan, relasi, antar kelas-kelas, yang merupakan motor penggerak kapitalisme. Ini barangkali konsisten dengan kritik Marx terhadap Stirner di Ideologi Jerman atau pembukaan Manifesto Partai Komunis.
Selain menerjemahkan, dalam buku ini Martin juga ikut menyunting terjemahannya sendiri. Istilah “menyunting”, dalam buku ini bukan hanya mengacu pada kerja-kerja memperbaiki kosakata dan tanda baca. Sang penyunting ikut juga memberi pengantar pendek di awal setiap teks yang diterjemahkan agar pembaca lebih mudah mengenali serta mengetahui gagasan yang sesungguhnya mau disampaikan oleh Marx. Sebagai contoh, untuk teks Surat Marx kepada Ayahnya (1837), Martin memberi pengantar ini;
[Dalam surat yang ditulis Marx dari Berlin kepada ayahnya di Trier antara tanggal 10-11 November 1837 ini, nampak kegalauan hati dan intelektual Marx sebagai seorang pemuda berumur 19 tahun. Memasuki dunia perkuliahan yang jauh dari kampung halamannya, ia berkisah pada sang ayah tentang petualangan sastrawinya dalam puisi lirik dan petualangan filosofisnya dalam dialog kritis dengan para filsuf Jerman terbaru pada masa itu, seperti Fichte, Schelling dan Hegel.]
Dalam kerja penyuntingan ini, Martinmenggunakan tanda ‘[…] untuk menandai satu kalimat atau lebih yang ia lompati, dan tanda ‘…’ untuk menandai beberapa kata dalam satu kalimat yang juga dilompati. Lewat kerja penyuntingan yang satu ini sesungguhnya terletak kualitas utama dan paling khas dari buku ini. Kenapa? Sebab walau tidak menerjemahkan secara utuh kebanyakan teks dari Marx, Martin seyogyanya membantu memilah dan mengidentifikasi gagasan-gagasan paling pokok dari teks-teks Marx. Dengan kata lain, lewat buku ini, Martin membagi-bagikan pembacaannya kepada kita semua! Ini akan dirasa menolong sebab tidak semua apa yang ditulis Marx perlu dibaca. Kita tidak banyak mendapat pelajaran dari perbantahan Marx dengan seseorang bernama Karl Vogt yang ia susun dan terbitkan dalam ratusan halaman. Sebaliknya, di sisi lain Marx banyak membuat catatan-catatan belajar yang meski tidak disusun secara sistematis, sering menyembunyikan pandangan-pandangan yang berharga. Namun kegiatan mengulik teks seperti itu membutuhkan banyak sekali waktu dan tenaga. Kerja penyuntingan dalam buku ini akan memangkas waktu yang berharga itu. Sebagai buktinya, mari lihat yang disajikan penyuntingan Martin dari teks Teori Nilai-Lebih yang terdiri dari 1700-an halaman. Martin memotongnya hanya ke dalam dua lembar, dengan satu halaman terakhir (hlm. 140) dengan isi seperti ini;
Teori-Teori Nilai-Lebih, Jilid 3
[Konsep Hubungan dan Daya]Hubungan antara satu benda dengan lainnya adalah hubungan antara kedua hal itu dan tak bisa dianggap milik salah satunya. Daya suatu benda, sebaliknya, adalah sesuatu yang intrinsik dalam benda itu, walaupun sifat intrinsik ini hanya dapat mengejawantahkan dirinya dalam hubungannya dengan benda lain. Misalnya, daya tarik adalah daya benda itu sendiri biarpun daya itu ‘laten’ selama tidak ada benda lain yang ditariknya. […]
Apabila kita bicara soal jarak sebagai hubungan antara dua benda, mengandaikan adanya sesuatu yang ‘intrinsik’, suatu ‘sifat’ benda itu sendiri, yang memungkinkannya untuk berjarak satu sama lain. Berapakah jarak antara huruf A dengan meja? Pertanyaan itu tak masuk akal. Dalam berbicara tentang jarak antara dua benda, kita bicara soal perbedaannya dalam ruang. Dengan begitu, kita mengandaikan keduanya tercakup dalam ruang, mengandaikan keduanya sebagai titik dalam ruang.
Meskipun belum tahu konteks dari pernyataan Marx di atas, saya berandai-andai; bagaimana kalau keterangan soal “hubungan” dan “daya” di atas, ternyata dapat diterapkan dalam konsep relations of production dan forces of production? Kalau benar dapat diterapkan, artinya satu langkah maju pemahaman akan materialisme historis.
Penutup. Filsafat Marx
Setelah sedikit demonstrasi kerja penerjemahan dan penyuntingan yang telah diuraikan di atas, ada dua hal yang belum terklarifikasi. Pertama soal motivasi produksi buku, dan kedua, soal pengertian ‘Filsafat Marx’ dalam buku ini. Kita mulai dari yang pertama, dalam kata pengantarnya Martin menulis,
“Walaupun diskusi dan perdebatan tentang Marxisme memiliki riwayat yang sudah begitu panjang di Indonesia, sampai hari ini belum ada buku yang memuat bunga rampai tulisan Marx (maupun Engels). Karya-karya Marx-Engels memang sudah kerap diterjemahkan secara utuh. Buku-buku yang membedah pemikirannya juga bisa banyak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, buku yang memuat pokok-pokok terpilih dari tulisan-tulisannya dan menyajikan potret perkembangan pemikiran Marx secara kurang-lebih utuh masih sulit ditemukan. Padahal keberadaan buku semacam itu diperlukan bagi pembelajar awal yang hendak mencicipi berbagai dimensi pemikiran Marx.” (hlm. vii)
Buku ini diperuntukkan pertama-tama bagi “pembelajar awal” Marx, buat para nubie Marx yang ingin icip-icip pemikiran Marx. Tapi omong-omong, siapa sebenarnya para “pembelajar awal” itu? Apakah mereka yang dalam setahun membaca 200 halaman Das Kapital bukan lagi “pembelajar awal” Marx? Apa anggota Komisi Sentral Partai Komunis terbesar sedunia saat ini bukan lagi “pembelajar awal” Marx? Saya sangsi (dua jenis manusia-manusia ini nyatanya terus membaca Marx).
Tren kajian Marxis global menunjukkan bagaimana setelah melewati berbagai fase inovasi atas pemikiran Marx, para intelektual-intelektual utamanya kini banyak yang memilih untuk memperdalam pemikiran Marx. Kalau jeli, fenomena ini sebenarnya rada aneh, mengingat konsensus umum soal matinya Partai-partai Komunis besar seperti PKUS yang dahulu ditunjuk sebagai aktor utama penyebaran Marxisme-Leninisme ke seluruh dunia. Lantas apa penyebabnya? Mengapa pasca Uni Soviet, para intelektual dunia malah memperdalam pemahamannya atas Marx? Mengapa pasca segala inovasi teoretis Marxisme Barat, mereka justru berpulang pada Marx?
Menurut saya ada tiga sebab utama yang bisa ditunjuk. Pertama, sebab literer. Muncul ketertarikan pada tema-tema yang sebelumnya dianggap berada di luar perhatian Marx, misalnya masalah eropasentrisme, formasi pra-kapitalis, ekologi, pertanahan dan kimia agrikultur berkat terus bergulirnya penerbitan Historisch-kritische Marx-Engels-Gesamtausgabe. Penerbitan MEGA terus mendorong kecenderungan kajian-kajian “Marx yang belum dikenal” ini. Kedua, sebab empiris-historis; objek kajian Marx, kapitalisme, masih jadi cara hidup utama dan terus memusingkan masyarakat dunia. Dan sebab ketiga, sebab yang paling penting, adalah kesadaran akan kedigdayaan metodologis Marx dalam kajian-kajiannya, utamanya dalam satu-satunya jilid Kapital yang ia tinggalkan untuk kita—metode analisis yang sebelum dan setelah dirinya belum pernah diterapkan dalam kualitas yang sama seperti yang ia lakukan. Yang terakhir ini adalah sebab utama, mengapa pandangan Marx, bukan pemikir lain, yang terus relevan dan dianggap representatif soal kapitalisme bahkan dalam keadaan paling aktual saat ini. Sebab terakhir ini juga yang menyebabkan mengapa catatan-catatan belajar Marx, bukan pemikir lain, dalam ragam bidang yang bahkan bukan fokus utamanya masih dianggap begitu berharga untuk terus diterbitkan. Kedigdayaan metodologis adalah apa yang membuat pemikiran Marx, dan bukan pemikir lain, terus hidup dan akan mewarnai dengan pekat sejarah pemikiran di Abad ke-21 ini. Dalam terang kesadaran metodologis inilah menurut saya pengertian “Filsafat Marx” disajikan dalam buku Teks-teks Kunci Filsafat Marx.
Itulah resensi saya atas buku Teks-teks Kunci Filsafat Marx. Sepanjang ulasan ini saya berupaya menunjukkan bagaimana buku ini bersandar pada sumber terjemahan yang dapat diandalkan, kualitas penerjemahan yang mumpuni, dan mutu penyuntingan yang tidak ada duanya. Buku ini ditujukan bagi para “pembelajar awal”, bagi mereka yang mau dan dengan senang hati dibekali oleh “Filsafat Marx”—teknik berpikir untuk mereka-mereka yang Kiri dan ahli.
Dicky Ermandara adalah seorang Pustakawan
[i] TTKFM, hal vii.
[ii]Marx, K. 1990. Capital, Volume I, terjemahan Ben Fowkes (Penguin Books: London).